- Back to Home »
- Ngarai Hati Mandalawangi , Travel and Adventure »
- Ngarai Hati Mandalawangi (7)
Posted by : Fatinah Munir
07 October 2014
Ada
letih pada suatu pagi yang terganti dengan desir rasa pada hati. Berkerumun
suka yang menjejal duka untuk keluar dari relung jiwa.
Di
sini, di dalam sini semuanya bisa tetiba berubah. Semua terasa aneh dengan rasa
bernama entah. Bahagia yang tergambar lewat airmata dan hati yang mengerdil
namun gumpalannya menyesakkan dada.
Di
sini, di lembah ini semuanya tetiba berubah. Aku merasakan senang dan sedih
bersama. Lega rasanya bisa bersama yang lainya merasakan letih di kaki untuk
mencapai Lembah Kasih.
Aku
bahagia bisa menginjak tanah, menghirup udara, meminum air, dan menatap langit
Tanah Air terkasih. Tapi yang terlukis di wajah ini bukan hanya senyuman, tapi juga
redup di mata yang membuatku semakin takut dan sedih atas diriku sendiri.
:
aku,
begitu kecil dan tak berarti dibandingkan apapun dan siapapun yang Tuhan
ciptakan di semesta ini
Kembali ke
Tenda
Hampir
satu jam kami menikmati Lembah Kasih Mandalawangi. Waktu sejenak ini kami
habiskan untuk menikmati jerih payah kami mendaki. Mengabadikan moment dengan
berfoto, memanjakan mata dengan memandang keindahan sejauh kami memutar
pandang. Atau seperti aku, yang menikmati semilir angin lembah hingga desirnya
mengantarkanku pada nyenyak yang dalam.
“Ayo
turun,” Pak Ketua alias Dhika memberikan intruksi.
Semuanya
bersiap untuk turun. Termasuk aku yang beberapa saat lalu tertidur dan langsung
membuat video bertiga dengan Kak Lina dan Erni saat mulai terjaga. Ada yang
terlupakan. Seruku dalam hati setelah mengingat sesuatu yang tidak bersamaku
sedari tadi. Jaket Kak Lina yang super berat tidak ada. Entah di mana aku
meletakkannya. Sepertinya aku tinggal di puncak, dekat tugu.
Aku
mengikuti yang lainnya menuju puncak, kembali ke jalan yang tadi telah kami
telusuri. Benar saja. Jaket coklat besar dan berat itu terhampar sembarangan di
atas tanah. Aku membawanya. Tidak kupakai ataupun kuikatkan di pinggang.
Lagi-lagi
kami berjalan terpisah. Aku berjalan lebih dulu dengan Kak Lina, Yudith, Shofi,
dan Bang Awal. Erni, Yolla, dan Dhika berjalan di belakang.
Felt Alone and $^&Y*^%@^&
Pada
suatu tempat peristirahatan, kami yang berjalan di depan berhenti untuk
menunggu yang lainnya yang masih di belakang. Saat Yolla, Erni, dan Dhika
muncul. Baru saja melepas lelah dan lengkap jumlah tim kami, Kak Lina, Yudith,
Erni, dan Bang Awal memilih melanjutkan perjalanan. Aku mengantar Yolla yang
saat itu hendak buang air kecil. Dhika dan Shofi duduk sambil berbincang entah.
Beberapa
menit setelah aku mengantar Yolla buang air kecil di antara semak, aku dan
Yolla ikut berkumpul dengan Dhika dan Shofi. Mereka menikmati camilan dan
minuman yang kami bawa saat summit
tadi. Aku memilih untuk tetap berdiri sambil melihat sekeliling. Menerka jalan
turun yang akan kami lalui. Saat mengedarkan pandangan ke pucuk-pucuk pohon
yang menjulang tinggi, tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan pikiranku.
“Fatin
duluan aja,” Dhika memberi intruksi
–yang menurutku cukup mengejutkan.
“Huum?”
aku mengerutkan kening. Berseru dalam
hati, “Duluan? Gue? Sendirian?”
“Iya,
duluan aja,” Dhika menjawab.
Aku
tidak menjawab apa-apa. Tidak mengiyakan ataupun menolak, meskipun saat Dhika
menyuruhku berjalan lebih dulu ada perasaan bingung dan dongkol yang menyatu.
“Yolla
mau bareng?” tanyaku pada Yolla sebelum aku berbalik badan.
“Masih
mau istirahat, Kak Fatin,” seru Yolla.
“Sini
tasnya aku bawain,” aku menghampiri Yolla sambil meminta tas selempangnya.
Aku
berjalan saja. Tanpa berkata lagi, tanpa ba-bi-bu. Aku menuju jalan setapak di
sebelah kiri yang terus menurun dan menurun. Yang lainnya pasti sudah jauh di
depan. Entah akan terkejar atau tidak. Nanti aku akan bertemu dengan pendaki
lainnya atau tidak. Aku hanya terus berjalan dengan perasaan kesal pada Dhika
yang menyuruhku jalan duluan dan sendirian.
“Apa
maksudnya sih nyuruh duluan? Sendirian pula. Gak nganggep gue cewek apa?
Seenaknya aja nyuruh gue jalan duluan sendirian, padahal gue udah nungguin,
nganterin Yolla. Sedangkan dia asik-asik duduk sambil ngobrol!” celetukan
dongkol aku keluarkan atas kekesalanku pada Dhika.
Di
saat ini aku benar-benar merasakan bahwa ini adalah pendakian terburuk dan
paling menyebalkan yang pernah aku rasakan! Aku merancau dalam hati. Menekuk
wajah dengan kesal yang menjejal di dada. Menyebalkan.
Aku
masih berjalan sendirian. Menelusuri jalan setapak yang asing di mataku. Jalan
ini penuh lumut dan tertutup dedaunan. Satu dua cahaya matahari masuk malu-malu
dari daun yang rimbun. Bahkan beberapa meter jalan yang kulalui cukup gelap.
Tak tampak seperti siang hari.
Aku
menyadari sepertinya aku benar-benar terpisah dari teman-teman. Tidak bisa
mengejar tim yang di depan dan terpisah jauh dari tim yang ada di belakang. Aku
juga merasakan bahwa pagi tadi, saat summit bersama yang lainnya, aku tidak
melewati jalan ini. Entahlah. Mungkin itu hanya perasaanku saja karena sedang
berjalan sendirian di tengah hutan.
“Kayaknya
tadi gak lewat sini,” aku berseru dalam hati. Berhenti sejenak sambil melihat
sekeliling dan berputar mengamati jalur yang telah dan akan aku lewati
setelahnya.
Beberapa
menit setelah berdiam diri, aku melanjutkan perjalanan sambil setengah berlari.
Berharap aku bisa mengejar teman-teman di depan.
Saat
aku mulai merasa benar-benar sendirian, cukup jauh di depan, di balik
lumut-lumut yang menjuntai dari batang pepohonan, aku melihat warna merah.
Jaket Erni. Itu yang ada di pikiranku saat itu. Ah, akhirnya!
“Ebooooiiiiii,”
aku berteriak spontan.
“Iyaaaa,”
jawab Erni.
“Gue
sendiriaan. Sedihnyaaaaaaaaaa,” aku kembali berteriak sambil terus mendekati
mereka yang sedang duduk. “Akhirnya, kekejar juga.”
“Gak
sama Dhika, Fatin?” Bang Awal yang duduk di seberang bertanya.
“Iya.
Dhika, Yolla, sama Shofi mana?” tanya Yudith.
“Gak
tau. Tadi disuruh jalan duluan. Nyebelin banget ih!” aku meluruskan kaki,
bersandar di batang pohon sambil menunjukkan kedongkolanku.
Kami
memutuskan untuk tetap beristirahat, menunggu yang lainnya datang mengusul
kami.
“Eh,
tadi emangnya kita lewat sini ya?” aku iseng bertanya. Memastikan apa yang aku
pikirkan adalah salah.
“Gak
tau deh. Tadi kan masih gelap,” jawab salah satu di antara mereka.
“Tapi
kan pasti terasa beda atau nggak jalanannya sama yang tadi,”
“Kurang
tau, Tin. Tunggu Dhika aja. Dia sering ke sini katanya,” kata Bang Awal.
Beberapa
menit kemudian, Dhika dan yang lainnya datang. Kesal masih berkerumun di
pikiranku. Karena itu, aku memilih diam saat mereka datang dan berjalan lebih
dulu. Kak Lina, Yudith, dan Shofi mengikutiku.
Yang lainnya? Entah. Perasaan kesal membuatku enggan menoleh lagi ke
belakang.
Get Lost!
Kami
berjalan terpisah. Berjarak. Namun tidak terlalu jauh. Sebab kami masih bisa
berkomunikasi dengan suara yang ditinggikan. Di depanku, terdengar suara air
mengalir dengan samar-samar.
“Salah
jalan nih,” pikirku dalam hati. Mengingat sebelumnya kami benar-benar tidak
melewati aliran air.
“Kita
benar-benar gak lewat jalur yang tadi nih,” seruku pada Kak Lina, Shofi, dan
Yudith yang ada di belakangku.
“Terus
kita kemana?” tanya Yudith.
“Ini
ada dua jalur. Kanan lurus sama kiri ke bawah. Kalau ke bawah, gue yakin itu
aliran sungai. Mungkin itu jalan pintas, tapi gue gak mau lewat situ. Karena
gue gak tau itu aliran sungai kalo kita seberangin bakal ke mana dan kalo kita
ikutin alirannya kita pasti gak bakal nyampe Kandang Badak,” jawabku.
“Mau
nunggu yang lain?” tanya Yudith.
“Terserah
sih,” jawabku.
“Mereka
jauh. Duluan aja tunggu di depan situ,” kata Kak Lina.
Saat
kami sedang cukup kebingungan, tiba-tiba sekelompok pendaki naik dari jalur
kiri.
“Mau
naik, Mas?” tanyaku pada salah satu pria berambut gondrong yang ada di antara
mereka.
“Mau
turun. Itu bukan jalur biasanya kayaknya,”
“Oh,
buat Mapala ya kayaknya. Itu ada tanda,” aku menerka. Sok tau lebih tepatnya.
“Bisa
jadi, Mbak. Mau turun juga? Cuma berempat?”
“Iya
mau turun, Mas. Nggak. Yang lain di belakang,” jawab Shofi.
“Duluan
ya, Mbak,” pria berambut gondrong itu berjalan memasuki jalan bagian kanan yang
lurus.
Kami
kembali terdiam. Aku mengikuti kelompok pendaki yang baru lewat tadi. Mengecek
jalur yang ternyata menurun yang basah.
“Ada
jalan tuh. Tapi naik. Mau duluan nih?” tanyaku pada yang lain.
“Yuk
duluan aja,” seru salah satu dari mereka sambil berjalan melewatiku. Saat itu
terdengar suara Bang Awal dan Dhika memanggil nama Yudith dan membuatnya
berdiam diri sejenak di belakang kami.
“Lisfa
duluan,” kata Kak Lina.
Kami
melewati aliran air. Menanjak dengan bantuan tali hitam dan memasuki jalan
setapak yang kembali bercabang.
“Kak
Ais, di mana?” terdengar suara Yudith.
“Di
sini. Lurus aja yang tadi. Terus naik pakai tali hitam,” teriak Kak Lina.
Saat
itu aku berjalan ke depan. Melihat jalur yang bercabang. Di belakang, Shofi
membuntutiku.
“Lewat
mana nih? Yang laen udah keliatan, Shof?” tanyaku dalam kebingungan.
“Jauh
di belakang,” jawabnya saat Kak Lina sudah mendekati kami.
“Yudith
sama yang lainnya mana, Kak?” tanyaku pada Kak Lina.
“Di
belakang. Dipanggilin gak kedengeran lagi suaranya,” jawab Kak Lina menyadari
kami benar-benar terpisah. “Rombongan yang tadi mana?”
“Gak
tau,” jawabku dengan malas.
“Tungguin
mereka di sini aja apa?” tanya Shofi.
“Kalau
mereka lewat jalur lain gimana?” aku bertanya atas kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi.
Kami
saling menatap. Bingung hendak meneruskan perjalanan, menunggu, atau kembali ke
tempat tadi kami terpisah. Di sini sempat aku berpikir, mungkin saat ini aku
terlalu egois. Terlalu mengikuti kesal yang terlanjur ada karena Dhika
menyuruhku berjalan duluan sendirian. Hingga aku enggan menunggu yang lainnya.
“Eh
kalian lagi,” sebuah suara yang beberapa waktu lalu kami dengar kini muncul
kembali. Pria berambut gondrong dengan
rombongannya menghampiri kami dari jalan kanan.
“Iya,
Mas,” jawab kami hampir berbarengan.
“Di
sana gak ada jalan ya, Mas?” tanyaku agak heran melihat mereka kembali.
“Itu
bukan jalur turun kayaknya. Malah makin banyak cabang. Ini mau cek yang sebelah
sana,” jawabnya sambil menunjuk jalan kiri. Salah seorang dari rombongan mereka
sudah turun mengecek jalan.
“Teman
kalian mana?” tanya salah satu dari mereka.
“Di
belakang. Kepisah kayaknya, Mas. Daritadi dipanggilin gak ada yang nyahut,”
Shofi menjawab diselingi Kak Lina.
“Mau
ditungguin apa bareng kita? Bareng kita aja. Daripada kalian tunggu ternyata
mereka gak dateng. Kalian juga gak bisa turun. Nanti kalau mereka gak ada di
tenda, kalian bisa balik lagi,” saran pria berambut gondrong kepada kami.
“Iya,
sempet mikir gitu juga sih, Mas,” jawabku. Kak Lina dan Shofi mengiyakan.
Meskipun
ingin sekali mengikuti rombongan ini, tapi Kak Lina tetap ingin mengunggu yang
lain sebentar lagi.
“Yuk
lanjut! Bener nih jalannya!” seru orang yang tadi turun mengecek jalan.
“Mbak,
duluan ya,” seru pria berambut gondrong sambil diikuti teman-temannya yang
lain.
Kami
mengangguk, mengiyakan, meskipun masih dalam kebingungan menunggu teman-teman
yang lainnya.
We Back! Thanks My Lord!
“Lanjut
yuk! Tunggu di tenda aja,” kata Shofi.
“Lisfah
duluan!” peritah Kak Lina.
Aku
mengangguk. Melangkah memasuki jalur yang dipilih pendaki tadi. Menelusuri
jalan menurun yang gelap dan penuh lumut. Di depanku ada percabangan lagi. Aku sempat
terdiam hingga aku melihat warna-warni tenda di kejauhan. Aku memilih jalan
kiri.
Tak
lama setelah percabangan ini. Kami keluar dari rerimbunan pohon yang cukup
gelap. Percabangan terakhir yang kami lewati tadi mengantarkan kami ke Kandang
Badak, tepat di belakang sumber air.
Syukur,
Alhamdulillah kami tiba! Kami tidak jadi nyasar! Gumamku dalam hati. Untuk sejenak
aku merasa lebih rileks.
“Tuh
kan, beda jalur,” seruku saat menginjakkan kaki di Kandnag Badak.
Kami
bergegas ke tenda. Dari jauh tampak Kak Tiwi sedang menyiapkan makan siang untuk
kami dan Bang Edi sedang berdiri di depan tenda.
“Yang
lain mana, Kak Ais?” tanya Kak Tiwi.
“Kita
kepisah, Tiw. Gak tau yang lain di mana,” Kak Lina menjawab dengan suara kekhawatirannya.
“Kayaknya lewat jalur lain deh. Ada Dhika ini. Tenang aja. Tapi salah kita juga sih jalan duluan,” sahut Shofi.
"Salah gue. Karena gue jalan duluan," sahutku.
“Dhika
nyasar?” tanya Bang Edi sambil menghampiri kami.
“Nggak.
Mudah-mudahan nggak nyasar. Mereka cuma lewat jalur yang beda,” sontak aku
menyahut. Lalu aku melanjutkan cerita tentang suara aliran air yang deras,
jalur yang berbeda dengan jalur yang kami lewati saat naik, hingga pada aliran
air dan tali hitam yang membawa kami naik sekaligus memisahkan kami bertiga
dengan yang lainnya hingga saat ini.
Kak
Tiwi dan Bang Edi meyakinkan kami bahwa mereka pasti baik-baik saja dan akan
tiba tak lama lagi. Karena itu kami memutuskan untuk membantu Kak Tiwi
menyiapkan sup sayur yang baru setengah matang.
Sambil
menunggu sup sayur matang, kami makan dengan sisa makanan semalam. Aku makan
sepiring berdua dengan Kak Lina. Kak Tiwi dan Shofi, makan sendiri-sendiri. Aku
hanya makan sedikit. Nyaris dibilang tidak makan sama sekali, karena hanya
memakan seujung sendok nasi dan ayam semur sisa semalam yang sangat manis.
“Udahan
ah. Tiw, minta nasinya dong. Sayurnya udah mateng? Bagi dong,” kata Shofi.
“Udahan,
kenapa ditambahin lagi, Mon?” tanya Kak Lina.
“Biasa
dia mah, Kak Ais. Didaur ulang. Parah deh!” timpal Kak Tiwi.
“Hahaha,
habisnya sayang. Ini nasi gue gak habis. Gue tambahin nasi aja lagi, timpa pake
sayur baru deh. Noh, gak kelihatan sisaan gue kan? Hahaha,” sahut Shofi.
“Nanti
kasih Dhika aja tuh,” kata Kak Tiwi.
“Ebuset.
Seriusan itu orang dikasih sisa? Kasihan loooh,” aku yang sedari tadi mengamati
saja langsung menimpali.
“Biarin
Dhika ini,” kata Shofi sambil tertawa.
“Gak
ada semur ayamnya kan? Cuma sayur? Sini gue aja yang makan,” kataku.
“Nah,
Lisfa pas tuh. Gak ada ayamnya. Tadi kan makannya cuma seupil. Lagian dia udah
biasa nampung sisaan gue sama Erni kok kalo makan,” Kak Lina menyahut.
“Hadoooh.
Bocor! Bocor!” kataku dalam hati. Memang sih setiap kali makan dengan Kak Lina,
Erni, atau teman yang lainnya, aku terbiasa menampung separuh porsi dari
makanan yang mereka pesan. Eh, bukan karena makanku banyak ya, tapi karena
memang porsi makan mereka yang sedikit. *ngeles*
“Gak
apa-apa nih, Tin? Habisin ya!” kata Shofi sambil menyerahkan sepiring nasi yang
sudah didaur ulang olehnya.
“Gak
apa-apa. Udah biasa kok ngabisin nasi sisa Kak Lina,” kataku awkwardly.
Selepas
makan, kami shalat berjamaah di dalam tenda. Hanya aku, Kak Lina, dan Kak Tiwi
yang shalat bersama. Shofi memilih shalat belakangan karena ingin buang air
terlebih dahulu.
Usai
shalat, aku mengungkapkan hanmpir semua ketidaknyamanan yang aku rasakan selama
pendakian ini. Termasuk rasa bersalahku telah meninggalkan yang lainnya hanya
karena kejengkelanku pada Dhika saat disuruh berjalan duluan dan sendirian.
“Yaudah.
Insya Allah mereka gak apa-apa. Dhika udah sering naik. Dia pahamlah apa yang
bakal dilakuin kalau dia nyasar,” Kak Tiwi menanggapi.
“Udah
mau dua jam loh, Kak Tiw. Mereka belum datang juga. Aku takut mereka
kenapa-kenapa,” Kak Lina kembali khawatir. Matanya memerah. Kak Lina menangis.
“Udah,
Kak, gak usah nangis. Nanti malah makin gak karuan ini pikiran kemana-kemana,”
sahutku sambil mengusap pundaknya.
Kami
semua menunggu dengan harap-harap cemas.
Bersambung ...,