Posted by : Lisfatul Fatinah 30 July 2014



Kala kata berubah jadi rupa. Kadang semua berbeda dari duga. Yang suka kadang jadi duka. Yang tak suka kadang jadi kembang muka. Beda. Selalu berbeda antara kata dan jumpa, meski sejatinya kata-kata jadi cerminan jiwa. Pada akhirnya, semua rasa berkerumun. Mewarnai setiap jejak dan helaan napas di antara orang-orang asing yang menelusuri rerimbun.

Pukul 23.00 aku dan dua sahabatku tiba di terminal Kampung Rambutan. Entah apa dan bagaimana respon teman-teman yang menunggu kami. Sejak kami bertiga melangkahkan kaki keluar rumah, signal handphone kami sengaja matikan. Maka sangat mungkin semua teman pendakian yang sudah tiba di lokasi sedari tadi akan panik bahkan dongkol kepada kami.

“Ini dia yang ditungguin dateng!”

“Hapenya pada mati ye? Diteleponin gak ada yang aktif.”

Kurang lebih begitulah satu dua respon yang keluar saat aku dan dua sahabatku baru tiba di titik berkumpul, di depan Asrama TNI Kampung Rambutan. Tujuh orang asing di depanku melontarkan senyum satu satu dan kubalas mereka satu satu dengan dua gingsul yang menyeringai. Satu satu dari teman yang sudah datang menghampiriku untuk bersalaman, kecuali satu orang wanita. Dia hanya duduk diam. Saat melihat kami datang, dia malah berpindah tempat duduk ke belakang Dhika. Sudahlah, terserah dia. Tapi saat itu aku menghampiri dan menjulurkan tangan sambil menyebutkan nama.


Hi, These are Us!
  
Kak Tiwi. Perempuan yang sepengetahuanku adalah mencetuskan ide perjalanan kali ini. Dari salah sahabatku yang lebih dulu mengenalnya, Kata salah satu sahabatku yang sudah mengenalnya lebih dulu, Kak Tiwi konon adalah wanita super yang mempunyai pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pria.

Dhika. Pria yang namanya sudah muncul di bagian pertama cerita dan memiliki julukan Bapak Rempong. Sejak awal persiapan hingga akhir perjalanan ini, Dhika yang pendiam mendadak bawel kepada kami. Meskipun begitu, semua kebawelannya adalah benar dan untuk kebaikan semua anggota tim perjalanan.

Yudith. Perempuan berkacamata yang juga satu komunitas dengan salah satu sahabatku ini bisa dikatakan mudah dekat dengan orang yang baru dikenalnya. Meksipun katanya ini adalah kali pertamanya naik gunung, tapi saat naik dia cukup cepat bahkan cenderung sering mendahulu yang lain.

Yola. Perempuan paling muda di tim kami yang juga satu komunitas dengan Kak Tiwi dan Yudith. Perjalanan Yola dari Cilegon – Jakarta – Cibodas – Kandang Badak – Mandalawangi banyak membuatku belajar sabar. Yolla adalah anggota tim yang termuda, sekarang sedang kuliah sambil menggeluti online shop pakaian muslimah dan hijab.

Shofi. Perempuan yang sepengetahuanku adalah teman Kak Tiwi ini tidak banyak bicara selama naik. Tidak sering muncul juga di grup. Tapi kalau sudah bicara, sepertinya akan jadi yang paling ramai di antara yang lainnya.

Bang Edi. Pria yang satu tempat kerja dengan Kak Tiwi dan Dhika ini memang tidak terlalu banyak bicara. Tapi selama perjalanan, Bang Edi adalah orang yang paling santai dan terhitung enjoy dengan perjalanan ini. Satu lagi, Bang Edi penggila gorengan. Ini salah satu alasan yang diakuinya saat ditanya mengapa bibirnya hitam sedangkan dia bukan perokok.

Bang Awal. Pria yang bergabung paling akhir di perjalanan ini. Mengingat Bang Awal, aku jadi teringat percakapan di perjalanan menuju Kampung Rambutan dengan salah satu sahabatku.n “Lis, kata Kaktiw, Kak Awal itu ikhwan,” kata sahabatku. Aku spontan merespon, “Emang kenapa?” Dia menjawab, “Nanti gak bisa ngomong gue-elu, gak bisa teriak-teriak pas naek,” Aku dan sahabatku yang lainnya tertawa, “Yaelah. Just be yourself! Hahaha.”

The last one, dua sahabatku. Erni dan Kak Lina yang namanya sudah cukup sering muncul di catatan perjalananku. Mereka dua orang paling aneh yang kukenal sejak 2010 di dunia literasi. Bersama mereka aku melalang buana dan merasakan suka duka berbagai perjalanan. 

Dan ini adalah aku. Lisfatul Fatinah Munir. Emak dan Bapak memanggilku Lis, guru-guru memanggilku Lisfah, beberapa orang memanggilku Fatinah atau Fatin, dan banyak orang di sosial media memanggilku Mas Fatul. Dan di perjalanan ini aku dipanggil Fatin. Aku adalah orang aneh di antara mereka yang dalam perjalanan ini dikenal tukang tidur juga paling banyak makan, dan memang begitu aku apa adanya.

Sebelum menaiki bus yang akan mengantarkan kami ke Pertigaan Cibodas, aku berkenalan dengan mereka. Saling melontarkan komentar pertama atas perjumpaan pertama kami di tengah temaram cahaya lampu jalanan.


Sebermula Rasa dan Langkah

Entah sudah pukul berapa, yang kutahu malam sudah bertambah malam dan Kampung Rambutan semakin ramai dengan orang-orang berperlengkapan hiking. Dhika meminta tolong pada Bang Edi untuk mencari bus Jakarta-Cianjur yang akan kami tumpangi. Tidak lebih dari lima menit Bang Edi mengajak kami menghampiri sebuah bus yang sudah didapatinya.

Bang Edi menggiring kami pada sebuah bus berukuran sedang berwarna cokelat muda yang semakin menampakkan kelusuhan bus tersebut. Dari luar bus, aku melihat bangku-bangku di dalamnya nyaris terisi penuh, pun itu dengan bagasi yang masih dibuka.

“Berapaan?” tanya Dhika pada Bang Edi sambil memerhatikan bus yang ada di hadapan kami.

“Duapuluh lima ribu,” jawab Bang Edi.
                                                                                                                       
“Ini tasnya ditaruh mana? Memangnya muat?” tanya Dhika pada kondektur bus.

“Muat, Mas. Udah ayo naik!” jawab kondektur bus berkaus putih dengan topi cokelat tua yang sudah usang.

Saat itu Bang Edi sudah berdiri di anak tangga bus dan mulai mencari bangku yang bisa kami duduki. Aku dan yang lainnya hanya berdiri. Membuntuti dan menunggu keputusan para pria yang memimpin perjalanan ini.

“Nggak. Nggak. Turun, Ed. Cari yang lain aja!” perintah Dhika dengan nada suara cukup kesal.

Saat itu, belum juga bermula perjalanan ini bersama roda-roda yang berputar dan mengantarkan kami ke Pertigaan Cibodas, aku sudah merasakan ketidaknyamanan. Ada kemungkinan salah satu penyebab ketidaknyamanan ini bermula dari keterlambatan aku dan dua sahabatku datang ke Kampung Rambutan. Entah. Tapi firasatku cukup kuat bahwa energi untuk menahan kesal akan sangat dibutuhkan dalam perjalanan kali ini.

“Cari yang laen. Di belakang masih banyak kok,” ujar Dhika sekali lagi, memecah pikiranku yang mulai liar membayangkan perjalanan kami hingga dua hari ke depan.

Selang beberapa menit dari penemuan bus pertama, akhirnya kami menemukan bus Jakarta-Cianjur berukuran besar dengan tarif lebih murah dari sebelumnya, duapuluh dua ribu rupiah. Kami memasukkan tas-tas yang kami bawa ke dalam bagasi, lalu memasuki bus yang masih tersedia banyak bangku kosong.

Kak Tiwi dan Yudhit sudah mengambil posisi di sisi kiri bus, duduk berdampingan pada sepasang bangku kelima dari depan. Yola dan Shofi duduk tepat di belakang Kak Tiwi dan Yudith. Bang Edi dan Bang Awal memilih sisi kanan bus, duduk berdua pada bangku berkapasitas tiga orang. Sedangkan Dhika yang kupikir akan duduk bersama Bang Edi dan Bang Awal, justru memilih duduk pada bangku tepat di belakang Yola, bersandar pada kaca mobil, sendirian.

Aku mengambil posisi di sisi kiri bus, duduk tepat di depan Yudith. Kak Lina siap mengambil posisi duduk di bangku sebelahku di saat Erni bingung ingin duduk di mana. Erni akhirnya memutuskan duduk di sisi kanan bus, duduk merapat dengan kaca jendela bus baris kelima. Aku dan Kak Lina menghampiri Erni. Duduk bertiga dengan mata masih terus berkeliling, memerhatikan isi bus.

“Pindah yuk!” kataku tanpa sebab apapun.

Untuk ketiga kalinya, aku, Erni, dan Kak Lina, akhirnya pindah tempat duduk ke baris keenam, tepat di depan Bang Edi dan Bang Awal. Kami tertawa menyadari betapa tidak bisa diamnya kami bertiga di dalam bus. Hingga beberapa di antara tim kami menggelengkan kepala dan berseru, “Kalian kenapa sih pindah-pindah terus?” Dan hanya tawa yang menjadi jawab kami.

Bus yang kami tumpangi mulai melaju menuju Pasar Rebo. Satu satu penumpang baru naik dan memenuhi bus yang membelah malam, menembus pekat, menuju dataran yang lebih tinggi. Jauh di luar Ibu Kota.

Kala itu mataku sudah hampir terpejam, suara-suara di dalam bus pun mulai redam. Sesekali diramaikan oleh pengamen bergitar. Tetiba kantukku pecah oleh suara. Kusadari dua orang pria berdiri tepat di samping bangkuku. Salah satu pria tersebut hanya berjaket abu-abu dan berkupluk hitam, sedangkan yang lainnya berjaket coklat dengan posisi berdiri nyaris menghadap pria pertama.

Keduanya sedang berbincang dengan serunya. Pria berjaket coklat berkisah dengan suara keras tentang pendakiannya ke berbagai gunung. Berbagai aral rintangan diceritakannya dengan sangat antusias, sampai yang tidak mau mendengarkan ceritanya pun dipaksa mendengar karena terlalu nyaring suaranya. Perbincangan keduanya semakin seru karena pria pertama yang berkupluk hitam banyak bertanya tentang pendakian.

Respon pertama yang ada di kepalaku saat itu, yang mungkin juga ada di kepala orang yang ikut dipaksa mendengarkan sepertiku adalah sombongnya orang ini. Benarkah ada pendaki seperti ini? Bukankah seorang pendaki, seorang penikmati alam, seharusnya lebih bisa mengontrol emosi terutama kesombongannya? Sebab sejatinya dari alam kita tahu bahwa gunung yang menjulang tinggi jauh lebih layak berombong diri daripada kita yang mendakinya. Sebab sejatinya dari alam kita tahu bahwa kita adalah kerdil, bagai batu kecil yang bergeletak di jalan-jalan pendakian.

Mungkin dia lupa. Ah sudahlah. Bukan urusanmu juga, Tul! Bisik satu sudut hatiku. Mengingatkan betapa aku juga dua pria yang sedang berbincang hebat di depanku juga manusia yang hidup bersisian dengan salah dan lupa.

Malam semakin larut. Aku memutuskan tidak mengacuhkan dua suara di sampingku dan memilih memejamkan mata. Mengistirahatkan tubuh yang selama lima hari sebelum perjalanan ini sudah terlalu diforsir kerjanya.


Dingin yang Menjaga

Hampir pukul 2.00 dini hari. Angin dingin perlahan masuk melalui kaca jendela bus yang terbuka, menyentuh kulit pipiku. Aku terjaga, perlahan membuka mata, menyesuaikan pengelihatan dengan cahaya-cahaya yang berpendar dari luar jendela. Aku menguap sambil menutup hidung, menyesuaikan tekanan antara di luar dan di dalam tubuh.

“Sudah mau sampai,” seruku perlahan lalu membangunkan Kak Lina yang bersandar di pundakku dan Erni juga masih tertidur bersandar ke jendela.

Kurang lebih lima menit setelah aku terbangun, kondektur bus berteriak memberitahukan kepada seluruh penumpang bahwa kami tiba di Pertigaan Cibodas. Destinasi kami sudah di depan mata dan kami menyiapkan diri dan bergegas turun.

Turun dari bus, kami menepi ke salah satu sisi jalan. Di sini udara yang berhembus mulai menggigilkan tubuh, menusuk kulit, menembus pori-pori kami yang terbiasa yang teriknya matahari Jakarta. Beberapa teman mengeluarkan jaket, berusaha menciptakan kehangatan untuk dirinya sendiri. Sedangkan aku memilih untuk tidak menggunakan jaket, berusaha berkenalan dengan udara pagi ini. mengadaptasikan tubuh dengan suhu yang pasti akan bertambah dingin di atas gunung nanti.

Sebelum melanjutkan perjalanan dengan angkot kuning menuju Cibodas, kami menyibukkan diri masing-masing dengan keperluan kami. Beberapa teman pergi ke ATM, yang lainnya singgah ke minimarket terdekat untuk membeli beberapa hal yang belum disiapkan, sedangkan aku memilih duduk di atas aspal dan memejamkan mata walau sejenak.

“Lisfah bangun!” sebuah suara membangunkanku diiringi tangan yang menepuk pundakku.

“Udah mau lanjut?” tanyaku sambil memicingkan mata, menahan kantuk yang masih menggelayut.

Kami menyeberangi jalan, masuk ke sisi jalan menanjak yang diisi dengan deretan angkot kuning dan beberapa orang yang juga ingin mendaki. Lagi-lagi Dhika yang berperan menentukan angkot mana yang akan kami tumpangi menuju kawasan taman nasional.

Butuh waktu kurang lebih 10 menit menggunakan angkot bertarif enam ribu dari pertigaan Cibodas hingga kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Turun dari angkot, kami memasuki Warung Mang Idi, warung yang cukup terkenal di antara banyak warung yang berderet menuju pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Selain karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan warung lainnya, warung Mang Idi terkenal mungkin karena posisinya yang cukup strategis. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pintu masuk TNGGP.

Dari luar suasana warung tampak ramai. Tatkala yang lainnya langsung masuk ke dalam, aku memilih untuk tetap duduk di luar, di atas salah satu bangku panjang sambil tetap menggendong carrierku dan memangku carrier Erni.

“Pada istirahat di dalem. Supaya besok gak capek,” kata Dhika.

Aku masuk ke tempat istirahat. Melihat kondisi ruangan, mencari sisi renggang yang bisa kugunakan untuk sekadar meluruskan kaki atau duduk bersandar. Penuh. Ruangan itu sudah penuh. Kak Tiwi dan Shofi sudah menemukan tempat ternyamannya untuk tidur, pun itu dengan Kak Lina dan Yudith. Aku meletakkan carrier milikku dan Erni bersisian dengan carrier teman satu tim. Kemudian, aku kembali ke luar, menghampiri Erni yang duduk di salah satu bangku.

Di luar beranda warung, Dhika, Bang Edi, dan Bang Awal memilih duduk di meja panjang paling kanan dan meletakkan carrier di dekat mereka. Aku dan Erni duduk berhadapan di meja yang tak jauh dari mereka.

“Tadi ngantuk banget. Sekarang malah gak mau tidur,” kataku tanpa ditanya.

“Sama. Di sini aja ah. Mau pesan teh manis. Mau gak?” Erni menganggapi.

“Mau dong. Teh manis hangat, tapi jangan terlalu manis,” jawabku.

“Okay,” Erni menawarkan diri dan sudah berdiri, bersiap memesan ke dalam.

“Gue aja yang pesen. Sekalian pesen makanan,”  aku masuk ke bagian warung, memesan dua gelas teh manis hangat dan semangkuk mie kari ayam dengan telur. Disusul Dhika yang juga memesan segelas Milo.

Sejak kami tiba, aku dan Erni nyaris tetap terjaga. Kami berbincang apa saja hingga kami sama-sama tertidur di bangku kami masing-masing. Aku sendiri tidur dengan posisi duduk. Erni di sebelahku membaringkan badannya di atas bangku. Entah berapa kali sudah posisi tidurku berubah, meskipun dengan posisi tetap duduk. Saat terjaga, aku melihat sekeliling, beberapa pendaki lelaki tidur duduk meja belakangku. Jam dinding di dalam warung menunjukkan lewat dari pukul setengah lima pagi. Aku merunduk lagi, menenggelamkan wajah di antara lengan dan memejamkan mata.

Belum juga aku memasuki lelap, tiba-tiba suara Kak Tiwi membangunkanku.

“Siap-siap shalat yuk!” kata Kak Tiwi diiringi suara Kak Lina dan Yudith.

Aku mengangkat wajah. Membangunkan Erni yang masih tertidur di sampingku. Kak Tiwi, Kak Lina, dan Yudith sudah siap untuk shalat.

Ada yang lupa aku ceritakan. Pendakian kali ini mulanya khusus untuk teman-teman SPJ (Solidaritas Peduli Jilbab) yang dilakukan bersama bakti sosial pemberian perlengkapan shalat ke mushalah di kawasan TNGGP ini. Oleh karena itu, selain membawa perlengkapan pendakian, Kak Tiwi –yang mengurus bakti sosial ini juga membawa sekatung besar barang untuk disumbangkan.

Kak Tiwi, Kak Lina, dan Yudith sudah jalan menuju salah satu mushalah yang baru dibangun di pertigaan menuju kawasan Taman Wisata Cibodas. Bang Edi dan Bang Awal yang tadi masih tidur juga sudah tidak ada, mungkin sudah ke mushalah warung. Aku dan Erni masih bermalas-malasan, pindah ke meja tempat Bang Edi dan Bang Awal. Di sisi lain meja, Dhika mulai terjaga, berganti posisi, lalu kembali tidur.

“Sebentar ya. Kumpulin nyawa dulu,” kataku pada Erni yang juga masih terlihat mengantuk.

Beberapa menit kami sedikit berbincang sambil mengusir malas. Kemudian kami masuk ke dalam ruang istirahat untuk mengambil alat shalat.

Aku dan Erni tidak langsung menuju masjid, kami duduk di dekat di salah satu bangku panjang, menunggu Shofi yang juga baru bersiap-siap shalat. Sayangnya, saat sudah ditunggu, Shofi malah shalat di mushalah warung. Alhasil, aku dan Erni pergi berdua menyusul yang lainnya ke mushalah tempat bakti sosial.

Sesampainya di mushalah, yang lain sudah selesai shalat, termasuk Erni. Aku, yang paling lama kalau sudah masuk kamar mandi, shalat paling terakhir. Saat yang lain sudah hendak kembali ke warung, aku sendirian memutuskan untuk bersantai di mushalah dan kembali menjadi yang paling akhir kembali ke warung.

Di Warung Mang Idi, beberapa teman sudah menyamtap sarapannya, beberapa yang lainnya sedang memesan, dan aku memilih menikmati pemandangan pagi, memanjakan mata pada rekah jingga di balik satu dua pohon yang ada di seberang warung. Saat yang lainnya sudah memenuhi meja, aku baru memesan makan untuk kedua kalinya. Sepiring nasi yang baru matang, balado hati ayam, tempe orek, dan sebotol air mineral menjadi teman di meja makan pagi ini.

“Gak enak nasinya,” kata Shofi yang membuka keluhan. Lalu disusul beberapa teman yang mengomentari lauknya.

Bersyukur sekali nasi yang kumakan baru matang, masih mengebul, dan enak. Tapi yang cukup menggangguku setiap kali makan di tempat-tempat dingin atau di warung-warung dekat jalur masuk pendakian adalah makanan yang tersedia dominan manis dan mengandung banyak vetsin.

Aku yang tidak suka manis dan alergi vetsin biasanya bisa kehilangan nafsu makan kalau di warung seperti ini. Tapi karena tubuh sedang payah dan aku butuh tenaga, maka mau tidak mau aku harus makan apapun yang ada di warung pagi ini.

“Nasi Fatin enak banget tuh kayaknya,” Shofi mengomentari hidangan yang ada di hadapanku.

Mendengar komentar Shofi, nyaris seluruh teman sependakian menengok ke arah piringku.

“Rezeki anak soleh,” timpal Kak Tiwi dan Dhika hampir berbarengan, disusul tawa teman-teman lainnya.

Selepas menyantap sarapan, kami tidak langsung mendaki. Kami sibuk dengan keperluan masing-masing. Ada yang ke toilet, Erni dan Kak Lina sibuk mencari gas, dan yang lainnya merapikan tas atau carrier. Aku sendiri? Carrier yang akan kubawa sudah kusiapkan, saran Dhika untuk repacking pun sudah aku lakukan saat baru saja tiba, tapi pagi itu aku sibuk bolak-balik ke mushalah untuk mencari saputanganku.

Dua kali aku bolak-balik mushalah-warung, memeriksa tempat shalat untuk perempuan dan juga kamar mandi yang sebelumnya aku gunakan untuk membersihkan badan dan berwudhu. Tapi saputangan yang kucari tak kunjung tampak barang sehelai benangnya pun. Jika saja saputangan hijau lumut yang sudah kusam itu bukan saputangan pemberian bapak, aku tidak akan mencarinya sampai harus bolak-balik ke mushalah dan menunggu seseorang yang sedang mandi keluar dari toilet.

Sudah berkali-kali aku menghilangkan saputangan pemberian bapak. Kali ini aku ingin saputangan itu tetap di tanganku. Atau paling tidak, usianya lebih lama daripada saputangan-saputangan lainnya yang pernah aku punya.

“Nyariin apa sih?” tanya Kak Lina kepadaku.

“Saputangan yang semalam dipakai. Yang warnanya butek, udah jelek,” jawabku sambil mendeskripsikan saputangan dengan apa adanya. Lusuh dan sudah jelek.

“Tadi lu pakai kan,” Kak Lina menanggapi.

“Iya, tapi lupa. Bantu cariin dong. Gak mau saputangan itu hilang,” kataku sambil memasang wajah murung.

Saat itu yang lainnya sibuk membenahi barang bawaannya. Siap menggendong carrier masing-masing, termasuk di antaranya adalah Erni. Dia duduk di depanku dan bertanya saat melihat air wajahku menjadi keruh.

“Kenapa, Lis?” tanyanya heran.

“Saputangan hilang. Yang warna ijo buluk. Yang semalam dipakai,” jawabku sambil membayangnya rupa saputangan itu dan berharap tetiba saputangan itu ada di depan mataku.

“Lah itu yang di leher?” kata Erni disusul tawanya.

Aku melihat ke bawah, ke arah dada. Sejumput hijau lusuh menjuntai di sana, saputangan yang kucari sedari tadi terikat di leher. Sontak saat itu aku malu dan menertawakan diri sendiri.


Barrier to Barrier


Lewat pukul tujuh. Setelah menunaikan kewajiban membayar segala fasilitas yang ada, kami berkumpul di depan Warung Mang Idi. Membuat lingkaran untuk berdoa sebelum melakukan pendakian, memohon kelancaran dan keselamatan selama perjalanan hingga pulang. Aku pribadi berharap semoga perjalanan ini akan menyenangkan dan tidak ada hambatan yang berarti.




Aku jalan paling belakang, bersama Erni. Kak Lina, Yolla, Bang Awal, dan Dhika berjalan beberapa kaki di depan. Kak Tiwi, Bang Edi, Shofi, dan Yudith, sudah menancapkan gas mereka lebih jauh di depan.

“Kita udah verifikasi ya?” tanya Erni kepadaku.

“Belum. Lah, katanya mau ke Markas Green Ranger. Ini kan Green Ranger. Kok pada lanjut bae?” aku menganggapi, menyadari bahwa kami belum verifikasi Simaksi yang kami urus  melalui calo di Green Ranger.

“Woi, ini pada nggak verifikasi?” Erni setengah berteriak kepada teman di depan kami.

“Tiwi yang ngurus. Katanya di Markas Green Ranger. Emang di mana markasnya? Gue gak tau,” Dhika langsung berhenti dan mencari Kak Tiwi. “Tiwi di mana?”

“Jauh di depan,” sahut Bang Awal.

Saat itu Dhika langsung mengejar Kak Tiwi. Kami yang masih belum jauh dari Kantor Sekretariat TNGGP dan Markas Green Ranger menunggu di pinggir jalan.

Sepuluh menit kemudian Dhika dan Kak Tiwi bersama beberapa teman lainnya sudah kembali. Dhika dan Kak Tiwi pergi ke Markas Green Ranger, mengurus Simaksi yang hampir terlupakan. Lebih dari lima menit kemudian, Dhika datang, mengabarkan bahwa kami belum bisa naik karena terjadi kesalahan dalam perizinan. Kami yang nyaris setengah jam menunggu akhirnya mengikuti Dhika ke Markas Green Ranger.

Kami belum bisa naik. Sesuai perjanjian antara Kak Tiwi dengan Si Calo, kami akan naik pukul 6.00, tapi kini pukul 8.00 kami baru masuk ke Markas Green Ranger. Tanpa diduga, lewat dari perjanjian awal, maka kami harus ikut dengan rombongan Green Ranger pukul 10.00 nanti.

Satu satu raut wajah kami berubah. Termasuk aku. O God, dua jam lagi kami harus menunggu. Semakin menyebalkan ketika kami diminta ikut serta dalam upacara entah yang katanya menghadirkan sejumlah politikus. Whats ever, I don’t care about it!

Aku mencoba menguapkan bad mood dengan membantu beberapa hal yang bisa aku lakukan, seperti mencatat daftar barang-barang bawaan yang akan menyisakan sampah dan membuat larutan obat yang pernah aku pelajari di Farmasi untuk Erni. Larutan obat yang kubuat hanya larutan madu yang dibuat dengan teknik tertentu untuk menurunkan suhu tubuh Erni yang demam tiba-tiba.

Selepas memberikan larutan madu, aku pergi. Sendiri. Entah mau kemana. Yang jelas saat itu aku hanya ingin melepas bad mood yang ada. Aku berjalan ke utara. Melihat anak-anak berlarian, bermain, dan tertawa. Di sisi kiri jalan, aku melihat mushalah kecil. Ada dua sepatu yang kukenal berjejer rapi di dekat berandanya. Yudhit dan Kak Lina sedang di dalam. Kulihat mereka sedang khusyu shalat dhuha.

Aku masuk ke dalam masjid. Niatku hanya ingin mencuci muka, tapi muncul keinginan untuk berwudhu. Akhirnya, aku pun ikut shalat dhuha, meski hanya dua rakaat. Selepas shalat, aku bermalas-malasan saja di atas sajadah, masih berkurung mukena. Saat Kak Lina dan Yudith sudah keluar, aku ikut keluar menikmati pemandangan.

Di sebuah lapangan, kami mencoba mengulur waktu menunggu dengan berfoto. Mengajak berbicara anak-anak sekitar, meskipun semua anak selalu berlari terbirit setiap kali kami dekati.

Aku, Kak Lina, dan Yudith kembali ke Markas Green Ranger. Di sana, semua teman sudah berkumpul. Bersiap dengan masing-masing carrier.

“Udah mau jalan? Katanya jam sepuluh?” tanyaku pada sembarang orang yang mau menjawab.

“Jalan sekarang. Ini udah bisa diurus,” kata Kak Tiwi.

“Nungguin mereka mah gak yakin gue jam sepuluh bakal jalan. Jam segini aja pada belom upacara,” Dhika menimpali.

Barrier to  barrier. Dari rintangan ke rintangan kami baru bisa mendaki. Meskipun aku percaya tidak ada rintangan  berarti jika kita selalu siap menghadapi. Tapi kali ini aku berpikir, mungkin semua ini adalah cara Tuhan untuk mengajarkanku cara bersabar yang baik. Jika saja perjalanan ini aku lakukan bersama orang-orang yang sudah kukenal, sangat mungkin aku akan protes dan semua akan menyelesaikan rintangan dengan tubuh berurat.

Lepas dari apapun rintangan dan aneka rasa yang berjejal, bagiku semua itu adalah bumbu-bumbu cerita yang akan membuat cerita perjalananku kali ini akan penuh warna. Kini, tinggal menikmati warna warni itu, yang membuat kita tersenyum atau murung.



Bersambung…,

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -