- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Air
Posted by : Fatinah Munir
07 February 2014
“Air!”
Ibu
berteriak dan setengah berlari dari ruang depan menuju kamar kakak. Membawa
secarik kabar yang membuat kami seketika bergetar. Saat itu juga gerak tubuh
jadi cepat. Refleks menyelamatkan benda-benda berharga untuk diungsikan ke
lantai dua. Tak ada kata di antara kami. Hanya hasrat untuk menyelamatkan diri.
Sesekali aku menengok keluar rumah. Mataku tertuju pada air yang kian meninggi
dan bersiap memasuki pekarangan rumah. Kami berpacu dengannya.
“Bawa
keponakanmu ke kamar atas!”
Aku
berlari ke kamar. Merendahkan suara yang terengah. Membimbing keponakan yang
tingginya sudah melebihiku untuk pindah ke kamar atas bersama yang lainnya.
“Bobo
ya,” aku menyelimuti keponakan yang sudah berbaring di kamar atas.
Keributan
semakin menjadi di luar rumah. Air hujan yang bening sudah berubah warna.
Banjir kanal sudah muntah. Bapak dan ibu member instruksi pada kami,
anak-anaknya, menyiapkan barang-barang yang kiranya perlu dibawa ke
pengungsian. Jika itu harus dilakukan.
Tidak
sampai sepuluh menit, air sudah menyusup ke dalam rumah, Menenggelamkan
kami hingga setinggi mata kaki. Di depan rumah, air mengalir deras setinggi
lutut. Akses kami lumpuh sudah.
Langit
semakin gencar melesatkan butir airnya. Petirnya bersahutan. Bergelak.
Menertawakan bumi yang kebasahan. Pikiranku ikut terpental pada episode
duabelas tahun lalu. Air bah itu datang pada tanggal dua bulan dua dan aku
menangis ketakutan tepat pukul dua di tengah gulita.
Di
balik jendela kamar atas, kilat kembali bergelegar. Membentuk akar di langit
pekat. Lalu menghilang dengan cepat. Nyaris tampak seperti jemari yang hendak
menangkap dengan kasar. Sekali lagi petir menyambar. Membuat jendela bergetar.
Kemudian takut semakin kuat memelukku.
“Berdoa.
Banyak zikir,” kata ibu kala itu. Yang aku lakukan hanya diam dan bergumam
dalam hati. Tuhan, jangan ambil kami dengan cara ini. Selamatkan kami di sini.
Tubuh kecilku yang berusia sepuluh memeluk ibu. Tak mau beranjak pergi, meski
sekadar melihat-lihat air yang semakin tinggi. Semakin coklat menjadi.
“Ambilkan
al-Quran bapak!” bapak memanggil dari luar kamar.Bayang ketakutan duabelas
tahun lalu menghilang.
Aku
memberikan sebuah alquran yang sudah usang pada bapak yang baru saja keluar
dari kamar mandi dengan wajah basah. Sambil berjalan ke teras atas yang cukup
luas, bapak berkata, “Kamu sholat. Zikir. Baca doa. Mumpung lagi hujan.”
Aku
terdiam sejenak. Ujung jemari tangan dan kaki semakin dingin. Tidak karena aku
semakin takut pada bayang duabelas tahun lalu. Tapi aku tercekat dengan teguran
bapak yang tak terduga. Tersadar aku kemudian pada sia-sia yang kulakukan. Pada
takut yang terlalu kuat mengcengkram.
Ada
banyak malaikat yang ikut turun saat butir air langit itu jatuh di sini. Kenapa
tak perbanyak doa?
“Tapi
air sudah mulai tinggi, Pak! Bagaimana kalau kita terjebak di sini?”
“Tak
akan terjadi apa.”
Semudah
itu bapak berkata. Lalu membiarkan aku terpaku. Kulihat ibu dan kakak masih
bolak balik menengok kondisi di bawah. Sambil sesekali menyambung kabar yang
diberikan Pak Rete saat berkeliling di sekitar rumah warganya untuk terus
berwasapada.
Dengan
tangan dan kaki yang nyaris membeku, aku melangkah ke kamar mandi. Membuntuti
kata bapak dan mulai meminta pada Langit. “Hilangkan takutku dan selamatkan
kami dari buncah air keempat selama sebulan ini,” pintaku seusai sembahyang dan
melanjutkanya dengan shalawat hingga kantuk datang.
Aku
terbangun kemudian. Tepat ketika jarum pendek jam dinding berhenti di angka
lima. Langit tak bersuara. Malam tadi seakan tak pernah terjadi apa-apa. Yang
kudengar hanya desir angin yang berlarian ke barat dan suara bapak mengaji di
luar kamar. Ketika kumelangkah keluar kamar, sebuah suara memaggil dari bawah.
“Lis,
bangun. Sembahyang subuh. Air sudah mulai surut. Bantu ibu berbedah di bawah.”