- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- The Teacher's Journey (3): I'm Promise!
Posted by : Fatinah Munir
11 April 2015
Beberapa hari selepas terakhir kali pembicaraan dengan
emak bapak terkait keinginanku untuk pindah kuliah. Emak yang sedang memasak
bersamaku memulai pembicaraan itu lagi.
“Kamu mau pindah ke mana memangnya?” tanya emak.
“Ke UNJ aja kayaknya. Jadi guru aja,” jawabku sambil asik
memotong sayur.
“Guru apa?”
“Guru buat anak-anak kayak Naufal kayaknya,” jawabku
santai sambil menyebut nama keponakanku yang menyandang autisme.
“Beneran? Gimana ih kamu. Dulu disuruh jadi guru
Matematika atau Fisika aja kamu nggak mau. Sekarang masa mau jadi guru
anak-anak autis. Kan gak banyak sekolahan yang butuh,” ibu protes atas
keputusanku.
Aku mengangguk, mengiyakan dengan mantap. Memang sih dulu
emak bapak sempat memberikan saran kepadaku untuk melanjutkan sekolah ke Keperawatan
di Rumah Sakit Bhakti Husada atau kuliah di bidang Pendidikan Matematika atau
Fisika. Emak bapak tahu persis kemampuan akademikku, memang. Tapi aku tidak
berminat di kedua profesi itu. Untuk menadi perawat di instansi swasta, aku
tahu betul semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun emak bilang
kalau biaya di awal akan dibantu oleh Tante Bali –ibu Putu, ibu dari temanku
yang menjadi dokter di rumah sakit tersebut, aku tetap harus memikirkan biaya
selama tiga tahun aku sekolah di sana. Belum lagi biaya kost dan praktik di
beberapa rumah sakit tiap bulannya.
Aku pikir, bukan pilihan yang tepat untuk kondisi
perekonomian keluarga kami yang bisa dibilang kecil. Untuk menjadi guru pun aku
tidak tertari saat itu. Aku berpikir jika menjadi guru, kelak aktivitasku akan
sangat menoton. Mengajar di kelas dengan meja dan bangku berjejer serta seragam
coklat dan biru tua yang sangat membosankan. Aku tidak bisa beraktivitas secara
monoton. Aku selalu mencari aktivitas yang dinamis dan berubah-ubah untuk
mengatasi moody yang kumiliki.
Tapi entah bagaimana jadinya, berselang satu tahun, aku
malah memutuskan menjadi guru yang tidak biasa. Menjadi guru pendidikan khusus
untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
***
Setelah pembicaraan panjang di dapur, keesokan harinya
Abah Surip datang ke rumah. Emak, bapak, kakak-kakaku, termasuk aku berkumpul
di ruang depan. Abah Surip sebagai
anggota keluarga terbesar memulai pembicaraan yang menurutku agak menegangkan.
“Mau pindah kuliah, Lis?” tanya abah.
Aku menjawab sambil
menunduk. Lalu menjawab lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang disusulnya.
Hingga tiba saatnya pembicaraan tentang jurusan perkuliahan yang hendak
kuambil.
“Kamu yakin?” pertanyaan itu muncul lagi. Kini dari Abah
Surip.
Aku mengiyakan penuh keyakinan. Kujelaskan semua
kemungkinan yang akan kuhadapi jika aku meneruskan kuliah di Farmasi, juga
segala rencana yang akan aku lakukan jika aku diizinkan pindah kuliah. Kadang
di sela-sela obrolan ini aku menangis, karena merasa cita-citaku terlalu tinggi dibandingkan kondisi keluarga kami yang
sangat biasa-biasa saja.
“Kalau memang mau pindah, nanti belajarnya harus lebih
giat. Mulai sekarang ikutin apa kata hati Lis sendiri. Jangan dengerin orang
yang nyuruh Lis buat ngerjain B kalau Lis sendiri mantap ngelakuin A. Jangan
sia-siain perjuangan orang tua. Belajar yang bener,” nasihat Abah Surip.
Jika Abah Surip sudah berkata demikian, itu pertanda
beliau sudah mengizinkan. Artinya, emak dan bapak pun mengizinkan.
Beruntung izin sudah kukantongin sebelum pendaftaran
ujian masuk universitas ditutup. Akhirnya aku bisa memilih apa yang aku mau.
Aku langsung mempersiapkan diri untuk mendaftar kuliah di jurusan yang aku
inginkan. Aku mengikuti Ujian Masuk Bersama tahun 2011 dengan memilih beberapa
jurusan yang sedari dulu aku inginkan. Aku memilih Ilmu Biologi, Bahasa dan
Sastra Indonesia, Pendidikan Biologi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
dan pastinya Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan Khusus) yang semuanya di UNJ.
Aku berjanji kepada diriku sendiri, terutama kepada emak
bapak, jika aku diterima di Pendidikan Luar Biasa UNJ, aku akan menyelesaikan
pendidikan hanya tiga setengah tahun, aku akan mendapatkan beasiswa hingga
lulus kuliah, aku juga berjanji akan menjadi mahasiswa berprestasi di kampus,
termasuk akan mencoba melakukan apapun mengikuti kata hatiku dan bertanggung
jawab atasnya, dan aku berjanji akan mendapatkan beasiswa untuk lanjut kuliah
hingga aku menjadi seorang dosen di bidangku.
Aku berjanji semua itu akan aku lakukan demi emak dan
bapak yang sudah senantiasa memercayaiku.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 11
April 2015