Posted by : Fatinah Munir 05 August 2019


Photo by Yeshi Kankang on Unsplash.com

Kemarin, 4 Agustus 2019, hampir seluruh Jawa mengalami listrik padam selama kurang lebih 12 jam. Saat itu saya sedang beraktivitas di luar rumah, jadi selama beberapa jam pertama saya tidak terlalu merasakan dampak mati listrik. Saya tiba di rumah sore hari dengan kondisi rumah yang gelap sebagaimana rumah-rumah lain, lampu jalanan sekitar rumah yang biasanya sudah menyala kini tidak berfungsi, dan tidak ada suara azan yang saling menyahut di langit-langit saat waktu maghrib datang. Saat itu baterai hape saya pun hanya tersisa tigapuluh persen, jaringan internet dan telepon melemah, sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan menggunakan hape kecuali memanfaatkan flashlight hape.

Sebelum benar-benar mematikan paket data, saya buka beberapa status whatsapp teman-teman walaupun hanya bisa mengakses status whatsapp berupa tulisan. Di beberapa status-status tersebut, kebanyakan teman-teman mengeluhkan mati listrik meskipun ada juga beberapa teman yang tidka mengeluh dan memilih membagikan informasi terkini terkait mati listrik yang sedang terjadi.

Membaca keluhan-keluhan teman-teman, saya sempat berpikir dan bertanya pada diri sendiri apakah sebegitu menyebalkannya ketika listrik padam. Pemikiran ini muncul mungkin karena saya bukan termasuk orang yang sangat attached dengan gadget, bahkan saya pernah dengan sengaja melepas gadget beberapa hari. Jadi saat listrik padam, sejenak saya sempat tidak cemas ataupun gelisah.

Ya, hanya sejenak. Saya hanya sejenak merasa biasa saja dengan padamnya listrik. Karena semakin malam dan semakin gelap, saya mulai merasa gelisah. Bukan gelisah karena terputus akses internet atau semacamnya, tapi lebih karena kondisi sekitar saya yang sepi, gelap, tidak banyak aktivitas dan interaksi seperti biasanya. Hal-hal buruk mulai terbersit di kepala saya, bagaimana kalau tetiba ada kebakaran di sekitar rumah? Bagaimana jika ada tiba-tiba ada gempa besar, karena malam sebelumnya Jakarta terkena gempa imbas dari gempa Banten? Bagimana jika kemungkinan-kemungkinan buruk itu Allah SWT Takdirkan datang malam itu juga? Memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk di atas, saat itu kepala saya pusing. Literally kepala saya menjadi sangat sakit.

Selepas shalat maghrib, setelah menyingkirkan pikiran-pikiran negatif di kepala, saya keluar rumah untuk membeli makan malam. Kepala saya masih terasa sakit. Saya mencari penjual makanan di sekitar perkampungan rumah sendirian.

Saat di luar rumah membeli makan malam, saya harus keluar gang rumah untuk ke tempat penjual makanan yang terletak di jalan yang lebih besar. Bukan jalan raya, tapi masih lingkungan perkampungan rumah dengan lebar jalan yang jauh lebih besar dan banyak deretan berbagai jenis ruko yang menjual keperluan keseharian warga perkampungan. Ternyata jalan besar terdekat rumah saya sangat ramai. Motor-motor berlalu lalang. Jaklingko masih beroperasi. Anak-anak berlarian, main sepeda, dan saling tertawa. Toko-toko ramai oleh pembeli dan orang-orang yang duduk untuk sekadar mengobrol tentang listrik yang padam.

Di sini saya merasakan suasana malam masih seperti malam-malam biasanya ketika listrik tidak padam. Di sini saya menyadari bahwa perekonomian di sekitar saya masih berjalan dengan baik, setidaknya untuk kalangan rakyat kecil seperti jual beli antar di permukiman warga walapun beberapa perusahan seperti KAI tidak beroperasi karena padamnya listrik. Saya juga menyadari meskipun listrik padam, anak-anak tetap bahagia dan bermain dengan imajinasi mereka. Masih banyak suara anak-anak tertawa dan bercanda. Saya lalu tersadar walau listrik padam, setiap rumah yang tanpa cahaya malam itu masih diisi oleh keluarga yang utuh, saling berbincang satu sama lain –yang mugkin akan jarang dilakukan kalau listrik tidak padam.

Di tempat lain, di negara-negara berkonflik dan sedang melewati masa peperangan, listrik padam diiringi degan suara-suara dentuman bom dan senapan. Perekonomian tidak berjalan dan untuk makan mungkin hanya bisa menunggu bantuan dari relawan perang. Tawa anak-anak, mungkin hampir tidak dapat ditemukan. Mereka mungkin hanya punya dua pilihan, menangis atau diam di tengah gelap, dingin, dan lapar. Di daerah terkena bencana, setiap orang pasti banyak yang terpisah dengan keluarganya di tengah kegelapan, karena sangat mungkin menyelamatkan diri sendiri menjadi pilihan satu-satunya untuk bertahan hidup. Dan di pedalaman, harapan aliran listrik lebih kepada untuk akses kesehatan dan belajar, bukan sekadar untuk mengisi daya hape dan laptop untuk mengirim status di sosial media seperti kita penduduk ibukota.

Banyak lagi hal yang menyadarkan saya bahwa masih banyak sekali hal yang seharusnya saya syukuri dari padamnya listrik semalam.


Photo by Dil Emcot on Unsplash.com
Semakin lama saya di luar rumah dan melihat sekitar saya lebih dekat, semakin banyak alasan saya untuk bersyukur walaupun di tengah gelap. Alhamdulillah, listrik hanya padam untuk sementara, bukan untuk waktu jangka panjang atau selamanya. Alhamdulillah, listrik padam untuk sementara dan masih sedang diperbaiki oleh ahlinya, bukan karena peperangan, kekurangan, atau bencana. Alhamdulillah, listrik padam hanya sementara dan saya masih bisa bersama dengan keluarga dengan kondisi sehat wal afiat dan bahagia. Alhamdulillah.

Belajar dari padamnya listrik selama belasan jam kemarin, mungkin kita perlu sesekali meninggalkan salah satu nikmat teknologi yang Allah SWT Berikan, agar kita bisa lebih dekat dengan hal-hal yang sebenarnya dekat dengan kita tapi selama ini menjauh karena teknologi-teknologi yang kita punya. Mungkin kita perlu sedikit mendekat dengan lingkungan kita, tidak hanya menghadirkan jasad tapi juga hati dan pikiran kita, agar kita bisa melihat betapa nikmatnya hal-hal kecil yang ada di sekitar kita dan jarang sekali kita syukuri. Mungkin sesekali kita perlu menakar nikmat dengan melihat kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi pada kita sebagaimana saudara-saudara kita di tempat pengungsian peperangan, bencana, atau yang tinggal di pedalaman.

Alhamdulillah, listrik padam hanya untuk sementara tapi syukur kita harus tetap menyala.

Lisfatul Fatinah Munir | 05 Agustus 2019

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -