- Back to Home »
- Inklusif »
- Kesalahpahaman Program Pendidikan Inklusif di Indonesia*
Posted by : Fatinah Munir
20 March 2013
Dewasa ini, sudah cukup
banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang menyuarakan pengadaan “Kelas
Inklusif”, sehingga terjadi kerancuan mengenai makna “inklusif” di dunia
pendidikan. Dampaknya, program pendidikan inklusif berada di antara dua sisi
yang masih samar-samar, yakni antara tren pendidikan dan hakikat pendidikan
yang sesungguhnya. Sebelum membahas lebih jauh lagi, sebaiknya terlebih dahulu
kita ketahui pengertian inklusi.
Sapon-Shevin(1994) berpendapat bahwa pendidikan inklusif
adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya.
Sedikit berbeda pendapat dengan Sapon-Shevin, Stainback (1980)
mengemukakan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah
yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan
oleh para guru agar murid-murid berhasil.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan Sapon-Shevin,
setidaknya pembaca dapat menyimpulkan bahwa program pendidikan inklusif hanya
bisa terlaksana jika dalam sekolah regular terdapat anak berkebutuhan khusus. Melalui
pengertian ini penulis menilai pendapat Sapon-Shevin kurang tepat. Sebab,
secara filosofis program pendidikan inklusif merupakan program pendidikan
berlandaskan hak yang mana setiap murid seperti yang dikemukakan oleh
Stainback. Sehingga, baik berkebutuhan khusus atau pun tidak dapat menerima
pelayanan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Kenyataannya di lapangan, program inklusif didefinisikan
seperti pengertian Sapon-Shevin. Sehingga, apabila sekolah tertentu ingin
disebut sebagai sekolah inklusif maka sekolah tersebut harus menerima anak
berkebutuhan khusus di sekolah regular. Pengertian inilah yang menyebabkan
kesalahpahaman. Karena, secara garis besar pendidikan inklusif bukan terletak
pada sekolahnya, melainkan pada program sekolahnya. Oleh sebab itu, dalam dunia
ortopedagogik tidak dikenal istilah sekolah inklusif, tetapi yang ada
adalah program pendidikan inklusif.
Kesalahpahaman ini pada dasarnya dikarenakan minimnya
landasan kelimuan para pendidik. Padahal, kecukupan pemahaman yang tepat yang
dimiliki seorang pendidik menjadi faktor kunci dalam pelayanan penyelenggaraan
pendidikan inklusif.
Seperti yang kita ketahui bersama, kegiatan keilmuan selalu
menghasilkan teori yang kebenarannya disesuaikan dengan realita, sehingga hasil
kajian ilmu adalah ditemukannya berbagai ilmu yang bermanfaat guna
menyelesaikan permasalahan keseharian, termasuk di dalamnya permasalahan
pendidikan. Dengan begini, landasan keilmuan menjadi penting demi
penyelenggaraan pendidikan. Dan, dengan adanya landasan keilmuan ini kekeliruan
seperti yang terjadi pada sistem pendidikan inklusif dapat dihindari.
Kayanya keilmuan pendidik akan pendidikan inklusif ini
berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi layanan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Berkaca pada fenomena yang terjadi
beberapa tahun ini dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia belum cukup siap untuk memulainya.
Semua ini dikarenakan belum cukupnya pengetahuan yang tepat di dalam personalia
kependidikan.
Bertolak pada pembahasan ini, disimpulkan bahwa program
pendidikan inklusif seharusnya tidak hanya berjalan pada sekolah-sekolah yang
terdapat anak berkebutuhan khusus, tetapi berjalan di setiap sekolah yang ada.
Lebih dari itu, sekolah juga harus menyediakan berbagai fasilitas dan tenaga
pengajar yang dapat mengakomodir kemampuan setiap murid yang berbeda. Jika
hal-hal di atas terpenuhi, sekolah sudah dapat dikatakan sebagai sekolah
berprogram inklusif.
(*) tulisan ini pernah dimuat di Kartunet.com