Posted by : Fatinah Munir 20 March 2013



Pendidikan inklusif sedang menjadi pembicaraan hangat di dunia pendidikan kita saat ini. Dampaknya, banyak sekolah yang berlomba-lomba untuk mendirikan kelas inklusif. Akan tetapi, sudah dapatkah kita memahami makna dari inklusi itu sendiri?


Berbicara tentang filosofis pendidkan inklusif di Indonesia, tidak luput dari filosofi bangsa Indonesia itu sendiri. Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, kita dituntut untuk dapat mengusung tinggi norma Bhinneka Tunggal Ika, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Adapun kaitan antara filosofi Indonesia dan pendidikan inklusif adalah landasan negara menuntut kita untuk dapat mengemban tugas sebagai khalifah Tuhan dalam bidang pendidikan inklusif. Sebagai sesama makhluk di dunia, manusia harus saling menolong, mendorong, dan memberi motivasi kepada semua potensi kemanusiaan yang ada pada diri setiap peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini dilakukan agar ABK dapat mengembangkan potensinya dengan optimal dan mampu meningkatkan kualitas kemandiriannya. Suasana tolong menolong seperti yang dikemukakan di atas dapat diciptakan melalui suasana belajar dan kerjasama yang silih asah, silih asih, dan silih asuh (saling mencerdaskan, saling mencinta, dan saling tenggang rasa).

Filosofi Bhinneka Tunggal Ika mengajak kita untuk meyakini bahwa di dalam diri manusia bersemayam potensi kemanusiaan yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan benar dapat berkembang tak terbatas.[1] Dan, perlu diyakini pula bahwa potensi itu pun ada pada diri setiap ABK. Karena, seperti halnya ras, suku, dan agama di tanah Indonesia, keterbatasan pada ABK maupun keunggulan pada anak pada umumnya memiliki kedudukan yang sejajar.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa keterbatasan ABK tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan pendidikan bersifat segregatif dan eksklusif, sehingga pendidikan untuk ABK harus dipisahkan dengan anak pada umumnya. Karena dengan adanya pendidikan inklusif yang terintegrasi, peserta didik dapat saling bergaul dan memungkinkan terjadinya saling belajar tentang perilaku dan pengalaman masing-masing.

Sebagai bangsa beragama, penyelenggaraan pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dengan nilai keagamaan. Terlebih, interaksi yang terjadi dalam lingkup pendidikan tidak dapat dipisahkan dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Keberadaan manusia sebagai mankhuk sosial ini disinggung dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.[2]

Keberadaan peserta didik yang membutuhkan layanan khusus adalah manifestasi hakikat manusia sebagai individu yang harus berinteraksi dengan tujuan berbuat kebaikan. Kembali pada kaliamat di awal paragraf ini, dapat kita temukan bahwa terdapat kesamaan antara pandangan filosofis dan agama tentang hakikat manusia. Hal ini dikarenakan keduanya merujuk pada kebenaran yang hakiki, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dengan adanya titik temu antara landasan filosofi dan landasan religi diharapkan dapat menjadi landasan dalam pemanfaat penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan inklusif.

Landasan Yuridis

Berdasarkan kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol, pada 1994, ditetapkan bahwa pendidikan di seluruh dunia harus dilaksanakan secara kekhususan atau inklusif. Dalam kesepakatan tersebut dikatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (education for all). Dengan ini dapat kita simpulkan bahwa hak individu dalam menerima pendidikan tidak dibatasi oleh perbedaan warna kulit, ras, suku, dan agama. Pun itu hak pendidikan untuk diterima oleh individu berkebutuhan khusus maupun individu yang normal pada umumnya.

Dengan diselenggarakannya pelayanan pendidikan inklusif, pendidikan bagi individu berkebutuhan khusus dapat diintegrasikan untuk keperluan pendidikan (education), bukan untuk keperluan pembelajaran (instruction). Melalui cara inilah, para individu berkebutuhan khusus dapat dipergaulkan dengan individu normal pada umumnya.

Bertolak belakang dengan kesepakatan UNESCO 1994 mengenai keharusan pelaksanaan pendidikan inklusif, pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 yang belum direvisi, terdapat berbagai jenis layanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang segregatif. Namun pada 2011, Direktur PLB berinisiatif untuk memulai pelaksanaan pendidikan inklusif. Setelah itu, menyusullah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk mengikuti dan mendukung inisiatif Direktur PLB, terutama dalam penyelenggaraan LPTK.

Dikarenakan keterlambatan perubahan perundang-undangan pendidikan di Indonesia, perkembangan pendidikan di Indonesia pun berjalan dengan lambat. Dengan demikian, kesepakatan UNESCO 1994 tentang keharusan pelaksanaan pendidikan inklusif dapat mendukung landasan filosofis, religi, dan keilmuan diharapkan dapat mengubah arah pendidikan yang segregatif menjadi inklusif (dengan kekhususan).

Berdasarkan landasan-landasan di atas, pendidikan inklusif adalah pendidikan yang didasari oleh semangat merangkul semua kalangan peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan inklusif mengedepankan sikap menghargai setiap individu peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan setiap karakter, kemampuan, dan keterbatasannya. Sehingga, pendidikan inklusif menjadi jembatan dari perbedaan yang ada di antara setiap individu peserta didik.

Stainback (1980) mengemukakan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan  kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil.

Sebagai penutup artikel ini, dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem yang mengedepankan pemberian perhatian menyeluruh kepada peserta didik, baik dari segi fasilitas, proses belajar, konten pembelajaran, dan cara guru mendidik sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan ketidakmampuan yang dimiliki peserta didik. Dengan demikian, secara sederhana pendidikan inklusif dapat dikatakan sebagai program pendidikan berkeadilan, bukan penyamarataan.

(*) tulisan ini pernah dimuat di Kartunet.com


[1] Dr. Wahyu Sri Ambar Arum, MA. Perspektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya Bagi Penyiapan Tenaga Kependidikan.  (Jakarta: Depdiknas. 2005) h.109
[2] Al-Qur’an Surat az-Zukhruf ayat 32

{ 3 komentar... read them below or Comment }

  1. minta izin ngopi ea mb
    makasih sebelumnya....:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan :) Jangan lupa cantumkan sumbernya ya :)

      Delete
  2. Makasih sob udah share, blog ini sangat membantu saya sekali .......................



    bisnistiket.co.id

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -