- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Kenapa Ibu Merobek Kertas?
Posted by : Fatinah Munir
26 April 2014
Kasat matanya, saya menuangkan apa yang saya punya pada mereka dan
mereka menerima saja. Tapi nyatanya, cawan saya tak pernah kering meski isinya
terus dituang dan mereka lebih jujur dalam melihat realita.
~Guru Pendidikan
Khusus dan Murid Istimewanya~
Menjalani aktivitas sebagai guru pendidikan khusus bukan
sekadar mengajar dan transfer ilmu yang saya dapatkan sejak SD hingga kuliahan.
Menjadi guru pendidikan khusus, bagi saya lebih mirip seperti menelusuri alam.
Kenapa begitu? Ya, setiap memegang satu anak istimewa sama
seperti sebuah perjalanan menelusuri satu hutan atau mendaki gunung menjulang.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita temukan dalam lebat dan luasnya
rimba. Kita tak pernah tahu apa yang bersembunyi di balik kelokan jalan setapak
di antara barisan belukar. Pun kita tak bisa mengira kapan sungai mengarus
deras dan siap menyeret kita.
Menjadi guru bagi mereka istimewa, bagi saya adalah tentang
satu kata: KEJUTAN.
Jika imba membawa saya pada arti keberadaan Allah SWT. dalam
keindahan. Maka pendidikan khusus dan anak-anak istimewa menggiring saya pada arti
keberadaan Allah SWT dalam keindahan yang berbeda.
Salah satu keindahan yang saya temukan di dunia istimewa ini
adalah kejadian kecil yang akan saya bagi saat ini. Mungkin ini hanya kejadian
kecil yang teramat sepele. Tapi ia dapat menampar saya habis-habisan hingga
saya terpekur dalam malu.
Setiap mengajar, saya punya kebiasaan membawa buku-buku anak
dari rumah. Buku-buku ini milik KOPAJA yang sengaja saya manfaatkan dengan
membacakannya atau membaca bersama anak-anak di kelas. Setiap hari, saya akan
membawa buku yang beda. Meskipun hanya 10-15 menit sebelum pulang, aktivitas
membaca “buku baru” harus selalu saya dan anak-anak lakukan.
Pagi kemarin, setelah anak-anak, terutama salah satu murid
istimewa saya mengerjakan tugasnya, saya mengajaknya membaca buku yang saya
bawa. Judul bukunya “Aku Anak Baik di Sekolah”, sebuah buku anak terjemahan
yang sudah saya pelajari sebelumnya.
Setiap halaman buku berisi gambar kondisi guru dan
murid-muridnya. Di lengkapi dengan 2-3 kalimat sederhana yang menjelaskan
tentang gambar di tiap halaman. Salah satu halaman menggambarkan suasana kelas
yang kacau dan tenang.
Pada gambar kelas yang tenang, semua anak duduk manis dengan
tugas mereka atau sambil mambaca. Sedangkan pada gambar kelas yang kacau, semua
anak melakukan aktivitas semaunya. Ada yang menumpahkan air minum, mencoret
meja, merobek buku, dan mengobrol.
Tiba saatnya saya berbicara. Saya mengucapkan satu
pernyataan yang teryata menyeret saya pada kekonyolan di hadapan murid saya.
“Jadi, mencoret meja, mengobrol saat guru menjelaskan, dan
merobek buku itu perbuatan yang tidak baik yaaa!” seru saya dengan suara agak
keras.
Lalu muncul satu celoteh. “Ibu, kenapa robek buku tidak baik?”
“Karena buku dibuat untuk menulis atau dibaca, bukan
dirobek,” jawab saya.
“Kalau dirobek memangnya kenapa?” anak saya melanjutkan
tanyanya.
“Kalau dirobek, bacaannya tidak lengkap. Tulisan kamu bisa
hilang. Daaan…, bisa mengotori kelas,” jawab saya lagi masih dengan keadaan
pede.
“Tapi. Tapi kenapa ibu robek buku?” anak ini menghantam
saya.
“Hah?” saya terkejut. “Ibu tidak robek buku. Ibu robek
kertas untuk bikin bebek. Untuk kita belajar matematika.” Saya memang kerap
kali membawa keras berwarna untuk membantu saya menjelaskan beberapa pelajaran
kepada anak-anak.
“Bukaaaaan,” tangannya mengibas-kibas di depan wajah. “Dulu
ibu pernah robek buku tulis!”
“Kapan ya itu?” saya meletakkan telunjuk di kening sambil
bergaya sedang mengingat danberpikir sungguh-sungguh. Sejujurnya, saat itu saya
benar-benar sedang berpikir keras kapan saya pernah merobek buku di hadapan
anak-anak.
Ternyata ingatan saya lebih membela murid saya. Saya memang
pernah merobek buku di hadapan murid istimewa saya. Saat lupa untuk alasan apa
saya merobek buku tersebut, terlebih di hadapan murid. Tapi semua itu sudah
terjadi, permasalahannya bagaimana saya meluruskan apa yang diterjemahkan murid
ini saat mengingat saya merobek buku di depannya.
“Oh ya. Waktu itu ibu merobek kertas. Berarti ibu sudah
bersikap salah dan tidak baik. Kalian tidak boleh meniru ibu,” jawab saya pada
salah satu murid istimewa saya yang lebih seperti jawaban diplomatis.
Ini kejutan baru di perjalanan mengajar anak-anak istimewa.
Siapa yang mengira anak yang dijastifiksi sebagai anak disleksia (punya
kelemahan berupa kecerobohan sehingga berpengaruh pada kemampuannya mengingat).
Tapi dengan mengejutkan, anak ini bisa mengingat hal kecil
yang saya lakukan dan “menegur” saya di saat yang sangat tepat. Terlalu tepat
malah kalau saya pikir. Ya, meskipun ini
membuat saya malu dan bingung. Apakah anak ini memahami jawaban “Saya sudah
melakukan kesalahan dan tidak baik untuk ditiru”. Semoga saja.
Setidaknya dari pengalaman ini saya belajar untuk lebih
menjaga sikap di hadapan anak-anak. Termasuk saat saya berbicara. Karena kendati
mereka mereka berbeda dan lebih dikenal sebagai anak yang “lebih bodoh” dari
anak umumnya, nyatanya mereka bisa secerdas itu protes atas sikap saya.
Di balik kejadian kecil dan dialog sederhana ini, setidaknya
saya mengerti menjadi guru –terlebih guru pendidikan khusus –tidak akan pernah
habis menuangkan ilmu dan kasih yang saya punya. Karena sebanyak itu semua yang
saya keluarkan, sebanyak itu pula saya mendapatkannya lagi, bahkan lebih.
Lebih istimewanya lagi, sama seperti alasan mengapa saya senang
ada di antara anak-anak. Begitu pula alasannya saya senang ada di antara mereka
yang istimewa. Mereka jujur dan polos dalam melihat dunia kita.
Mereka polos menilai saya. Berkata apa adanya pada saya. Mereka
tidak menggunakan azas “enak-nggak enak”
saat menegur saya yang berposisi sebagai guru mereka. Mereka dengan polosnya
mengatakan apa yang memang seharusnya mereka katakan. Dan saya selalu senang
dengan hal ini. Dan saya selalu menanti kejutan lainnya lagi.
kak kesulitan apa sih yg dihadapi ketila kita memilih pendidikan luar biasa? saya berminat, namun saya masih ragu karena saya memiliki sifat yg mudah kesal dan mudah marah
ReplyDeleteHai, Tsany Nova Agisna! Salam kenal! :)
DeleteMengontrol emosi sendiri saat mengatasi ana, itu salah satu kesulitannya di awal. Soalnya mengatasi anak berkebutuhan khusus, terutama anak autisme harus dengan suara yang pelan tapi tegas, tidak kencang seperti orang marah-marah. Tapi kalau udah terbiasa ya insya Allah bisa. Hitung-hitung belajar sabar juga laaaah :D
assamua'alaikum kak, selain "kesabaran" skill apa lagi sih kak yang dibutuhin ketika kita ngambil jurusan PLB. ?
ReplyDelete