- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Sayang Sepanjang Masa, Bakti Sepanjang Hayat
Posted by : Lisfatul Fatinah
12 November 2016
While I was looking at them, I just
wanted to get older with mine, stick together in hereafter, and start over our
real life together in Jannah as well.
Ketika aku melihat mereka, aku hanya
ingin melewati masa tuaku bersamanya, berkumpul bersama di akhirat, dan juga memulai
hidup yang sebenarnya bersama di surga.
Kalimat
di atas adalah apa yang sedang saya pikirkan sejak siang tadi, saat saya
bersama teman-teman berkumpul di salah satu pusat perbelanjaaan di Jakarta
Selatan. Iya, harapan itu ada untuk mereka. Akan tetapi, lebih dari itu,
harapan dan kalimat pembuka tulisan ini muncul karena dua orang tua yang ada
dalam frame foto siang tadi. Saya sengaja memasukkan dua orang tua tersebut di
dalam frame foto karena ada alasan manis di baliknya yang akan saya ceritakan
dalam tulisan kali ini.
Siang
tadi, selepas shalat zuhur saya dan teman-teman berkumpul di Pujasera, tempat makan
dengan berbagai jenis makanan yang bebas kami pilih. Kami memutuskan makan
siang bersama di satu tempat yang menyajikan menu utama ayam. Tak lama setelah
kami duduk, datanglah sepasang orang tua, laki-laki dan perempuan. Yang
perempuan duduk di kursi roda, sedangkan yang laki-laki dengan sabar mendorong
kursi rodanya kemudian menuntun si perempuan untuk duduk di depan saya.
Sejak
saat itu, mata saya terpusat pada mereka, sambil sesekali mendengarkan mereka
berbicara.
“Bapak,
Ibu, mau pesan apa?” tanya pelayan sambil menyebutkan menu yang ada.
“Mama
mau makan ayam bakar atau ayam goreng?” Si lelaki bertanya pada si perempuan
diikuti jawaban si perempuan dengan suara yang pelan.
“Bapak
sambalnya mau pedas atau sedang?” tanya pelayan lagi.
“Mama
mau pakai sambal? Sedang aja ya?” tanya si lelaki sambil memberikan saran pilihan
dan si perempuan kembali menjawab dengan suara pelan.
“Mau ditambah
tempe atau tahu?” pelayan bertanya lagi.
“Mama mau
ditambah tempe atau tahu? Yang empuk-empuk aja ya,” si lelaki bertanya kembali
kepada si perempuan dan tertawa karena sedikit menyinggung gigi si perempuan
yang sudah tanggal. Si perempuan, kembali menjawab dengan suara pelan. Kini
diikuti oleh tawanya yang juga pelan.
Saya
tertarik dengan cara si lelaki berkomunikasi dan bersikap dengan si perempuan.
Cara keduanya berbincang dan bercanda membuat saya membagi perhatian saya dari
semangkuk mie ayam yang ada di depan saya. Sesekali saya tersenyum melihat
mereka, meskipun sejujurnya membuat saya teringat pada hal lain dan membuat
saya ingin menangis saat itu juga.
Beberapa
menit setelah itu, saya pun berbincang dengan si lelaki dan si perempuan.
Mereka adalah ibu dan anak yang sama-sama sudah beranjak tua. Melihat cara si
anak menawarkan makanan kepada si perempuan, membuat saya membayangkan betapa
sayangnya lelaki ini kepada sang ibu. Cukup terbayang bagaimana hubungan mereka
saat si anak masih anak-anak, sang ibu pasti menawarkan anaknya dengan cara
seperti yang dilakukan si anak beberapa menit lalu.
Kekhidmatan
pada seorang ibu yang dilakukan dengan sangat tulus. Hanya itu yang saya
dapatkan dari percakapan yang mereka lakukan di depan saya. Hingga membuat saya
teringat pada Emak Bapak dan ingin berbakti kepada keduanya dengan khidmat
seperti apa yang dilakukan lelaki tua di depan saya.
Kekhidmatannya
dalam berbakti ditunjukkan dengan begitu sederhana, mendorong kursi roda dengan
pelan, berbicara dengan lembut, dan bercanda renyah dengan suara agak nyaring
agar terdengar oleh sang ibu meskipun sang ibu pada akhirnya hanya menjawab
dengan pelan.
Di sini
saya belajar dua hal sekaligus; tentang bakti yang tak pernah putus meski usia
sudah sama-sama tua dan tentang kemuliaan wanita yang tak pernah habisnya.
Jika
saya berbicara dengan bapak, beliau akan sering mengulang sebuah nasihat yang
kini melekat dalam ingatan saya. Bapak bilang, “Jadi perempuan itu enak, mudah
masuk surga. Saat jadi anak, tinggal patuh ke orang tua. Saat jadi istri,
tinggal patuh ke suami, patuh sama Allah. Kalau sudah begitu, enak tinggal
pilih mau masuk surga darimana saja. Tapi hati-hati, perempuan juga mudah masuk
neraka. Kuncinya jaga ucapan, jaga diri dan kemaluan.”
Di
samping itu, betapa Allah memuliakan wanita adalah dengan memerintahkan seorang
lelaki dewasa untuk mengutamakan dua wanita dalam dua urusan berbeda;
mengutamakan istri dalam urusan nafkah dan mengutamakan ibu dalam urusan
berkhidmat. Mengingat nasihat Bapak dan beberapa ajaran Islam tentang peran
wanita, maka sungguh rugi bagi siapapun wanita muslimah yang tak mencium bau
surga, padahal surga ada di bawah telapak kakinya.
Sejenak
saya berpikir, mungkin karena kekhidmatan si lelaki pada agamanya, maka beliau
bisa berbakti dengan khidmatnya kepada sang ibu meski sudah di usia renta. Dan
ini jelas tidak lepas dari pengasuhan dan apa yang sudah diajarkan sang ibu
kepada si lelaki ketika beliau masih anak-anak.
Terima
kasih banyak Hakuna yang sudah mengajak berkumpul hari ini (12/11/16) hingga
saya bisa melihat scenario manis tepat di depan saya. Terima kasih kepada Allah
yang mempertemukan saya dengan ibu dan anak yang sudah tua ini, hingga saya
benar-benar mengerti bahwa tak hanya kasih sayang orang tua yang sepanjang
masa, tapi berbakti kepada orang tua juga adalah amal yang tak lekang oleh
waktu dan dapat terus saya lakukan hingga saya menjadi setua Emak dan Bapak
sekarang.