- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Sejuta Cerita Juni Hari Pertama
Posted by : Fatinah Munir
01 June 2014
Juni hari pertama tahun ini. Tepat hari akhir pekan, jadwal
diriku belajar merutinkan diri untuk berlari ke Monas sejak dini hari. Tak ada
yang cukup istimewa di hari ini, sejak aku menyadari bahwa hari ini sudah
berganti bulan dan sudah mendekati waktu Ramadhan. Yang berbeda di hari ini
adalah sebuah rencana pada malam sebelumnya: aku bersama beberapa temanku akan
lari pagi bersama dengan meeting point
di Silang Monas pukul setengah enam pagi, disusul agenda ikut berpartisipasi
dalam tebar flyer bersama teman-teman Solidaritas Peduli Jilbab (SPJ). Tapi
kenyataanya, semua rencana berubah. Hari yang aku pikir tidak cukup istimewa
selain sebagai hari pertama pergantian bulan, ternyata punya sejuta warna dan
cerita dari Silang Monas hingga Istora Senayan.
***
Pagi pertama bulan Juni, aku bangun kesiangan. Awal yang tak
cukup baik, tapi semoga bisa terus diperbaiki di hari selanjutnya. Pukul 5.20
pagi aku baru terjaga, bukannya bergegas mandi, aku malah bergelung malas di atas
kasur. Pukul setengah enam tepat aku bergegas mandi dan lari pagi ke Monas
dengan waktu melewati rencana awal. Kurang dari pukul setengah tujuh aku sudah
berlari kurang lebih 2 Km dan hampir tiba di Monas. Aku mengeluarkan smartphone dari tas kecil yang sudah
kusandangkan sejak dari rumah, lalu aku mengirim pesan ke salah satu teman
melalui What’s App.
“Di rumah. Lagi nunggu Erni,” jawab Kak Firdha, temanku
setelah kutanya posisinya.
Aih, Erni pasti bangun kesiangan lagi, aku menerka dan ternyata
benar saja.
Aku tiba di Monas beberapa menit kemudian. Memasuki ke area
Monas, hasrat berlariku seketika buyar. Area Monas terlalu padat karena ada
acara dari salah satu produk kacang. Sambil bertukar kabar dengan teman berlari
pagi ini, aku duduk sebentar di tepian hambaran rerumput hijau. Kurang lebih
lima belas menit saat aku duduk sambil mengamati orang-orang yang berlalulalang
di depanku, salah satu teman mengirim kabar.
“Aku di air mancur,” tertulis dalam salah satu pesan Kak
Pia.
Aku langsung menghampiri Kak Pia yang sudah tiba di air
mancur Silang Monas sambil menunggu Kak Firdha dan Erni yang belum terlihat
juga batang hidungnya.
Teeng….
Teeng….
Sekotak jam yang terpancang di salah satu ruas jalan Silang
Monas hampir menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Matahari sudah naik
sepenggalah, memancarkan kehangatannya yang hendak berubah jadi sengatan panas.
Kak Firdha dan Erni belum datang juga.
Fiuh! Bosan menunggu cukup lama, berbincang ini itu sudah, melihat-lihat
sekeliling Silang Monas pun sudah. Maka akhirnya berfoto selfy adalah sisa pilihan yang kami lakukan untuk melepas bosan
menunggu teman yang datang kesiangan.
Pukul delapan lewat sekian menit, akhirnya teman yang
ditunggu-tunggu datang juga. Kami –aku, Kak Firdha, Erni, Kak Pia, Azizah (adik
kelas Kak Pia), berlari dari silang monas menuju Bundaran HI.
Aku dan Kak Firdha berlari terlebih dahulu. Sisanya di
belakang, entah berlari, entah berjalan. Setibanya aku dan Kak Firdha di
Bundaran HI, yang lainnya belum tiba hingga kami menunggu lebih dari limabelas
menit lamanya.
Ada yang unik di Bundaran HI selama aku dan Kak Firdha
menunggu yang lainnya tiba. Hari pertama Juni, Bundaran HI dikepung beribu
sosok, beribu maksud, beribu suara.
Saat aku dan Kak Firdha menunggu yang lainnya tiba, beberapa
menit setelah kami berdiri sambil melihat-lihat sekeliling, sekumpulan sosok
berkostum putih menghambur sambil membawa atribut merah putih dihiasi sketsa
wajah lelaki tirus yang sedang menjadi orang nomor satu di Jakarta. Berbagai
stiker dan pin dibagikan ke banyak orang yang menghabiskan pagi di Bundaran HI.
Yel-yel dan nyanyi dukungan mereka gaungkan di bawah langit Jakarta yang tak
lagi teduh. Ditambah rangkaian sosok-sosok aneh dengan kostum aneka rupa
layaknya para peraga busana di Jember Fasion Festival. Suara musik tradisional
seperti tanjidor dan beberapa pasang ondel-ondel ikut menyapu sunyi di tengah
para pelari pagi Bundaran HI.
Sejenak mataku terpana. Kemudian buyar tetiba.
“Ayo sehat tanpa rokok!”
Seruan itu menyeruak ke telinga tepat setelah suara tanjidor
dan sorak konvoi menghilang. Saat aku memutar pandangan, kurang lebih dua puluh
meter di sisi kiriku seorang lelaki muda berbadan tegak dengan kaos putih dan
toa di tangannya sedang meneriakkan hal yang berbeda.
“Selamat Hari Tanpa Rokok Sedunia!” begitu katanya berulang.
Baru saja aku dan Kak Firdha ingin menghampiri lelaki
penyeru “Selamat Hari Tanpa Rokok Sedunia!” tetiba teman-teman yang lainnya
tiba, melambaikan tangan sambil menunjukkan barisan gigi mereka, menyengir
karena tahu aku dan Kak Firdha sudah menunggu mereka cukup lama.
Setelah kami berkumpul, bukannya menuju kerumunan antirokok,
kami malah menghampiri sekerumunan merah di sisi lain Bundaran HI. Mereka
adalah teman-teman dari SPJ, salah satu di antara mereka adalah seorang sahabat
kami, Kak Lina. Di tengah kerumunan perempuan dengan nuansa merah, aku dan yang
lainnya bercipika-cipiki, berbincang sejenak, mencoba mengikat hati dengan sapa
dan tanya. Kemudian kami berpisah lagi.
Beberapa saat setelah aku berpisah dengan teman-teman SPJ,
tetiba kerumunan lainnya menyedot perhatian. Dari jauh tampak sekumpulan
anak-anak sekolah dasar hingga menengah membawa banyak atribut yang didominasi
kata “rokok”. Semuanya berteriak riang, “Say no to the tabaco, Say yes to the
life!” dengan irama serentak.
Waw! Itu kata pertama yang aku ingat saat melihat kerumunan
ini. Keterpanaanku pada mereka melebihi keterpanaanku pada konvoi merah putih
beratribut orang nomor satu di Jakarta saat ini. Tanganku mengambil handphone
dengan refleks, bergegas mengabadikan kerumunan yang sangat menarik perhatianku
dan banyak orang di sekitar Bundaran HI.
Di sinilah aku baru teringat bahwa hari ini, hari pertama
bulan Juni adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
Kala itu, mataku terus menyusuri berbagai atribut kece yang digunakan anak-anak sekolah di depanku. Satu satu
kuabadikan dalam handphone. Hingga aku
dan teman-teman digiring untuk berkunjung ke salah satu stand Anti Tembakau. Di
stand ini kami berfoto dengan berbagai atribut Anti Tembakau. Keren! Itu komentar
pertamaku pada salah satu bagian warna di antara warna warni Bundaran HI pagi
ini. Usai berfoto, tanpa disangka kami mendapatkan sekotak susu. No matter berapa harga susu yang
dibagikan ini. Tapi sekotak susu ini bisa direpresentasikan sebagai pengganti
rokok. Dan ini jauh dan jauh lebih baik daripada menghisap rokok ataupun
menghirup asap rokok.
Tak berhenti sampai di sini. Warna warni Bundaran HI muncul kembali.
Saat aku berputar arah menuju Monas kembali, dua perempuan muda seusiaku
berjalan sambil membawa kantung sampah. Hampir di setiap langkah mereka
merunduk, membungkuk, berjongkok, kemudian memungut sampah-sampah yang
berserakan di sekitar Bundaran HI. Its
really amazing!
“Mereka lagi mungutin sampah, bantuin yuk!” seru Kak Firdha
yang saat itu sambil berjalan mendahuluiku, mulai memungut sampah di dekatnya
dan dimasukkan ke dalam kantung sampah yang dibawa dua perempuan muda itu. Tanpa
berpikir panjang, aku membuntuti Kak Firdha. Memungut sampah-sampah di
sekitarku untuk dimasukkan ke dalam kantung sampah yang sama.
Masih di Bundaran HI. Aku berhenti sejenak untuk menikmati
sekotak susu hadiah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tepat saat tenggakan terakhir,
dua perempuan dengan kantung sampah hitamnya sedang memungut sampah di dekatku.
Aku dan Kak Firdha menyodorkan kotak susu kami yang sudah kosong. Tetiba satu
di antara dua perempuan dengan kantung sampah ini berseru, “Kami juga dari UNJ,
Kak! Kakak dari UNJ kan?”
“Kak Lisfatul Fatinah kan?” sahut perempuan yang satu lagi.”
Kemudian terjadilah perbincangan pendek dengan dua perempuan
yang ternyata satu kampus denganku, meskipun aku tidak mengenal mereka.
“Boleh minta foto kalian?” tanyaku dengan pikiran di kepala
sudah berkutat bahwa aku akan menceritakan mereka dalam tulisan di blogku. Beruntung mereka mau difoto. Buat mereka, ada sebukit kagum disertai doaku. Semoga setiap sampah yang dipungutnya senilai dengan meranggasnya setiap dosa mereka. Semoga semakin banyak orang-orang seperti mereka. Amin.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Silang Monas. Saat kembali
ke Silang Monas, aku berlari bersama Kak Firdha dan Erni. Rencana awalnya, kami
akan langsung pulang setelah beristirahat sejenak di bawah pepohonan yang ada
di seberang gedung Bank Indonesia. Tapi lagi-lagi kenyataannya berbeda dari
rencana. Obrolan-obralan melepas lelah justru menjerumuskan kami untuk beralih
lokasi ke Istora Senayan, menelusuri hamparan buku di Jakarta Book Fair 2014.
Menggunakan Transjakarta, kami –tanpa Kak Pia dan Azizah,
menuju Mal F(X) untuk mengambil race pack
lomba lari Jakarta International 10 K dilanjutkan berjalan kaki menuju Istora
Senayan. Awalnya aku tidak punya keinginan untuk membeli sebuah buku pun di
sini. Tapi entah mengapa, sebuah buku yang tergeletak di salah satu rak buku
murah menarik perhatianku untuk dibaca judulnya, membaca sinopsisnya, membaca beberapa
lembar isinya, lalu membawanya ke kasir untuk ditukar dengan sejumlah uang yang
aku bawa. Akhirnya, jadilah aku membeli satu buku.
Berlanjut ke stand buku lainnya. Ah, bohong sekali kalau aku
tidak akan membeli lagi buku-buku yang lainnya. Hingga satu jam berputar di
antara buku-buku, aku sudah mengantungi tujuh buku dan enam pasang kaos kaki. Ditambah
lagi dua buku lainnya saat hendak melangkah ke pintu keluar.
Adalah Tak Lepas Menatap Jendela, sebuah novel yang pertama kali menarik perhatianku di Jakarta Book Fair 2014 ini. Novel ini bercerita tentang perjuangan orang tua yang memiliki anak dengan autisme. Buku ini cukup tebal, tapi uang yang aku keluarkan bisa dibilang sangat tipis alias sedikit. How lucky I am! :D
Ada juga Sindrom Asperger, buku yang mengupas tuntas tentang
anak-anak dengan sindrom Asperger. Sama dengan novel Tak Lepas Menatap Jendela,
buku ini aku bayar dengan harga sangat murah. Lebih murah dari novel Tak Lepas
Menatap Jendela.
Panduan Hemat Keliling Rusia dan Panduan Sukses Orang
Indonesia di Jepang adalah dua buku travelling keluar negeri yang aku beli
dengan harga sangat murah. Aku membeli kedua buku ini dengan harapan semoga
suatu hari aku bisa kesana. Amin!
Yang lainnya adalah buku Screaming-Free Parenting, buku
parenting yang menarik perhatianku karena kata “screaming” di sampulnya. Well,
penasaran bagaimana mendidik anak tanpa teriak atau amarah, jadilah aku membeli
buku bersampul “sejuk” ini. Kemudian satu lagi novel berjudul Rindu Purnama
yang bercerita tentang anak jalanan. Berharap novel ini bisa membantuku –menjadi
referensi menulis, untuk untuk menuliskan pengalamanku bersama anak-anak
jalanan.
Ada juga buku tipis tapi punya manfaat besar buatku saat
ini. Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Prestasi Bebas Stress adalah buku
kecil tapi super dengan panduan menulis skripsi mulai dari pematangan ide
sampai ke tahap presentasi.
Beberapa langkah menuju pintu keluar, aku menemukan dua buku
lagi. Look Me in The Eye dan Sally (Cinta dalam Kegilaan Anakku), dua judul
yang membuatku rela mengantre di kasir cukup lama. Look Me in The Eye adalah
novel yang ditulis dari sudut pandang anak dengan sindrom Asperger tentang
kehidupannya, bahasanya menarik. Serupa dengan novel Insiden Anjing di Tengah
Malam yang Bikin Penasaran milik Mark Hadoon. Sally (Cinta dalam Kegilaan
Anakku) adalah novel tentang gadis bipolar yang diceritakan dari sudut pandang
seorang ayah.
Itulah sejumlah buku yang aku beli di Jakarta Book Fair 2014
denganharga setiap bukunya berkisar Rp5000, Rp9000, Rp12.000, dan Rp20.000 saja.
Pukul 2.15 siang. Aku harus pulang, meski sebelumnya aku
harus ke Benhil untuk mencetak sejumlah sertifikat. Dan rencana kali ini tidak
boleh gagal atau beralih ke agenda lain.
Dengan kaki yang terus melangkah sedari pagi buta, berlari kurang lebih 6 Km dan berjalanan
berjam-jam menyusuri tumpukan buku, puji syukur akhirnya aku bisa pulang. Tepat
pukul 5 sore aku tiba di rumah. Beristirahat sejenak sambil membaca ratusan
pesan What’s App, menjenguk keponakan disunat, dan menyusun kata-kata di layar
laptop menjadi cerita yang sekarang hampir selesai kalian baca.
Jika hari ini di antara aku malas keluar rumah dengan alasan
panas atau lelah. Bisa dibayangkan bagaimana aku akan kehilangan berjuta warna
dan cerita dari sekitarku. Sangat mungkin aku lamah merugi, apalagi jika
ternyata yang aku dapati ternyata hal seseru ini.
Tetiba aku teringat sebuah nasihat bahwa kehidupan bukan
tentang bagaimana kita menikmati dengan suka-suka, tapi tetang bagaimana kita
melewatinya dan melakukannya dengan segenap usaha, menerjang batas, mencari
peluang, dan keluar dari titik kenyamanan. Ini baru namanya hidup!
Alhamdulillah!
^_^
ReplyDeletegak ngebosenin