Posted by : Fatinah Munir 11 April 2015

Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku bisa menjadi seorang sarjana, terlebih lagi menjadi seorang sarjana pendidikan. Bahkan tak terbersit sedikitpun dalam pikiranku untuk menjadi seorang guru.

Empat setengah tahun lalu saat duduk di bangku SMA, aku selalu mengimpikan menjadi seorang insinyur pertambangan. Bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia, bekerja berpindah tempat dari satu daerah ke daerah lainnya. Tapi saat aku menceritakan impianku, emak dan bapak menolak dengan sangat halus.

“Kamu perempuan. Kamu yakin mengidamkan masa depan seperti itu?” kata emak bapak suatu hari lalu.

Aku hanya diam. Tidak menjawab. Hanya memikirkan jawaban  itu dan menanyakannya kembali kepada diriku sendiri.

“Kamu mau ambil jurusan apa?” tanya salah seorang guruku di SMA.

“Teknik Metalurgi, Pak. Tapi saya juga mau ambil Sastra Indonesia. Mungkin akan ambil ujian IPC,” jawabku mengikuti kata hatiku.

Jawaban itu selalu kuutarakan pada siapapun yang bertanya hendak kemana aku setelah lulus SMA. Respon yang kuterima semuanya sama. “ Sayang sekali nilaimu sudah tinggi tapi kamu memilih jurusan seperti itu. Buat apa masuk jurusan yang passing grade-nya rendah dan tidak sesuai dengan jurusanmu di SMA?”

Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab. Aku hanya berpikir itulah yang kumau. Aku tahu apa yang aku mau, maka aku akan melakukannya selama emak dan bapak merestui. Sayangnya, emak dan bapak hanya mengiyakan. Menyerahkan segala keputusan kepadaku dan menyuruhku meminta saran dari guru-guru.

Aku seperti kehilangan arah ketika emak bapak memintaku berkonsultasi kepada guru-guru. Meskipun aku menginginkan Teknik Metalurgi dan Sastra Indonesia sesuai passion-ku, guru-guru tidak mengacuhkannya. Yang mereka tahu  aku adalah siswi dengan nilai yang yang nyaris selalu sempurna, terutama di urutan pelajaran Bahasa, Seni, Fisika, Kimia, Biologi, dan Matematika. Mereka ingin aku masuk ke bidang bergengsi yang berhubungan dengan IPA. Guru Biologi menyarankanku masuk Kedokteran. Guru Kimia menyarankanku masuk Farmasi. Guru Fisika menyarankanku masuk ke ilmu Fisika murni dan mengambil Fisika Klinik. Sedangkan Guru Bahasa dan Seni mendukungku untuk masuk ke jurusan apapun. Ya, mereka menyadari bahwa guru-guru sains sangat menginginkan aku tetap bergelut di bidang sains.

Di detik-detik terakhir pendaftaran PMDK aku mendaftar ke Farmasi di dua universitas. Di dua universitas bergengsi di sekitar Jakarta ini Farmasi menjadi jurusan tersulit setelah Kedokteran. Tapi bagaimana pun saat itu aku merasa tidak cukup sepenuh hati untuk menjadi bagian dari Farmasi. Lagi pula, meksipun nilaiku cukup tinggi, aku yakin masih banyak sekali orang dengan nilai yang jauh lebih tinggi daripadaku. Aku tidak yakin bisa bersaing dengan banyak orang yang menginginkan Farmasi.

Alhamdulillah, di tengah keraguan dan ketidakpercayaan diriku, aku diterima di salah satu universitas tersebut, ditambah lagi dengan beasiswa yang aku terima di tahun pertama ini. Aku merasa sangat beruntung, tapi entah mengapa aku tidak cukup puas dan lega dnegan semua yang aku terima.

Aku menjalani perkuliah seperti mahasiswa lainnya. Tinggal di asrama, mengikuti aktivitas kuliah hingga sore. Kemudian mengikuti kelas Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Kelas Qur’an di asrama khusus mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan hingga pukul 10 malam. Begitu kami lakukan setiap harinya kecuali hari Sabtu dan Minggu. Meskipun jadwal kuliah dan asrama padat, aku lebih sering memilih pulang ke rumah dengan jarak tempuh dua jam.

Sudah hampir dua semester aku di Farmasi dengan nilai yang nyaris sempurna. Tapi tidak ada kebahagiaan yang lapang di hatiku. Entah karena apa. Aku tidak bisa menduga-duganya.


***

Dua bulan menjelang libur semester. Saat itu aku sedang blog walking. Membaca secara random blog-blog yang berkunjung ke blog-ku –blog khusus tulisan tentang kefarmasian. Tetiba aku masuk ke dalam sebuah artikel yang bertajuk Anak Tunalaras. Who are they? Aku penasaran dengan judulnya. Klik. Maka aku sudah meluncur ke dalam blog tersebut.

Aku tenggelam dalam isi artikel tersebut. Sesekali mengerutkan kening dan tersentak sambil bertanya pada diri sendiri. Anak-anak yang menggunakan narkoba? Anak-anak yang melanggar hukum? Anak-anak nakal yang mempunyai pistol untuk membunuh temannya sendiri? Memangnya ada ya anak yang seperti ini? Di Indonesia? Aku pikir itu hanya ada di Amerika seperti yang kutonton di film-film. Ternyata, ya anak seperti itu ada di Indonesia. Merekalah yang disebut anak tunalaras.

Aku penasaran dengan artikel lainnya. Hingga dalam satu hari penuh, aku habisnya untuk membaca artikel-artikel tentang anak di dalam blog tersebut. Semua itu membuatku tercengang miris dan kagum secara bersamaan. Saat itu juga aku merasakan seperti melihat dunia baru yang membuatku jauh lebih hidup.

Di akhir peseluncuranku di blog tersebut, aku mencari tahu siapa orang menulis artikel tersebut. Ternyata penulisnya adalah seorang yang berhubungan dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Profesinya sebagai psikolog yang bekerjasama dengan guru-guru anak berkebutuhan khusus. Saat itu entah dari mana lagi asalnya tetiba sesuatu muncul di benakku. Lalu aku berseru “Aku ingin menjadi guru anak berkebuhutan khusus”.

© Lisfatul Fatinah Munir
Orchid House, 10 April 2015

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. I like your story but there is til have mistake from your writing. Sorry from daddy

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -