Posted by : Lisfatul Fatinah 23 April 2013




Pada kesempatan kali ini saya ingin bernostalgia dengan kenangan saya di saat saya masih jadi "bocah ingusan" di kampus. Ini salah satu tulisan lama saya tentang pengalaman saya di dunia politik kampus. Mau tahu bagaimana serunya di politik kampus? Ini salah satu pengalaman saya saat menjabat sebagai Ketua KPU Jurusan PLB UNJ periode 2011 untuk memilih jajaran pemimpin yang menjabat pada periode 2012-2013. Check it out, Guys! ^_*

Siapa yang tidak kenal politik? Banyak yang mengatakan bahwa politik itu sesuatu yang kotor dan tempat rawan untuk mengetes keimanan seseorang. Entahlah, saya belum memahaminya selama saya tidak turun langsung dalam dunia itu. Tapi, yang saya tahu politik yang seharusnya adalah bersiasat untuk memperoleh kekuasaan untuk menyejahterakan banyak orang, bukan sekelompok orang.


Nah, membahas politik ini, pasti banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor, isinya orang-orang bermuka dua, dan banyak lagi label negatif lainnya. Ya, saya juga pernah beranggapan begitu, bahkan saya sempat bertekad untuk sama sekali tidak ingin bersentuhan dengan politik. Sampai-sampai setiap teman mengajak berdiskusi tentang politik, yang saya lakukan hanya menyimak dan senyum-senyum sendiri sambil mengomentari dalam hati. Akan tetapi, siapa yang menyangka bahwa beberapa bulan lalu ternyata saya dengan sengaja menyeburkan diri ke dalam ranah politik. Dan saya, bukan lagi berperan sebagai pendengar yang senyum-senyum sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari tokoh utama bergeraknya politik. Dari pengalaman inilah sedikit demi sedikit saya mulai menyadari betapa perlunya kita menengok sedikit sisitem politik di sekitar kita, terutama bagi kamu yang merasa berhati bersih.

Setiap bulan November-Desember, di kampus selalu saya ada Pemilu Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) mulai dari tingkat jurusan hingga universitas. Sama seperti sistem Pemilu yang ada di Indonesia, semuanya berjalan dengan demokratis dan dimotori oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Seperti yang saya sampaikan di awal, ini adalah pengalaman saya saat menjabat sebagai Ketua KPU 2011. Kurang lebih dua bulan sebelum Pemilu berjalan, kabar tentang pembentukan KPU 2011 sudah berdatangan lengkap dengan selentingan cerita tentang KPU tahun sebelumnya. Mulai dari suka duka menjadi anggota apalagi ketua KPU, hingga gejolak konflik yang ada antara KPU dengan orang-orang non-KPU.

Entah kenapa, meskipun lebih sering mendengar cerita tentang tidak enaknya menjadi anggota atau ketua KPU, justru saya sangat tertarik untuk menjadi bagian dari KPU. Bahkan, dalam buku agenda hitam yang saya punya, saya sudah menulis “Menjadi Ketua KPU” sebagai salah target yang akan saya capai  pada 2011 lalu.

This is time to make my dream come true! Sebelum Pemilu, pendaftaran menjadi anggota KPU pun dibuka. Bismillah, semoga bisa menjadikan pemilu tahun ini jauh dari tangan-tangan nakal! Meski sedang tidak ada di kampus, dengan bantuan seorang teman, saya mengisi pendaftaran anggota KPU dan merekomendasikan diri sebagai ketua KPU.

Seleksi untuk menjadi ketua KPU pun saya jalani, mulai dari wawancara, studi kasus, hingga pemungutan suara untuk pemilihan ketua KPU. Syukur Alhamdulillah, teman-teman memercayakan posisi ketua KPU kepada saya. Dengan hati masih penuh gejolak (karena takut salah mengambil keputusan), saya mulai merangkul teman-teman saya untuk turut berkontribusi dalam mengurus pemilu.

Belum satu jam saya resmi menjadi ketua KPU, saya sudah merasakan perubahan drastis dari sekitar saya. Tiba-tiba berbagai sms masuk menyatakan selamat dengan doa agar “selamat”, ada juga yang mengucapkan selamat dan ucapan semangat agar saya tidak “kaget” ke depannya. Dan yang membuat saya paling terkejut, banyak mata yang mulai memandang saya dengan cara yang berbeda. Bahkan, sempat saya mendengar langsung seorang senior membicarakan saya dengan suara berbisik sambil memerhatikan saya dari ujung kepala hingga ujung kaki saya. Gila! Angker bener ini posisi saya, hehe, begitu respon spontan saya dalam menanggapi perubahan situasi di sekitar saya.

Menjadi ketua KPU, ternyata memang cukup menyita waktu, tenaga, dan pikiran saya. Hampir setiap hari saya harus bolak-balik gedung tempat saya kulaih ke Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM), yang jaraknya lumayan jauh, untuk mengikuti perkembangan administratif pemilu hingga tingkat universitas. Lebih dari itu, saya bahkan harus meninggalkan perkuliahan selama seharian untuk mengikuti serangkaian seminar kepemiluan bersama beberapa orang anggota DPR dan Ketua KPU Pilkada DKI Jakarta. “Pembolosan” ini saya lakukan demi pencerdasan bagi diri saya sendiri, agar saya mengerti secara gamblang apa dan bagaimana seharusnya KPU yang independen itu, juga agar saya tahu sebatas mana kekuasaan saya sebagai ketua KPU yang dituntut tetap independen meski di bawah naungan Lembaga Legislatif. Masya Allah! Ini konsekuensinya, saya harus bisa! Begitulah saya berkata berulang-ulang kepada diri saya sendiri.

Seluruh rangkaian acara pemilu pun berjalan, mulai dari pendaftaran calon ketua hingga pencoblosan dan perhitungan suara. Kurang lebih satu setengan bulan saya dan rekan-rekan yang turun ke dalam KPU menjalankan amanah, dan semuanya berjalan bukan tanpa rintangan. Subhanallah, begitu banyak “serangan” yang saya dan rekan-rekan KPU dapatkan. Dari pengalaman inilah saya mengerti siapa saja orang yang benar-benar bersih dan siapa yang bermuka dua. Banyak sekali cerita lucu (saya katakan lucu karena sikap beberapa pihak yang menekan saya justru membuat saya menertawakan mereka karena sikap angkuh yang kekanak-kanakannya), menyebalkan, dan bahkan beberapa hal yang membuat saya menangis semalaman.

Pertama, mulai dari pencalonan ketua KPU. Seorang senior menceritakan kepada saya bahwa satu dari dua calon ketua KPU yang bersaing dengan saya merupakan “orang suruhan” senior lain yang tidak menginginkan saya menjadi ketua KPU. Oke, no problem. Saya cuma mau fokus dengan target saya, menjadi Ketua KPU.

Kedua, hampir setiap hari handphone saya dipenuhi oleh sms-sms tidak jelas dari orang-orang yang kurang kerjaan. Setiap bangun tidur, pasti ada saja sms dengan isi omelan, teguran, bahkan kata-kata yang menjatuhkan dari senior. Dan sms-sms ini tidak 2-3 sms perhari, bahkan bisa belasan. Pilihan aman yang saya ambil menghadapi ini biasanya berpura-pura tidak menerima sms semacam ini :P Hehe, tapi memang dasar sepertinya mereka mau banget saya tanggapi, kalau tidak saya balas pasti sms berulang-ulang. Sampai saya hapal, semua sms pasti diakhiri dengan kalimat, “Jangan kurang ajar kamu! Saya bisa adukan kamu ke Legislatif!” Duh, terserah deh ya, Jeung! :P

Ketiga, sikap teman-teman sekelas saya juga jadi berubah. Seperti yang sudah saya katakan di depan, di masa ini semua topeng terbuka. Tanpa saya kulik-kulik, satu per satu dari mereka membuka identitas mereka sendiri. Mulai dari mereka yang condong kepada mahasiswa pergerakan, golongan kanan (mahasiswa aktivis dakwah), hingga teman sekelas yang golongan kiri yang dengan terang-terangan di hadapan saya menyatakan ketidaksukaannya kepada saya yang secara dzohir-nya berjilbab panjang dan identik dengan dakwah. Hasilnya, terbukanya satu per satu identitas teman-teman saya juga berdampak pada kinerja KPU.

Memang, dari awal menjadi ketua KPU saya sudah menegaskan kepada rekan-rekan saya di KPU untuk lebih baik keluar dari KPU sekarang juga daripada di kemudian hari ketahuan membawa “hiden mission”. Bahkan, peringatan ini saya ulang-ulang selama beberapa minggu pertama setiap sebelum memulai rapat.

Ya, di sini saya benar-benar frontal dan bisa dibilang galak. Tapi ini saya lakukan untuk menghindari kecurangan yang sering terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Dan, hasilnya ternyata mujarab. Satu per satu wajah-wajah yang sudah saya “tandai” sebagai orang yang saya curigai sebagai “suruhan” mengundurkan diri dan mengakui “asal usul” keberadaan mereka di KPU di hadapan seluruh rekan-rekan KPU. Biarlah, yang penting mereka mau mengakui dan (mungkin) menyadari bahwa misi tersembuyi yang mereka bawa adalah tindakan yang salah.

Keempat, satu ketidaknyamanan yang teramat sangat ketika saya harus berhadapan dengan “penguasa” yang bersiasat menggagalkan KPU. Seorang “penguasa” dengan nyamannya memanipulasi kondisi demi menggagalkan seorang kandidat (yang menurut saya cukup kuat). Sebelum mengetahui siapa sebenarnya “penguasa” ini, saya masih bisa bersenda gurau dan berbincang dengannya. Tapi setelah mengetahui sikap aslinya di ranah politik, hal yang saya lakukan hanya beristighfar dan menangis di hadapan seorang rekan KPU sekaligus sahabat saya sejak tsanawiyah. Entah, dari sini saya menyadari betapa kecerdasan dan posisi terhormat seseorang belum tentu digunakan dalam hal yang baik.Na’uudzubillah.

Kelima, mungkin ini puncak dari terforsirnya tenaga dan pikiran saya. Di tengah perjalanan menjadi ketua KPU, saya sakit gejalan tipus dan diharuskan beristirahat total selama 14 hari. Tapi karena memang badung, saya masih memaksakan diri untuk ke kampus dan hanya beristirahat di rumah selama 10 hari (nambeng!) :D

Dan, kini tugas saya sebagai ketua KPU selesai sudah. Dengan berbagai konflik, mispersepsi, dan pressure yang saya terima, ada banyak sekali pelajaran yang tidak bisa saya dapatkan di luar KPU. Dan, menjadi ketua KPU sungguh pengalaman yang tak tergantikan. Meski masih dalam lingkup universitas, tapi saya bisa menerka-nerka seperti apa kiranya politik yang sesungguhnya di negeri ini. Toh, bukankah banyak yang bilang bahwa kampus adalah miniatur negara. Bahwa gejolak yang ada di kampus, sudah atau akan terjadi juga di dalam negara.

Tapi, sedih rasanya jika memang politik adalah seperti yang sudah saya alami. Di lingkup kampus yang “tidak seberapa” amanahnya, mereka sampai hati bisa melakukan hal-hal buruj seperti mengirim seseorang untuk membawa hiden mission dalam KPU. Atau sikap antar golongan yang saling tuding, menyalahkan, dan menyatakan bahwa si A, si B, bertindak curang tanpa bukti logis. Na’uudzubillah!

Yang membuat saya lebih sedih lagi, yang berperan di sini adalah mahasiswa, pemuda-pemudi berlabelkan kaum intelektual dan agen perubahan. Perlu ada "pencerdasan iman" di sini, saya pikir. Di mana kecerdasan tidak melulu sampai pada wawasan yang luas dan kemampuan mengomentari segala kebijakan penguasa, melainkan juga dibutuhkan kecerdasan hati untuk mengontrol ke mana kecerdasan otak akan diarahkan. Ke posisi baik atau buruk.

Dan, ini berbicara tentang politik. Yang menurut Aritoteles dalam buku Nichomachen Ethics, politik adalah puncak dari segala ilmu. Karena peran utama politik adalah menyelenggarakan kehidupan bernegara dengan tujuan untuk menciptakan tujuan yang baik bagi individu dan masyarakat. Semua ilmu, oleh karenanya melayani kepentingan politik dengan tujuannya yang begitu mulia.

Ya, begitu memang seharusnya, politik memiliki tujuan mulia untuk individu dan masyarakat, sebagaimana Ibu Wanda Hamidah katakan dalam Konferensi Wanita Indonesia yang saya hadiri akhir tahun 2011 lalu. Beliau menyatakan bahwa politik yang sesungguhnya seperti yang diajarkan Islam. Yakni bersiasat mencapai kekuasaan untuk menciptakan kebaikan bagi seluruh kalangan masyarakat, tanpa pandang ras, suku, bahkan agama, ingat tujuan utama politik itu kesejehteraan seluruh (Bu Wanda mengulanginya lagi) seluruh kalangan.

Dan, sikap orang-orang yang meneror dan menekan satu pihak untuk menaikkan pihak lain yang saya rasakan saat menjabat menjadi Ketua KPU merupakan contoh yang jauh dari ketegori seharusnya sebagai mahasiswa. Aneh, kenapa tidak malu dengan label mahasiswanya. Duh, tak terbayang bagaimana jadinya jika sikap ini terbawa hingga ke jenjang politik yang lebih tinggi lagi.

Setelah dipikir-pikir, memang benar begini adanya politik. Di ranah yang sempit saja memang sudah tercium kekotorannya dan kentara sekali isinya disominasi oleh orang-orang yang mengutamakan kekuasaan tanpa diiringi tekad bertanggung jawab kepada apa yang dikuasainya. 


Kita tahu politik itu kotor dan diisi oleh banyak orang kotor, jadi kalau ada di antara kita yang merasa bersih masuklah ke dalam politik dan bersihkan semua kotoran itu!”
(Wanda Hamidah dalam Konferensi Wanita Indonesia 2011)

Semoga pengalaman ini bisa menjadi bekal untuk pandangan hidup kita selanjutnya :)
Terimakasih juga untuk teman-teman yang sudah membaca tulisan yang lebih mirip curhatan ini :)

{ 17 komentar... read them below or Comment }

  1. Iya aku juga sebenernya males kalo ngomongin politik. Tapi kalo begini terus nanti selamanya politik akan kelihatan kotor ya -__-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, memang serem dan nyeremin. Tapi kalo didiemin masa iyaa begitu terus, Ara :)

      Delete
  2. si teteh kuat euy, di intervensi senior tetep ajah tegar sebagai ketua KPU jujur pertama baca judulnya kiirain KPU provinsi atau kabupaten. tapi emang bener kampus sebagai miniatur negara harusnya mengarahkan ilmu yang kita pelajari untuk kebaikan bersam bukan kelompok atau golongan tertentu.. repot memang kalo ngomongin politik, harus terjun kedalamnya biar tau dan ngerasain sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, saya mah masih mahasiswa, jadi ketua KPU di kampus dulu. Tapi yaa, begitu Tofik, dengan terlibat di KPU kampus, setidaknya udah ada gambaran gimana pergulatan politik di luar.

      Yup, kampus itu miniatur negara, kalo di kampus sistemnya udah bobrok itu pertanda negara bakalan bobrok juga. Ckck. Hal-hal negatif dari tulisan ini jangan ditiru yaaa Tofik :)

      Makasih sudah baca, semoga bermanfaat, Tofik :)

      Delete
  3. Dunia Politih memang Asyik nggak Asyik, *Iwan Fals,
    Kalau bicara soal politik, terkadang sulit membedakan mana yg harus dibela, dan mana yg harus di hancurkan *lhoo...

    Karena setahuku, pada dasarnya politik tidak lepas dari KKN.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin lebih tepatnya sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah kali yaa, Zaenur :)

      Delete
  4. Politik itu serunya adu argumen,

    kebanyakan kan politik sekarang pada cari jabatan, jadi kisruh dan kotor gitu kesannya.
    Apalagi di kaitkan dgn problematika korupsi , err -,-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, adu argumen. Adu pembenaran kali yaa Gita :D
      Yup, kisruhnya bisa kamu bayangin dari tulisan ini. Hehe

      Delete
  5. waahh seneng ada teman aktivis di BE,, sy juga ikut berpolitik di kampus mbak,, sy pernah jadi Ketua himpunan mahasiswa jurusan akuntansi..

    maaf belum bisa coment panjang2,, sy harap bisa lebih intens bicara ttg organisasi.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, bukan aktivis juga sih, Bang Erick. Tapi saya suka dengan aktivitas organisasi dan sosial :)

      Wah, boleh banget nih kita ngobrolin organisasi. Siapa tahu bisa sharing pengalaman :)

      Delete
  6. kalau saya paling gak mau ngebahas tentang politik, organisasi atau apalah, bikin puyeng,,, gak nyambung aja sama otak saya, entah kenapa selalu begitu -___-'

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin bukan bidang atau passion kamu, Ivaa :)

      Delete
  7. politik skrg banyak yg tujuannya pengen ngejer duit, padahal tu duit gak dibawa mati -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, betul. Dan itu salah satu tujuan yang melenceng banget, Rizky :)

      Delete
  8. Isinya orang-orang serem juga, Zaa :)

    ReplyDelete
  9. kakakkk.pembahasannya berat sekaliii...hehehhe..saya tidak suka politiiik..@.@

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huaaaaa, Meyke jadi ga suka politik. Duh duh duh. Tapi yaa, memang begini deh politik, Mey. Gak heran kalau kamu jadi gak suka :)

      Delete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -