Posted by : Fatinah Munir 17 March 2015


Maret 2014, Indonesia dikejutkan atas pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak usia dini atau paedofilia di Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS). Tidak berhenti pada satu kasus, justru terkuaknya kasus paedofilia di JIS seperti menjadi alat pancing untuk membuka lapisan kasus paedofilia di Jakarta dan sekitarnya. Sejak Maret hingga Mei 2014 ini satu per satu kasus kekerasan seksual pada anak atau paedofilia terangkat ke permukaan.

Munculnya kasus-kasus pedofilia seperti di atas serentak membuat berbagai kalangan seperti psikologi, hukum, humaniora, hingga pendidikan angkat bicara. Dampaknya kewaspadaan orang tua menggelembung demi nasib anak-anaknya di masa depan. Tak mau kalah dengan gerak sporadis masyarakat yang berempati pada kasus ini, pemerintah juga membuka wacana untuk membuat sejumlah kebijakan yang diperkirakan dapat mengantisipasi terulangnya kasus yang sama. Misalnya Kementerian Pendidikan dan Budaya yang mencanangkan memasukkan Pendidikan Seks ke dalam mata pelajaran muatan lokal untuk sekolah tingkat dasar. Berangkat dari pencanangan kebijakan ini, timbulah sejumlah pertanyaan baru dari masyarakat; apakah Pendidikan Seks usia dini mampu menangulangi masalah kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi belakangan ini? Langkah apa yang dapat dilakukan masyarakat jika Pendidikan Seks dimasukkan dalam pendidikan formal? Lantas, adakah pilihan solusi lain selain memasukkan Pendidikan Seks ke dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah?

Prof. Arif Rahman, Guru Besar UNJ, menyatakan bahwa pendidikan seks adalah perilaku proses sadar dan sistematis di sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menyampaikan perkelaminan (sudut pandang mengenai jenis kelamin, gender, dan sebagainya) yang sesuai dengan agama dan yang sudah ditetapkan dalam hukum negara dan masyarakat. dengan demikian pendidikan seks bukanlah tentang how to do (bagaimana melakukan) atau tentang hubungan seks yang aman. Intinya pendidikan seks yang diberikan adalah upaya preventif dalam sudut pandang moralitas agama dan adat yang berlaku.

Bertolak pada pengertian di atas, pendidikan seks disampaikan terintegrasi dengan beberapa matapelajaran yang ada di sekolah, di antaranya adalah matapelajaran agama dan budi pekerti. Sehingga pendidikan seks tidak disampaikan dengan pornografi dan penjelasan vulgar yang di luar konteks pendidikan. Mengingat hal ini, apabila suatu sekolah memasukkan pendidikan seks dalam matapelajaran Muatan Lokal, maka sekolah tersebut harus menyiapkan perangkat pembelajaran yang benar-benar siap menyampaikan pendidikan seks. Salah satu di antaranya adalah guru yang kompeten menyampaikan pendidikan seks dalam konteks berbagai rentang usia anak. Hal ini sangat diperlukan agar apa yang disampaikan guru diinterpretasikan anak sebagai bentuk pengetahuan akan ranah privasi individu dan pencegahan terjadinya kekerasan seksual pada diri masing-masing anak.

Kala pendidikan seks sudah dimasukkan dalam matapelajaran di sekolah, muncul pertanyaan baru mengenai hal ini. Apakah pendidikan seks di sekolah dapat mengatasi masalah kekerasan seksual pada anak seperti yang belakangan ini terkuak di media?

Jawabannya jelas tidak. Merujuk pada tujuan pendidikan seks sebagai langkah preventif dan pencerdasan pada anak sejak dini tentang kesehatan fisik, mental dan mindset tentang seksual, maka pendidikan seks  harus dilakukan secara massif dan terintegrasi di berbagai ruang lingkup. Misalnya saja mulai dari lingkup kelurga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Sebagai tempat menerima pendidikan pertama dan utama, keluarga hendaknya menjadi langkah awal untuk membentengi diri anak dari kekerasan seksual. Pendidikan seksual dalam lingkup keluarga bisa dilakukan sedari dini yang dilakukan secara bertahap dan hati-hati.  Seperti sejak anak berusia dua bulan, orang tua tidak boleh melakukan hubungan badan di satu ruangan yang sama dengan anak. selanjutnya orang tua bisa mengajarkan hakikat laki-laki dan perempuan, rasa malu jika bagian-bagian vital tubuhnya terlihat orang lain. Hingga pendidikan seks ini meningkat secara bertahap sesuai perkembangan anak.

Setelah rumah membentengi anak dengan pendidikan seks yang disampaikan langsung oleh orang tua, selanjutnya sekolah bisa berperan mendukung dengan memberikan pendidikan seks terintegrasi dengan memasukkan nilai-nilai agama dan budi pekerti. Termasuk di dalamnya adalah mengedukasi orang tua murid yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan seks di lingkungan keluarga untuk ikut berperan memberikan pendidikan seks pada anak-anaknya.

Selanjutnya di lingkungan masyarakat yang lebih luas, seluruh elemen harus bersinergi memaksimalkan perannya untuk memberikan pendidikan seks sedari dini. Bagian terpenting dalam hal ini adalah peran pemerintah untuk turut merealisasikan lingkungan yang aman untuk anak-anak sehingga kekerasan seksual pada anak tidak terulang. Pemerintah bisa berperan memberikan kebijakan-kebijakan yang bisa meminimalisir praktik kekerasan seksual pada anak serta dalam menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan seksual pada anak yang sudah terjadi. Kebijakan dari pemerintah ini diharapkan dapat menegakkan keadilan bagi korban dan pelaku kekerasan seksual tersebut.

Di samping itu ada pula peran media yang cukup besar dalam membangun paradigma pentingnya pendidikan seks yang terintegrasi. Pada kasus ini media menyediakan tayangan yang layak ditonton berdasarkan perkembangan anak, memberikan tayangan-tayangan yang aman bagi anak dalam arti tidak memicu kekerasan seksual ataupun tidak member pemahaman yang salah atas pendidikan seksual pada anak.

Menjawab kebijakan pemerintah untuk menangani maraknya kasus kekerasan seksual pada anak dengan  pengadaan Pendidikan Seks dalam matapelajaran Muatan Lokal tidaklah cukup. Sebab masalah kekerasan pada anak bukan hanya pekerjaan rumah dari bidang pendidikan, atau yang lebih spesifik lagi adalah sekolah dan guru. Semua lini masyarakat mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga hingga yang paling luas seperti lingkungan msayarakat harus ikut andil dalam upaya ini. Oleh karena itu, pendidikan seks sebagai upaya preventif kekerasan pada anak seyogyanya diberikan secara terintegrasi di berbagai ruang lingkup dan berbagai hal serta memaksimalkan berbagai tenaga ahli seperti pedagogik (pendidikan). psikologi, hukum, sosial budaya, dan sebagainya.(*)

(Disusun oleh Lisfatul Fatinah berdasarkan hasil diskusi 11 Mei 2014 di Grup FC Pendidikan dan Parenting yang difasilitatori oleh Ahmad Khairudin)

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. AGENS128 Adalah Situs Judi Online Taruhan Sepak Bola, Casino, Sabung Ayam, Tangkas, Togel & Poker Terpopuler di Indonesia
    Pasang Taruhan Online Melalui Agen Judi Terpercaya Indonesia Agens128, Proses Cepat, Banyak Bonus, Online 24 Jam dan Pasti Bayar!
    Sabung ayam
    sbobet online
    casino online
    tembak ikan
    daftar bisa langsung ke:
    LINE : agens1288
    WhatsApp : 085222555128

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -