- Back to Home »
- Sesurga Bersama Bapak »
- Bincang di Atas Motor
Posted by : Fatinah Munir
31 January 2014
Pagi itu, saat matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya dari balik gumpalan awan, seperti biasa di hari libur, bapak ada di rumah dan aku tetap sok sibuk dengan aktivitas di luar rumah. Di setiap pagi seperti ini bapak akan mengantarkanku meski hanya sampai terminal –karena trauma dan bekas operasi di mata, bapak tidak bisa mengemudikan kendaraan dalam jarak jauh.
Di atas motor tua miliknya, bapak memboncengiku. Seperti
biasa, kami akan berbincang selama perjalanan menuju terminal. Kami melewati
sebuah flyover yang menghubungkan KS. Tubun dengan Jati Bunder. Saat bapak
melajukan motornya ke atas flyover tampak seorang ibu mendorong gerobak di sisi
kiri jalan. Bapak mengeraskan suaranya sambil menunjuk ke arah ibu yang
mendorong gerobak, “Lihat itu! Perempuan tapi dorong gerobak buat jualan. Itu
namanya mandiri dan kuat.”
Sambil mendengarkan ucapan bapak, mataku terus tertuju pada
ibu yang mendorong gerobak itu hingga sosoknya menghilang di kejauhan. Ucapan
bapak tak berhenti sampai di situ, bapak kembali berucap, “Kamu juga harus
kayak gitu. Mandiri dan kuat.”
“Hu’uh,” jawabku singkat, seperti biasa hanya mendengarkan
bapak dan bicara seperlunya.
“Lis, perempuan juga harus mandiri dan kuat. Tapi kamu juga
harus tahu batasnya, harus tahu kodrat. Jadi harus tetap hormat sama
laki-laki,” lanjut bapak.
Tanpa terasa, kami hampir tiba di terminal dan aku harus
segera turun. Saat aku hendak mencium tangan bapak, bapak sempat terdiam.
Seperti ada yang ditunggunya. “Perempuan itu mudah masuk surga, tapi mudah
masuk neraka. Kuncinya ada di sini. Jaga baik-baik ini,” kata bapak sambil
mengarahkan jemarinya yang besar ke depan mulutnya.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, meski sekadar
sahutan “hu’uh”. Hanya anggukan yang aku berikan pada bapak, bersama dengan
airmata yang tertahan. Aku mencium tangan bapak lalu menyeberang menuju sebuah
bus yang akan membawaku ke tempat lain. Aku melihat bapak masih di tempatnya.
Bus yang kunaiki mulai melaju, bapak tersenyum pada kondektur bus dan
melambaikan tangan kepadaku.