- Back to Home »
- Autisme »
- Mari Mengenal Pola Perilaku Anak Autis
Posted by : Fatinah Munir
11 October 2013
Sebagai makhluk
sosial, perilaku menjadi salah satu aspek yang penting bagi individu dalam
berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sama halnya dengan semua
individu pada umumnya, anak autis –kendati memiliki keterbatasan utama dalam
komunikasi dan interaksi– juga memerlukan interaksi dan berhubungan dengan
lingkungannya guna mendapatkan pengalaman untuk perkembangan sosialnya.
Terkait perilaku anak
autis, banyak orang yang mengira seorang anak dapat dikatakan menyandang autisme jika anak diam dan tampak memiliki
“dunianya sendiri”. Padahal, ada banyak indikasi yang dapat membantu orang tua
atau guru untuk mengetahui apakah anak menyandang autisme atau tidak.
Secara garis besar,
DSM IV memberikan empat indikasi yang menunjukkan perilaku keautistikan dan
seorang anak dapat dikatakan menyandang autisme jika memiliki minimal satu
perilaku dari empat perilaku tersebut. Empat perilaku tersebut adalah (1)
mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan; (2) terpaku pada satu kegiatan rutinitas yang tidak ada gunanya,
seperti selalu mencium makanan sebelum dimakan; (3) ada gerakan-gerakan aneh
yang khas dan diulang; dan (4) seringkali sangat terpukau pada benda atau
bagian-bagian benda.
Christopher Sunu
(2012) menjelaskan bahwa selain empat karakteristik perilaku di atas, ada
beberapa perilaku lainnya yang secara umum ada pada anak autis. Perilaku
tersebut adalah perilaku destruktif, perilaku hiperaktif atau hipoaktif, tantrum,
dan beberapa perilaku khusus lainnya.
Perilaku destruktif
adalah semua jenis perilaku anak yang bisa menyakiti atau melukai dirinya
sendiri atau orang lain. Contoh dari perilaku destruktif adalah anak mencakar,
menjambak, menggigit, meludah ke orang atau ke sembarang tempat, memukul,
menarik dengan kuat, mencekik, menendang, merobek lembar tugas, melempar benda
apa saja di dekatnya, dan banyak perilaku lainnya.
Selanjutnya, sebagian
anak autis bisa menjadi hiperaktif atau hipoaktif. Anak autis dikatakan hiperaktif
apabila anak banyak melakukan aktivitas tanpa anak mengetahui apa manfaat dari
aktivitasnya. Misalnya saja, anak naik-turun meja, berlarian, mondar-mandir,
keluar-masuk kelas, dan berpindah-pindah tempat duduk dalam jangka waktu yang
sangat singkat tanpa mengetahui apa tujuan dari perilakunya.
Selain itu ada pula
perilaku stereotip atau perilaku rutinitas. Anak autis cenderung kaku dalam
melakukan aktivitasnya, salah satunya dalam beberapa kasus anak autis memiliki
jadwal harian yang tidak bisa diubah. Perilaku stereotip ini terlihat ketika
meletakkan sekumpulan benda, anak autis cenderung meletakkan benda-benda
tersebut berdasarkan warna, bentuk, atau ukurannya. Contoh lainnya adalah anak
memiliki gerakan-gerakan aneh seperti mengepak-kepakan tangan, mengayunkan
tangan, menggoyangkan badan ke depan dan ke belakang, atau anak selalu
mengulang kata yang sama dan tidak memiliki arti.
Perilaku lainnya yang
mungkin ada pada anak autis adalah anak memiliki keterpukauan berlebihan pada
benda atau bagian tertentu dari benda, anak memiliki benda yang selalu
dibawanya kemana-mana, anak sensitif terhadap suara, anak menarik diri saat
disentuh, anak merespon berlebihan atau tidak sama sekali saat diberi stimulus,
anak menangis tanpa sebab, atau anak mampu menggambar dengan detail-detail yang
baik tetapi tidak mampu mengancingkan bajunya sendiri. Perilaku lain yang
menunjukkan anak menyandang autisme adalah anak marah atau menangis tanpa sebab
dan tantrum (marah berlebihan atau mengamuk).
Tidak ada teori atau
draf khusus yang menyantumkan indikasi pasti tentang karakteristik perilaku
keautistikan. Hal ini dikarenakan, pola perilaku anak autis sangat beragam.
Perilaku keautistikan yang disebutkan di atas sangat mungkin tidak semuanya ada
pada seorang anak autis. Perilaku keautistikkan tertentu bisa saja ada pada
satu anak autis tetapi tidak ada pada anak autis lainnya. Untuk itu, orang tua
atau guru harus benar-benar cermat dalam melihat perilaku anak autis. Dalam
pengamatan perilaku, orang tua atau guru setidaknya mengamati perilaku anak
selama tiga bulan berturut-turut.
Untuk saat ini,
perkembangan perilaku anak autis kadang cenderung dihambat oleh kalangan yang
menganggap bahwa anak autis hanya bisa ada “di dunianya sendiri”. Dampaknya, ketika anak autis sudah
menunjukkan perilaku keautistikannya sebagian orang tua malah membiarkan dan
menganggapnya sebagai hal yang wajar bagi anak autis. Perilaku-perilaku di atas
memang wajar ada pada anak autis, karena itu semua adalah signal yang
menunjukkan bahwa anak menyandang autisme. Akan tetapi, perilaku tersebut
hendaknya diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif. Atau, perilaku tersebut
hendaknya diminimalisir bahkan dihilangkan dari anak.