- Back to Home »
- Ngarai Hati Mandalawangi , Travel and Adventure »
- Ngarai Hati Mandalawangi (6)
Posted by : Fatinah Munir
09 September 2014
Masih
malam. Aku membuka mata perlahan, mengedarkan mata pada tubuh-tubuh yang sudah
berhimpitan dalam tenda untuk mencari kehangatan. Lima orang bersamaku, hingga
enam denganku. Kurang satu. Erni. Dia tidur di vestibula yang cukup untuk satu
orang.
Tenda
kami memang cukup besar. Tenda kapasitas 6-7 orang dengan sebuah vestibula
beratap dan beresleting pula. Cukup untuk satu orang jika ada tambahan orang.
Sayangnya, beberapa di antara kami berbadan besar. Jadi tenda hanya cukup untuk
enam orang dan satu di antara kami harus mengalah. Begitulah kiranya alasan
mengapa Erni bisa tidur di vestibula. Hihi. Padahal sebelum pendakian aku yang
diledek untuk tidur di vestibula saja.
Aku
melihat jam tangan salah seorang teman di dekatku. Pukul satu pagi. Lalu aku
melanjutkan memejamkan mata lagi. Belum lelap aku kembali, tiba-tiba terdengar
sebuah suara. Lalu langit-langit tenda berubah posisi. Bagian kanan depan
menjadi miring dan menjorok ke dalam. Ada yang lepas.
“Ketendang.
Pasti Erni,” tebakku karena bagian yang rusak tidak jauh darinya. Malam itu Erni
pasti tidur gocan, tendang sana
tindih sini.
Saat
aku hendak kembali memejamkan mata, tiba-tiba salah satu dari bersuara terkejut
disusul kegaduhan sejenak yang redup oleh lelap. Karena sudah terlanjur malas
bergerak, aku memutuskan untuk melanjutkan tidur dan berdoa semoga malam ini
tidak hujan. Jadi posisi tenda yang hancur seperti ini tidak terlalu
berpengaruh mengganggu waktu istirahat kami.
***
“Bangun!
Bangun! Udah jam 3! Mau pada muncak gak?” seru Yudith dengan suara yang
tak tampak seperti baru bangun tidur. Suaranya malah terdengar sangat semangat.
Aih. Malas rasanya. Aku masih butuh tidur. Masih mau
membayar hutang tidur. Meskipun sudah bangun, aku memilih tetap bergelung dalam
sleeping bag. Berharap bisa memejamkan
mata lagi, tapi sayangnya tidak bisa.
Yudith dan Sofi berisik sekali pagi itu. Yudith sibuk
mengulang ucapannya mengajak summit. Sofi heboh karena melihat tenda yang
roboh. Erni sudah bangun dan suaranya sudah di luar tenda bersama Kak Tiwi. Kak
Lina juga sudah bangun dan posisinya sudah duduk.
Karena suara-suara itu, aku bangun dan langsung keluar
tenda. Aku menelantarkan sleeping bag
yang belum dirapihkan. Di luar tenda, Kak Tiwi sudah duduk manis di dapur.
Membuka makanan yang semalam dimasak dan menyendok puding yang sudah padat.
“Fatin, makan dulu. Semalam kan belum makan,” seru Kak Tiwi.
Aku hanya berdiri. Sambil mendengarkan banyak suara di
sekitarku. Kulihat Yudith baru saja dari tenda pria, membangunkan mereka untuk
turut summit. Semangat banget Yudith.
Seruku dalam hati.
“Fa, makan dulu gih. Kamu kan belum makan malam. Bareng Kak
Lina tuh,” Erni menyuruhku makan. Di depanku ada Kak Lina yang sudah menyantap
ayam lada hitam dan tempe goreng.
Aku mencicipi sedikit ayam lada hitam yang aku pikir bisa
sedikit menghangatkan tubuhku. Tapi saat bumbunya mengenai lidahku, rasa manis
justru mendominasi dan membuatku ingin muntah. Ternyata jadinya ayam semur,
bukan ayam lada hitam.
Tanpa komentar apapun, aku mencicipi tempe goreng tipis yang
sedang disantap Kak Lina. Beberapa potong kumakan, kemudian meminum sesachet
madu sebagai pengganti glukosa darah yang sudah berkurang, pastinya tanpa lupa
menutup hidung dan meminum banyak air supaya rasa manisnya lekas hilang.
Saat sedang makan, para pria datang. Dhika langsung
memerintahkan untuk bergerak cepat. Menyiapkan daypack dan bekal untuk perjalanan summit, termasuk perlengkapan
seperti jaket dan senter atau headlamp.
Entah pukul berapa, kami sudah siap mendaki ke Puncak
Pangrango dan menjumpai Mandalawangi tanpa Bang Edi dan Kak Tiwi. Keduanya
memutuskan untuk tidak ikut summit dan memilih menetap di tenda. Paling depan
ada Dhika, disusul Sofi, Erni, aku, dan entah bagaimana formasi di belakang.
Aku meminta Erni tetap di depanku karena dia membawa headlamp, sedangkan sebuah kecerobohan aku membawa headlamp yang sudah habis baterainya.
Ketika masih di Kandang Badak, seorang pendaki menghampiri
kami yang berjalan berbaris. Pendaki lelaki ini hendak ke puncak juga dan
sedang mencari teman untuk summit bersama. Alhasil
Baru beberapa meter kami berjalan, tetiba Bang Awal
mengintrupsi. “Duluan aja. Awa’ shalat subuh dulu,” kata Bang Awal dengan
kekhasan bahasanya.
Semua teman diam. Aku pribadi mengerutkan kening. Bukan
karena Bang Awal meminta kami duluan, melainkan melihat kondisi lokasi saat itu
hanya jalan setapak dan tidak ada tanah datar untuk shalat sebagaimana
mestinya.
“Shalat di sini? Sekalian semuanya aja. Lama kalau nanti
tunggu-tungguan lagi,” kata Dhika.
“Yaudah shalat di sini aja,” Yudith menimpali.
“Yakin di sini?” aku bergumam sendirian. Lalu berjalan agak
ke depan sementara yang lain masih mematung di tempatnya.
“Shalat duduk aja. Tayamum,” Dhika memberikan jalan keluar.
Aku melangkah semakin ke depan. Mencoba meraba tepian jalan,
mencari bagian tanah yang bisa digunakan tayamum. Tapi yang kutemukan hanya lumut-lumut.
Maka aku melangkah sekali lagi agak ke depan dan meraba tanah dari bawah hingga
ke atas, ke gundukan yang nyaris setinggi pinggang. Akhirnya kutemukan tanah
yang debu-debunya bisa kugunakan untuk bertayamum. Aku duduk sendirian ke
depan, agak jauh dari teman lainnya yang rata-rata sudah mulai shalat sambil
duduk.
Perjalanan dilanjutkan. Dhika tetap berada paling depan,
lagi-lagi disusul Sofi, kemudian Kak Lina dan aku. Di belakang, entah aku tak
tahu seperti apa formasinya.
Saat sedang berjalan, tetiba aku teringat Yolla. Lalu
bertanya sembarang pada siapa saja yang mendengarkan. “Yolla gimana di
belakang? Yolla? Bisa?”
Di belakang, Yolla menyahut. Mengiyakan.
Kami terus berjalan mendaki. Kata Dhika, yang penting kalau
jalurnya terus naik ya ikuti saja. Tembusnya pasti puncak. Kami pun terus berjalan
mendaki. Naik saja sampai semburat mentari mulai terlihat dan pencahayaan dari
senter tidak kami perlukan lagi. Saat itu Dhika tidak lagi di depan dan memilih
berjalan di belakang untuk menemani Yolla dan yang lainnya yang tertinggal.
“Kak Lina depan deh,” kataku sambil berhenti dan
mempersilakannya jalan. Mataku masih mengantuk. Aku ingin berhenti dan tidur
sebentar saja.
“Lisfah aja,” jawabnya singkat.
“Yudhit, Sofi?” kataku lagi.
“Duluan aja,” Sofi malah balik menyuruhku.
Baiklah. Sering sekali seperti ini, aku berjalan bersama
orang-orang yang ingin mendahului tetapi tidak pernah mau berjalan paling
depan. Fiuh! How Pathetic!
Okay, aku berjalan duluan. Yang penting naik. Seruku dalam
hati mengingat ucapan Dhika. Aku tidak tahu kapan kami akan tiba di puncak.
Yang aku tahu jika jalanan masih berupa jalanan setapak seperti ini, puncak
masih jauh. Seingatku, jika sudah melewati batang pohon melintang dan
bersilang, maka kami sudah dekat dengan puncak.
Kami berjalan dan terus berjalan. Menapaki tanah berundak
menuju puncak. Sesekali kami beristirahat sambil menunggu beberapa teman yang
tertinggal jauh di belakang. Jika saat istirahat yang lainnya memilih untuk
berfoto, aku sendiri memilih untuk tidur. Bukan karena mengantuk akibat kurang
tidur beberapa hari sebelum mendaki, tapi karena memang tidur adalah hal
ternyaman untuk membunuh lelah dan kebosanan.
Jalan yang kami lalui mulai berupa tanah merah dengan dua
pohon melindang dan bersilangan. Ini pertanda puncak tak jauh di depan kami.
Untuk melewati dua pohon yang melintang di undakan, kami harus mengangkat kaki
tinggi-tinggi. Di sini biasanya para pendaki menumpuk. Bukan hanya karena
kesulitan melewati dua pohon yang melintang ini, melainkan di sini juga banyak
pendaki yang berhenti untuk beristirahat.
Ketika hendak melewati banyak pendaki ini muncullah beberapa
celetukan dari mereka.
“Wah subhanallah, Mbaknya sampe puncak!”
“Mbak zikirnya pasti kuat banget nih bisa sampe puncak
gini!”
Dan beberapa celetukan serupa yang sering aku dengar setiap
kali aku mendaki. Dan setiap celetukan sejenis ini muncul, ingatanku melesat ke
lima tahun lalu. Sebuah ingatan yang membuatku pernah menjauh dari aktivitas
outdoor seperti ini dan membuatku terus mencari tempat dan orang yang mau
menerima aku apa adanya. Tempat dan orang yang menerimaku sebagai perempuan
yang dengan penampilan tertutup tetapi menyukai aktivitas outdoor dan beberapa
hal ekstrem lainnya. Mungkin dengan jilbab menjuntai lebih panjang dari yang
lain, perempuan berpenampilan sama sepertiku dianggap lebih alim dibandingkan
yang lainnya. Padahal panjang pendeknya jilbab bukan penentu siapa lebih saleh
dibandingkan siapa.
Dulu saat masih di bangku SMA, di tahun kedua ketika aku masih
aktif ekstrakulikuler Tigmapala (Tiga Lima Pecinta Alam). Saat itu aku
menemukan dunia baru, aktivitas keislaman yang membuatku merasa lebih baik dan
lebih nyaman dari sebelumnya. Sambil menggeluti aktivitas keislaman ini, aku
tetap menjalankan aktivitas di Tigmapala.
Aktivitas keislaman ini aku jalankan setiap sabtu pagi
hingga siang. Sedangkan kegiatan rutin Tigmapala berjalan setiap Jumat dan
Sabtu siang hingga sore. Sejak mengikuti aktivitas keislaman ini, aku hampir
selalu terlambat setiap latihan rutin Tigmapala. Karena hal ini senior-senior
di Tigmapala menegur dan memarahiku.
Yang paling melekat diingatanku adalah seorang senior
perempuan yang membentakku di tengah lapangan sambil berkata, “Lu tau kan
jadwal rutin latihan gak boleh diganggu, apalagi sama kegiatan begitu! Gue gak
suka lu ikut begituan!”
“Tapi kan gue tetap ikut latihan, Kak,” jawabku pada senior.
“Tetep aja ngeganggu! Pokoknya gue gak suka ada yang ikut
begituan dan ganggu jadwal latihan!” Teriak seniorku sambil berlalu.
Sejak saat itu aku berpikir, apakah orang yang aktif di
aktivitas keislaman tidak bisa aktivitas outdoor ataupun sebaliknya? Tidak
bisakah tetap menjadi orang yang belajar agama dan belajar mendekat dengan
Tuhan tetap menekuni aktivitas outdoor?
Sejak itu aku merasa setiap mata para senior, junior, dan
teman-teman seangkatan menatapku dengan underestimate
dan menganggapku aneh. Entah apa hal ada di pikiran mereka hingga mereka
menganggapku harus memilih dua aktivitas yang aku sukai. Padahal, menurutku dua
aktivitas yang saat itu aku tekuni bisa saling mengisi.
Sepekan setelah kejadian saling membentak di tengah
lapangan. Aku memutuskan keluar dari Tigmapala dengan alasan betapa
mengekangnya mereka atas segala hal yang berurusan di luar aktivitasku di
ekskul ini. Maka pada suatu pagi, aku menghampiri ketua Tigmapala. Aku
menyerahkan dua atribut keanggotaan; PDL (Pakaian Dinas Lapangan) dan slayer,
tanpa sepatah kata pun. Aku berpikir mereka akan memahami apa maksudku
menyerahkan dua atribut tersebut ke tangan orang lain, sedangkan dua atribut
itu adalah atribut yang sangat berharga dan tidak boleh berpindah tangan. Ya.
Im out!
Selepas menyerahkan PDL dan slayer, aku berpikir ulang.
Entahlah. Lagi-lagi entah. Setiap orang punya alasan kuat atas setiap
pilihannya. Mungkin seniorku dan orang-orang seperti mereka punya alasan yang
kuat saat melarangku orang yang mengikuti aktivitas keislaman sambil mengikuti
aktivitas outdoor. Pun itu aku memiliki alasan yang kuat untuk memutuskan keluar
dari Tigmapala dan vacuum dari aktivitas outdoor ini selama dua tahun. Aku
hanya ingin mencari tempat yang bisa menerimaku apa adanya; dengan
kepribadianku yang seperti ini, pilihanku untuk berpakaian seperti ini, pun itu
dengan cara bergaulku yang seperti ini.
Aaaaaaaarrrrrrrggggghhhh! Jadi melantur! Hahahaha.
Ya intinya aku sedang mencari tempat dan orang-orang yang
mau menerimaku apa adanya seperti ini saja. Nah loh, curhat lagi! Curhatin
aktivitas apa curhatin perasaan ya ini! :D
Back to catper!
Tiga menit menuju puncak.
Kami tinggal berjalan melewati jalur sempit di antara
pohon-pohon hingga puncak. Lalu berjalan lagi tiga menit menuju Lembah
Mandalawangi. Saat itu tetiba Dhika muncul tanpa Erni, Yolla, dan Bang Awal.
Kak Lina, Sofi, dan Yudith seperti sudah tidak sabar menuju Puncak Pangrango,
melihat batu tugu yang banyak pendaki berfoto sambil duduk di atasnya. Berpose
super mainstream layaknya Soe Hoek Gie.
Kak Lina, Sofi, dan Yudith mengikuti Dhika yang berjalan
lanjut sambil berucap, “Udah mau sampe nih kita. Jalan aja terus. Gila! Lima
jam dari Kandang Badak ke Puncak!”
Aku sendiri memutuskan untuk diam sebelum menuju puncak.
Niatnya aku ingin menunggu Yolla, Erni, Bang Awal. Kurang lebih lima menit aku
sendirian, tibalah Erni sambil terengah-engah.
“Yolla sama Bang Awal di mana?” tanyaku.
“Di belakang,” jawab Erni sambil berlalu.
Saat itu aku hanya celingak-celinguk sendirian. Padahal aku
di sini menunggu mereka, supaya bisa ke puncak berbarengan meskipun sejak tadi
kami terpisah jauh. Karena bingung melihat yang lainnya ngeloyor begitu saja, akhirnya aku berjalan sendirian menuju
puncak. Hahahaha.
“Yolla mana?” tanya Dhika saat berpapasan di jalan setapak
menuju puncak.
“Belakang. Gak jauh kayaknya,” kataku juga sambil berlalu.
Bersikap cuek seperti biasanya.
Setibanya di Puncak. Hal pertama yang kulakukan adalah
melepas jaket super berat yang aku ikatkan di pinggang. Seriously, berat jaket ini mungkin seimbang dengan ransel yang
membawa logistik kami selama summit
ini. Aku melihat Kak Lina, Erni, Sofi, dan Yudith sudah berpose, jepret sana
jepret sini.
Aku mengeluarkan smartphone-ku
dan menjepret sembarangan moment orang-orang yang tidak kukenal. Kemudian aku
mengabadian moment ini dengan membuat video seperti biasanya untuk dikirim ke
dua sahabatku di Lampung dan Mekkah.
Dari kejauhan aku melihat Yolla, Bang Awal, dan Dhika keluar
dari rerimbunan pohon yang daunnya kecoklatan, mereka sudah memasuki puncak.
Saat itu Dhika langsung memerintahkan
kami menuju Lembah Mandalawangi.
Saat aku masih mengambil video ini, beberapa di antara kami
sudah melangkah terlebih dulu ke Lembah Mandalawangi yang hanya berjarak
beberapa meter dari puncak.
Lemah Kasih Mandalawangi
Kami tiba di Lembah Mandalawangi. Dominan di antara kami melakukan rutinitas mengabadikan kesempatan kali ini. Dan seperti biasa, aku memilih melakukan hal lain
sendirian. Memotret beberapa moment sembarangan dan membuat video dengan
smartphone yang kubawa.
Dreeet! Smartphone-ku
bergetar, cahayanya meredup, dan layarnya hitam. Mati sejenak. Baterainya
habis.
Saat yang lain masih asik mengambil foto dari berbagai
angle, aku memutuskan memisahkan diri. Duduk di bawah pohon Edelweise,
menikmati langit biru dan arakan awan putih yang berjalan mengikuti arah angin.
Memanjakan mata dengan hamparan hijau yang selalu membuat hatiku jauh lebih
tenang. Ah, Mandalawangi. Lembah Kasih yang tak pernah mati.
Entah apa yang aku rasakan sama atau tidak dengan semua
orang yang suka outdoor activities.
Meskipun sudah berulang kali mengunjungi tempat yang sama, tapi selalu ada
cerita yang berbeda dan kesan yang tak sama.
Kusadari bahwa aku adalah orang yang sangat sulit jatuh
cinta pada sesuatu. Tapi tidak pada satu hal yang ada di depan mataku kala itu.
Di sini, aku jatuh cinta berkali-kali pada langit biru yang membentang di atas
hamparan hijau dan edelweiss yang masih menguncup atau sudah bermekaran. Untuk
kesekian kalinya aku jatuh cinta pada lembah kasih Mandalawangi yang selalu memberi
arti tak terucap untuk setiap langkah yang sudah kutempuh untuk menujunya.
Lembah Kasih
Mandalawangi
Adalah upah bagi kaki-kaki yang melangkah semakin tinggi
Berteman akar-akar yang kuraih kala kaki melesat dari pijaknya atau kala tubuh tak cukup kuat berdiri sendiri
Bercengkrama bersama bebatang pohon yang berdiri kukuh tanpa angkuh, yang setiap simfoni ranting daun dan udaranya memberi semangat bagi napas terengah
Berteman akar-akar yang kuraih kala kaki melesat dari pijaknya atau kala tubuh tak cukup kuat berdiri sendiri
Bercengkrama bersama bebatang pohon yang berdiri kukuh tanpa angkuh, yang setiap simfoni ranting daun dan udaranya memberi semangat bagi napas terengah
Di sini, di lembah sunyi ini, aku dan yang lainnya berdiam
diri
Sejenak
Menatap hijau yang membentang sejauh mata memandang. Beratapkan biru langit dan awan-awan putih melayang
Sejenak
Menatap hijau yang membentang sejauh mata memandang. Beratapkan biru langit dan awan-awan putih melayang
Pada Lembah Kasih Mandalawangi, taman sepi yang menyusupkan
ketenangan hati dan membuatku jatuh cinta padanya tak cukup satu kali
Terima kasih
Atas perjumpaan ini lagi setelah beberapa tahun tak kujumpai indahmu
Terima kasih
Atas perjumpaan ini lagi setelah beberapa tahun tak kujumpai indahmu
Bersambung...,