- Back to Home »
- Sesurga Bersama Bapak »
- Kalau Kamu Sayang Bapak
Posted by : Fatinah Munir
24 May 2014
Sore itu saya telat berbenah rumah. Usai shalat Ashar, saya tidak langsung berbenah seperti menyapu dan mengepel. Kalau saya tidak salah ingat, saya malah asik menonton acara di televisi dan akhirnya saya baru mulai menyapu pukul 17.00.
Menyapu rumah dengan ukuran yang
cukup besar ditambah membenah segala barang-barang keponakan yang berceceran
menghabiskan waktu setengah jam untuk saya menyapu dan mengembalikan semua
barang pada tempatnya. Kurang lebih pukul 17.30 saya baru selesai menyapu dan dilanjutkan mengepel. Itu pun
saya sambil menonton kontes memasak untuk anak-anak di televisi.
Kala saya sudah mengepel lebih dari
separuh rumah, azan maghrib di televise berkumandang. Ibu yang saat itu tahu
saya masih mengepel langsung berteriak dari kamarnya, “Taro itu kain pel.
Shalat dulu. Dari tadi bukannya ngepel malah mantengin tipi. Kebiasaan banget
sih kamu!”
Mendengar ibu mengomel, saya hanya
menjawab, “Iya.” Tapi dengan badungnya seusai azan maghrib saya tidak langsung
berwudhu, malahan saya melanjutkan mengepel sampai pukul 18.15.
Seusai mengepel, saya pergi ke atas.
Mengambil air wudhu di kamar mandi atas lalu mengerjakan shalat maghrib di
kamar atas. Saat saya hendak takbir, jam di kamar sudah menunjukkan pukul 18.30. Saya shalat seperti biasa. Lalu
saya tadarus sebentar, kemudian keluar kamar dilanjutkan dengan menyalakan
laptop, bersiap mengerjakan tugas.
Baru
saja jemari saya menekan tuts-tuts pada keyboard laptop, tetiba bapak
mendatangi saya dan bertanya, “Tadi shalat apa?”
“Shalat
maghrib,” saya menjawab dengan wajah tetap mengarap pada layar laptop.
“Dari
tadi ngapain?” nada bicara bapak sudah mulai marah, meskipun suara bapak tidak
meninggi.
“Ngepel
dulu. Tanggung udah mau selesai,” jawab saya.
“Kan
udah bapak bilangin, kalau sudah azan semua aktivitas berhenti. Ngepel itu
habis ashar, bukan pas mau maghrib. Bapak gak suka kamu berbenah rumah tapi
shalatnya ngakhirin begitu. Shalat itu bukan asal shalat. Yang diitung Allah
itu bukan shalat atau nggaknya aja. Kamu shalat di awal atau di akhir waktu
juga diitung saya Gusti Pangeran. Inget orang tua, Nak. Orang tua ini juga kena
tanggung jawab di akhirat. Kalo kamu sayang sama bapak, sayang sama orang tua,
ya shalat dibenerin, awal waktu. Kerjain apa diajarin Allah sama Rasul! Jangan
mentingin berbenah aja.”
“Iya,
Pak,” jawab saya dengan suara yang rendah. Selama bapak berbicara panjang, saya
terdiam dan hanya bisa mendengarkan.
“Iya,
dijalanin. Dilaksanain!” kata bapak sambil pergi meninggalkan saya.
“Hu’um,”
jawab saya sambil menahan air mata menyadari bahwa diri saya sudah bersalah.
Tidak hanya bersalah pada bapak, tapi juga pada Allah SWT.
Sudah
hampir sebulan peristiwa ini terjadi. Tapi semua ucapan bapak masih terdengar
jelas di telinga saya. Berkali-kali saya merasa takut dan bersalah atas kelalaian
saya dalam beribadah yang pernah saya lakukan sebelumnya. Sejak saat itu sampai
sekarang, tak ada yang dapat saya lakukan kecual memperbaiki ibadah saya sambil
bermunajat agar Tuhan senantiasa mengalirkan pahala dari amal ibadah saya
kepada kedua orang tua saya.