Posted by : Lisfatul Fatinah 27 December 2012


Selamat datang lagi di catatan perjalanan luar biasa saya. Setelah membaca Ekspedisi Negeri di Atas Awan (Bag. 1), ini saatnya mengikuti kisah selanjutnya :)




Cabe Dieng

Trip selanjutnya adalah sejauh 3 Km dan kami melakukannya dengan berjalan kaki. Selama berjalan, mata ini serasa tidak ingin berkedip. Pemandangannya, subhanallah, indah nian. Di sebelah kiri kami berjejer penginapan-penginapan untuk para back packer dengan beragam variasi di selingi dengan hamparan pohon yang membentuk hutan. Sedangkan di sebelah kanan kami, puncak-puncak bukit, hamparan ladang, gagahnya tebing, dan awan yang bergerombol menjadi santapan mata kami di pagi ini.

Sekitar pukul 7.30 kami tiba di pintu gerbang Situs Wisata Telaga Warna. Sambil menunggu loket buka, kami singgah sejenak di salah satu warung makan yang sudah buka.

`Warung makan di Dieng tidak jauh berbeda dengan warteg di Jakarta, hanya saja menunya agak berbeda. Di warung makan yang kami singgahi ini, sistem makannya prasmanan atau ambil sendiri dan langsung bayar. Lauknya ada sayur daun singkong dengan kuah santan yang agak bening, sambal kentang balado, tahu goreng, ikan kembung goreng, ayam bumbu kuning yang semuanya adalah bagian paha dengan ceker yang masih menyatu, lalu terakhir ada makanan yang mirip dengan tempe orek tapi bukan tempe orek.

Saat makan, kebanyakan teman mengambil “tempe orek” yang belum kami ketahui bahwa namanya cabe dieng.  Mungkin karena kenampakannya awam di Jakarta. Tapi, ternyata ada yang berbeda. “Tempe orek” ala Dieng ini menggunakan cabai yang ada di Dieng. Rasanya? Pedaaaaaas minta ampun tapi nikmatnya luar biasa.

Meskipun kenampakannya sama seperti cabai hijau besar, rasanya lima kali lipat bakhan lebih dari cabai rawit. Bagi penikmat makanan pedas, cabe dieng adalah makanan yang harus coba saat ke Dieng. Tapi jangan mencoba Cabe Dieng saat sarapan pagi seperti rombongan saya.

Oke. Makan pagi dengan cabe Dieng selesai. Perus sudah cukup kenyang, alhamdulillah. Saatnya melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna :D

Kenangan Luar Biasa Bersama Kaki yang Berubah Warna ^_^

Inilah waktunya memanjakan mata lagi. Melangkah dengan penuh kekaguman pada-Nya lagi. Dan menasbihkan puja-puji pada mahakarya-Nya berkali-kali lagi.

Semak-semak yang tumbuh rendah dengan bebungaan menyambut kedatangan kami. Beberapa meter dari pintu masuk loket, kubangan air dengan warna toska terhampar membuat setiap dari kami yang ada di sana berseru memuja Allah. Telaga Warna terbentang di depan mata, dikelilingi lumpur yang menggempur, batang-batang pohon yang menjuntai ke tanah, dan semak yang menghijau indah.  Telaga Warna masih sepi. Jadi, kami masih bisa berpose sepuasnya dengan angel apa saja.

Bersama dua sahabat; Mbah Lina dan Kembaran saya ^^ 


Sesi foto-foto pertama di Telaga Warna selesai. Saatnya berjalan mengunjungi bagian lain dari Telaga Warna. Saat mata ini tak ingin berpaling dari hamparan mahakarya-Nya, tiba-tiba salah seorang teman kampus mengirim sms.

“Lis, sibuk gak? Mau tanya dong, tentang sesi sharing guru dan orangtua di SEOC itu bagaimana maksudnya? Ada usulan tema?”

Duh, pertanyaan dalam sms ini membuat saya perlu berpikir. Tapi, saya tetap membalas smsnya sejenak.

“Sharing biasa tentang kendala orangtua ABK di rumah yang bisa dibantu oleh guru. Temanya yang simpel aja Sinergitas Guru dan Orangtua dalam Mendidik ABK. Bagaimana? Paham gak?”

“Itu maksudnya gimana? Bisa jelasin gak?”

Saya membaca smsnya tapi belum mau membalasnya. Jadi, saya taruh hape saya dan memilih melanjutkan menikmati pemandangan Telaga Warna. Saya dan teman-teman menuruni semak-semak dan berjalan di atas tanah gembur untuk melihat Telaga Warna dari jarak yang lebih dekat. Lalu, sebuah sms masuk lagi.

“Liiisss. Pliiissss bantu gue. 10 menit lagi gue harus ketemu kepsek SLB :(”

Sms itu membuat saya tidak berpikir panjang. Saat itu juga saya menekan tombol call dan langsung menelepon teman saya. Karena tidak mau kehilangan kesempatan menelusuri setiap sudut Telaga Warna, sambil menjelaskan lewat hape, saya tetap terus berjalan dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru Telaga Warna. Lalu, tiba-tiba…, jlep! Kaki kiri saya tidak bisa diangkat O,o

Kaki kiri saya kejeblos ke dalam lumpur Telaga Warna sampai setengah betis. Seketika, saya dan teman-teman panik. Saat saya berusaha mengangkat kaki kiri saya, ternyata kaki kanan saya ikutan kejeblos -,-“Alhasil, semakin paniklah, meski sambil cengar cengir melihat kaki saya yang mendem.

Saat itu, saya lupa menutup telepon. Di ujung sana, terdengar suara teman saya yang turut kebingungan dan panik, “Lis, lo gak kenapa-kenapa kan? Lis…, Liiis.” Klik. Telepon saya tutup. Saya malu, sekaligus bingung >,<

Tolong menolong dalam kejeblosan. Sudah kejeblos masih sempat ketawa aja :D

Di sinilah terdapat sesi tolong menolong yang sangat dramatis.


Kakek dan Rizki mencari bala bantuan, mengumpulkan ranting dan dedaunan kering sebagai pijakan saya. Sari memegangi tas saya, Erni, Kak Firdha, dan Ajeng bergotong royong menarik saya dari kubangan lumpur, sedangkan Mbah Lina aktif memotret kepanikan kami -,-“

Alhamdulillah, beberapa menit kemudian Kakek dan Rizki membawa ranting pohon dengan daun kering yang banyak dan datang bersama dua orang sepuh yang terbiasa dengan medan Telaga Warna. Kedua kaki saya berhasil keluar dari tanah Telaga Warna yang gembur. Alhasil, warna kaos kaki saya yang ungu muda jadi hijau kehitaman dan berbau sulfur. Gamis saya yang senada dengan air Telaga Warna menjadi belepotan lumpur. Terakhir, sandal gunung yang baru saya beli tidak jelas lagi warnanya :P

Sandal baru yang penuh lumpur. Tetap semangat, meski belepotan lumpur ^_^


Well, kami memutuskan berbalik arah ke loket. Saya sendirian menuju toilet untuk membersihkan lumpur di baju, kaos kaki, dan sandal. Saat saya membersihkan lumpur, yang lain asik banget foto-foto, angel-nya bagus-bagus pula >,<

Sekitar lima belas menit saya bersih-bersih. Baju saya sudah tidak berbau sulfur lagi meski bagian bawah gamis saya sudah tidak jelas warnanya. Sandal saya juga sudah kembali “baru”. Saatnya melanjutkan perjalanan kami :D

Gua-Gua Misterius

 Enam wanita dengan dua kakek :)

Kami langsung berjalan mengikuti jalur yang sudah ada. Di kawasan Telaga Warna ini ada banyak gua-gua kecil yang ditandai dengan pendopo-pendopo kecil berwarna hijau di depannya. Beberapa gua ini sepertinya sedang digunakan untuk bertapa oleh penduduk. Ini ditandai dengan banyaknya bunga di sekitar gua dan sepanjang pintu masuk gua.

Yup. Dieng masing kental dengan kepercayaan dinamismenya. Contohnya, di perjalanan menuju Telaga Warna ini kami menemukan banyak janur kuning melengkung, padahal tidak ada prosesi pernikahan. Dan, ternyata janur-janur ini ada juga di beberapa gua yang kami lewati.



Di depan gua-gua kecil ini biasanya ada patung-patung dewa-dewi atau tokoh perwayangan Jawa. Saya tidak hapal apa saja nama-nama gua yang ada di kawasan Telaga Warna. Hanya satu yang saya ingin, Gua Pengantin atau Couple Cave. Saya ingat nama gua ini karena namanya terpampang sangat jelas dibandingkan gua yang lainnya. Selain itu, hehe, saya juga punya doa di tempat ini, semoga saya datang lagi untuk kedua kalinya dengan pengantin saya. #ups ;)

Pohon Horisontal dan Manusia Pohon Dadakan :P


Lanjut. Semua gua-gua misterius di kawasan Telaga Warna sudah kami telusuri. Matahari Dataran Tinggi Dieng sudah merangkak naik. Cuacanya hangat, tapi kelembapannya tinggi. Jadi, udara di sini tetap terasa dingin meski matahari sudah membelakak. Kami melanjutkan perjalanan ke arah yang berlawanan menelusuri jalur yang sudah ada dan mulai bertemu dengan banyak back packer lainnya atau keluarga yang sedang berliburan di sini, bahkan kami sempat bertemu dengan back packer yang satu mini bus dengan kami tadi Subuh.

Di pertengahan jalan, kami melihat pohon terbentang bukan secara vertikal, melainkan horizontal. Terlihat unik dan menakjubkan. Seketika itu juga, sifat kampungan anak kota pun keluar. Karena di Jakarta tidak akan ada hal yang seperti ini, maka kami kompak memutuskan untuk berhenti dan bernarsis ria. Jadi deh, manusia pohon dadakan :P



Hehe, teori Darwin seperti terbukti di sini. Satu per satu dari kami langsung memanjat pohon horisontal ini. Padahal, kalau di Jakarta pasti bakalan takut manjat.

Padang Ilalang dan Naluri Narsis yang Kelewatan :d

Kami melanjutkan perjalanan lagi. Tereeeng! Tibalah kami di kejutan kesekian dari sekian banyak kejutan yang dihadirkan Telaga Warna. Kami tiba di padang ilalang yang sangat luas. Jujur, saat tiba di padang ilalang ini, saya seperti berada dalam location setting sebuah film Bollywood atau film koboi Amerika :)


Seperti biasa. Namanya juga anak kota, jarang-jarang nemu padang ilalang di Jakarta, kami semua serempak menurunkan ransel dan siap mengambil posisi untuk berpose. Saya sendiri sampai bingung, kayaknya hasrat narsis di sini sudah di ranah tidak sadar. Jadi, kalau melihat ada lahan kosong untuk narsis, gestur tubuh refleks ambil posisi di depan kamera :D

Olraig. Sementara kami ambil posisi terbaik di antara ilalang yang mencoklat, Kakek ambil posisi menempatkan three pot kamera agar kami semua bisa kebagian tempat bersamaan. Belum puas foto bersamaan, kami semua akhirnya foto satu satu di padang ilalang ini. Semuanya sibuk mencari pose terbaik mereka ^^

Telaga Kedua yang Tak Diduga

Selesai bernarsis ria di padang ilalang, kami melanjutkan langkah. Berjalan ke tempat yang tidak kami ketahui, kecuali Rizki dan Allah yang tahu saat itu. Tiba-tiba kubangan air yang luas terbentang di depan kami. Inilah telaga kedua yang kami jumpai di kawasan Telaga Warna, yang menjadi kejutan kesekian di antara banyak kejutan yang tak pernah kami bayangkan. Namanya Telaga Balai Kambang.

Bersama kembaran saya ^_^

Telaga Balai Kambang –menurut saya– adalah tempat sangat romantis. Airnya jernih, masih ada serpihan ilalang kering di sekelilingnya. Dikelilingi tebing yang menghijau dan sihiasi gerombolan burungyang terbang rendah di atas air. Semuanya subhanallah indahnya. Sejauh langkah ini berpijak, semakin banyak tasbih dan syukur terucap pada Rabbi. Subhanallah. Indah niah negeri ini. Terima kasih Allah, atas nikmat yang Kau berikan pada Indonesia :’)

Nonton Teater a.k.a Tidur Siang Bareng


Matahari sudah meninggi. Kawasan Telaga Warna sudah kami telusuri. Sebelum kami pulang, kami memutuskan untuk berkunjung ke Dieng Plateau Theater (Teater Dataran Tinggi Dieng). Letak teater ini menanjak ke atas. Untuk mencapai teater, kami harus menaiki puluhan anak tangga hingga ke atas.

Di teater ini kami disajikan video edukasi yang menceritakan sejarah terbentuknya Dataran Tinggi Dieng. Ternyata, Dataran Tinggi Dieng berasal dari letusan satu gunung yang sangat besar hingga dataran tinggi ini dikelilingi puncak-puncak gunung. Melalui video ini juga Kami akan tahu kapan waktu-waktu menyenangkan saat ke Dieng. Misalnya, kondisi terekstrem di Dieng adalah saat bulan Juni-Agustus. Saat bulan-bulan ini, suhu bisa di bawah 0o C, bahkan embun di pagi hari bisa membeku karena sangat dingin.

Tapi, sebagaimana subjudul bagian ini. Ternyata banyak teman-teman saya bukannya menonton, melainkan malah tidur. Jadilah acara menjelang siang itu bukan nonton teater bareng, tapi tidur siang bareng -,-“

Saat keluar dari pintu teater, salah satu berseru, “Tadi aku gak nonton, tapi tidur. Habisnya capek banget.” Satu orang berseru demikan, ternyata yang lain menyusul dengan satu jawaban, “Sama.” Ckck

Lalu, dengan datarnya Rizki berkata, “Kok pada tidur. Filmnya bagus banget loh.”

“Bagus sih, tapi gak bagus ditonton pas lagi capek. Apalagi instrumennya pas banget buat tidur.” Sahut salah satu di antara kami, saya lupa siapa yang bilang begini.


Sesi foto-foto sebelum "tidur siang bersama"


Oke. Acara nonton teater bersama eh maksudnya acara tidur siang bersama selesai :P


Eh, ada satu oleh-oleh lagi. Saat kami berjalan lagi kurang lebih 3 Km menuju penginapan, kami berbarengan dengan anak-anak yang pulang sekolah. Anak-anaknya kecil-kecil, imut-imut, dengan pipi yang merah-merah. Karena geregetan, kami memutuskan untuk berfoto dulu dengan sekumpulan anak sekolah yang sedang berjalan pulang ^_^

Bersama bocah-bocah Dieng ^_^

(bersambung…,)

{ 4 komentar... read them below or Comment }

  1. Replies
    1. :) pengin ikut menikmati sensasi dari ceritaku secara langsung ya, Mbak. Hehe, Potongan Indonesia yang luar biasa indah itu :)

      Delete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -