- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Perjalanan 20 Menit Menuju Prestasi
Posted by : Fatinah Munir
22 March 2014
Sembilan
hari berselang setelah saya melewati fase mendebarkan yang melebihi kepanikan
saya saat tersesat di hutan. Fase ini saya lewati bersama banyak mahasiswa
lainnya yang “dianggap” berprestasi. Di sinilah saya, salah satu dari mereka
yang dilabelkan berprestasi memasuki arena yang membawa saya pada berbagai rasa
dan memaksa saya mengekstraksi sebuah pemahaman baru tentang diri dan
lingkungan saya.
Sejak
menjadi mahasiswa Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Jakarta pada 2011 silam, ada dua impian yang terpatri kuat dalam pikiran saya. Yaitu
saya akan menjadi ketua BEMJ PLB dan saya menjadi mahasiswa berprestasi di
universitas ini. Dua mimpi ini tertanam kuat dalam kepala dan hati saya dengan
sebuah alasan, yakni demi membuktikan pada bapak ibu bahwa saya bisa memuliakan
keduanya dengan prestasi.
Oktober 2013
sebuah pengumuman terbuka bagi siapa saja yang ingin ikut berlomba dalam arena
prestasi. Ketika mendapat informasi tersebut, saya langsung mendaftarkan diri
dan menyiapkan beberapa persyaratan yang satu di antaranya adalah karya tulis
ilmiah.
Selama kurang
dari dua pekan saya menyiapkan konsep dan merampungkan karya tulis ilmiah
tersebut yang berhubungan dengan pendidikan. Setelah pengumpulan karya ilmiah
tersebut tidak ada kabar atas kelanjutan dari karya ilmiah yang saya kirim, bahkan hingga detik ini.
Setelah
hampir lima bulan berselang sejak saya mengirim karya tulis, sebuah sms memberitahukan
bahwa saya diminta menghadap Sekretaris Jurusan untuk seleksi mahasiwa
berprestasi. Ada senang dan kebingungan yang datang bersama sms pemberitahuan
tersebut. Saya senang karena jalan menuju
terwujudnya impian saya telah terbuka. Tapi saya juga bingung dengan
sebuah kata “seleksi” yang ditercantum dalam sms tersebut. Seleksi apa lagi ini? Lalu bagaimana nasib karya ilmiah yang saya kirim
lima bulan lalu? Apakah pengumpulan karya ilmiah saya lima bulan lalu tidak
benar-benar diregulasi? Lantas ke mana
muara dari karya ilmiah saya lima bulan lalu? Rentetan tanya terlontar pada diri saya sendiri.
Saya menghadap
Sekterasi Jurusan pada tanggal yang telah ditentukan sebelumnya. Saya menbawa sejumlah
pemberkasan dan bukti prestasi yang pernah saya raih. Di kantor jurusan, Ibu
Sekjur melontarkan pertanyaan pertama setelah saya dan beliau saling memberi salam
dan menanyakan kabar.
“IP kamu
berapa, Lisfah? Sampai 3.7? Atau lebih? Karena syarat dari ajang ini IP harus 3.7,”
tanya beliau sambil menatap saya dalam-dalam.
“IPK saya
hanya 3.58, Bu,” saya menjawab dengan jujur.
“Kamu lancar
berbahasa Inggris?” tanya beliau lagi.
“Saya bisa
berbicara bahasa Inggris, tapi tidak lancar, Bu. Kalau X dan Y sepertinya memenuhi
syarat IPK lebih dari 3.7 dan sangat lancar berbahasa Inggris, Bu,”
“Saya mau
tanya ke kamu dulu. Apa saja prestasi kamu? Kamu ikut organisasi apa saja?” Ibu
Sekjur bertanya kembali.
Saya jawab
dengan sejujur-jujurnya tanpa harus melebihkan dan membanggakan diri saya. Lalu
sebuah tanya terlontar kembali, “Karya tulis ilmiah apa saja yang pernah kamu
tulis?”
Saya kembali
menjawab apa adanya, menyebutkan beberapa karya tulis ilmiah yang pernah saya
ikutkan perlombaan, termasuk yang pernah saya kirimkan lima bulan lalu sebagai
syarat mendaftarkan diri di ajang ini.
“Lusa kamu
siapkan semua berkasmu. Selamat mempelajari Pedoman Mahasiswa Berprestasi. Semoga
sukses!” ujar Ibu Sekjen sambil menyalami tangan saya.
Sebuah perasaan
aneh muncul di hati saya. Hanya itu? Tanya saya, kebingungan. Apakah itu
artinya saya bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya? Memangnya apa yang sudah
saya perbuat? Bagaimana dengan belasan nama lainnya yang ada dalam daftar
mahasiswa yang dipanggil menghadap beliau? Sekali lagi, senang dan bingung
berkecamuk dalam hati dan pikiran saya.
Kurang dari sepekan
selanjutnya saya menyiapkan pemberkasan, fotokopi bukti prestasi, fotokopi
sertifikat keikutsertaan saya dalam berbegai kegiatan, karya-karya saya yang
pernah dimuat di majalah, serta karya ilmiah baru yang saya susun bersama
sebuah permainan edukatif yang saya rancang untuk presentasi. Oh iya, belakangan
saat mempersiapkan berkas, saya mendapat kabar bahwa belasan nama yang masuk
daam daftar mahasiswa yang harus menghadap Ibu Sekjen tidak menghadap ke
beliau. Saat itu saya berpikir, mungkin
itu alasannya mengapa saya langsung diperintahkan menyiapkan pemberkasan dan
karya tulis ilmiah baru. Tapi sampai tulisan ini saya publikasikan, saya belum
menemukan jawaban di mana dan bagaimana regulasi karya tulis yang saya kirim
lima bulan lalu?
Tiga hari
menjelang puncak pertarungan di ajang prestasi ini, saya bersama mahasiswa
berlabel berprestasi lainnya berkumpul untuk mengikuti sejumlah agenda pembekalan.
Saya berkenalan dengan banyak orang di ruang sidang yang menjadi tempat pertemuan
kami. Saya melontarkan pertanyaan yang sama kepada semua peserta yang saya temui: bagaimana proses kamu bisa
sampai di sini?
Jawaban dari
teman-teman sungguh beragam tapi dengan satu kesamaan, semuanya dinobatkan sebagai
yag berprestasi atas dasar IP dan kemampuan berbahasa Inggris. Di kesempatan
berbincang dan berbagi cerita dengan teman-teman lainnya saya mengungkapkan
secara jujur bahwa IP saya tidak tinggi dan kemampuan bahasa Inggris saya biasa
saja. Saya dinilai berprestasi karena saya pernah mendudukijabatan tertinggi di organnisasi pemerintahan tingkat jurusan, saya mendirikan sebuah komunitas yang
bergerak di bidang pendidikan dan saya banyak menulis di majalah cetak ataupun
online. Hanya itu.
Salah
seorang teman kembali menimpali kejujuran saya dengan kejujurannya. Dia juga
tidak ber-IPK tinggi dan tidak lebih baik kemampuan berbahasa Inggrisnya
dibandingkan teman-temannya yang lain, tapi kemampuan bahasa Inggrisnya jauh di
atas saya. Dia mendirikan komunitas tari dan mengikuti banyak ajang perlombaan
seni tari.
Berangkat dari
perbincangan ini saya berpikir, kami yang ada disini memiliki kemampuan dan
prestasi yang berbeda untuk sebuah ajang yang “kaku” dan di sini kami dituntut
untuk bertahan dengan sistem yang sama? Oh tidak! Ini bukan ajang berprestasi melainkan
ini ajang menunjukkan IP besar dan jago berbahasa Inggris, tidak lebih dari
itu!
Dalam Pedoman
Mahasiswa Berprestasi, Kemendikbud
menyebutkan bahwa mahasiswa berprestasi adalah mahasiswa yang berhasil mencapai
prestasi tinggi, biak kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler sesuai
dengan kriteria yang ditentukan. Lantas kriketria apa yang diinginkan
Kemendikbud? Yang tertera jelas pada halaman tiga pada pedoman ini adalah
persyaratan mahasiswa berpretasi adalah yang memiliki IPK minimal 3.00, menulis
karya tulis ilmiah disertai ringkasan dengan bahasa asing, melampirkan daftar
prestasi disertai buktinya, dan kemampuan berbahasa asing.
Sejujurnya saya
tidak keberatan dengan sejumlah persyaratan di atas. Tapi bagaimana pelaksanaan
seleski dari bawah hingga akhir, itulah yang menjadi titik permasalahan yang
saya rasakan.
Ketika
membaca persyaratan tersebut, yang ada dalam benak saya adalah sebuah proses
seleksi yang cukup panjang. Saya berpikir bahwa IPK saya akan
dipertanggungjawabkan dengan sejumlah tes yang berhubungan dengan keilmuan yang
sedang saya dalami. Selanjutya karya tulis ilmiah yang saya susun akan dimintai
pertanggungjawabannya pula, pun itu dengan permainan yang telah saya rancang
jauh-jauh hari untuk ajang ini. Kemudian, saya berpikir bahwa saya akan diminta
untuk menunjukkan atau minimal menceritakan prestasi dan kemampuan yang saya
unggulkan saat terlibat dalam ajang ini juga akan ada tes psikologi untuk mengetahui kepribadian kami. Terakhir, dalam benak saya berpikir
bahwa saya bersama peserta yang lain akan diminta berbicara dengan bahasa asing
yang kami kuasai.
Begitu detail
hal-hal yang saya pikirkan itu saya persiapkan demi mengoptimalkan usaha saya
hingga semua perkiraan saya terjawab pada puncak ajang ini.
Pada puncak
pertarungan, kami yang berlabel prestasi diberikan waktu 20 menit untuk tampil
di podium dengan masing-masing waktu 5 menit untuk mempresentasikan data diri
dan summary dari karya tulis, 7 menit untuk mempresentasikan karya tulis ilmiah
yang telah dibuat, 3 menit untuk menjawab pertanyaan juri, dan 5 menit untuk
menjawab pertanyaan dari fish ball menggunakan bahasa asing.
Seorang kakak
tingkat yang tahun lalu mengalami hal serupa dengan kami menjelaskan bahwa ada
tiga juri yang akan menilai dari tiga aspek berbeda, yakni dari aspek
keilmiahan, bahasa asing, dankepribadian. Ketiga juri tersebut adalah
dosen-dosen yang diperkirakan mumpuni di bidang penilaiannya.
Hari itu,
saya maju di urutan ke lima. Saya menampilkan video profile saya yang
berhubungan dengan aktivitas dan summary yang saya buat. Kemudian saya
menjalani proses di atas podium sebagaimana rentang waktu yang telah
disediakan.
Berlanjut
hingga presentasi terakhir dalam ajang ini, saya terkejut dengan pernyataan
panitia bahwa pengumuman atas siapa yang mendaatkan peringkat pertama di antara
kami akan berlangsung 10 menit setelah peserta terakhir presentasi.
Hah? Are you serious? Hanya seperti ini
prosesnya?
Saya
berpikir setidaknya penilaian akan berlangsung dua hari di mana hari pertama unutk
penilai prestasi akademik kami dan hari kedua untuk penilaian prestasi
nonakademik atau keunggulan yang kami bawa hingga kami bisa ada di ajang ini. Kalau
pun hanya prosesnya hanya satu hari, saya pikir akan tetap ada bagian di mana
kami diberi kesempatan menunjukkan kemampuan yang kami unggulkan. Tapi
kenyataannya tidak demikian. Bagi saya pribadi semuanya dalam proses menentukan
siapa yang menjadiperingkat pertama dari kami lebih seperti sulap atau sihir. Semuanya
terjadi dalam waktu singkat.
Saya pribadi
bertanya-tanya bagaimana setiap juri memberikan nilai pada kemampuan akademik
kami, terlebih pada kepribadian kami, sedangkna tes psikologi saja tidak ada.
Apakah para juri itu memiliki ilmu menerawang pikiran dan jiwa para
peserta? Oh, entahlah.
Di sini saya
berpikir cukup panjang bahwa tampak bahwa universitas, mungkin lebih tepatnya
fakultas yang mengatasnamakan ajang ini sebagai prestasi tapi proses yang
dilakukan sama sekali tidak mendukung keberprestasian kami di berbagai bidang. Hal
ini tidak bedanya dengan sistem penilaian yang dipukul rata, padahal kami
memiliki kemampuan yang berbeda. Maka dari sini jelaslah sudah bahwa kebobrokan
sistem yang mengatakan murid atau mahasiswanya cerdas atau berprestasi memiliki
kemampuan yang beragam.
Padahal
sebagai civitas di kampus pendidikan seyogyanya kita memahami atau paling tidak
mengetahui bahwa setiap manusia memiliki kecerdasan di berbagai bidang seperti
yang disebutkan Howard Gardner dalam teori Multiple Intelegences. Pun itu
setiap manusia memiliki kecerdasan dalam berbegai aspek seperti intelektual,
emosional, spiritual dan kebertahananmalangan (adversity). Lantas cerdas dan
berprestasi seperti apakah yang sebenarnya dijadikan acuan di ajang ini?
Saya tertarik
dengan sebuah permisalan yang dibuat salah seorang teman dalam ajang ini. Dia
mengatakan, “Ajang ini tidak bedanya seperti SNMPTN. Kita punya kemampuan yang
berbeda dan ingin masuk ke jurusan yang berbeda tapi alat tes kita sama.
Bayangkan yang mau masuk akuntansi mengerjakan soal yang sama dengan yang ingin
masuk antropoligi. Lalu apa gunanya kita membawa bukti-bukti prestsi dan
menulis sederetan kemampuan yang kita unggulkan?”
Ya, saya
cukup setuju dengan permisalan tersebut. Lantas dari mana juri menilai satu di
antara kami adalah lebih baik dan terbaik dari yang lainnya jika waktu yang
kami miliki hanya 20 menit berbicara di atas podium, tanpa tes psikologi, tanpa
tes bakat atau kemampuan yang kami unggulkan. Oh tidak, ini benar-benar
membingungkan.
Menjadi
bagian dari mahasiswa berprestasi dengan cara ditunjuk tanpa proses yang cukup
panjang seperti ini membuat saya meragukan keabsahan dari ajang ini. Termasuk
itu dalam hasilnya. Bagi saya ajang ini tidak berbeda jauh dari sebuah Hunger
Games yang mana universitas berperan seperti layaknya Capitol. Peserta diseleksi dengan cara yang kurang cukup meyakinkan, hanya
ditunjuk atau dipilih laksana menentukan pemenang lotre. Lalu kami yang menjadi
utusan ke ajang ini dituntut untuk menang atau mati di tengah jalan. Persis
seperti Hunger Games, tidak peduli apa kemampuan yang dimiliki setiap utusan
yang penting adalah bisa bertahan hidup dan menjadi satu-satunya peserta yang hidup
hingga akhir permainan. Bagi saya, ini
bagaikan ikan, tikus, dan burung yang berlomba renang.
Sekiranya jika
ini memanglah ajang yang bergengsi di tingkat universitas hingga nasional,
hendaknya prosesnya pun berlangsung dengan gengsi yang tinggi. Hendaknya semua
tertata dan terjamin keabsahannya atas apa yang mereka sebut sebagai prestasi. Saya
pikir perlu proses yang tidak sebentar untuk menentukan siapa yang paling
berprestasi dibandingkan para mahasiswa berprestasi lainnya.
Perlu ada beberapa
tes yang tidak hanya 20 menit. Sejatinya bukan hanya sebuah presentasi dan
tanya jawab berbahasa Inggris yang perlu diperhatikan dalam ajang ini,
melainkan keunggulan atau kemampuan khusus yang dimilik masing-masing peserta
juga harus diujikan. Atau setidaknya berilah peserta waktu untuk menunjukkan
siapa dirinya yang sebenarnya di luar posisinya sebagai seorang penyaji makalah dan yang menjawab
pertanyaan dari penguji.
Bermula dari sinilah setidaknya saya bisa tahu dan berintrospeksi untuk ikut berperan dalam pelaksanaan ajang di tahun mendatang. Saya bersama teman-teman lainnya bisa memperbaiki proses penyeleksian dengan sebenar-benarnya seleksi yang dijaga dari tingkat paling rendah hingga tingkat tertinggi nanti. Kendati hampir dari semua di antara kami yang bergabung di sini diutus dengan sebuah “undian” atau lebih sering dikenal dengan istilah diceburin, dijorokin, dan sebagainya, semua ini menjadi pelajaran agar tahun depan tidak boleh ada yang tercempulng atau terjatuh bahkan dipaksa untuk menjadi bagian ini. Karena prestasi adalah kesadaran dalam usaha mencapai titik optimal dari potensi, maka seharusnya tidak ada tekanan yang dilimpahkan pada kami atau mereka nantinya yang berlabel prestasi.
Setelah
melewati proses yang sangat singkat ini saya berpikir juga bahwa setiap orang
di antara kami memiliki prestasi dengan prestasi kami masing-masing di
berbagai bidang. Tidak ada pukulan perataan untuk sebuah prestasi, apalagi
hanya dengan dua indikator seperti karya tulis ilmiah dan kemampuan berbahasa
asing. Apabila dua indikator ini tetap menjadi rujukan utamanya, mengapa tidak diubah saja nama ajangnya dari Pemilihan Mahasiswa Berprestasi menjadi Pemilihan Mahasiwa Ber-IPK Tinggi dan Mampu Berbahasa Asing.
Saya pribadi
meyakini bahwa prestasi bukanlah tentang nilai numerik di atas selembar kertas yang ditentukan beberapa orang apalagi dalam waktu yang begitu singkat. Prestasiadalah ketika saya bisa bermanfaat bagi orang-orang di
sekitar saya dengan usaha terbaik yang saya punya. Oleh sebab itu, melalui ajang Pemilihan Mahasiswa Berprestasi ini saya semakin memahami bahwa prestasi bukan tentang
predikat, prestasi adalah sebuah tanggung jawab di mana saya harus bisa
melakukan yang terbaik di setiap kesempatan yang saya punya meskipun saya
bukanlah manusia terbaik di antara banyak manusia di dunia.
Terlepas dari
berbagai hal yang membuat saya begitu mengkritisi ajang ini, saya yakin pada setiap
penyeleksian Mahasiswa Berprestasi pasti ada satu yang sebenar-benarnya
berprestasi. Yaitu mahasiswa yang memiliki prestasi tidak sebatas karya tulis
ilmiah yang inovatif dan kreatif serta lancar berbahasa Inggris, tetapi
mahasiwa yang memiliki akhlak, budi pekerti, dan kemampuan yang patut dihargai
dengan nilai tinggi. Tapi yang jelas, mahasiwa yang sesempurna itu bukanlah
saya :)
Untuk setiap
langkah dan usaha yang telah saya optimalkan selama melewati masa-masa menjadi
mahasiswa yang berkutat dengan karya tulis ilmiah, produk, dan presentasi, saya
sungguh bersyukur bisa menjadi satu di antara mereka yang dinilai sebagai
berprestasi dan istimewa. Ya meskipun saya tidak seistimewa yang dipikirkan banyak orang.
Ketika
melewati masa-masa penyeleksian ini, saya punya pengalaman luar biasa bersama
orang-orang yang sangat mengagumkan. Mereka membuat saya terpana dan kembali
mengakui akan banyaknya kekurangan yang saya miliki. Saya temukan satu pehaman
baru yang begitu berharga bahwa setiap manusia adalah berprestasi di bidangnya
masing-masing tanpa patokan dan pemukulrataan atas apa yang disebut prestasi.
Terakhir,
hanya bapak ibu satu-satunya alasan saya ada di arena ini dan hanya Allah
satu-satunya penyebab saya bisa melangkah sampai sejauh ini. Tak ada kata kalah
atau menang dalam berprestasi, yang ada hanyalah siapa yang paling berusaha dan
menikmati serta memetik pelajaran selama proses menuju puncaknya. Semoga pengalaman ini bisa menjadi ajang
berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjadi pundi-pundi amal baik yang bisa
membantu kita menuju surga-Nya. Amin.
Saya
persembahkan segala usaha saya untuk bapak ibu. Semoga setiap usaha yang
bernilai kebaikan di hadapan-Nya turut Dia alirkan kepada bapak ibu tercinta
demi termuliakan keduanya di mata Allah SWT. Amin.
Saya sudah
turun dari roller coaster ini! Saatnya saya menaiki roller coaster selanjutnya!
:)
^_^
ReplyDeletePrestasi itu tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik di seriap kesempatan
*hebat