- Back to Home »
- Travel and Adventure »
- My First Trail Run :D
Posted by : Fatinah Munir
31 December 2014
“Ada yang mau ikut trail?”
Kurang lebih begitu ajakan yang pertama kali dilontarkan
Dhika di grup whatsapp setelah dua pekan pendakian ke Gunung Pangrango.
“Trail pakai motor?”
Aku melontarkan pertanyaan spontan saat membaca kata trail.
Sejauh ini yang aku tahu trail adalah mendaki gunung atau bukit menggunakan
motor kompling seperti yang pernah kulihat di Kawah Sikidang dan Papandayan.
“Trail run, maksud gue,” jawab Dhika.
Asing memang istilah trail run di telingaku. Aku juga belum
tahu bagaimana melakukan trail run. Entah akan benar-benar berlari atau
bagaimana cara ke puncak gunung. Karena penasaran dengan apa itu trail run,
entah sejenis olahraga ataupun outdoor
activities, yang jelas aku cuma mau mencoba hal baru. Urusan
bagaimana-bagaimananya nanti sajalah. Pikirku saat itu.
Maka saat membaca ajakan trail run di grup whatsapp, aku
terus bertanya-tanya tentang trail run dan persiapan yang harus dilakukan.
Jadi begini kurang lebih yang aku tahu dari Dhika dan dari
pengalaman pertama trail run ini. Trail run adalah naik gunung dengan
berlari-lari kecil hingga puncak. Persiapan yang dibawa hanya tas lari atau
hydro-bag yang berisi air minum, makanan, dan jas hujan, tambahannya bisa
spybelt seperti yang dibawa Dhika. Jangan lupa untuk memakai sepatu trail atau
lari.
Karena ini trail run pertamaku, jadi yang aku membawa
perlengkapan seadanya yang aku punya. Aku membawa Bubu, ransel butut kesayangan yang menemaniku
kemanapun, makanan ringan, air minum, dan baju ganti. Tidak lupa juga aku
memakai sepatu lari butut yang proses membelinya paling aku ingat, karena
sepatu itu tertukar dengan pembeli lain.
Jumat, 20 Juni 2014
Malam pukul 9.00 aku dan Dhika akan bertemu di Terminal
Kampung Rambutan. Hanya aku dan Dhika? Yup, karena yang lain tidak bisa ikut atau
tidak tertarik untuk ikut. Dan ini jadi trouble untuk keberangkatanku.
Jumat pagi-siang, aku masih menyibukkan diri di kampus.
Sekitar pukul 16.00 aku sudah tiba di rumah, istirahat, membersihkan rumah, dan
menyiapkan barang bawaan.
Emak dan Kakak melihatku merapikan barang dan memasukan satu
setel baju ke ransel. “Mau kemana lu?” kakak menegur.
“Mau tau aje,” aku asal menjawab.
“Mau kemane lagi, Lis?” Emak ikut bertanya. Pertanyaannya
seakan-akan aku sering sekali pergi jauh dari rumah. Huhf.
“Ke Cibodas. Ke gunung lagi,” jawabku singkat. Lalu lekas ke
lantai atas sebelum Emak menanyakan yang lain.
Aku menemui Bapak yang sedang duduk di teras atas.
“Pak…, Lis mau pergi,” kataku sambil duduk di samping Bapak.
“Kemana lagi?” Bapak menyahut. Lagi-lagi pertanyaanya
benar-benar menunjukkan kalau aku sering sekali pergi.
“Ke Cibodas. Gunung yang kemarin,” jawabku.
“Ke sana lagi? Sama siapa?”
“Iya, ke sana lagi, ke gunung yang sebelahnya tapi,” aku
terdiam sesaat, menimbang jawaban selanjutnya apakah aku harus berkata kalau
aku hanya pergi berdua dengan lelaki atau berbohong saja. “Sama teman yang
kemarin naik gunung juga.”
“Berapa orang?” Bapak bertanya lagi.
“Baru berdua aja sih ini kabarnya. Tapi belum tau nanti
malam jadinya berapa orang yang ikut,” aku memutuskan berkata jujur. Memulai
hal baru yang akan aku rasakan dengan baik, supaya berakhir dengan baik.
“Cewek? Cowok?” Bapak bertanya mendetail.
“Cowok,” aku menjawab sambil nyengir ke arah Bapak.
“Ngapain cuma berdua? Nanti tidur di mana?” Bapak langsung
menoleh ke arahku.
“Ya temannya cuma itu. Kan di gunung rame, gak berduaan juga
kali, Pak. Ntar malam Lis sama temen tidur di warung, banyak orang juga di
warung. Besok pagi mulai naiknya, sore udah pulang deh,” aku menjelaskan semua
apa adanya.
“Jangan macem-macem!” Bapak menyahut.
“Iya, nggak macem-macem. Lagian macem-macem ngapain.
Hehehe,” aku beranjak dari tempat duduk.
“Kapan berangkat?” Bapak bertanya dengan nada khasnya.
“Habis Isya palingan,” jawabku setengah teriak sambil
menuruni tangga.
Yeah! Izin sudah didapat dan besok akan jadi trail run
pertamaku. Is this gonna be impressing to me? We’ll see! :)
Waiting Till Sleep
Selepas Isya aku sudah keluar dari rumah. Berjalan kaki
sampai Gang Harland, naik angkot sampai Bundaran Slipi, lalu menunggu bus Kalideres
– Kampung Rambutan lebih dari sekitar 15 menit.
For your attention, kalau kalian ingin ke
Kampung Rambutan dari sekitaran Grogol atau Slipi, lebih baik memilih bus patas
AC 02 jurusan Kalideres – Kampung Rambutan daripada bus jurusan Grogol –
Kampung Rambutan. Karena bus jurusan Grogol – Kampung Rambutan sering hanya
beroperasi sampai UKI meskipun kenek bus sudah berteriak, “Rambutan! Rambutan!.”
Aku sudah di dalam bus patas AC 02 menuju Kampung Rambutan
dari Bundaran Slipi. Tidak ada tempat duduk yang kosong. Maka aku harus berdiri
dekat pintu belakang bus bersama seorang perempuan berjilbab yang tampak baru
pulang kerja. Hampir sepanjang perjalanan aku berdiri, pun dengan perepuan
berjilbab di sampingku. Saat memasuki TMII, banyak penumpang turun dan sudah
pasti beberapa bangku jadi tidak berpenghuni. Baru di sinilah aku duduk dan
perempuan berjilbab yang sedari tadi berdiri di sampingku turun.
Aku tiba di Kampung Rambutan 15 menit lebih cepat dari janji
yang kubuat dengan Dhika.
“Udah sampe. Tunggu depan gerbang Mabes TNI yak,” aku
mengirim pesan whatsapp kepada Dhika sambil mengingatkan kebab yang aku pesan
saat masih di bus.
Yup, saat di perjalanan menuju Kampung Rambutan aku merasa
lapar. Padahal sebelum jalan aku sudah makan bersama Emak. Ah, dasar perut
karet. Tapi beruntunglah berat badanku stabil seperti ini. Hahaha :D
Aku sudah menunggu setengah jam, tapi Dhika belum juga
datang. Ciputat hujan, katanya. Baiklah aku duduk-duduk saja di depan Markas
TNI sambil melihat orang-orang berlalu-lalang dengan tas-tas besar dan
perlengkapan hiking.
Hampir satu jam. Aku baru saja terbangun dari tidur yang
entah sudah keberapa kalinya. Saat hendak mengecek jam di handphone, seseorang
menghampiriku. Karena kacamata kulepas, wajah orang itu tidak terlalu jelas di
mataku. Butuh 10 detik untukku berpikir siapa yang ada di depanku. Ah, Dhika!
Akhirnya dia datang juga.
Oh iya, saat tiba di Kampung Rambutan tadi Dhika sempat
mengatakan kalau ada satu orang temannya lagi yang akan ikut trail run dan kami
akan bertemu dengannya di Cibodas. Kami langsung mencari bus menuju Cibodas. Tak
perlu lama mencari bus tujuan Cibodas, juga tidak selama mencari bus yang muat
untuk jumlah rombongan seperti hendak naik gunung. Kami menaikin bus AC yang cukup
nyaman dengan ongkos Rp22.000,- saja.
Setelah masuk bus, aku langsung menyantap kebab pedas
pesananku. Makan permen karet. Nempel, lalu molor sampai Cibodas. Hihihi.
Tiba di Cibodas
Entah sudah pukul berapa, aku setengah terjaga saat hendak
tiba di pertigaan Cimacan menuju Cibodas. Lalu Dhika membangunkanku. Saat turun
Dhika langsung menghubungi temannya yang katanya sudah tiba. Eng ing eng,
ternyata orangnya sudah ada di dekat kami.
Namanya Peter. Wajahnya seperti keturunan Tionghoa dengan
rambut berjambulnya dan kacamata. Tapi tidak diduga besok aku akan dikejutkan
dengan kebiasaannya yang tidak tergambar di wajahnya yang cenderung serius.
Kami menuju Cibodas menggunakan angkot kuning seperti
biasanya dengan ongkos Rp6.000,- dan di
sini tidak pakai molor.
Tiba di Cibodas, seperti biasa tempat istirahat dan
melanjutkan tidur adalah warung Mang Idi. Dhika dan Peter masuk mengecek tempat
istirahat yang biasa digunakan para pendaki. Aku memilih duduk di bangku meja
dan membenamkan wajah ke lengan. Melihat banyaknya sepatu yang beserakan, aku
pikir di dalam pasti penuh. Maka aku duduk saja dan mungkin malam ini akan
tidur di bangku seperti malam sebelum pendakian sebelumnya.
“Tin, ayo masuk!” seru Dhika.
“Di sini aja kalau di dalam penuh,” jawabku.
“Di sini gimana. Di dalam masih kosong kok,” sahutnya.
Wah masa sih kosong. Aku akhirnya melihat langsung ke dalam
dan ternyata masih ada beberapa bagian ruangan yang kosong. Aku melihat Peter
sudah siap membaringkan badannya untuk beristirahat. Aku tidur di sisi yang
berhimpitan dengan kepala Peter. Di sebelahku ada Dhika yang tasnya menghalangi
aku dan dia.
Yah sudah aku mengambil posisi tidur. Sejenak saja memiringkan badan
dan menutup mata, aku sudah lelap dalam tidur.
Tak sabar menanti hari besok untuk menikmati trail pertama.
Apakah ini akan menyeangkan seperti hiking? Seberapa cepat aku bisa mencapai
puncak? Bagaimana kalau seperti Edward di Twilight Saga? Ah, ngaco! I can’t
expected it. We’ll see tomorrow how impressing it is!