Posted by : Fatinah Munir 30 August 2016

Ilustrated by Ahdoy


Beberapa hari lalu saya mengajak anak asuh saya di KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Marjinal) untuk mengikuti agenda pekanan; berkunjung ke rumah guru mengaji di daerah Jakarta Selatan. Saya sengaja mengajak anak-anak ke sana untuk mengenalkan mereka kepada teman-teman saya sekaligus supaya anak-anak tahu apa yang saya lakukan jika tidak bersama mereka.

Di tempat guru ngaji saya, sudah pasti kami mengaji. Materi kami saat itu adalah tentang sedekah, silaturahim, dan saling mencari di surga. Saya pikir anak-anak saya akan bosan di tempat mengaji. Jadi sebelum kami tiba di tempat guru mengaji, saya berpesan kepada anak-anak untuk tidak protes selama di sana dan baru boleh protes kalau sudah pulang dari pengajian.

Saya tidak pernah memiliki espektasi apapun agar anak-anak menyukai ajakan saya untuk bergabung di sini. Yang ada di kepala saya adalah mereka akan mengeluh capek, karena rumah saya cukup jauh dari rumah guru ngaji dan butuh 15 menit jalan kaki untuk menuju angkutan umum dari depan rumah. Selain itu saya sempat berpikir kalau anak-anak akan mengeluh bosan. Tapi ternyata tidak.

“Seru juga ya tadi, Kak!” itulah kalimat yang pertama kali dikeluarkan anak-anak di tengah perjalanan pulang.

“Kalau rambut dibelah tujuh kan jadinya tipis banget ya. Gimana kita ngelewatinnya?” celetuk satu anak sambil mengeluarkan sehelai rambutnya dari dalam jilbab.

“Kalau sedekah bikin kita kaya, berarti makin banyak sedekah kita bisa makin kaya dong yaa, Kak, nanti?”

“Bener juga yaa, Kak. Kalau kita udah di surga nanti mah iiiih apa sih dunia!” kata salah satu anak sambil mengibaskan tangannya, memperagakan apa yang dilakukan teman-teman saya di pengajian.

Sampai-sampai di pertengahan jalan saat ada seorang pengemis, anak-anak hampir selalu bilang, “Ada pengemis. Kasih aaaah!” seolah-olah memberi ke pengemis adalah aktivitas yang ringan dan menyenangkan. Anak-anak juga berebut untuk memberikan sedekah dengan uang mereka yang sebenarnya juga tidak banyak.

Kadang saya iseng untuk bertanya kepada mereka, “Kenapa sih kamu mau ngasih duit kamu ke pengemis  itu? Kan kamu juga gak ada duit.”

“Habisnya kasihan, Kak. Udah tua gitu,” jawab mereka, padahal (salah seorang teman bahkan berkata) sejatinya kondisi mereka juga patut dikasihani.

Iya, anak-anak asuh saya dan teman-teman di KOPAJA bukanlah anak-anak yang mampu secara finansial, mereka adalah anak-anak pemulung, tukang angkut sampah, pengamen, dan buruh kerok botol bekas. Status mereka di Jakarta adalah sebagai penduduk gelap. Tidak ada KTP apalagi bantuan sosial dari pemerintah seperti BPJS ataupun KJP. Tapi mereka tidak  berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Mereka sama-sama memiliki kemampuan untuk mencapai cita-cita merek dengan tekad dan keyakinan mereka.

Pembahasan tentang materi di pengajian tidak hilang sampai perjalanan pulang, bahkan di rumah pun kami masih terus berbincang tentang itu. Anak-anak terus melempar candaan sambil  berdiskusi tentang apa yang mereka dengarkan selama di pengajian. Kemudian salah seorang anak berkata, “Kakak… kalau kakak masuk surga duluan jangan lupa tanyain aku ya. Hehehe” dia tertawa.

Saya pun menimpali ucapannya, “Kalau kamu duluan yang masuk surga, jangan lupa cari kakak juga yaa!,”

“Iya, Kak. Aku bakal cari kakak,” katanya.

Lalu diam-diam ada yang meleleh di dalam dada saya.

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -