Posted by : Fatinah Munir 17 July 2013

Bismillahirrahmanirrahim



Kami memanggil beliau dengan sebutan Abah, bukan karena beliau ayahanda kami. Kami memanggil beliau dengan sebutan Abah, juga bukan karena beliau seorang lelaki tua dengan rambut putih atau yang sering berkopiah haji. Kami, saya dan warga di sekitar rumah saya, memanggilnya abah sebagai bentuk penghormatan kami pada beliau.

Abah Rete, begitulah sebutan beliau sebagai Ketua RT 004 di kawasan Jati Pulo. Usia Abah Rete sebaya dengan kakak pertama saya, sekitar 30an, masih sangat muda dibandingkan pengurus-pengurus kebanyakan.

Kalau di rumah, Abah Rete bersikap amat sangat biasa dengan warganya. Kahidupan Abah Rete juga amat sangat sederhana, dengan rumah yang teramat biasa dibandingkan dengan rumah-rumah warganya. Abah Rete bergaul layaknya warga biasa. Beliau berkumpul, main catur, main karambol, dan mengikuti pengajian seperti warga pada umumnya. Aih, tiada istimewa diri Abah Rete jika dilihat dari kesehariannya. Ya, kendati beliau berlebelkan Ketua RT.

Tapi ada sisi lain Abah Rete yang saya pikir pasti tidak banyak diketahui warganya. Di balik kewibawaan dan kehumanistikkannya, Abah Rete punya bagian kehidupan yang bertolak belakang dari jabatannya sebagai pemimpin sekaligus pengayom kami, warganya.

Jadi, sepagian di setiap hari, saat saya dan warga lainnya sibuk dengan masing-masing aktivitas di rumah menuju sekolah, kampus, kantor dan lainnya, Abah Rete sudah tidak ada di rumah. Saya yakin, kecuali istrinya dan Allah SWT, tiada yang tahu persis kemana gerangan beliau pergi sepagi buta itu. Dan, begitulah seterusnya. Abah Rete tidak ada di rumah sepagian buta hingga terik siang menerpa.

Hingga pada suatu pagi yang dingin, saat langit-langit bumi bocor dan membasahi Jakarta, saat saya duduk di sisi jendela bus sambil menatap titik-titik air jatuh ke jalanan, saya melihat sosok yang tak asing lagi di mata saya sedang duduk menekuk lutut di atas terotoar yang ada di sepanjang jalan Kebon Sirih. Sosok itu bersandar pada sebatang pohon besar, berkumpul bersama pria-pria berbaju hijau dengan perkakas kebersihan di tangan mereka.

Saya tegaskan lagi mata saya untuk meyakini apa yang sedang saya lihat. Sampai-sampai saya berkali-kali membasuh embun yanh melekat di kaca jendela untuk memastikan bahwa mata saya tidak salah melihat.
Berkali-kali, hampir setiap pagi, saya kembali memusatkan pengelihatan ke sepanjang jalan Kebon Sirih, mencari sosok yang mengejutkan mata dan hati. Berkali-kali saya memusatkan pengelihatan ke arah jalan, berkali-ali juga saya melihat sosok berbaju hijau dengan perkakas kebersihan jalanan.

Betul saja. Sosok itu adalah sosok yang sangat saya kenal, sosok yang penuh dengan kewibawaan dan pembawaannya yang merakyat. Kemunculan beliau di antara pria-pria berbaju hijau menjadi jawaban atas menghilangnya beliau di sepagian buta hingga terik siang menerpa. Sosok itu adalah Abah Rete, pemimpin kami, Ketua RT kami yang akrab dengan sikapnya yang hangat.

Keesok-esokanan harinya, ketika saya yakin bahwa saya tidak salah melihat, saya bertanya pada kakak perempuan saya, "Abah Rete kerja apa selain jadi Ketua RT?". Jawab kakak saya, "Gak tahu." Pun itu jawabnya ketika saya bertanya pada orang lain.

"Abah Rete jadi tukang sapu jalanan," ucap saya suatu hari, menghantar kabar pada orang rumah.

"Ah, masa? Gak mungkin. Kamu salah lihat, kali," sangkal siapapun yang mendengar kabar dari saya.

"Beneran. Setiap pagi, kalau mau berangkat kuliah, Lis lihat Abah Rete di Kebon Sirih," jelas saya.

Siapapun yang mendengar kabar ini tetiba terdiam. Mungkin sekejut menyisakan berjuta tanya di benak mereka. Benarkah? Masa iya?

Begitulah ternyata sisi lain kehidupan Abah Rete yang mungkin masih jarang diketahui warga kebanyakan. Kendati menjabat sebagai pemimpin dan pengayom kami, warganya, Abah Rete ternyata punya pekerjaan yang (maaf) bisa dibilang rendah dibandingkan posisinya di lingkungan warga. Bahkan, pekerjaan Abah mungkin jauh tidak berkelas dibandingkan warga yang diayominya, seperti kepala pemadam kebakaran DKI Jakarta, juragan sate, juragan kontrakan, dokter, dosen, dan banyak lagi yang berprofesi tinggi di masyarakat.

Menjadi seorang tukang sapu jalanan di balik jas kepemimpinan di tingkat RT, mungkin terlihat rendah dan hina. Itu jika dilihat sepintas, sekilas pandang. Tapi, ada satu sisi mulia yang setidaknya telah Abah Rete ajarkan diam-diam kepada banyak orang, termasuk saya. Ya, terlepas dari alasan apapun itu mengapa Abah Rete memilih menjadi tukang sapu jalanan, ada banyak hal yang bisa diteladani dari sosok beliau.

Abah Rete, seperti apapun posisinya sebagai pemimpin sekaligus pengayom warga dengan segala sisi kehumanistikkannya, beliau mengajarkan untuk tetap menjadi pengayom, penjaga, meski keadaannya justru mungkin lebih buruk atau lebih rendah dibandingkan warganya sendiri. Tiada alasan bagi Abah Rete untuk bersikap gengsi dengan statusnya sebagai tukang sapu jalanan di balik posisinya sebagai Ketua RT.

Abah Rete mengajarkan untuk tidak menjadikan posisi atau jabatan sebagai pembenaran untuk bisa memanfaatkannya demi perut keluarga sendiri. Dengan menjadi tukang sapu jalanan, setidaknya Abah Rete mengajarkan bagaimana caranya tetap bertahan dalam ruang bernama kejujuran.

Seperti Abah Rete pula, dulu Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin pun mengajarkan bagaimana memepertahankan kejujuran dalam jabatan, pun itu untuk tidak mengambil keuntungan peribadi. Banyak buku-buku sirah nabawiyah yang menceritakan kepada kita bagaimana sederhananya kehidupan Rasulullah dan para sahabat di tengah kepemimpinan mereka. Bahkan, kalaupun ada di antara mereka yang kaya raya, mereka tidak segan menyerahkan harta mereka untuk kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya.

Terinspirasi dari sepanjang kisah ini, ada hal penting yang perlu ditanamkan bersama-bersama dalam hati. Yaitu tetap menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dari segala tujuan, mematrikan dalam hati bahwa apapun amanah yang diberikan-Nya akan ada perhitungannya di suatu hari kelak, serta tetap belajar menjadi seorang yang merendahkan hati, meski label apapun melekat pada diri.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Amin. (nir)

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -