- Back to Home »
- Ngarai Hati Mandalawangi , Travel and Adventure »
- Ngarai Hati Mandalawangi (4)
Posted by : Lisfatul Fatinah
30 July 2014
Kala kata berubah
jadi rupa. Kadang semua berbeda dari duga. Yang suka kadang jadi duka. Yang tak
suka kadang jadi kembang muka. Beda. Selalu berbeda antara kata dan jumpa,
meski sejatinya kata-kata jadi cerminan jiwa. Pada akhirnya, semua rasa
berkerumun. Mewarnai setiap jejak dan helaan napas di antara orang-orang asing yang
menelusuri rerimbun.
Pukul 23.00 aku dan dua sahabatku tiba di terminal
Kampung Rambutan. Entah apa dan bagaimana respon teman-teman yang menunggu
kami. Sejak kami bertiga melangkahkan kaki keluar rumah, signal handphone kami
sengaja matikan. Maka sangat mungkin semua teman pendakian yang sudah tiba di
lokasi sedari tadi akan panik bahkan dongkol kepada kami.
“Ini dia yang
ditungguin dateng!”
“Hapenya pada
mati ye? Diteleponin gak ada yang aktif.”
Kurang lebih
begitulah satu dua respon yang keluar saat aku dan dua sahabatku baru tiba di
titik berkumpul, di depan Asrama TNI Kampung Rambutan. Tujuh orang asing di
depanku melontarkan senyum satu satu dan kubalas mereka satu satu dengan dua
gingsul yang menyeringai. Satu satu dari teman yang sudah datang menghampiriku
untuk bersalaman, kecuali satu orang wanita. Dia hanya duduk diam. Saat melihat
kami datang, dia malah berpindah tempat duduk ke belakang Dhika. Sudahlah,
terserah dia. Tapi saat itu aku menghampiri dan menjulurkan tangan sambil
menyebutkan nama.
Hi, These are Us!
Kak Tiwi. Perempuan yang sepengetahuanku adalah
mencetuskan ide perjalanan kali ini. Dari salah sahabatku yang lebih dulu
mengenalnya, Kata salah satu sahabatku yang sudah mengenalnya lebih dulu, Kak Tiwi konon adalah wanita super yang mempunyai pekerjaan yang
seharusnya dilakukan oleh pria.
Dhika. Pria yang namanya sudah muncul di bagian
pertama cerita dan memiliki julukan Bapak Rempong. Sejak awal persiapan hingga
akhir perjalanan ini, Dhika yang pendiam mendadak bawel kepada kami. Meskipun
begitu, semua kebawelannya adalah benar dan untuk kebaikan semua anggota tim
perjalanan.
Yudith. Perempuan berkacamata yang juga satu
komunitas dengan salah satu sahabatku ini bisa dikatakan mudah dekat dengan
orang yang baru dikenalnya. Meksipun katanya ini adalah kali pertamanya naik
gunung, tapi saat naik dia cukup cepat bahkan cenderung sering mendahulu yang
lain.
Yola. Perempuan paling muda di tim kami yang juga
satu komunitas dengan Kak Tiwi dan Yudith. Perjalanan Yola dari Cilegon –
Jakarta – Cibodas – Kandang Badak – Mandalawangi banyak membuatku belajar
sabar. Yolla adalah anggota tim yang termuda, sekarang sedang kuliah sambil menggeluti online shop pakaian muslimah dan hijab.
Shofi. Perempuan yang sepengetahuanku adalah teman
Kak Tiwi ini tidak banyak bicara selama naik. Tidak sering muncul juga di grup. Tapi kalau sudah bicara, sepertinya akan jadi yang paling ramai di antara yang lainnya.
Bang Edi. Pria yang satu tempat kerja dengan Kak Tiwi
dan Dhika ini memang tidak terlalu banyak bicara. Tapi selama perjalanan, Bang
Edi adalah orang yang paling santai dan terhitung enjoy dengan perjalanan ini. Satu lagi, Bang Edi penggila gorengan. Ini salah satu alasan yang diakuinya saat ditanya mengapa bibirnya hitam sedangkan dia bukan perokok.
Bang Awal. Pria yang bergabung paling akhir di
perjalanan ini. Mengingat Bang Awal, aku jadi teringat percakapan di perjalanan
menuju Kampung Rambutan dengan salah satu sahabatku.n “Lis, kata Kaktiw, Kak
Awal itu ikhwan,” kata sahabatku. Aku spontan merespon, “Emang kenapa?” Dia
menjawab, “Nanti gak bisa ngomong gue-elu, gak bisa teriak-teriak pas naek,”
Aku dan sahabatku yang lainnya tertawa, “Yaelah. Just be yourself! Hahaha.”
The last one, dua
sahabatku. Erni
dan Kak Lina yang namanya sudah cukup sering muncul di catatan
perjalananku. Mereka dua orang paling aneh yang kukenal sejak 2010 di dunia
literasi. Bersama mereka aku melalang buana dan merasakan suka duka berbagai
perjalanan.
Dan ini adalah
aku. Lisfatul
Fatinah Munir. Emak dan Bapak memanggilku Lis, guru-guru memanggilku
Lisfah, beberapa orang memanggilku Fatinah atau Fatin, dan banyak orang di
sosial media memanggilku Mas Fatul. Dan di perjalanan ini aku dipanggil Fatin. Aku
adalah orang aneh di antara mereka yang dalam perjalanan ini dikenal tukang
tidur juga paling banyak makan, dan memang begitu aku apa adanya.
Sebelum menaiki
bus yang akan mengantarkan kami ke Pertigaan Cibodas, aku berkenalan dengan
mereka. Saling melontarkan komentar pertama atas perjumpaan pertama kami di
tengah temaram cahaya lampu jalanan.
Sebermula Rasa dan Langkah
Entah sudah pukul
berapa, yang kutahu malam sudah bertambah malam dan Kampung Rambutan semakin
ramai dengan orang-orang berperlengkapan hiking.
Dhika meminta tolong pada Bang Edi untuk mencari bus Jakarta-Cianjur yang akan
kami tumpangi. Tidak lebih dari lima menit Bang Edi mengajak kami menghampiri
sebuah bus yang sudah didapatinya.
Bang Edi
menggiring kami pada sebuah bus berukuran sedang berwarna cokelat muda yang
semakin menampakkan kelusuhan bus tersebut. Dari luar bus, aku melihat
bangku-bangku di dalamnya nyaris terisi penuh, pun itu dengan bagasi yang masih
dibuka.
“Berapaan?” tanya
Dhika pada Bang Edi sambil memerhatikan bus yang ada di hadapan kami.
“Duapuluh lima
ribu,” jawab Bang Edi.
“Ini tasnya
ditaruh mana? Memangnya muat?” tanya Dhika pada kondektur bus.
“Muat, Mas. Udah
ayo naik!” jawab kondektur bus berkaus putih dengan topi cokelat tua yang sudah
usang.
Saat itu Bang Edi
sudah berdiri di anak tangga bus dan mulai mencari bangku yang bisa kami
duduki. Aku dan yang lainnya hanya berdiri. Membuntuti dan menunggu keputusan
para pria yang memimpin perjalanan ini.
“Nggak. Nggak.
Turun, Ed. Cari yang lain aja!” perintah Dhika dengan nada suara cukup kesal.
Saat itu, belum juga
bermula perjalanan ini bersama roda-roda yang berputar dan mengantarkan kami ke
Pertigaan Cibodas, aku sudah merasakan ketidaknyamanan. Ada kemungkinan salah
satu penyebab ketidaknyamanan ini bermula dari keterlambatan aku dan dua
sahabatku datang ke Kampung Rambutan. Entah. Tapi firasatku cukup kuat bahwa energi
untuk menahan kesal akan sangat dibutuhkan dalam perjalanan kali ini.
“Cari yang laen.
Di belakang masih banyak kok,” ujar Dhika sekali lagi, memecah pikiranku yang
mulai liar membayangkan perjalanan kami hingga dua hari ke depan.
Selang beberapa
menit dari penemuan bus pertama, akhirnya kami menemukan bus Jakarta-Cianjur berukuran
besar dengan tarif lebih murah dari sebelumnya, duapuluh dua ribu rupiah. Kami
memasukkan tas-tas yang kami bawa ke dalam bagasi, lalu memasuki bus yang masih
tersedia banyak bangku kosong.
Kak Tiwi dan
Yudhit sudah mengambil posisi di sisi kiri bus, duduk berdampingan pada
sepasang bangku kelima dari depan. Yola dan Shofi duduk tepat di belakang Kak
Tiwi dan Yudith. Bang Edi dan Bang Awal memilih sisi kanan bus, duduk berdua
pada bangku berkapasitas tiga orang. Sedangkan Dhika yang kupikir akan duduk
bersama Bang Edi dan Bang Awal, justru memilih duduk pada bangku tepat di
belakang Yola, bersandar pada kaca mobil, sendirian.
Aku mengambil
posisi di sisi kiri bus, duduk tepat di depan Yudith. Kak Lina siap mengambil
posisi duduk di bangku sebelahku di saat Erni bingung ingin duduk di mana. Erni
akhirnya memutuskan duduk di sisi kanan bus, duduk merapat dengan kaca jendela
bus baris kelima. Aku dan Kak Lina menghampiri Erni. Duduk bertiga dengan mata
masih terus berkeliling, memerhatikan isi bus.
“Pindah yuk!” kataku
tanpa sebab apapun.
Untuk ketiga
kalinya, aku, Erni, dan Kak Lina, akhirnya pindah tempat duduk ke baris keenam,
tepat di depan Bang Edi dan Bang Awal. Kami tertawa menyadari betapa tidak bisa
diamnya kami bertiga di dalam bus. Hingga beberapa di antara tim kami
menggelengkan kepala dan berseru, “Kalian kenapa sih pindah-pindah terus?” Dan
hanya tawa yang menjadi jawab kami.
Bus yang kami
tumpangi mulai melaju menuju Pasar Rebo. Satu satu penumpang baru naik dan
memenuhi bus yang membelah malam, menembus pekat, menuju dataran yang lebih
tinggi. Jauh di luar Ibu Kota.
Kala itu mataku
sudah hampir terpejam, suara-suara di dalam bus pun mulai redam. Sesekali
diramaikan oleh pengamen bergitar. Tetiba kantukku pecah oleh suara. Kusadari
dua orang pria berdiri tepat di samping bangkuku. Salah satu pria tersebut
hanya berjaket abu-abu dan berkupluk hitam, sedangkan yang lainnya berjaket
coklat dengan posisi berdiri nyaris menghadap pria pertama.
Keduanya sedang
berbincang dengan serunya. Pria berjaket coklat berkisah dengan suara keras
tentang pendakiannya ke berbagai gunung. Berbagai aral rintangan diceritakannya
dengan sangat antusias, sampai yang tidak mau mendengarkan ceritanya pun
dipaksa mendengar karena terlalu nyaring suaranya. Perbincangan keduanya
semakin seru karena pria pertama yang berkupluk hitam banyak bertanya tentang
pendakian.
Respon pertama
yang ada di kepalaku saat itu, yang mungkin juga ada di kepala orang yang ikut
dipaksa mendengarkan sepertiku adalah sombongnya orang ini. Benarkah ada
pendaki seperti ini? Bukankah seorang pendaki, seorang penikmati alam,
seharusnya lebih bisa mengontrol emosi terutama kesombongannya? Sebab sejatinya
dari alam kita tahu bahwa gunung yang menjulang tinggi jauh lebih layak
berombong diri daripada kita yang mendakinya. Sebab sejatinya dari alam kita
tahu bahwa kita adalah kerdil, bagai batu kecil yang bergeletak di jalan-jalan
pendakian.
Mungkin dia lupa. Ah sudahlah. Bukan urusanmu
juga, Tul! Bisik satu sudut
hatiku. Mengingatkan betapa aku juga dua pria yang sedang berbincang hebat di
depanku juga manusia yang hidup bersisian dengan salah dan lupa.
Malam semakin
larut. Aku memutuskan tidak mengacuhkan dua suara di sampingku dan memilih
memejamkan mata. Mengistirahatkan tubuh yang selama lima hari sebelum
perjalanan ini sudah terlalu diforsir kerjanya.
Dingin yang Menjaga
Hampir pukul 2.00
dini hari. Angin dingin perlahan masuk melalui kaca jendela bus yang terbuka, menyentuh
kulit pipiku. Aku terjaga, perlahan membuka mata, menyesuaikan pengelihatan dengan
cahaya-cahaya yang berpendar dari luar jendela. Aku menguap sambil menutup
hidung, menyesuaikan tekanan antara di luar dan di dalam tubuh.
“Sudah mau
sampai,” seruku perlahan lalu membangunkan Kak Lina yang bersandar di pundakku
dan Erni juga masih tertidur bersandar ke jendela.
Kurang lebih lima
menit setelah aku terbangun, kondektur bus berteriak memberitahukan kepada
seluruh penumpang bahwa kami tiba di Pertigaan Cibodas. Destinasi kami sudah di
depan mata dan kami menyiapkan diri dan bergegas turun.
Turun dari bus,
kami menepi ke salah satu sisi jalan. Di sini udara yang berhembus mulai
menggigilkan tubuh, menusuk kulit, menembus pori-pori kami yang terbiasa yang
teriknya matahari Jakarta. Beberapa teman mengeluarkan jaket, berusaha
menciptakan kehangatan untuk dirinya sendiri. Sedangkan aku memilih untuk tidak
menggunakan jaket, berusaha berkenalan dengan udara pagi ini. mengadaptasikan
tubuh dengan suhu yang pasti akan bertambah dingin di atas gunung nanti.
Sebelum
melanjutkan perjalanan dengan angkot kuning menuju Cibodas, kami menyibukkan
diri masing-masing dengan keperluan kami. Beberapa teman pergi ke ATM, yang
lainnya singgah ke minimarket terdekat untuk membeli beberapa hal yang belum
disiapkan, sedangkan aku memilih duduk di atas aspal dan memejamkan mata walau sejenak.
“Lisfah bangun!”
sebuah suara membangunkanku diiringi tangan yang menepuk pundakku.
“Udah mau
lanjut?” tanyaku sambil memicingkan mata, menahan kantuk yang masih
menggelayut.
Kami menyeberangi
jalan, masuk ke sisi jalan menanjak yang diisi dengan deretan angkot kuning dan
beberapa orang yang juga ingin mendaki. Lagi-lagi Dhika yang berperan
menentukan angkot mana yang akan kami tumpangi menuju kawasan taman nasional.
Butuh waktu
kurang lebih 10 menit menggunakan angkot bertarif enam ribu dari pertigaan
Cibodas hingga kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Turun dari
angkot, kami memasuki Warung Mang Idi, warung yang cukup terkenal di antara
banyak warung yang berderet menuju pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Selain karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan warung
lainnya, warung Mang Idi terkenal mungkin karena posisinya yang cukup
strategis. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pintu masuk TNGGP.
Dari luar suasana
warung tampak ramai. Tatkala yang lainnya langsung masuk ke dalam, aku memilih
untuk tetap duduk di luar, di atas salah satu bangku panjang sambil tetap
menggendong carrierku dan memangku carrier Erni.
“Pada istirahat
di dalem. Supaya besok gak capek,” kata Dhika.
Aku masuk ke
tempat istirahat. Melihat kondisi ruangan, mencari sisi renggang yang bisa
kugunakan untuk sekadar meluruskan kaki atau duduk bersandar. Penuh. Ruangan
itu sudah penuh. Kak Tiwi dan Shofi sudah menemukan tempat ternyamannya untuk
tidur, pun itu dengan Kak Lina dan Yudith. Aku meletakkan carrier milikku dan
Erni bersisian dengan carrier teman satu tim. Kemudian, aku kembali ke luar,
menghampiri Erni yang duduk di salah satu bangku.
Di luar beranda
warung, Dhika, Bang Edi, dan Bang Awal memilih duduk di meja panjang paling
kanan dan meletakkan carrier di dekat mereka. Aku dan Erni duduk berhadapan di
meja yang tak jauh dari mereka.
“Tadi ngantuk
banget. Sekarang malah gak mau tidur,” kataku tanpa ditanya.
“Sama. Di sini
aja ah. Mau pesan teh manis. Mau gak?” Erni menganggapi.
“Mau dong. Teh
manis hangat, tapi jangan terlalu manis,” jawabku.
“Okay,” Erni
menawarkan diri dan sudah berdiri, bersiap memesan ke dalam.
“Gue aja yang
pesen. Sekalian pesen makanan,” aku
masuk ke bagian warung, memesan dua gelas teh manis hangat dan semangkuk mie
kari ayam dengan telur. Disusul Dhika yang juga memesan segelas Milo.
Sejak kami tiba,
aku dan Erni nyaris tetap terjaga. Kami berbincang apa saja hingga kami
sama-sama tertidur di bangku kami masing-masing. Aku sendiri tidur dengan
posisi duduk. Erni di sebelahku membaringkan badannya di atas bangku. Entah
berapa kali sudah posisi tidurku berubah, meskipun dengan posisi tetap duduk.
Saat terjaga, aku melihat sekeliling, beberapa pendaki lelaki tidur duduk meja
belakangku. Jam dinding di dalam warung menunjukkan lewat dari pukul setengah
lima pagi. Aku merunduk lagi, menenggelamkan wajah di antara lengan dan
memejamkan mata.
Belum juga aku
memasuki lelap, tiba-tiba suara Kak Tiwi membangunkanku.
“Siap-siap shalat
yuk!” kata Kak Tiwi diiringi suara Kak Lina dan Yudith.
Aku mengangkat
wajah. Membangunkan Erni yang masih tertidur di sampingku. Kak Tiwi, Kak Lina,
dan Yudith sudah siap untuk shalat.
Ada yang lupa aku
ceritakan. Pendakian kali ini mulanya khusus untuk teman-teman SPJ (Solidaritas
Peduli Jilbab) yang dilakukan bersama bakti sosial pemberian perlengkapan
shalat ke mushalah di kawasan TNGGP ini. Oleh karena itu, selain membawa
perlengkapan pendakian, Kak Tiwi –yang mengurus bakti sosial ini juga membawa
sekatung besar barang untuk disumbangkan.
Kak Tiwi, Kak
Lina, dan Yudith sudah jalan menuju salah satu mushalah yang baru dibangun di
pertigaan menuju kawasan Taman Wisata Cibodas. Bang Edi dan Bang Awal yang tadi
masih tidur juga sudah tidak ada, mungkin sudah ke mushalah warung. Aku dan
Erni masih bermalas-malasan, pindah ke meja tempat Bang Edi dan Bang Awal. Di
sisi lain meja, Dhika mulai terjaga, berganti posisi, lalu kembali tidur.
“Sebentar ya.
Kumpulin nyawa dulu,” kataku pada Erni yang juga masih terlihat mengantuk.
Beberapa menit
kami sedikit berbincang sambil mengusir malas. Kemudian kami masuk ke dalam
ruang istirahat untuk mengambil alat shalat.
Aku dan Erni
tidak langsung menuju masjid, kami duduk di dekat di salah satu bangku panjang,
menunggu Shofi yang juga baru bersiap-siap shalat. Sayangnya, saat sudah
ditunggu, Shofi malah shalat di mushalah warung. Alhasil, aku dan Erni pergi
berdua menyusul yang lainnya ke mushalah tempat bakti sosial.
Sesampainya di
mushalah, yang lain sudah selesai shalat, termasuk Erni. Aku, yang paling lama
kalau sudah masuk kamar mandi, shalat paling terakhir. Saat yang lain sudah
hendak kembali ke warung, aku sendirian memutuskan untuk bersantai di mushalah
dan kembali menjadi yang paling akhir kembali ke warung.
Di Warung Mang
Idi, beberapa teman sudah menyamtap sarapannya, beberapa yang lainnya sedang
memesan, dan aku memilih menikmati pemandangan pagi, memanjakan mata pada rekah
jingga di balik satu dua pohon yang ada di seberang warung. Saat yang lainnya
sudah memenuhi meja, aku baru memesan makan untuk kedua kalinya. Sepiring nasi
yang baru matang, balado hati ayam, tempe orek, dan sebotol air mineral menjadi
teman di meja makan pagi ini.
“Gak enak
nasinya,” kata Shofi yang membuka keluhan. Lalu disusul beberapa teman yang
mengomentari lauknya.
Bersyukur sekali
nasi yang kumakan baru matang, masih mengebul, dan enak. Tapi yang cukup menggangguku
setiap kali makan di tempat-tempat dingin atau di warung-warung dekat jalur
masuk pendakian adalah makanan yang tersedia dominan manis dan mengandung
banyak vetsin.
Aku yang tidak
suka manis dan alergi vetsin biasanya bisa kehilangan nafsu makan kalau di
warung seperti ini. Tapi karena tubuh sedang payah dan aku butuh tenaga, maka
mau tidak mau aku harus makan apapun yang ada di warung pagi ini.
“Nasi Fatin enak
banget tuh kayaknya,” Shofi mengomentari hidangan yang ada di hadapanku.
Mendengar
komentar Shofi, nyaris seluruh teman sependakian menengok ke arah piringku.
“Rezeki anak
soleh,” timpal Kak Tiwi dan Dhika hampir berbarengan, disusul tawa teman-teman
lainnya.
Selepas menyantap
sarapan, kami tidak langsung mendaki. Kami sibuk dengan keperluan
masing-masing. Ada yang ke toilet, Erni dan Kak Lina sibuk mencari gas, dan yang
lainnya merapikan tas atau carrier. Aku sendiri? Carrier yang akan kubawa sudah
kusiapkan, saran Dhika untuk repacking
pun sudah aku lakukan saat baru saja tiba, tapi pagi itu aku sibuk bolak-balik
ke mushalah untuk mencari saputanganku.
Dua kali aku
bolak-balik mushalah-warung, memeriksa tempat shalat untuk perempuan dan juga
kamar mandi yang sebelumnya aku gunakan untuk membersihkan badan dan berwudhu.
Tapi saputangan yang kucari tak kunjung tampak barang sehelai benangnya pun.
Jika saja saputangan hijau lumut yang sudah kusam itu bukan saputangan
pemberian bapak, aku tidak akan mencarinya sampai harus bolak-balik ke mushalah
dan menunggu seseorang yang sedang mandi keluar dari toilet.
Sudah
berkali-kali aku menghilangkan saputangan pemberian bapak. Kali ini aku ingin
saputangan itu tetap di tanganku. Atau paling tidak, usianya lebih lama
daripada saputangan-saputangan lainnya yang pernah aku punya.
“Nyariin apa
sih?” tanya Kak Lina kepadaku.
“Saputangan yang
semalam dipakai. Yang warnanya butek, udah jelek,” jawabku sambil
mendeskripsikan saputangan dengan apa adanya. Lusuh dan sudah jelek.
“Tadi lu pakai
kan,” Kak Lina menanggapi.
“Iya, tapi lupa.
Bantu cariin dong. Gak mau saputangan itu hilang,” kataku sambil memasang wajah
murung.
Saat itu yang
lainnya sibuk membenahi barang bawaannya. Siap menggendong carrier
masing-masing, termasuk di antaranya adalah Erni. Dia duduk di depanku dan
bertanya saat melihat air wajahku menjadi keruh.
“Kenapa, Lis?”
tanyanya heran.
“Saputangan
hilang. Yang warna ijo buluk. Yang semalam dipakai,” jawabku sambil
membayangnya rupa saputangan itu dan berharap tetiba saputangan itu ada di
depan mataku.
“Lah itu yang di
leher?” kata Erni disusul tawanya.
Aku melihat ke
bawah, ke arah dada. Sejumput hijau lusuh menjuntai di sana, saputangan yang
kucari sedari tadi terikat di leher. Sontak saat itu aku malu dan menertawakan
diri sendiri.
Barrier to Barrier
Lewat pukul
tujuh. Setelah menunaikan kewajiban membayar segala fasilitas yang ada, kami
berkumpul di depan Warung Mang Idi. Membuat lingkaran untuk berdoa sebelum
melakukan pendakian, memohon kelancaran dan keselamatan selama perjalanan
hingga pulang. Aku pribadi berharap semoga perjalanan ini akan menyenangkan dan
tidak ada hambatan yang berarti.
Aku jalan paling
belakang, bersama Erni. Kak Lina, Yolla, Bang Awal, dan Dhika berjalan beberapa
kaki di depan. Kak Tiwi, Bang Edi, Shofi, dan Yudith, sudah menancapkan gas
mereka lebih jauh di depan.
“Kita udah
verifikasi ya?” tanya Erni kepadaku.
“Belum. Lah,
katanya mau ke Markas Green Ranger. Ini kan Green Ranger. Kok pada lanjut bae?”
aku menganggapi, menyadari bahwa kami belum verifikasi Simaksi yang kami
urus melalui calo di Green Ranger.
“Woi, ini pada
nggak verifikasi?” Erni setengah berteriak kepada teman di depan kami.
“Tiwi yang
ngurus. Katanya di Markas Green Ranger. Emang di mana markasnya? Gue gak tau,”
Dhika langsung berhenti dan mencari Kak Tiwi. “Tiwi di mana?”
“Jauh di depan,”
sahut Bang Awal.
Saat itu Dhika
langsung mengejar Kak Tiwi. Kami yang masih belum jauh dari Kantor Sekretariat
TNGGP dan Markas Green Ranger menunggu di pinggir jalan.
Sepuluh menit
kemudian Dhika dan Kak Tiwi bersama beberapa teman lainnya sudah kembali. Dhika
dan Kak Tiwi pergi ke Markas Green Ranger, mengurus Simaksi yang hampir
terlupakan. Lebih dari lima menit kemudian, Dhika datang, mengabarkan bahwa
kami belum bisa naik karena terjadi kesalahan dalam perizinan. Kami yang nyaris
setengah jam menunggu akhirnya mengikuti Dhika ke Markas Green Ranger.
Kami belum bisa
naik. Sesuai perjanjian antara Kak Tiwi dengan Si Calo, kami akan naik pukul
6.00, tapi kini pukul 8.00 kami baru masuk ke Markas Green Ranger. Tanpa
diduga, lewat dari perjanjian awal, maka kami harus ikut dengan rombongan Green
Ranger pukul 10.00 nanti.
Satu satu raut
wajah kami berubah. Termasuk aku. O God, dua jam lagi kami harus menunggu.
Semakin menyebalkan ketika kami diminta ikut serta dalam upacara entah yang
katanya menghadirkan sejumlah politikus. Whats ever, I don’t care about it!
Aku mencoba
menguapkan bad mood dengan membantu beberapa hal yang bisa aku lakukan, seperti
mencatat daftar barang-barang bawaan yang akan menyisakan sampah dan membuat
larutan obat yang pernah aku pelajari di Farmasi untuk Erni. Larutan obat yang
kubuat hanya larutan madu yang dibuat dengan teknik tertentu untuk menurunkan
suhu tubuh Erni yang demam tiba-tiba.
Selepas
memberikan larutan madu, aku pergi. Sendiri. Entah mau kemana. Yang jelas saat
itu aku hanya ingin melepas bad mood
yang ada. Aku berjalan ke utara. Melihat anak-anak berlarian, bermain, dan
tertawa. Di sisi kiri jalan, aku melihat mushalah kecil. Ada dua sepatu yang
kukenal berjejer rapi di dekat berandanya. Yudhit dan Kak Lina sedang di dalam.
Kulihat mereka sedang khusyu shalat dhuha.
Aku masuk ke
dalam masjid. Niatku hanya ingin mencuci muka, tapi muncul keinginan untuk
berwudhu. Akhirnya, aku pun ikut shalat dhuha, meski hanya dua rakaat. Selepas
shalat, aku bermalas-malasan saja di atas sajadah, masih berkurung mukena. Saat
Kak Lina dan Yudith sudah keluar, aku ikut keluar menikmati pemandangan.
Di sebuah
lapangan, kami mencoba mengulur waktu menunggu dengan berfoto. Mengajak
berbicara anak-anak sekitar, meskipun semua anak selalu berlari terbirit setiap
kali kami dekati.
Aku, Kak Lina,
dan Yudith kembali ke Markas Green Ranger. Di sana, semua teman sudah
berkumpul. Bersiap dengan masing-masing carrier.
“Udah mau jalan?
Katanya jam sepuluh?” tanyaku pada sembarang orang yang mau menjawab.
“Jalan sekarang.
Ini udah bisa diurus,” kata Kak Tiwi.
“Nungguin mereka
mah gak yakin gue jam sepuluh bakal jalan. Jam segini aja pada belom upacara,”
Dhika menimpali.
Barrier to
barrier. Dari
rintangan ke rintangan kami baru bisa mendaki. Meskipun aku percaya tidak ada
rintangan berarti jika kita selalu siap
menghadapi. Tapi kali ini aku berpikir, mungkin semua ini adalah cara Tuhan
untuk mengajarkanku cara bersabar yang baik. Jika saja perjalanan ini aku
lakukan bersama orang-orang yang sudah kukenal, sangat mungkin aku akan protes
dan semua akan menyelesaikan rintangan dengan tubuh berurat.
Lepas dari apapun
rintangan dan aneka rasa yang berjejal, bagiku semua itu adalah bumbu-bumbu
cerita yang akan membuat cerita perjalananku kali ini akan penuh warna. Kini,
tinggal menikmati warna warni itu, yang membuat kita tersenyum atau murung.
Bersambung…,