Posted by : Fatinah Munir 08 October 2014



“Eh, pada belom dateng juga nih?” tanya Bang Edi dari depan tenda. Disusul suara Shofi yang sudah kembali dan menanyakan keberadaan mereka.

“Gini aja. Biar gue sama Shofi naik lagi. Kalian jaga tenda sambil ngeberesin yang bisa diberesin deh. Ini udah siang banget. Kalo mereka dateng, nanti enak mereka tinggal makan dan packing aja,” Bang Edi memberikan intruksi.

“Ikuuuut. Ini kan salah Lisfah, Bang Ed…,” aku merajuk, berharap bisa ikut mencari mereka. Menebus kesalahan atas keegoisanku. Atau apapun itu namanya.

“Nggak. Fatin lu di sini aja bantuin yang lain,” Shofi menyahut.

“Semoga cepet ketemu ya. Cepet balik,” kataku pada keduanya yang sudah mulai berjalan ke arah atas.

Kami yang ada di tenda saling berbagi tugas. Kak Tiwi dan Kak Lina mencuci alat masak dan makan yang kotor. Sedangkan aku merapikan perlengkapan di tenda perempuan.

Baru beberapa menit aku ditinggal sendirian di tenda. Tiba-tiba Dhika datang dari kejauhan.

“Alhamdulillah. Yang lain mana?” tanyaku tetiba.

“Di belakang. Enalgen gue yang ijo sama air dong. Kasihan yang lain kehausan sama kelaperan,” sahut Dhika.

Aku sontak mengambil barang-barang yang disebutkannya, meskipun awalnya sempat linglung dan bingung kemana yang lainnya.

“Yang lain mana? Ketemu sama Shofi dan Bang Edi gak?” tanyaku saat Dhika sedang minum.

“Di belakang. Udah, lu rapihin tenda gue ye. Keluarin isinya. Lepasin rangkanya. Kesorean nih nanti turunnya,”

“Hu’um,” aku mengangguk dan mulai melakukan intruksi Dhika saat dia berbalik arah, berjalan ke atas untuk menjemput yang lainnya.


Insiden Kolor

Aku membentangkan trash bag di dekat pohon. Kemudian aku memasuki tenda pria. Mengeluarkan tas mereka. Lalu mengambil matras yang menjadi alas tidur mereka untuk dijadikan alas barang-barang mereka.

“Haduh berantakan banget. Ini barang siapa aja?” gumamku saat melihat isi tenda. “Ah, sudahlah. Pokoknya gue keluarin aja dulu semuanya deh.”

Ada dua sleeping bag yang belum dilipat. Aku melipatnya satu satu, menggambungkannya dengan tas yang sudah kukeluarkan. Lalu aku mengambil beberapa kantung plastik yang entah apa isinya. Semuanya aku gabungnya saja.

Ketika aku hendak keluar tenda, tiba-tiba tanganku menyentuh kantong plastik di dekat pintu tenda yang sedari tadi terhalang oleh kakiku sendiri. Aku raba-raba sejenak, terasa seperti sebuah pakaian. Tapi kok kecil? Kok berkaret?

Aku menarik kantong plastik yang tertindih kakiku sendiri. Benda yang ada di dalamnya keluar sendiri. Berantakan begitu saja saat kutarik. Jumlahnya lebih  dari satu. Bentuknya segitiga, berwarna abu-abu, dan berkaret hitam pipih. 

Aaarrrgggghh! Underware! Celana dalam! Kolor! Huaaaaaa! >,<

Aku tersontak. Tertawa geli sendirian. Celingak-celinguk di tenda kosong dan cengar-cengir sendiri. Hahahahaha. Awkward. Tapi geli. Tapi lucu.

Aku bergidik, sembarang memasukan celana dalam abu-abu itu ke kantung plastik yang kupegang dengan tangan kiri. Kemudian aku meletakkan kantung-kantung yang aku angkut dari dalam tenda ke atas matras. 

Aku tertawa lagi, sejenak. Membayangkan kecanggungan beberapa saat lalu saat melihat celana dalam abu-abu yang aku bentangkan di dalam tenda. Ah sudah, sudah! Beberes aja, Tul. Seruku pada diriku sendiri sambil menahan tawa yang nyaris kukeluarkan lagi


I Look They Return!

Baru saja aku ingin melepas pasak tenda, pandanganku teralih pada warna merah yang mengarah ke tenda kami.

“Erni!” aku sontak berlari ke arah tenda perempuan.

“Lisfaaaaaah! Gue nyasaar!” kata Erni sambil berlari ke arahku.

Aku langsung memeluk Erni yang dibuntuti Dhika. “Maafin yaaa. Tadi jalan duluan. Gak kenapa-kenapa kan? Ayo duduk, makan dulu!” aku menunjuk makan siang untuk mereka yang sudah kami siapkan.

“Tendanya belom sempat dibongkar, Dhik. Barang-barangnya udah dirapihin, udah dikeluarin juga itu,” kataku pada Dhika.

“Iya gak apa-apa. Laper nih gue. Tiwi sama Ais mana?” seru Dhika.

“Masih ngambil air sama nyuci alat masak kayaknya. Gih pada makan dulu. Udah disisain itu dari tadi,” kataku sambil menunjukkan nasi dan lauk untuk mereka.

“Ah, bikin ribet nih tali-tali!” kata Erni sambil mengeluarkan potongan tali dari kantung jaketnya.

“Kita tuh lama gara-gara tali-tali gak jelas itu tau gak! Itu tuh gak jelas tali penunjuk arah apa tali buat mapala atau apa!” Dhika menimpali. Mencurahkan kekesalannya pada tanda-tanda di pohon yang konon menyesatkan mereka.

Satu satu yang lainnya muncul. Yudith, Yolla, Bang Awal, Bang Edi, Shofi, bahkan Kak Tiwi dan Kak Lina. Kini kami sudah lengkap. Kami saling menimpali cerita tentang terpisahnya kami. Pun mereka yang selama dua jam tersesat. Termasuk tentang tali-tali yang menjadi sasaran kekesalan Erni dan Dhika karena dianggap semakin membuat mereka tersesat.

Tidak tega melihat wajah mereka yang kelelahan. Pasti mereka kelaparan dan kehausan. Duh, aku benar-benar merasa bersalah sudah menuruti kekesalanku dan memilih jalan lebih dulu tanpa memikirkan yang lain. Padahal saat itu aku hanya kesal pada Dhika –yang menurutku sudah seenaknya menyuruhku jalan duluan dan sendirian padahal yang lain sudah berjalan lebih dulu sedari tadi.

Saat jalan lebih dulu, mungkin aku sedang beruntung karena bertemu dengan pendaki lain yang juga hendak turun. Jika saja saat itu aku, Kak Lina, dan Shofi tidak bertemu dengan pendaki lainnya, mungkin kami juga aka tersesat. Mungkin lebih lama tersesatnya daripada mereka.

Tapi, ya sudahlah. Semuanya sudah dilewati. Biar jadi pelajaran untuk diriku sendiri; kalau jengkel ingat waktu dan tempat, juga jangan seenaknya. Yes, I’ll do it next time! Insya Allah!


Bersama Tuan-Tuan Tak Tampak

Semuanya sudah berkumpul. Lengkap sudah. Kami merapikan semua bawaan. Sambil packing,  aku berincang ringan dengan siapapun di antara kami. Apapun itu perbincangannya. Sesekali kami juga saling menimpali canda. Ah, hanya di sini, saat hendak turun inilah aku merasakan kehangatan dari orang-orang asing yang baru kukenal, yang sedari kemarin mendaki bersamaku.

Seperti biasa, sebelum turun kami membentuk lingkarang seperti kemarin kami hendak mendaki. Berdoa dengan khitmad, berharap keselamatan di perjalanan turun hingga kami bisa berkumpul kembali dengan keluarga di rumah. Eh iya, tidak lupa juga kami berfoto sebelum meninggalkan Kandang Badak.

Pukul 04.00 WIB, kurang lebih. Kami berjalan beriringan. Mulanya. Ya seperti biasa, pasti akan terpisah-pisah. Di awal perjalanan turun ini aku, Dhika, dan Shofi berjalan lebih awal. Di tengah perjalanan, Dhika sempat memintaku bertukar tas denganya karena tasku lebih berat daripada tasnya.

Kami melanjutkan perjalanan hingga air panas. Di sini kami bertiga beristirahat sambil menunggu yang lainnya menyusul.

Tak lama setelah kami beristirahat di air panas, yang lainnya datang. Di sinilah kami membuat popcorn instan yang dibawa Dhika sejak kemarin, namun belum sempat dimasak. Baru sejenak kami bersama, saling menimpali canda lagi, tiba-tiba Kak Lina memanggilku. Mengajak jalan lebih dulu.

“Tunggu dulu, Kak. Bareng aja. Udah mau gelap ini soalnya,” sahutku sambil tetap berkerumun bersama yang lainnya.

Kak Lina mengajakku lagi untuk berjalan lebih dulu. Akhirnya aku, Kak Lina, Yolla, dan Erni berjalan terlebih dahulu.

Selama jalan berempat, Yolla harus di tengah. Aku membuat peraturan sendiri, mengingat Yolla tampak masih letih. Kami melwati air panas perlahan-lahan. Aku khawatir Yolla jatuh atau terpeleset karena bebatuan yang licin.

“Yolla bisa?” tanyaku pada Yolla yang ada di belakangku.

“Bisa, Kak Fatin,” jawabnya.

Saat kami sudah melewati bebatuan besar di air panas, tetiba terdenar suara dentuman. Yolla terjatuh. Bersyukur dia tidak apa-apa dan hanya terpeleset hingga jatuh terduduk. Sepatunya basah. Kakinya pun basah. Sampai di pos pemberhentian, kami berhenti. Yolla mengganti kaos kakinya.

Tik…. Tok…. Tik…. Tok....

Di telingaku terdengar jarum jam berdetak sangat lambat. Selambat Yolla berganti kaos kaki. Sampai-sampai saat itu rasanya aku ingin turun tangan untuk menggantikan kaos kakinya dan memasangkan sepatunya. Tapi saat itu hanya senyum-senyum dengan Erni sambil bergeleng.

“Udah, Yol?” tanyaku, memastikan untuk kesekian kalinya apakah Yolla sudah selesai mengganti kaos kaki atau belum.

Kami melanjutkan perjalanan. Hingga gelap mulai datang.

Situasi kembali menjadi menyebalkan –buatku. Kami hanya punya dua senter. Entah senter milik siapa saja. Tapi yang jelas itu bukan milikku. Karena baterai headlamp-ku habis dan aku tidak membawa baterai cadangan.

“Erni, Kak Lina, yang pegang senter di paling depan sama paling belakang ya,” seruku pada mereka.

“Lisfa aja yang pegang senter di depan,” kata Kak Lina.

“Gue jangan belakang dong,” kata Erni.

Aku memegang sebuah senter yang diberikan Yolla. Kami berjalan beriringan. Aku, Yolla, Erni, dan Kak Lina. Agak menyebalkan sebenarnya. Aku pikir hari yang mulai gelap ini cukup bahaya dengan hanya dua penerangan. Apalagi kami perempuan semua dan tidak ada pendaki lain yang beriringan dengan kami. Belum lagi kami harus menjaga Yolla juga “menuntun” Yolla untuk memilih pijakan agar dia tidak terjatuh lagi.

“Yolla bisa kan?”, “Lewat sini, Yol!” Aku berulang kali mengucapkan dua kalimat tersebut selama turun.

Sampai cukup lama kami berjalan hanya berempat, yang lainnya belum juga datang. Pun itu pendaki lain yang bukan tim kami.

“Berhenti dulu ya. Nunggu yang lain aja,” pintaku pada yang lainnya.

Kak Lina menolak. Aku meminta Yolla beristirahat saja sambil menunggu yang lainnya, tapi Yolla  juga menolak. Tinggal Erni yang hanya mengikuti saja apapun keputusannya. Saat itu aku tetap bersikukuh untuk menunggu yang lainnya.

“Ayo lanjut aja,” pinta Kak Lina.

“Kalo mau duluan yaudah, Kak Lina duluan aja. Gue bisa aja duluan. Tapi kita Cuma berempat. Gak ada orang di sini. Sekuat apapun gue tetap cewek. Gue mau ada cowok di sini!” kataku dengan suara tinggi. Mungkin bisa dibilang membentak.

“Ya tapi mereka lama,” ujar Kak Lina.

Ah, sebenarnya aku minta berhenti bukan karena gelap dan kami hanya berempat di sini. Melainkan karena sedari tadi ada yang lain di antara kami. Kami tidak berempat. Ada yang lain yang mengikuti kami. Tak hanya satu, tapi beberapa. Aku takut –ya takut, kondisi  Yolla yang keletihan justru memancing terjadinya hal yang sangat tidak diharapkan. Belum lagi Kak Lina yang sejak kemarin sudah “dikerjai”. Apalagi sepanjang jalan ini pengelihatanku mulai aneh. Mulai tampak hal-hal aneh.

Saat kami berempat sedang berdiam, dari belakang kami muncul tiga pria pendaki. Mereka menyapa kami selayaknya pendaki yang lain dan mengajak kami  turun bersamanya.

“Yaudah, ayo bareng mereka!” Kak Lina mengajak.

Alhasil kami berempat berjalan bersama ketiga pria ini.  Saling tanya sejenak. Lalu perjalanan kami hening hingga teman-teman menyusul kami.

Kami berjalan beriringan lagi. Aku tetap berjalan dengan Yolla. Mengarahkan jalannya setapak demi setapak. Saat sedang menyinari jalan di depan Yolla, aku berjalan mundur. Kaki kiriku turun terlebih dahulu, disusul kaki kananku. Aku tidak menyadari bahwa kaki kananku menendang sebuah batu dan jatuh tepat di ujung kaki kiriku.

Dug!

Ya Tuhan, sakit! Tulang jemari kakiku sempat kejang dan ngilu. Aku tidak mengacuhkan sakit di jari kaki. Aku terus melangkah sambil membalikkan badan, berjalan ke depan, dan tetap membagi cahaya dengan Yolla.

Sebelum Panyangcangan. Kami masih berjalan beriringan. Para pendaki juga mulai banyak terlihat. Ada sekelompok pendaki yang berhenti. Salah satu dari mereka menggendong seorang perempuan berambut pendek. Wajah yang menggendong dan yang digendong sama-sama pucat.

“Ya Allah. Sakit, Mas, temannya?” tanya salah satu di antara kami.

“Iya ini udah payah dari tadi,” sahut pria yang berdiri di depan yang menggendong.

Itu bukan sakit. Itu ada yang ngikutin. Aku bergumam dalam hati sambil berlalu, saat melihat ada yang berbeda dari wanita pasi yang tertunduk saat digendong.

Masih sebelum Panyangcangan. Kami berhenti sejenak. Melepas lelah. Akumemilih bersandar pada tasku sambil menghadap ke arah jalan yang akan kami lewati selanjutnya. Di sisi kiri jalan, di antara pohon yang tak jauh dariku, ada sosok besar menyeramkan. Sedangkan di sisi kanan kami ada sosok-sosok beraneka rupa yang melayang. Melakukan aktivitas mereka sambil seperti  menunggu sesuatu.

Tak lama setelah kami beristirahat, rombongan pendaki yang salah satu anggotanya sakit datang menyusul kami. Mereka memilih sisi kanan. Aku melirik sejenak saat suasana menjadi dingin. Dingin yang berbeda.

Sesaat setelah itu, terdengar suara pria berteriak. Bukan pria, tapi wanita pucat pasi yang digendong tadi yang berteriak dengan suara berbeda.

“Tuh kan,” gumamku dalam hati sambil membaca doa.

Saat sedang diam berdoa, tiba-tiba seorang lelaki menghampiri kami. Dia meminta bawang pada kami. Suara pria di balik wanita pucat  pasi itu yang meminta, sepertinya. Sebenarnya, kalau ada kejadian seperti ini tidak harus dituruti permintaannya. Jika masih bisa diajak berkomunikasi, sebaiknya berkomunikasi saja. Lalu “bernegosiasi” agar makhluk itu pergi setelah permintaanya diberikan.

Beberapa lama setelah aku berdiam diri, menyimak keadaan hanya dengan telinga –karena sudah terlanjur nyaman dengan posisi bersandar, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Panyangcangan kami lewati begitu saja tanpa berhenti. Di sini Yudith dan Shofi diikuti sesosok pria tinggi. Aku dan Kak Lina yang berjalan bersisian mengikuti di belakang mereka. Sampai di pertengahan jembatan Telaga Galonggong, sosok itu menghilang.

Kini posisi kami benar-benar terpisah. Kak Tiwi dan Dhika di depan, disusul Yudith dan Shofi. Aku dan Kak Lina berjalan bersama Bang Edi. Sedangkan Bang Awal, Yolla, dan Erni di belakang.

Sebelum berjalan terpisah dengan Erni, Bang Awal dan Yolla, aku memang sengaja bilang ingin jalan lebih dulu. “Gantian, Er, temenin Yolla. Kaki gue sakit banget jalan terlalu lama begini.”

Saat jalan lebih dulu bersama Kak Lina dan Bang Edi, kakiku sakit sekali. Bekas tertimpa batu beberapa saat lalu jadi terasa karena terlalu lama berhenti dan lambat saat berjalan. Aku sempat beberapa kali minta berhenti karena merasakan perih di jari kaki.

“Sepatunya ngepas kali, Tin,” Bang Edi berseru.

“Enggak. Ini udah lebih satu ukuran. Tadi emang sakit kok ini kakinya,” jawabku.

Kami melanjutkan perjalanan dengan cukup perlahan. Karena tidak kuat menahan perih di jari kaki kiri, aku lebih mengandalkan kaki kananku. Di perjalanan turun bertiga ini kadang hening, kadang kami saling berbincang hal-hal ringan. Yang aku ingat, saat itu aku sempat mengutarakan kekesalanku selama pendakian ini. Pun itu Kak Lina. Dan Bang Edi hanya menanggapi dengan kata “Umm” dan sesekali tertawa kecil.

Satu demi satu bebatuan kami pijaki untuk menempuh Pos Pemeriksaan. Akhirnya kami tiba di pos. Dhika, Kak Tiwi, Shofi, dan Yudith, sudah duduk santai di teras salah satu bangunan. Sepertinya mereka sudah cukup lama menunggu. Ketika melihat kami bertiga datang, mereka bertepuk tangan sambil mengucapkan beberapa seruan.

Aku memasang wajah datar. Entahlah. Perih di jari kaki membuatku malas menanggapi mereka termasuk saat mereka menanyakan Yolla, Erni, dan Bang Awal.

Aku langsung memilih posisi yang bisa membuatku bersandar pada tas dengan nyaman. Aku melepas sepatu kiri dan memijat jemari kaki yang tadi tertindih batu. Beberapa jari terasa membengkak. Sakit yang paling terasa ada di jempol kaki. Perih pula.

Saat sedang memikit kaki, Erni, Yolla, dan Bang Awal datang. Erni membaringkan badannya di samping Kak Lina. Yolla duduk di ubin sambil bersandar pada tembok. Sedangkan Bang Awal meletakkan tas di paling ujung, dekat Bang Edi dan Dhika.

Aku letih. Aku memutuskan melupakan sakit di kaki dan memilih memejamkan mata sejenak. Baru saja aku mau memejamkan mata, aku merasa ada yang mendorong-dorong tas yang menjadi sandaranku. Lalu kegaduhan kecil tertangkap di telingaku.

“Kok gak ada? Eh, celana dalem gue kebawa lu, Di?” suara Dhika.

“Nggak. Ngapain juga bawa celana dalem lu,” sahut suara Bang Edi.

Saat itu aku ingin terjaga lalu terawa terbahak-bahak mengingat celana dalam yang tadi siang tidak sengaja aku bentangkan dan aku masukan ke sembarang kantung plastik.

“Kayaknya sama Awa’. Tadi ada warna abu-abu,” suara Bang Awal menimpali.

Aku terseyum. Lalu melanjutkan tidur.


Pulang

“Lis…, Lisfah. Bangun!” seru suatu suara membangunkanku. Mengguncang tubuhku.

“Umm…, udah mau jalan lagi? Kataku sambil memicingkan mata.

Saat aku membuka mata sepenuhnya, semua sudah berkemas. Aku meregangkan otot-otot. Saat tangan kuregangkan ke atas, aku merasa tas yang kubawa semakin ringan.

“Tasnya kok terbuka?” tanyaku pada sembarang orang.

“Tadi gue ambil barang,” sahut Dhika.

“Eeeh, bukannya bangunin aja,” kataku sambil melepas tas dan mengambil tasku sendiri.

Semuanya sepertinya berganti  pakaian kecuali aku. Ah, biarlah. Sudah terlanjur malas. Pokoknya yang penting tadi sebelum turun, aku sudah bersih-bersih dan ganti-ganti di Kandang Badak. Aku membela diri sendiri dalam hati.

Kami berjalan ke jalanan Cibodas. Menuju deretan warung yang sudah tutup. Hanya satu dua warung makan yang masih buka. Dan kami mampir ke salah satunya.

Sudah hampir tengah malam. Aku memutuskan tidak makan. Saat yang lainnya makan dengan menu bakso dan bubur, aku memilih hanya minum jus jambu merah kemasan yang selalu kubawa setiap kali bepergian.

Usai makan beberapa menit, kami langsung naik angkot kuning ke pertigaan Cimacan. Beruntung di depan warung tempat kami makan ada angkot. Dengan bantuan ibu warung, angkot itu dipanggil ke depan warung.

Kondisi tempat duduk masih kondusif dan suasana masih stabil saat kami menaiki angkot menuju pertigaan Cimacan dengan berdesakan. Tapi berbeda dengan perjalanan selanjutnya dari Cimacan menuju Kampung Rambutan.

Seorang calo angkot menghampiri kami dengan suara khas orang mabuk. Seingatku, saat hendak menuju Cibodas kemarin, calo angkot paruh baya itu juga dalam kondisi mabuk seperti ini.

Sebagai orang yang diketuakan dalam pendakian ini, lagi-lagi Dhika yang  ambil alih berinisiasi menggunakan angkot menuju Kampung Rambutan. Alasannya adalah kalaupun kami naik bus dari Cimacan menuju Kampung Rambutan, kami tidak akan memperoleh tempat duduk. Dan memang begitu kondisinya. Bus menuju Kampung Rambutan yang lewat di depan kami penuh kursinya.

Dhkia dan calo angkot bernegosiasi tentang tarif kami ke Kampung Rambutan. Kurang lebih Rp300.000,- tarif yang disepakati untuk mengantarkan kami ke Kampung Rambutan dari pertigaan Cimacan ini.

Baru saja kami menaikkan beberapa tas setelah proses tawar-menawar tarif, supir angkot berkata bahwa angkot yang akan kami tumpangi bocor bannya. Tanpa ba-bi-bu alias basa basi pada kami, angkot tersebut meluncur ke bengkel yang katanya tak jauh dari posisi kami. Dhika sempat marah saat itu, sebab tas yang sudah masuk tidak dikeluarkan terlebih dahulu.

Di sini, tampak suasana menjadi buram. Semuanya seperti dalam kejengkelan. Aku yang sudah cukup merasakan jengkel sejak awal pendakian, memilih berbincang dengan Erni dan Kak Lina. Membincangkan apa saja, termasuk tentang tari kreasi yang aku buat untuk anak-anak di sekolah tempat Erni mengajar.

“Emang lu bisa nari, Lis?” tanya Kak Lina tidak yakin kepadaku.

“Weeeiiit, bisa dong. Gue sering diundang buat tari tradisional selama SD. Apalagi sekarang pas jadi guru SLB itu harus bisa nari, nyanyi, sama main musik,” aku menimpali keraguan Kak Lina.

“Gimana lu kalo nari?” Kak Lina masih tampak ragu sambil mendorong bahuku dengan bahunya bersebelahan.

“Yeeey, tanya deh sama Erni. Kita bikin tarian kreasi buat anak-anak murid dia,” aku kembali menimpali.

“Iye tau, Kak. Nih ada videonya pas Lisfah tari kreasi buat anak-anak,” sahut Erni.

“Hiiiaaaaak. Jangan disetel di sini!” aku menjerit lalu tertawa.


Insiden Molor

Saat sedang asik mengobrol, angkot yang akan kami tumpangi ke Kampung Rambutan sudah datang. Semua tas dimasukkan ke dalam mobil. Ketika memasukkan tas pun lagi-lagi suasananya penuh kejengkelan. Shofi meninggikan suaranya. Dhika pun cara berbicaranya sudah jutek. Ini orang kalau sudah kecapean pada berubah jadi menyeramkan ya, batinku.

Setelah semua tas masuk, giliran kami duduk. Yolla, Shofi, Kak Lina, dan aku duduk pada bangku panjang. Bang Edi, Yudith, dan Kak Tiwi duduk di bangku yang lebih pendek. Di depan, Bang Awal duduk bersama kenek yang menemani si supir. Sedangkan Dhika duduk di atas lantai angkot, tepat di depan pintu.

Hampir semua teman sudah menyiapkan posisi ternyaman untuk tidur di dalam mobil. Aku sendiri sempat merasakan sakit di pinggangku yang secuil, karena terkena siku Kak Lina. Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, aku meluruskan tangan kananku di belakang jok bagian depan, yang di samping jok supir. Sedangkan tangan kiri aku lipat di atas tas yang berdiri di depanku.

Beberapa menit kemudian setelah aku terlelap dengan sendirinya *halah, bilang aja pelor, nempel molor*, aku merasakan tubuhku tidak dapat bergerak. Kedua tanganku juga sulit  bergerak. Aku hanya bisa menggerakkan kepalaku.

Aku mengangkat kepala yang dari tadi tertunduk dan berpangku pada tas. Aku melihat apa yang terjadi dengan tubuhku. O, God! Aku bingung sekaligus canggung.

Kak Lina bersandar di pundakku. Tangan kiriku terhimpit kepala Dhika yang bersandar di lenganku. Lengan kananku terhalang kepala Bang Awal yang juga terjatuh di lenganku. Aku ingin menarik kedua tanganku, karena mulai terasa kesemutan. Tapi membiarkan saja posisiku seperti ini, sebab tidak enak jika harus membangunkan yang lain. Saat satu per satu Dhika dan Bang Awal, agak terjaga dan mengangkat kepalanya, aku bergegas menarik tanganku dan melipatnya di depan dada atau di bawah wajah.

Perjalanan dilanjutkan dengan tidur kembali. Tapi sayangnya belum lama tertidur kembali, tiba-tiba muncul kegaduhan lagi.

“Kalo mau ke Kampung Rambutan keluar di tol mana? Ada yang tau gak?” terdengar beberapa di antara kami setelah supir angkot bertanya pada Dhika.

“Lis…, Lisfah, ke Kampung Rambutan keluar di tol mana?” Kak Lina bertanya sambil menyenggol-nyenggol pinggangku yang hanya segaris.

“Keluar tol sebelum Kampung Rambutan,” kataku sambil setengah sadar. Asal. Dan sebenarnya tidak ingin dibangunkan *dasar pelor*

“Iya, nama tolnya apa?” Kak Lina bertanya lagi.

“Umm…, gak tau,” aku menjawab singkat dan memilih kembali tidur. *tidur melulu*

Cukup lama aku tertidur. Tapi tidak dengan yang lainnya, apalagi yang dengan senang hati mau terjaga demi menemukan tol tempat kami keluar untuk menuju Kampung Rambutan.

Kurang lebih pukul 2.30 WIB pagi. Kami tiba di Kampung Rambutan. Seperti biasanya, kami turun di depan Asrama TNI yang bersebelahan dengan pintu masuk Kampung Rambutan. Aku segera meminta tenda yang aku bawa dari rumah dibawakan oleh Bang Awal selama perjalanan ini. Selanjutnya aku, Kak Lina, dan Erni langsung berkumpul bertiga. Dari kejauhan aku melihat Dhika dan Kak Tiwi mengantarkan Shofi ke sebuah taksi.

“Lah Shofi balik aja. Gak pamit,” celetuk Kak Lina saat kami hendak berpamitan dengan yang lainnya.

Aku, Kak Lina, dan Erni, menyalami teman-teman wanita satu satu. Berpelukan. Cipika cipiki. Kemudian saling membisikkan ungkapan senang. Tak lupa pula selalu kubisikkan, “Sampai bertemu di perjalanan selanjutnya!”

Aku, Kak Lina, dan Erni tiba di rumahku pukul 3.30 dini hari. Kami langsung tepar di ruang tengah, di atas karpet yang terhampar. Di antara tas-tas yang kami terlantarkan. Sebelum beristirahat, aku membuka kaos kaki dan mengecek kaki kiriku yang tertimpa batu.Aku terkejut melihat kuku jempol kaki kiriku membiru. Kukunya goyang. Hendak copot. Sekencang apa tadi memangnya batu itu aku tendang sampai mengenai kaki kiriku sendiri dan kuku jempolku sampai copot seperti ini? Aku membatin.

Aku hanya mencuci kaki, membersihkan jempolku, mencuci muka, Lalu kembali ke ruang tengah. Aku, Kak Lina, dan Erni tidur begitu saja. Kami terbangun satu setengah jam kemudian, saat Emak menyalakan lampu ruangan.

Hooaaaaam....

It's Sunday! It's time to enjoying our activities! Aku kembali ke kampus untuk mengikuti Kelas Pelatihan IT tepat pukul 8.00 WIB, sebagai salah satu syarat pengambilan ijazah saat wisuda nanti. Erni dan Kak Lina kembali ke rumah mereka. Bertemu keluarga mereka kembali.

Satu lagi yang tak pernah terlewatkan. Yaitu kembali merencanakan pendakian atau perjalanan selanjutnya. Untuk menikmati sentuhan Tuhan dari hijaunya hutan, birunya langit, dan luasnya lautan. Untuk kembali menuliskan kisah menyenangkan.

***

Ya, seburuk apapun perjalanan ini, pada dasarnya perjalanan kali ini menyenangkan. Um, tidak. Buatku, setiap perjalanan pasti menyenangkan. Terlepas dari apapun yang telah, sedang, dan akan terjadi. Setiap perjalanan selalu menyenangkan, karena di dalamnya kita bisa mempunyai cerita baru, pengalaman baru, dan serpihan pelajaran baru, meskipun orang dan tempat perjalanan itu sama dengan sebelumnya. Dan yang paling menyenangkan adalah ketika melakukan perjalanan jauh dengan orang-orang yang baru kita kenal.

Seperti perjalanan kali ini bersama orang-orang yang asing bagiku. Begitu banyak konflik sebelum hingga selama perjalanan ini berlangsung, menjadikan pendakian kali ini sebagai pendakian yang paling menyebalkan. Karena begitu banyaknya konflik dan hal-hal menyebalkan di perjalanan ini, membuatku menuliskan catatan perjalanan ini sepanjang 60 lembar A4, Calibri 11, dengan satu spasi.

Tapi apapun yang terjadi selama pendakian kali ini, aku sangat berterima kasih pada kalian, sosok-sosok yang sudah menjadi tokoh dalam catatan perjalanan ini. Kalian orang-orang ajaib yang pernah kukenal. Berbagai karakter, latar belakang, sampai potongan cerita yang kalian bagi selama perjalanan ini membuatku merasa sangat senang bisa mengenal kalian. Kalian baik. Kalian unik. Bersama kalian, mungkin suatu hari nanti kita akan saling membantu dengan menyebut nama kita dalam doa yang kita panjatkan sehabis shalat.

Senang bisa mengenal kalian! Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya!

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan, ketika sebuah perjumpaan, perjalanan, dan kedekatan membawa kebaikan dan keberkahan?

-Selesai-

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -