- Back to Home »
- Ngarai Hati Mandalawangi , Travel and Adventure »
- Ngarai Hati Mandalawangi (3)
Posted by : Lisfatul Fatinah
27 July 2014
Seputaran bumi menggilir matahari dan bulannya tak pernah
cukup untuk mengurus dunia. Selalu ada yang tak cukup untuk hal-hal yang fana. Meski
lelah, meski resah menjuntai di pundak bersama juta cerita. Serupa aku yang
selalu kekurangan waktu untuk terjaga, untuk terus berbuat apa saja. Meski lelah,
meski resah, selalu ada tentram yang merentas jadi ikhlas dan tawa.
Lelah yang Memula
Juni tanggal 6,
Jumat malam ini aku dan sembilan orang lainnya akan melakukan perjalanan untuk
mendaki Pangrango, gunung yang aku sebut gunung sejuta umat karena banyaknya
orang yang mendaki gunung ini, mulai dari pendaki pemula hingga yang sudah
expert. Menurut itinerary yang ada
kami akan berkumpul di Terminal Kampung Rambutan pukul 21.30 waktu orang Indonesia.
Sebelum melakukan
perjalanan, sejak pagi aku tetap berkutat dengan aktivitas seperti biasanya.
Setelah selama empat hari berturut-turut jatah tidur tersita karena harus
menyelesaikan proposal penelitian sebelum tanggal enam, pagi buta di hari Jumat
itu aku sudah berangkat ke sekolah untuk mengajar sampai pukul 11.00.
Dilanjutkan dengan bimbingan proposal penelitian ke dosen pengampu Pendalaman
Pendidikan Anak dengan Autisme.
Menurut schedule yang aku buat, setidaknya aku
bisa selesai bimbingan pukul 14.00. Tapi apa daya, dosenku pun orang Indonesia
yang terkenal ngaret. Alhasil bimbingan selesai pukul 15.00. Setelah dari
kampus aku tidak langsung pulang. Aku masih harus ke Lapak Kopaja yang
lokasinya –alhamdulillah bersebelahan dengan kampus, untuk mendata anak-anak
yang akan diikutsertakan ke acara sunatan masal dan memotret-motret Lapak untuk
dimasukkan ke laporan donatur.
Oke, pukul 15.30
aku sudah meluncur dari Lapak Kopaja. Tapi aku masih belum bisa pulang. Aku
harus ke kosan teman untuk mengambil matras. Kenapa mengambil, bukan meminjam?
Yup karena aku benar-benar mengambil, bukan karena matras itu punyaku melainkan
karena teman yang ingin meminjamkan matras ternyata tidak ada di kosan dan aku
harus masuk ke kosannya yang dibiarkan terbuka lebar tanpa kunci.
Perjalanan menuju kosan teman untuk mengambil matras
ternyata benar-benar membuatku belajar. Belajar sabar :D
Gang menuju kosan
temanku sebenarnya ada di seberang kampus, tapi aku butuh waktu lebih dari
setengah jam untuk menemukan pintu kosannya. Itu pun sudah dengan usaha
mengirim foto-foto jalanan yang aku lewati ke WhatsApp penghuni kosan, karena
aku khawatir salah jalan. Tiba di kosannya, aku serasa masuk ke kosan sendiri.
pintu kosan tidak dikunci. Masuk kekosannnya aku selonjoran kaki, melepas lelah
dan dahaga. Kemudian membawa matras yang ada di salah satu sisi kamar.
Pukul 16.30.
Proposal penelitian sudah diserahkan, anak-anak peserta sunatan masal sudah
didata, foto Lapak sudah tersimpan di hape, dan matras sudah di tangan. Tapi
aku tetap belum bisa pulang. Dari kampus yang berlokasi di Rawamangun, aku
masih harus ke Komplek Brimob, Petamburan, untuk menyewa tenda. Alhamdulillah,
beruntung jalanan sore itu tidak terlalu macet, pukul 17.30 aku sudah turun
dari angkot dan siap berjalan menuju lokasi peminjaman tenda yang pada detik
itu sebenarnya aku belum tahu lokasi pastinya.
Sore itu aku
menuju lokasi rumah empunya penyewaan bermodalkan ingatan dan firasat karena
hape mati, padahal rute menuju lokasi ada di hape. Alhamdulillah (lagi),
beruntung aku bisa tiba di lokasi setelah melewati komplek brimob yang sedang
ramai oleh brimob-brimob berbadan kekar :D
Pukul 18.00 aku
sudah berdiri di pinggir jalan menunggu angkot yang akan membawaku pulang ke
rumah. Di dalam angkot aku mengeluarkan kertas berisi daftar bawaan. Aku baru
tersadar kalau aku belum membeli logistik. Alhasil, sebelum pulang aku harus mampir
ke minimarket untuk membeli sejumlah makanan dan minuman yang akan dibawa.
Turun dari angkot
di persimpangan Masjid An-Nur, Petamburan, aku menyeberang jalan ke arah Kota
Bambu, tiba-tiba sebuah motor menepi seperti hendak mencegatku.
“Mau ngapain,
Bu?” suara salah seorang di atas motor. Lalu dilanjutkan dengan tawa.
“Yey, kalian!
Udah sampe sini aje,”
Dua orang di atas
motor yang ternyata adalah sahabatku sudah siap dengan perlengkapan
pendakiannya. Dua tas besar dengan sekantung bawaan yang entah itu apa.
“Belom pulang?
Habis ngapain emangnya?”
“Nih habis
ngambil tenda. Kalian duluan aja ke rumah. Titip ini yak. Mau ke minimarket
dulu, beli logistik. Ada yang mau dititip gak?” kataku sambil menyodorkan
tenda.
Hampir pukul 18.30,
memasuki minimarket aku langsung mengambil beberapa logistic yang diperlukan
dan yang kubeli selalu itu lagi itu lagi; susu kedelai, susu full cream, jus
jambu merah, biskuit gandum, roti sobek, cokelat, dan sekotak madu yang
biasanya tidak pernah aku makan.
Sebelum keluar
dari minimarket, satu barang dalam daftar bawaan belum terceklis. Kantung
sampah. O God, mau cari di mana kantung sampah malam hari begini? Petugas kasir
minimarket sudah bilang kalau kantung sampah tidak ada. Yang ada di pikiranku
saat itu adalah pergi ke pasar dan langsung menuju satu toko plastik tempatku
biasa belanja.
Malam, belum
makan, mengantuk, dan harus berangkat ke Kampung Rambutan, sedangkan pukul 19.00
aku masih di luar dan belum packing.
Setengah jam aku pergi dari satu toko ke toko lain yang masih buka di pasar,
tapi tidak ada satu pun yang menjual kantung sampah.
Terakhir, sebelum
benar-benar putus asa mendapatkan kantung sampah, aku memutuskan mampir ke
minimarket berbeda. Sebuah minimarket paling dekat dengan rumah. Minimarket ini
sengaja kudatangi paling akhir karena minimarket ini adalah minimarket yang
benar-benar mini dan aku pikir tidak terlalu lengkap. Saat masuk sedikit ada
perasaan tidak yakin akan mendapatkan kantong sampah di sini, tapi apa salahnya
bertanya lebih dululah ya! Aku masuk ke minimarket dan langsung menanyakan
kantung sampah.
“Ada, Mbak, di
bagian bawah sabun,” jawab pria petugas minimarket.
O God, syukur
alhamdulillah, akhirnya kantung sampah yang dicari ada di tangan juga. Akhirnya,
dengan sekantung logistik dan satu kantung plastik, aku pulang! :D
Packing Kilat!
Sampai di rumah, waktu
sudah menunjukkan pukul 19.50. Aku istirahat sebentar sambil mendata ulang
barang yang harus dibawa. Kemudian dengan tubuh masih berkeringat, tanpa
ba-bi-bu lagi aku langsung packing kilat
sambil dibantu salah satu dari sahabatku, memasukkan kompor, sleeping bag,
jaket, pisau, piring, gelas, 1 liter air minum di dalam dan 1 ½ liter lagi di
luar tas, senter, pakaian ganti, buku tulis kecil, pulpen, tali rapia, sarung
tangan, logistik, alat mandi, alat shalat, al-quran, matras, dan kotak kecil
berisi obat, benang, jarum, gunting lipat, dan beraneka ukuran peniti. Satu
lagi. Sehelai saputangan pemberian bapak yang aku ikatkan di leher.
Jam putih di
ruang tengah sudah menuju pukul 20.25. packing kilat sudah selesai. Sekarang
waktuya aku bersih-bersih badan, ganti pakaian, dan berangkat menuju Terminal
Kampung Rambutan.
Tunggu dulu! Ada
yang kurang! O God, aku baru sadar kalau sedari tadi hanya ada satu sahabatku
-,-
“Kemana dia?”
tanyaku saat menyadari kalau salah satu di antara kami tidak ada sedari tadi.
“Keluar belanja
logistik. Kayaknya sambil nyari gas.”
“Haduuh. Sampe
jam berapa dia nanti? Yaudah, gue mandi dulu deh,” jawabku sambil mondar-mandir
mengambil alat-alat mandi pribadi.
Di saat yang sama; suara-suara penambah kepanikan
Saat aku sedang sibuk
menyiapkan barang bawaan yang belum dipacking
dan napas yang sepenggal-penggal karena lelah, banyak suara-suara yang cukup
membuatku pusing dan bertambah panik. Emak, kakak, dan keponakanku beradu koor
menyerukan kalimat berbeda kepadaku.
Saat baru
melangkahkan kaki ke rumah dan menjinjing sekantung logistik, keponakanku
langsung berseru “Maaaaaaauuuu!”
Beruntung aku
membeli snack lebih yang sengaja disiapkan untuk orang rumah. Tapi sayangnya,
aku hanya membeli satu kotak jus buah. Alhasil, keponakan yang sudah mendapat
jatah sekotak susu dan sekotak kue cokelat yang berisi empat potong terus merayu
untuk diberikan jus buah. Duh!
Di saat yang
bersamaan, Emak dan kakak –sekaligus ibu dari keponakanku meluncurkan nasehat
dadakan, “Kalau beli jangan satu. Didobelin. Kayak keponakannye ngerti aje.
Kalo beli jangan yang beda-beda. Disamain aje, supaya yang laen gak
ngelirik-lirik.”
Jawabanku hanya,
“Iye. Iye….”
Tidak berhenti
sampai di situ, saat aku merapikan barang bawaan untuk dipacking, Emak dan
kakak kembali duet.
“Lis, kasih makan
dulu kek itu temennye.”
“Keluarin itu
nasi sama lauknya. Masakin apaan dulu kek. Kali aja mau lauk yang laen itu.”
“Kasihan itu anak
orang nungguin daritadi. Disuruh makan dulu, katanye nungguin Lis aja.”
“Bla bla bla ….”
Aaarrrggghhh.
Kepalaku rasanya ingin pecah mendengar banyak suara saat aku sedang diburu
waktu. Apalagi kakak yang tidak berhenti mengomentari. Karena malas berkomentar
apa-apa, maka jawabku hanya sepatah.
“Tangan gue cuma
dua, kalo mau bantuin.”
“Gue juga repot
nih. Kalo mau tukeran sini. Gue yang nyiapin makanan, elu yang nyetrika ini
baju,” jawab kakakku dengan santai.
Krik krik …
Tetiba hening dan
muncul keinginanku melempar carrier ke arah kakak.
Finally, We Leave Taking!
Pukul 21.00, setengah
jam sebelum waktu seharusnya kami berkumpul di Terminal Kampung Rambutan, tapi
aku masih di rumah dan baru selesai rapi-rapi.
“Makan dulu! Ini
aja masih ngeberesin tasnya,” kata Emak sambil berbincang dengan salah satu
sahabatku sekaligus mengabarkan bahwa salah satu sahabatku yang tadi menghilang
kini sudah datang.
“Gak keburu
kayaknya, Mak. Entar beli di jalan aje deh. Udah telat nih,” jawabku sambil
merapikan jilbab.
“Yee, gak usah
beli-beli. Makan di rumah aje. Sono keluari nasinye,” Emak memaksa dan aku
langsung mengeluarkan seperangkat alat makan lengkap dengan nasi dan lauknya.
Sepuluh menit waktu
sudah berjalan untuk makan dan merapikan alat makan ke dapur tanpa dicuci. Aku dan
dua sahabatku sudah siap dengan tas masing-masing. Waktunya pamit!
Eng ing eng,
tetiba Bapak turun dari atas. O God, aku lupa izin ke Bapak! Lupa juga sedari tadi
sampai rumah bukannya langsung bicara ke atas, ke kamar Bapak.
“Eeh, bertigaan
lagi. Pada mau ke mana ini?”
“Biasa. Kemping,
naek gunung, Pak,” jawabku sambil cengar-cengir.
“Gunung mana? Kok
mendadak?” tanya Bapak lagi.
“Deket kok. Cuma
daerah Cibodas,” jawabku masih sambil cengar-cengir dan melanjutkan dalam hati,
“Ini gak dadakan. Cuma lupa izin.”
“Kapan pulang?”
Bapak masih terus bertanya, sedangkan aku mulai terus memantau jam dinding yang
tetap berjalan. Giliran sahabat-sahabatku yang menjawab pertanyaan Bapak. Ah
sudahlah, toh mereka sudah dekat dengan keluargaku. Sudah dianggap anak oleh
Emak-Bapak.
Okay. Semua
pertanyaan sudah dijawab. Sudah pamitan meskipun dadakan. Dua sahabatku sudah
di teras rumah. Aku menghampiri keponakan, berpesan beberapa hal supaya dia
tidak bandel selama ditinggal pergi, mencium pipinya yang kanan dan kiri. Lalu
aku mencium tangan Emak dan Bapak,
melangkahkan kaki yang sudah bersepatu ke teras rumah. Kemudian…,
“Jaga mulut, jaga
pikiran. Jaga jarak sama cowok selama di gunung,” pesan Bapak tanpa diduga. Aku
menyeringai dan berbisik pada Bapak, “Iya.”
Nyaris pukul 21.30
kami berjalan kaki ke Harland KS. Tubun, menaiki angkot menuju Bunderan Slipi,
lalu naik bus menuju Kampung Rambutan. Wis,
salam. Bismillahi tawakkaltu! Semoga selamat sampai tujuan dan pulang! Semoga
perjalanan ini menyenangkan!
Bersambung…,