Posted by : Fatinah Munir 20 August 2014


Pekan lalu, saat aku sedang mengajar matematika di kelas. Tiba-tiba muridku, seorang anak dengan autisme dan ADD (Attantion Deficite Disorder) menghampiri. Menyentuh daguku dan memalingkan wajahku ke arah wajahnya. Ada yang ingin disampaikannya dan aku harus memperhatiannya. Begitulah kurang lebih yang ingin dikatakannya melalui caranya mendekatiku.

“Ibu …,” katanya sambil menyentuh daguku dengan tangan mungilnya.

Biasanya sebelum sempat aku menjawab, anak ini akan langsung membicarakan hal yang akan disampaikan atau ditanyakan. Pertanyaan yang ajukannya pun selalu disampaikan dengan pola yang sama. Persis sama meski hal yang ditanyakannya berbeda. Dan semuanya harus berpola sebab-akibat. Misalnya pertanyaan, “Aku ngantuk, kenapa?”; “Makananku berantakan, kenapa?”; “Tulisanku tidak muat di buku, kenapa?”, dan banyak lagi pertanyaan yang berakhir tanya ‘kenapa?’. Lalu anak ini akan bertanya, “Makanya aku jangan apa?”

Tepat sesuai dugaanku, anak surga yang satu ini melanjutkan perkataannya sambil memalingkan wajahku ke wajahnya, tanpa menungguku menyahut.

“Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?” ucapnya dengan intonasi dan kalimat khasnya.

“Kamu cinta Salsabila?” aku balik bertanya padanya. Sedikit terkejut mendengarnya.

“Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?” dia mengulang tanyanya dengan intonasi yang persis sama dan mata yang menatapku semakin lekat.

“Ibu jawab nanti ya, Sayang. Kita belajar dulu,” jawabku sambil memberikan buku tulisnya.

Tanpa menjawab, dia langsung mengambil buku tulisnya dan kembali ke mejanya sambil terus bergumam. ‘Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?’

Sejujurnya, aku bingung mau menjawab pertanyaannya dengan apa. Anak lelaki usia sembilan tahun dengan autisme dan ADD yang dimilikinya membuatku sempat berpikir mungkin dia sedang meniru ucapan di tivi. Atau meniru ucapan teman-temannya di lingkungan sekolah. Entah.

Yang ada dalam pikiranku selanjutnya adalah bagaimana kalau anak ini bertanya ‘makanya jangan apa?’. Gubrak! Bisa mati kutu aku dibuat anak ini.

Pulang sekolah, saat aku sudah melupakan pertanyaannya. Tetiba dia kembali menanyakan hal yang sama padaku. Dengan cara yang sama pula. Menyentuh daguku, mengalihkan wajahku ke wajahnya. Lalu menatapku dengan dua matanya yang lebar dan bersinar. ‘Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?’

Selalu saja begini. Hampir seluruh muridku yang mempunyai keautistikkan memiliki ingatan yang sangat tajam. Sampai hal kecil yang luput dari perhatian dan ingatanku pun tetap diingatnya.

Huhf! Sambil menghembuskan napas dengan agak berat, aku memutar kepala dan berpikir cepat. Jawab apa ya kira-kira untuk anak ini. Oke. Asumsiku anak ini mungkin sedang puber dan dia memang sedang tertarik dengan salah satu temannya.

But … what should I say to him? O God!

Akhirnya aku bertanya kepadanya. “Kenapa kamu cinta Salsabila?”

“Kalau aku cinta Salsabila kenapa?” dia kembali mengulang pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaanku.

“Tidak kenapa-kenapa, Sayang,” jawabku sambil mengelus kepalanya.

“Aku cinta Salsabila, Bu Lisfah,” katanya.

“Oke. Sesama manusia memang  harus saling mencintai, Sayang. Itu artinya kaliam berteman. Tidak saling bertengkar dan menyakiti. Sama seperti ibu yang mencintai kamu sebagai murid ibu. Sama seperti umi dan abi di rumah yang mencintai kamu sebagai anak. Kamu juga begitu. Tidak hanya ke Salsabila. Kamu juga harus mencintai teman-teman yang lain, mencintai hewan, dan tumbuhan. Karena kita memang harus mencintai semua makhluk, tidak merusak atau menyakitinya ya.”

“Kalau aku cinta Salsabila, kenapa?” dia kembali bertanya.

“Tidak apa-apa. Kamu harus cinta pada semuanya,”

Lalu dia pergi sambil memainkan jari-jarinya dan tanpa bergumam sepatah kata.

Cuma begitu responnya. Simple. Selalu sesimpel itu di depan anak-anak. Apalagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti dia. Tetiba aku teringat salah satu bagian di film Cinta Brontosaurus; dalam hal cinta kadang kita harus menjadi anak kecil yang mencintai tanpa sebab apa-apa.

Argh, seperti ada yang baru di hatiku. A little thing that belonging breath. More than love.
Jadi, sepertinya lebih asik kalau aku cinta… seperti anak-anak saja.

Tanpa sebab apa-apa. Hanya cinta.

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -