- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Serpihan Cinta Luar Biasa dari SLB C Cipaganti
Posted by : Lisfatul Fatinah
23 April 2013
Bismillahirrahmanirrahim
"Menjadi guru pendidikan khusus, bukan sekadar menjadikan anak mengerti
apa yang kita ajarkan. Menjadi guru pendidikan khusus adalah belajar bersikap
adil pada ciptaan Allah SWT, memanusiakan manusia yang katanya tak sempurna,
memanusiakan manusia yang katanya tak seharusnya dilahirkan ke dunia."
(Lisfatul Fatinah
Munir)
Kurang lebih, begitulah yang saya pahami selama berkunjung
ke SLB C Cipaganti, Bandung, pada semester lalu. Mulanya, kunjungan ini adalah
salah satu tugas saya sebagai mahasiswi semester III Pendidikan Luar Biasa UNJ.
Tapi, rasanya sebuah tugas takan berarti apa-apa jika hanya sebagai penuntasan
matakuliah tanpa ada yang diserap di otak hingga hati kita. Oleh karena
itu, dalam perjalanan menuju SLB C
Cipaganti ini saya tekadkan, bahwa harus ada pemahaman baru dan energi baru
dalam diri dan hati saya untuk terus mengabdikan diri pada pendidikan
Indonesia, khususnya untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Mengapa SLB C Cipaganti
Bandung?
Ada banyak SLB di
Jakarta mulai dari yang berkualitas standar hingga di atas rata-rata. Lantas,
mengapa saya dan teman-teman memilih SLB C Cipaganti yang letaknya cukup jauh
dari Ibu Kota, yakni di Bandung, Jawa Barat?
Dipilihnya SLB C
Cipaganti sebagai SLB yang kami kunjungi karena SLB C Cipaganti merupakan SLB
yang pertama kali didirikan di Indonesia. SLB C Cipaganti Bandung merupakan SLB
peninggalan kolonial Belada yang berdiri pada tanggal 29 Mei 1927 yang
didirikan oleh Dr. A. Kits Van Heijningeen, beliau adalah orang Belanda degan
Warga Negara Jerman. Nama awal sekolah ini adalah Folker School yaitu salah
satu sekolah untuk anak buta yang bernama Blinden
Institut dan sekolah anak bisu-tuli dengan nama Dotstemmen Institut. Kemudian barulah
SLB ini diperuntukkan untuk anak tuagrahita yang mereka sebut sebagai anak
cacat mental. Tahun 1927-1952 sekolah ini hanya khusus untuk orang Belanda
saja, anak pribumi dilarang untuk bersekolah disini, baru pada tahun 1953
sekolah ini dibuka untuk umum, dan warga negara Indonesia boleh bersekolah
disini.
Pada awalnya
sekolah ini bertempat di Tamansari No. 62 Bandung, dan berada di bawah naungan
PPLB. Sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Rakyat Latihan Luar Biasa
(SRLLB). Hal ini dikarenakan sekolah dipakai untuk praktek siswa-siswa Sekolah
Guru Pendidikan Luar Biasa Bandung. Pada saat itu, 1954, SLB ini dikepalai
seorang Belanda bernama Van Vught. Sekolah ini banyak mengalami perubahan dari
waktu ke waktu dan akhirnya sekolah ini menjadi Sekolah Luar Biasa (SLB) C
dibawah naungan Yayasan Pendidikan Luar Biasa (YPLB).
Kurang lebih demikianlah mengapa saya dan
teman-teman memilih berkunjung ke SLB C Cipaganti. Selain karena SLB C
Cipaganti merupakan SLB pertama di Indonesia, kami juga ingin mengetahui lebih
jauh lagi apakah sistem pendidikan di SLB C Cipaganti ini telah cukup baik
hingga dapat diadaptasi di SLB-SLB yang ada di Jakarta.
Menengok
Tiap Sudut SLB C Cipaganti
Berkeliling SLB C Cipaganti, tidak berarti
berkeliling melihat bilik-bilik kelas yang berderet dan membosankan. Di SLB C
Cipaganti, terdapat banyak ruangan keterampilan untuk anak, meskipun kondisinya
cukup sederhana. Setiap kelas yang kami kunjungi rata-rata berisi 1-2 dengan
jumlah murid 5-7 orang.
Ada satu kelas yang membuat saya terkesan.
Kelas ini, kalau tidak saya, setara dengan kelas-kelas di Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD). Saat saya memasuki ruangan, anak-anak di dalamnya berlarian dan
mulai menarik saya serta beberapa teman yang bersama saya.
Saya tertarik dengan salah seorang anak
perempuan di dalam kelas dengan rambut dikuncir kuda dan sepatunya yang
terlepas. Saya lupa siapa nama anak ini. Ketika saya melihatnya dan tersenyum,
dia langsung menghampiri saya dan menarik tangan saya untuk masuk ke area
bermain. Saya mengikuti anak itu, lalu saya duduk di atas karpet warna-warni.
Anak itu terus melihat saya hingga saya
membuka dialog. “Hai, nama kamu siapa?” tanya saya sambil tersenyum dan
membelai rambut panjangnya. Anak ini hanya tersenyum, tidak menjawab.
Lalu, mata anak ini mengarah kepada poket
yang saya bawa. Di dalam poket tersebut ada kamera. Melihat anak itu sangat
tertarik dengan poket yang saya bawa, saya langsung mengeluarkan isinya dan
menjelaskan, “Ini kamera, bisa buat foto-foto. Kamu mau difoto?”
Mendengar penjelasan saya anak ini tertawa
dan melompat, lalu mengangguk seakan memahami pertanyaan saya. Kemudian saya
mengambil foto anak ini beberapa kali.
Ciuman
Tak Terduga :)
Saat saya sudah asik bersama anak
berkuncir kuda ini, tiba-tiba seorang anak perempuan penyandnag Down Syndrome
yang –kalau tidak salah– namanya Putri. Dia memberikan sebuah benda yang daya
tidak tahu benda apa itu. Karena bingung saya bertanya, “Ini untuk Kakak?”
Putri menjawab dengan mengangguk. Lalu saya bertanya lagi, “Benda apa ini?” Putri
tidak menjawab apa-apa, dia hanya tertawa malu-malu.
Karena saya masih bingung dengan benda yang diberikan Putri, saya sempat memerhatikan benda itu sekitar 10 detik.
Saat saya hendak bertanya lagi pada Putri, tiba-tiba Putri mencium pipi saya.
Terkejut! Saya nyaris melompat, tapi saya langsung terkekeh dan tersenyum
ketika Putri langsung berlari meninggalkan saya setelah dia mencium pipi saya
:)
Rizal dan Sembilan
Jahitan di Tangan
Di ruangan kelas lainnya, seorang guru memperkenalkan satu nama
kepada saya dan teman-teman. Nama anak yang disebutkan adalah Rizal, seorang
disabilitas intelektual yang selalu impulsif. Pertama kali masuk ke SPLB C
Cipaganti, Rizal tidak mau masuk. Di luar kelas Rizal justru sering memanjat
pohon, memetik segala sesuatu yang ada di pohon, lalu menimpukkan yang dia
petik kepada siapa saja yang ada di bawahnya.
Di SPLB C Cipaganti, Rizal dikenal sebagai murid yang sangat
sering memecahkan kaca. Emosinya sering meledak dengan atau tanpa pemicu. Jika
tanpa pemicu, Rizal hanya berdiam diri sendirian. Lalu, tiba-tiba anak ini
meninju kaca yang ada di dekatnya hingga pecah. Sedangkan jika disertai pemicu,
biasanya dipicu oleh temannya yang menjahili dan Rizal tidak senang.
Rizal sempat beberapa kali dibawa ke rumah sakit karena
kebiasaannya memecahkan dan menonjok kaca. Bahkan, pernah juga tangan Rizal
dijahit sebanyak sembilan jahitan karena dia menonjok kaca kelas.
Untuk kasus ini, guru memberikan penanganan dengan mengobservasi terlebih dahulu emosional Rizal. Setelah itu, hal-hal yang diduga merupakan pemicu emosional dan impulsif Rizal harus segera dihindari.
Ruangan
Pemanusiaan
Keluar dari ruangan di atas, saya melanjutkan ke ruangan
selanjutnya yang tidak jauh berbeda dengan ruang kelas SLB pada umumnya. Di
ujung koridor, masih di wilayah ruangan kelas, terdapat satu ruangan yang lebih
besar dan lebih ramai. Saya melangkah ke sana dengan feeling “saya sedang
melangkah ke ruangan kejutan”.
Surprise! Pemandangan pertama yang menyambut saya dan
teman-teman ada sekitar sepuluh murid SLB dengan usia rata-rata di atas 17
tahun yang sedang duduk di bangku membentuk lingkaran. Di antara sepuluh murid
tersebut, ada langsung menyambut kami dengan senyuman, menghampiri kami untuk
bersalaman, ada yang takut dan menjerit, bahkan ada yang tidak acuh sambil
melakukan aktivitasnya sendiri, yakni memainkan air liurnya yang membanjiri dua
buah meja di depannya.
Di sisi lain ruangan tersebut terdapat sekumpulan murid,
yang sepertiya bukan murid dewasa yang fisiknya lebih mirip orang tua
dibandingkan remaja. Empat orang murid dewasa ini duduk berbaris sambil
berkutat dengan sekumpulan bola-bola warna-warni yang diamplasnya hingga
bersih. Saya piker, keempat murid ini sudah berusia melebihi paruh baya,
melihat kulit mereka yang kendur, suara mereka yang berat, dan uban yang muncul
di antara rambut hitam mereka.
Untuk kesekian kalinya, saya mengedarkan pandangan ke
sekeliling ruangan ini. Ruangan terakhir ini benar-benar berbeda dari yang
lainnya. Saya menyebut ruangan ini sebagai Ruang Pemanusiaan, karena di dalam
ruangan ini murid-murid SLB C Cipaganti diasah menjadi manusia.
Umumnya, Ruang Pemanusiaan ini disebut Ruang Keterampilan.
Di dalamnya terdapat beraneka aktivitas keterampilan, seperti menjahit,
menyulam, mengamplas, dan membuat sandal
dari limbah karet.
Menurut salah seorang guru yang berjaga di Ruang Pemanusiaan
ini, ruangan ini diperuntukkan kepada murid yang sudah lulus sekolah tetapi
tidak dibawa pulang. Di ruangan ini, murid-murid ini diajarkan aneka keterampilan
seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
Dari sekian banyak murid yang ada di dalam ruangan tersebut,
saya tiba-tiba tertarik pada dua sosok tua yang menurut saya memiliki karakter
paling menonjol. Dua murid tua tersebut bernama Hasni dan Edy. (Maaf, karena
murid-murid ini menyandang disabilitas intelektual dan selalu merasakan diri
mereka adalah bagian dari murid, mereka tidak pernah menyebut diri mereka “Ibu”,
“Bapak”, “Mbak”, atau “Mas”. Selain itu, keterbatasan inteletual mereka
menjadikan mereka bersikap seperti anak-anak di usia yang sudah sangat dewasa)
Hasni, Si Penjaga Bel
Sekolah
Nama murid tua ini adalah Hasni. Beliau sudah tinggal di
asrama SLB C Cipaganti sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Hasni
kini bertugas sebagai penjaga bel. Tugas ini bukanlah tugas yang diberikan oleh
guru SPLB C Cipaganti, melainkan tugas yang “dipilih sendiri”.
Hasni memang suka sekali menjaga bel. Menurut informasi yang
diberikan kepala SPLB C Cipaganti, Hasni memang individu yang memiliki ikatan
emosional dengan lonceng di SPLB C Cipaganti. Kendati Hasni tidak tahu aturan
jam, Hasni selalu memukul lonceng tepat waktu setiap hari, setiap jam masuk
sekolah, pergantian jam pelajaran, dan jam pulang. Biasanya 10-15 menit sebelum
lonceng dibunyikan, Hasni sudah duduk rapi di dekat lonceng tersebut. Jika ada
orang lain yang hendak memukul lonceng, Hasni akan bersikap impulsif dan marah.
Untak menghadapi emosi dan tingkah laku Hasni yang berbeda
ini, pihak sekolah akhirnya mempertahankan bel lonceng ini dan tidak beralih ke
bel elektronik. Selain itu, tugas membunyikan lonceng sepenuhnya dipercayakan
kepada Hasni.
Edy, “Murid Tua” yang
Kurang Perhatian
Edy, yang berkepala setengah botak, terlihat dari belakang sedang berbicara dengan temannya |
Edy adalah murid yang sudah lulus dari SLB C Cipaganti, tapi
masih menetap di asrama. Edy yang
berasal dari Jakarta, kini berusia 45 tahu. Orangtuanya cukup mampu, tapi
kurang memerhatikannya. Hampir kurang
lebih tiga bulan sampai observasi ini dilakukan, Edy mempunyai kebiasaan
tingkah laku yang menyimpang, yaitu mencuri. Benda-benda yang dicuri Edy
berbagai macam, mulai dari pensil, pulpen, buku, sandal jepit, baju, hingga
makanan.
Berdasarkan analisis guru SLB C Cipaganti, Edy melalukan
penyimpangan tingkah laku ini karena kurangnya perhatian orangtua akan
kebutuhan Edy. Individu hambatan intelektual seperti Edy hanya tahu bahwa
dirinya perlu pensi, pulpen, dan buku untuk belajar, perlu makanan untuk
bertahan hidup, dan perlu sandal untuk keluar ruangan. Sehingga, jika kebutuhan
itu tidak dimiliki, dia akan mengambil benda yang di dekatnya tanpa tahu bahwa
itu punya orang lain dan tanpa mengetetahui bahwa dia mencuri.
Untuk mengatasi kasus ini, guru memberikan pemahaman dasar
kepada Edy bahwa benda-benda yang diambilnya bukanlah miliknya, melainkan mlik
orang lain. Selain itu, guru kerap memberikan punishment atau hukuman.
Hukumannya adalah jika Edy mencuri satu barang, maka Edy harus melakukan
sesuatu, seperti mengamplas benda yang kasar, dan lain sebagainya.
Serpihan Cinta yang
Berhamburan
Selalu ada hadiah baru yang Allah berikan di setiap
terjaganya matahari dan selalu ada kejut kejutan baru yang Allah berikan di
setiap kesempatan bersama anak-anak berkebutuhan khusus, pun itu ketika saya di
SLB C Cipaganti.
Kejutan demi kejutan datang mulai dari langkah pertama di pintu
gerbang hingga di langkah-langkah berat menuju pulang. Murid canti berkuncir
kuda, Putri, Rizal, Hasni, dan Edy, hanya sehitungan jari dari sekian banyak
kejutan yang saya dapatkan di SLB C Cipaganti. Dan lagi-lagi, saya selalu
diingatkan akan dua hal dalam dunia yang luar biasa ini; kasih sayang dan
ketulusan.
Semua guru pasti harus memiliki modal kasih sayang kepada
murid-muridnya. Tetapi untuk menjadi guru anak-anak spesial, butuh kadar kasih
sayang yang spesial pula, yakni kadar luar biasa besarnya. Tak sekadar mengejar
ketuntasan SK, menjadi jadi guru dari anak-anak berkebutuhan khusus berarti
menjadi makhluk Allah SWT yang senantiasa menyayangi ciptaan-Nya apa adanya
dengan kasih sayang yang tidak sekadar ada. Butuh kadar luar biasa besar agar
tekad untuk menjadi guru anak-anak berkebutuhan ini tetap berjalan dalam
koridor-Nya.
Dan tak sekadar kasih sayang dengan kadar besar, pastinya.
Masih ada satu hal yang juga diperlukan jauh lebih besar kadarnya, yaitu
ketulusan –karena memang keikhlasan tidak bisa diukur oleh manusia. Ketulusan
yang tak kalah luar biasa besar kadarnya juga harus senantiasa mengiringi
langkah kami, saya dan teman-teman calon guru anak-anak berkebutuhan khusus.
Tak hanya guru yang hendak memiliki ketulusan luar biasa ini, orang tua juga
memerlukannya. Teramat sangat membutuhkannya.
Ketika ketulusan yang sejatinya harus ada malah menghilang,
akhirnya maka tak akan jauh berbeda dengan yang dialami Si Murid Tua, Edy, yang
ditelantarkan dan lambat tapi pasti tumbuh menjadi murid yang berusaha bertahan
hidup menurut caranya sendiri.
Jika saja ketulusan itu sudah ada sejak “hadiah istimewa”
ini datang, niscaya tidak aka nada kasus seperti yang terjadi pada Edy, ataupu
yang lebih buruk lagi. Lantas apakah kita harus saling menyalahkan? TIDAK.
Tidak ada satu pihakpun yang harus disalahkan, yang ada hanya pihak-pihak yang
harus diingatkan akan ketulusan yang terkikis atau mungkin hilang. Saling
memberikan pemahaman atas keberterimaan yang berkurang atau mungkin hilang.
Masih banyak lagi serpihan cinta yang berhamburan di setiap
derap langkah menuju pengabdian pada pendidikan Indonesia, terutama pendidikan
khusus. Semoga kenangan dalam mengunjungi SLB C Cipaganti ini menjadi pemantik
yang tak pernah habisnya untuk menyalakan sumbu semangat dalam mengabdikan diri
pada pendidikan khusus. Amin :)
Waaaah kerennya berkunjung ke SLB..
ReplyDeleteBisa memahami tingkah mereka lebih dalam...
Mungkin kalo nanti udah ngajar, harus bener2 sabar dan penuh keikhlasan ya..
Kalo jadi beban jelas gak bakal bisa menikmati setiap momennya ...
Gue ngebayangin siswa yang airliurnya sampe menuhin meja...
Gak tau mau ngomong apa -_-
Yup, kalo udah ngajar sabarnya harus beribu-ribu kali lipat dari guru sekolah umum. Kalo jadi beban, malah gak bisa ngambil hikmah dari momen itu dong :)
DeleteHehe, saya mah mau muntah pas ngeliatnya :)
wah seru ya berkunjung ke SLB :D
ReplyDeletebisa belajar lebih. tapi kayaknya jadi guru di SLB itu harus sabar ya. hehe
tapi itu yang mainin air liurnya gimana coba? -,-
Deuuh, saya belum pernah ngajar anak yang liurnya sampe semeja. Jadi, belum tahu cara nangianinnya gimana.
DeleteThanks sudah mampir :)
seru tuh pasti berkunjung ke SLB. bisa belajar banyak dari mereka-mereka yang ada disana :')
ReplyDeleteSeru, Dek. Bisa lebih dalem menghayati apa yang kamu tulis di blogmu "menembus batas dalam keterbatasan" :)
DeleteWaah subahanallah kak mulia bgt . Kuliahnya jurusan SLB UNJ kak?
ReplyDeleteSudah lama mata saya tertutup :( dan rasanya seperti kurang memerhatikan lingkungan anak2 yang mentalnya kurang :(
Waah, masya Allah :)
DeleteSaya kuliah jurusan Pendidikan Luar Biasa UNJ :)
Mudah-mudahan setelah baca ini bisa lebih memerhatikan anak-anak kurang mental di sekitarmu ya. Thanks sudah mampir :)
pasti asyik tu... semoga anak" itu selalu diberi semangat belajar yang tinggi. agar bisa mencapai cita: mereka :|
ReplyDeleteAmin :)
Deleteedy kasian banget kayaknya, dari keluarga mampu tapi enggak diberikan perhatian dari keluarganya, ddeketnya tempatku juga ada sekolah slb...
ReplyDeleteblog punya embaknya pake ginian ya?
???
mau nyari artikel tapi kotak pencariannya enggak bisa dipake buat searching gara2 kode itu ...
Iya, ironis memang nasib Edy.
DeleteIya nih, saya pakai kode supaya tidak bisa diklik kanan. Saya mau hilangin kodenya, tapi saya ga tahu kodenya yang mana. Bisa bantu, Muazim?
Hai, saya pelajar fkg unpad ya.. teh, bisa saya dapat alamat sekolah ini.. saya ingin membuat skripsi tentang pelajar luar biasa. Jadi apabila di google, terbaca blog.. minta tolong
ReplyDeletesaya suka tulisannya :)
ReplyDeleteHallo kak, aku insyaAllah mau ngambil jurusan ini. Sekarang aku kelas 3 SMA. Waaa... aku lagi galau-galaunya nih ka. Aku pengen nanya2 sama kakak. Boleh minta cp-nya? facebook/apa aja. thanks ka sebelumnya :)
ReplyDeleteAda asrama buat muridnya gak disana
ReplyDeleteada asramanya tidak, mohon info kembali bila ada SLB yang ada fasilitas asramanya,,karena penyandang cacat ini anaknya di ikat di kamar (dikurung) oleh keluargany. mohon bantuan informasinya... trims
ReplyDeleteMohon info alamat lengkap & nmr telpnya.
ReplyDeleteMakacih 😃
Mgkn di sana adlh sekolah yg masih terjangkau biayanya. Namun faktor kebersihan hrs mendapat perhatian khusus. Adek saya bertahan hanya 10 bln. Tenaga asrama juga kurang dubandingkan dgn jumlah muridnya.
ReplyDeleteBoleh sharing kah, Mbak/Mas, bagaimana kondisi SLB C Cipaganti sekarang?
DeleteKenapa adiknya hanya bertahan 10 bulan di sana?