Posted by : Fatinah Munir 10 October 2014



Saya termasuk orang yang suka jalan. Ya jalan ke mana saja dalam artian menikmati alam dan suasana sekeliling saya. Mulai dari sekadar keliling kota (apalagi Kota Tua, Jakarta :* ), ngebolang ke tempat yang jauh dan asing, naik gunung, ke pantai, dan berharap bisa keliling bawah laut.

Berhubungan dengan kesukaan saya pergi ke tempat jauh, sudah pasti saya akan menghabiskan waktu di perjalanan yang jauh. Sebelum-sebelumnya saya biasa jalan-jalan naik bus atau pesawat, cukup jarang menggunakan kereta.

Seperti bus antar kota pada umumnya, setiap bus memiliki jam berhenti di rumah makan beberapa menit. Waktu singgah di rumah makan ini biasanya juga saya digunakan untuk memenuhi kewajiban saya sebagai Muslim, yaitu shalat. Jika bepergian menggunakan pesawat, pastinya waktu perjalanan ke tempat tujuan akan lebih singkat meski saya harus menyeberang pulau. Dengan begitu, jika menggunakan pesawat waktu shalat tidak terlalu terganggu.

Nah, lain lagi ceritanya jika menggunakan kereta. Perjalanan menggunakan kereta ke luar kota inilah yang menjadi alasan saya membuat tulisan ini. Terakhir saya naik kereta beberapa pekan lalu saat hendak ke Jawa Timur dengan jam keberangkatan pukul 15.15 WIB dan tiba di stasiun tujuan pukul 3.49 WIB.

Sebelum berangkat, saya menjamak shalat zuhur dan ashar di rumah. Tapi bagaimana dengan shalat maghrib dan isya saya?

Sebelum perjalanan ke Jatim ini, perjalanan jarak jauh menggunakan kereta terakhir kali saya lakukan tahun 2012 lalu saat ngegembel ke Semarang. Ketika itu perjalanan saya tidak mengganggu waktu shalat, karena kereta berangkat di atas pukul 8.00 WIB dan tiba di Semarang pukul 5.15 WIB kalau saya tidak salah ingat. Kala itu saya masih bisa shalat Subuh di mushalah terdekat stasiun dan menumpang mandi di rumah salah satu warga dekat Stasiun Poncol sebelum matahari benar-benar muncul.

Di perjalanan kali ini, saya benar-benar bingung bagaimana saya melaksanakan shalat Maghrib dan Isya. Memang sih saya pernah melihat teman saya shalat Subuh di bus saat perjalanan ke Dieng. Tapi saat itu saya memilih shalat di masjid, karena shalat Subuh masih bisa dilakukan setelah kami turun dari bus. Lagi pula, saya pernah mendengar dari salah seorang teman bahwa shalat wajib tidak bisa dilakukan di kendaraan.

Karena info simpang siur yang saya peroleh sebelumnya dan pemahaman agama saya yang bisa dibilang masih seciul, ditambah lagi kebiasaan –yang bisa jadi saklek dan buruk; saya tidak akan melakukan hal yang tidak pernah saya pahami sebelumnya, akhirnya saya memutuskan untuk tidak melakukan shalat di dalam kereta sepanjang perjalanan ke Jatim.

Sebelum saya sampai di Jatim, lebih tepatnya Lamongan, saya bertanya pada teman  yang menjadi tuan rumah tentang shalat di perjalanan atau shalat di kendaraan. Namanya Alawy. Saya memanggilnya Kak Awy. Kebetulan beliau lulusan universitas ternama di luar negeri, konsen belajar di bagian tafsir hadits –kalau tidak salah. Jadi, insya Allah info yang beliau berikan valid.

Jadi, shalat wajib selama perjalanan jauh memang tidak bisa dilakukan di kendaraan. Shalat wajib selama perjalanan jauh hanya bisa diringankan dengan dijamak atau diqoshor.

Kurang lebih beginilah Kak Awy bilang, “Udah ngubek-ngubek buku babon, tapi gak ada tuh yang bilang kalau shalat wajib boleh dikerjain di kendaraan. Yang boleh dikerjain di kendaraan cuma shalat sunnah. Itu juga beda-beda pendapat mazhabnya.”

Jadi, mazhab Maliki dan Hanafi bilang kalau shalat sunnah di kendaraan hanya boleh dilakukan jika perjalanan lebih dari 83 Km dan shalat bisa menghadap mana saja.

Berbeda lagi dnegan mazhab Hambali dan Syafi’i yang bilang kalau shalat sunnah di kendaraan boleh dilakukan dengan jarak tempuh perjalanan berapa pun dan shalat diharuskan menghadap kiblat saat takbiratul ihram saja.

Lah terus kalau naik pesawat ke luar negeri ke yang memakan waktu panjang sampai 9 jam perjalanan, bagaimana shalat wajibnya? Atau kalau naik kereta seperti yang saya alami beberapa waktu lalu, bagaimana dong shalat wajibnya?

Masih merujuk ke jawaban dari Kak Awy. Jadi kalau waktu tempuhnya sangat lama dan tidak memungkinkan berhenti untuk shalat, maka shalat wajibnya dibablas.

Loh? Terus bolong shalatnya gitu?

Nein. Tidak begitu. Kita berarti punya “hutang” shalat selama di dalam kendaraan. Sama seperti hutang puasa, hutang shalat ini juga harus dibayar. Diqodho. Caranya dengan mendouble shalat wajib yang bablas selama dalam kendaraan. Dilakukannya di waktu shalat yang sama.

Adakah keringanan lainnya tentang shalat dalam kendaraan? *maunya yang ringan-ringan*

Ada. (Yeeeeaaach. Prok prok prok!) *Gak usah kegirangan dulu*

Kalau kita melakukan perjalanan jauh menggunakan bus atau mobil yang memungkinkan kita bisa berhenti untuk shalat wajib, ada keringanan untuk tidak usah keluar kendaraan dan bisa melakukan shalat wajib di kendaraan. Yaitu saat terjadi empat hal, (1) saat perang (macam perang di Palestina dan  Somalia mungkin), (2) jika ada kemungkinan dirampok jika turun (mungkin seperti perjalanan jalur darat ke Padang yang harus melewati hutan dan banyak penyamun), (3) saat tanah yang dilewati kendaraan itu berlumpur dan tidak ada tempat singgah selama perjalanan, (4) saat sedang sakit parah.

Satu lagi. Saat di kendaraan, mislanya di kereta dalam waktu sangat lama dan tidak memungkinkan untuk shalat wajib, kita bisa melakukan shalat sunnah untuk menghormati waktu shalat yang sudah tiba. Saya lupa namanya itu shalat apa. Intinya itu shalat sunnah dua rakaat dalam kendaraan yang setidaknya untuk menghormati datangnya waktu shalat selama kita tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat wajib.

Kurang lebih begitulah tentang shalat wajib di kendaraan. Semoga postingan ini bermanfaat. Khususnya untuk teman-teman yang juga suka ngebolang ke tempat-tempat jauh.

Karena setiap perjalanan –bagi saya– adalah cara saya menyentuh dan mengenal Tuhan lebih dalam, maka saya juga masih belajar agar setiap perjalanan saya tidak boleh lepas dari-Nya. Jadi, kalau ngebolang tetap jalan, kenapa shalatnya nggak?


“Islam memang gampang, tapi bukan berarti digampangin seenak jidat kita.” 
(Kak Awy)

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -