- Back to Home »
- Pendidikan Khusus »
- Awal yang Salah dari Guru Pendidikan Khusus
Posted by : Fatinah Munir
01 October 2019
"It takes special people to teach special students"
Belakangan ini saya sering mendapatkan pesan lewat Instagram dari guru-guru muda yang baru bertugas di SLB ataupun Sekolah Inklusif. Menariknya ada beberapa pertanyaan yang mirip, yaitu tentang tahap awal penanganan anak dan keselarasan antara praktik di lapangan dengan teori yang sudah dipelajari di kampus. Beberapa contoh kasus dari pertanyaannya kurang lebih seperti di bawah ini.
Bagaimana kita bisa mengajar anak yang kita tidak tahu diagnosis disabilitasnya apa?
Bagaimana jika murid dengan spektrum autisme sekaligus disabilitas intelektual tidak dapat mengikuti materi belajar di kelas? Kenapa kita perlu mengajarkan materi akademik?
Bukannya mengajarkan life skills itu jauh lebih penting buat murid berkebutuhan khusus?
Duh! Aku bingung banget, nih, menghadapi murid di Sekolah Inklusif yang beragam banget kedisabilitasannya?
Beberapa tahun lalu saat pertama kali secara resmi menjadi pengajar di lembaga saya sekarang bekerja, saya juga sering mempertanyakan hal-hal seperti di atas. Pertanyaan tentang diagnosis ini, sih, yang sering sekali saya lontarkan di awal-awal. Sampai akhirnya saya teringat salah satu pesan dosen saya tentang kondisi murid-murid berkebutuhan khusus yang akan saya hadapi.
Diagnosis bukanlah senjata yang dibutuhkan guru pendidikan khusus, karena guru pendidikan khusus yang bisa mengenali dan memahami kebutuhan muridnya akan tetap bisa mengajar dengan baik tanpa tahu diagnosisnya. Begitu kurang lebih pesan beliau. Sejak saat itu, kurang lebih beberapa bulan setelah pertama kali saya mengajar, saya mencoba mengenyampingkan diagnosis dan mulai refleksi diri.
Salah Berpijak Hingga Salah Langkah
Kalau dipikir-pikir memang tidak sepenuhnya diagnosis kedisabilitasan murid itu tidak dibutuhkan. Mengetahui diagnosis kedisabilitasan murid memang perlu, tapi itu bukan hal utama yang dibutuhkan untuk mengajar. Apalagi kalau hasil diagnosis sudah menjadi label atau identitas pada anak, sehingga membuat kita para pendidik, staf di lembaga pendidikan, hingga orang tua hanya fokus pada diagnosis dan menutup mata atas kemampuan yang tampak dan mengenyampingkan kelebihan yang dimiliki murid.
Kalau bukan berangkat dari diagnosis, lalu harus mulai dari mana? Jawabannya ada di pesan dosen yang saya tulis di atas. Yakni mulailah dari mengenali dan memahami kebutuhan murid. Berangkatlah dari kondisi kelebihan dan kekurangan masing-masing murid. Kekurangan dan kelebihan murid, sekecil apapun itu, adalah hal yang semestinya menjadi pijakan utama guru pendidikan khusus sebelum melangkah ke dalam program belajar yang dirancang sesuai kebutuhan murid.
Photo by Suhyeon Choi on Unsplash.com |
Ingat, Langkah Pertama Dimulai dari Kita!
Tapi beberapa tahun belakangan mengajar, saya menemukan hal yang cukup menarik tentang mengenali dan memahami kebutuhan murid. Ternyata mengenali kelebihan dan kekurangan murid saja tidak cukup untuk memulai langkah pertama dalam proses membersamai mereka. Ada hal yang luput dari diri banyak pendidik, termasuk saya, hal yang semestinya melekat pada setiap pendidik dan tidak hanya bersifat prosedural antara identifikasi murid, asesmen, penanganan, dan evaluasi. Ada satu hal yang sering kita lupa, yaitu kita jarang memandang murid-murid berkebutuhan khusus sebagai manusia dan secara tidak langsung malah memandang mereka sebagai objek dari suatu projek ataupun program. Sejujurnya saat masih memandang murid-murid saya sebagai objek, saya merasa sering tertekan dengan target-target program yang tidak tercapai.
Awalnya saya merasa hal ini biasa saja, wajar kalau saya tertekan oleh target-target program yang tidak tercapai. Tapi untuk siapa program ini? Program ini bukan untuk saya, ini untuk murid-murid saya. Yang seharusnya menjadi fokus saya bukanlah keberhasilan saya, melainkan bagaimana murid-murid saya berproses dan mencapai target program sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya. Akhirnya, saya merasakan bagaimana program yang sudah dirancang tidak bisa berjalan secara maksimal jika saya tetap melihat murid-murid saya sebagai objek atau benda mati yang harus diperbaiki melalui program-program yang saya rancang.
Memulai dari diri sendiri dengan memahami diri sendiri sebagai guru pendidikan khusus yang mendidik murid-murid berkebutuhan khusus, ciptaan Tuhan yang juga bernyawa seperti saya, juga memiliki perasaan sebagaimana manusia pada umumnya, dan memiliki cara berpikir yang sedikit berbeda dari kita pada umumnya. Dan mereka sejatinya adalah murid-murid yang begitu menggemaskan dengan keunikan masing-masingnya. Memanusiakan hubungan dengan murid. Ini langkah pertama yang semestinya perlu dilakukan oleh setiap guru pendidikan khusus. Tidak peduli seminim apapun kemampuan mereka, sekecil apapun progres yang dimiliki, hubungan yang memanusiakan adalah langkah pertama yang harus kita ambil setelah menemukan pijakan yang tepat.
Praktik Memanusiakan Hubungan
Teman-teman guru pendidikan khusus mungkin bingung apa yang dimaksud dengan memanusiakan hubungan? Bagaimana memanusiakan hubungan? Apa bedanya dengan menjalankan hubungan seperti guru dan murid pada umumnya?
Melihat murid-murid berkebutuhan khusus yang kita bersamai adalah menyadari bahwa mereka juga sama seperti kita pada umumnya. Hanya saja, mereka memiliki keterbatasan untuk melakukan banyak hal seperti kita dan selebih sering mereka justru tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk berperilaku dan bersikap seperti kebanyakan orang.
Dalam melakukan langkah pertama dengan memanusiakan hubungan dengan murid-murid berkebutuhan khusus kita, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita lakukan. Ketiga hal ini bukan sesuatu yang rumit. Saya yakin setiap orang pasti bisa melakukannya, hanya butuh kesabaran yang dilipatgandakan dan komitmen untuk melakukannya. Cobalah untuk tetap tenang di kondisi apapun dan biasakan memberikan kesempatan kepada murid-murid berkebutuhan khusus untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan atau rasakan.
Tetap tenang berarti kita tidak boleh panik walaupun murid-murid kita panik, marah, menangis, ataupun sangat mengganggu lingkungan sekitarnya. Ingat, loh, peran kita sebagai pendidik adalah membantu mereka untuk mengontrol cara mereka mengungkapkan emosi, bukan ikut masuk dalam emosi yang sedang mereka alami. Memberikan kesempatan kepada murid-murid berkebutuhan khusus untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan atau rasakan adalah hal yang sangat membutuhkan kesabaran dan komitmen tinggi untuk membiasakannya. Nah, memberikan kesempatan di sini artinya bisa sangat luas. Bisa dengan cara mendengarkan apa yang ingin mereka sampaikan, bertanya tentang apa yang mereka rasakan, atau dengan terus mengobservasi perilaku yang muncul dan menemukenali penyebab munculnya perilaku-perilaku tersebut. Butuh waktu memang untuk melakukannya, mendengarkan murid yang mungkin belum mengungkapkan sesuatu melalui verbal ataupun mendengarkan murid yang belum mampu bercerita sesuai urutan. Tapi tetaplah berikan mereka kesempatan walau hanya beberapa menit.
Tidak mudah memang melakukannya. Tapi jika tidak dimulai sejak sekarang, akan ada banyak murid-murid berkebutuhan khusus yang terlantarkan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Jika tidak dimulai dari sekarang, bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan profesi kita secara moral. Jika kita bisa segera memulainya dari sekarang, niscaya tidak ada lagi kebingungan dalam membersamai murid, karena sepanjang prosesnya kita akan semakin memahami setiap murid.
Sekali lagi, diagnosis memang penting tapi bukan senjata utama untuk membersamai murid-murid berkebutuhan khusus. Pahami dan kenali setiap hal dari murid-murid spesial kita, sekecil apapun kelebihan dan kekurangannya, lalu jalinlah hubungan yang memanusiakan. Butuh waktu lama dari langkah pertama hingga kita meraih hasil dari target program belajar yang kita rancang untuk mereka, tapi percayalah selama prosesnya kita akan menjadi guru pendidikan khusus yang lebih bahagia dari sebelumnya dan mereka akan menjadi murid yang bahagia bersama kita.
Photo by Leonardo Toshiro on Unsplash.com |
“Students are like flowers. They bloom at different times.”
(@edutopia)
Lisfatul Fatinah Munir | 1 Oktober 2019
"Peran kita sebagai pendidik adalah membantu mereka untuk mengontrol cara mereka mengungkapkan emosi, bukan ikut masuk dalam emosi yang sedang mereka alami." --- kata kunci juga untuk menerapkan pendidikan anak-anak di rumah. MasyaAllah, nampol banget! Jazaakillah khamir sharingnya Mbak Lisfah.
ReplyDeletesama-sama, Mbak Erma :)
DeleteMa syaa Allah, semoga jadi amal jariyah mba, selalu salut dengan para pendidik generasi. Semoga anak-anak kita berada dalam tangan pendidik yang tepat.
ReplyDeleteAamiin ya Allah ^^
ReplyDelete