- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Setangkup Cinta dalam Sececah Beri
Posted by : Fatinah Munir
01 June 2014
Banyak hal kecil menjadi terlalu kerdil dinilai diri
Lalu tatkala masa tiadanya tiba barulah disadari, yang kecil adalah yang sangat berarti
Setiap kali berpergian, biasanya aku akan membawa banyak hal
kecil-kecil yang kuanggap sebagai perintilan.
Mulai dari peniti, jarum, benang, buku bacaan yang sering tidak dibaca, bahkan
selampai yang sering tak digunakan kemudian hilang begitu saja.
Tentang salah satu barang perintilan yang sering kubawa di tas, selampai adalah benda yang
cukup penting tapi sering aku lupakan. Ya, aku lupakan dalam arti harfiah. Arti
yang sebenarnya.
Kebiasaan membawa selampai yang sering tak aku pakai ini
sudah ada sejak aku duduk di kelas sekolah dasar. Kebiasaan ini dimunculkan
bapak, lelakiku terkasih. Sejak aku kecil, bapak memberikan selampai untuk
dibawa kemana-mana. Untuk mengelap muka, menutup hidung kalau jalanan penuh
debu dan asap, atau untuk membersihkan hidung kalau-kalau suatu hari saya flu
tiba-tiba, begitu kata bapak. Padahal aku sudah berkali-kali bilang kalau aku
tidak terlalu membutuhkan selampai itu. Tapi bapak selalu berkali-kali lebih
banyak menyodorkanku selampai beraneka motif dan warna. Mulai dari yang
bermotif dan berwarna sangat feminin sampai motif dan warna yang maskulin juga
diberikan beliau kepadaku.
Tak tega menolak selampai-selampai yang disodorkan bapak,
biasanya aku akan tetap membawanya meski jarang sekali kupakai. Alhasil,
selampai pemberian bapak lebih sering hilang karena aku letakkan sembarang
tempat dibandingkan karena sering kupakai.
Beranjak tahun-tahun berikutnya, hingga tiba muncul
kebutuhan memakai masker di Jakarta karena asap dan polusi kendaraan. Aku malah
melirik menggunakan masker seharga lima ribu rupiah yang terbuat dari bahan
yang dilapisi busa dibandingkan menggunakan selampai bapak. Tapi intensitas
kehilangan selampai
pemberian bapak masih tetap saja terjadi. Anehnya, meski
selampai bapak jarang kupakai, aku akan tetap melapor ke bapak kalau
selampainya hilang. Kemudian selang satu sampai dua hari, bapak akan kembali
menyodorkan selampai baru padaku dan melakukan rutinitas berkata, “Dijaga.
Jangan diilangin lagi.”
Hanya itu yang terucap dari mulut bapak. Tanpa ada amarah. Tanpa
keluh pun kesah karena berulang kali membelikanku sehelai selampai yang akhir
nasibnya akan hilang juga.
Sepele. Sehelai selampai yang bapak berikan kepadaku memang
sangat sepele. Bahkan aku merasakan bahwa aku terlalu menyepelekan itu. Buruknya,
aku baru merasakan itu akhir-akhir ini.
Akhiran ini bapak sudah jarang memberikanku sehelai
selampai, kecuali jika aku meminta langsung ke bapak. Belakangan ini aku
menjadi jarang membawa selampai sebagai perintilan.
Baru terasa betapa selampai pemberian bapak begitu pentingnya buatku. Sebab beberapa
hari tidak ada selampai, aku memang tidak bisa sembarang mengelap muka atau
tangan. Tidak juga bisa menutup hidung atau melindungi muka dari asap. Sampai-sampai
flu dan batuk karena efek debu jalanan.
Kemudian aku kembali tersadar betapa aku mengerdilkan hal
kecil yang pasti mempunyai peran besar dalam kala tertentu. Sehelai selampai
ini mampu menamparku dengan keras karena ia datang dari tangan bapak yang penuh
kasih, yang darinya ada setangkup cinta yang kasat mata.
Kadang atau lebih sering aku menganggap hal-hal kecil ini
sebagai hal kerdil dan memang tidak penting. Akhirnya menyepelekan adalah sikap
yang paling pertama mendobrak minta dikeluarkan. Lalu penyesalan adalah yang
kemudian datang setelah sebuah sadar muncul dari situasi dan rasa kehilangan.
Aih, tidak hanya pada sehelai selampai pemberian bapak. Tanpa
disadari, banyak hal-hal kecil yang lebih sering diremehkan. Setidaknya diremehkan
oleh seorang anak. Sebaris tanya dan sebait basa-basi orang tua mungkin tidak
begitu berarti bagi seorang anak, tapi ternyata semua itu berarti untuk kedua
orang tua. Semangkuk bubur ayam buatan emak di pagi hari mungkin hal yang biasa
bagi seorang anak, tapi bagi seorang ibu tu bukanlah semangkuk bubur biasa. Itu
adalah semangkuk bubur yang diramu dengan cinta dan sejumput kasih sayang untuk
anak-anaknya.
Mungkin saja kita berpikir hal-hal kecil ini adalah hal yang
teramat biasa dan memang tak penting karena semua itu dilihat dari posisi seorang
anak. Tapi setelah aku mencoba berpikir, mungkin akan berbeda rasanya jika aku
bersikap dan melihat hal-hal kecil ini dari sisi ibu dan bapak yang selalu memberi
kasihnya padaku.
Memang kadang aku harus melihat segala sesuatu dari sisi
yang berbeda, tanpa mengedepankan ego atau kehendak dari posisiku. Seperti bapak
yang hanya ingin aku memakai selampai pemberiannya dan emak yang hanya ingin
masakannya dimakan. Sudah. Hanya itu. Tanpa pinta lainnya.
Begitulah tanpa kusadari ada setangkup bahkan sebukit cinta
dalam sececah beri orang tua yang lebih sering disadari keberadaannya selepas
beri itu tak lagi ada.
Semoga Tuhan senantiasa menjaga kedua orang tuaku dan
menyayangi keduanya sebagaimana mereka
menyayangiku sewaktu kecil. Amin.