- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- The Teacher's Journey (2): Let Me Go, Pak, Mak!
Posted by : Fatinah Munir
11 April 2015
“Boleh gak Lis pindah kuliah, Mak, Pak?”
Itu pertanyaan yang sudah kusiapkan saat pulang ke rumah
di akhir pekan. Saat itu emak dan bapak sedang duduk di ruang depan selepas
shalat maghrib. Keduanya masih menggunakan perlengkapan ibadah. Emak masih
menggunakan mukena dan bapak mesih menggunakan sarung dengan peci yang melekat
di kepala.
“Hah? Kenapa? Gak kuat pelajarannya?” tanya emak setengah
khawatir.
“Enggak juga sih. Tapi ngerasa kayak bukan jalannya. Lis
ngejalaninnya setengah hati,” jawabku jujur.
“Jangan main-main, Nak!” bapak mengingatkan.
Tidak. Aku jelas tidak main-main. Ini keputusan yang
bulat setelah beberapa minggu aku mambaca artikel di blog tersebut. Saat itu
emak dan bapak terus mengorek alasan apa yang membuatku ingin pindah kuliah.
Emak dan bapak hanya mendengarkan, tidak banyak bertanya apa-apa lagi.
Selain karena merasa menjalankan dengan terpaksa, alasan
lain yang aku utarakan adalah tentang biaya. Memang aku mendapatkan beasiswa
selama kuliah di Farmasi, tapi bukan beasiswa full. Emak dan bapak masih harus
mengeluarkan uang iuran lebih dari 20 juta rupiah saat mendaftar kuliah.
Selebihnya, uang bulananku bebas dari tanggungan emak bapak. Tapi sayangnya,
uang beasiswa hanya cukup untuk kebutuhan pokok kuliah seperti membeli buku dan beberapa alat praktikum. Itu
pun kadang alat praktikum harus kubeli dengan uang dari beasiswa lain yang kuterima.
Uang yang rutin emak berikan selalu aku tabung atau kadang aku pakai untuk
keperluan sehari-hari jika mendesak.
Karena masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi dan
lebih sering mendadak harus dipenuhi untuk perkuliahan, tanpa sepengetahuan
emak bapak, aku berjualan selama kuliah. Setiap pagi aku bangun jam lima subuh.
Mandi, shalat, lalu belajar sebentar. Pukul enam tepat aku pergi ke salah satu
warung makan Jawa yang ada di dekat asrama untuk mengambil nasi yang akan aku
jual di asrama dari pintu ke pintu. Begitu saja aktivitasku setiap pagi
mengelilingi asrama putri berlantai empat untuk menjajahkan nasi uduk atau nasi
kuning.
Sering juga di sela jam istirahat kuliah siang, aku
kembali ke asrama untuk menjual gorengan dan kacang hijau. Hal ini kadang aku
lakukan di sore hari setelah pulang kuliah. Bahkan aku juga menjual buku
kuliah. Buku-buku itu aku peroleh dari salah seorang pemilik toko buku di
Thamrin City. Aku mengambil buku-buku tersebut dengan harga murah yang khusus diberikan
kepada pembeli yang akan menjual bukunya lagi.
Yang aku pikirkan selanjutnya adalah bagaimana nanti jika
aku harus melanjutkan pendidikan ke jenjang profesi untuk memperoleh gelar apoteker?
Saat itu yang aku tahu jarang ada beasiswa untuk sekolah profesi. Dan saat itu,
saat aku masih semester pertama, biaya untuk sekolah profesi dua kali lipat
dari biaya kuliah Farmasi. Lantas berapa biaya yang aku butuhkan untuk sekolah
profesi jika aku lulus nanti?
Aku berpikir, bagaimana nasibku nanti. Emak dan bapak
hanya seorang pedagang kecil. Uang puluhan juta yang emak keluarkan adalah
tabungan emak selama bertahun-tahun. Paling lama lima tahun lagi aku akan
sekolah profesi, terkumpulkah uang sebanyak dua kali lipat dari sekarang itu sedangkan
emak dan bapak menghidupi tiga anak yang belum bekerja dan satu keponakanku?
Demi memperoleh izin dari emak bapak, aku menceritakan
semua rahasiaku tersebut. Mulai dari beasiswa lain yang kuterima untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari hingga tentang usahaku mengumpulkan uang tambahan dengan
berjualan selama di asrama.
“Terus satu tahun ini sia-sia?” kata emak. Matanya
menatapku dalam-dalam. Aku hendak menangis melihatnya.
“Nggak, Mak. Nggak sia-sia. Di sana Lis belajar banyak.
Lis ketemu banyak teman. Lis belajar nulis yang sekarang pun Lis sambil kerja
dengan menulis. Nggak sia-sia, Mak. Ini memang salah Lis yang gak bisa nentuin
keinginan Lis sendiri. Tapi setahun di Farmasi benar-benar gak sia-sia kok,”
jawabku dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu yakin mau
pindah?” tanya bapak.
Aku mengangguk mantap. Kembali meyakinkan emak dan bapak.
Aku sudah merancang rencana apa saja yang akan aku lakukan jika emak bapak
mengizinkanku melakukan apa yang kumau. Termasuk rencana yang kini sedang aku
jalankan.
“Bapak ngomong dulu sama Abah Surip,” kata bapak
mengakhiri percakapan malam itu. Emak diam, mengikuti kehendak bapak.
Malam itu bapak keluar rumah. Pergi ke rumah Abah Surip,
kakak iparnya yang tertua, untuk berdiskusi dan meminta saran atas apa yang
belakangan ini sampaikan.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 11
April 2015