Posted by : Fatinah Munir 03 August 2017



Bagaimanakah bahasa rindu?
Adakah ia dalam sepucuk surat berisi puisi-puisi ingin bertemu?
Bagaimanakah bahasa rindu?
Adalah ia terlantun dalam ayat-ayat-Nya bersama untaian doa ampunan

Bagaimanakah sebaik-baiknya membahasakan rindu? Itulah pertanyaan yang menyelimuti pikiran saya di hari-hari pertama bapak berpulang. Saya hanya berharap ada cara terbaik yang dapat saya lakukan agar rindu ini bisa sampai dengan bahasa yang indah dan menenangkan. Kemudian ingatan saya melayang pada potongan kebersamaan dengan bapak, ketika bapak pernah berpesan tentang bahasa rindu yang paling indah untuk yang merindu dan dirindukan.

***

Dulu setiap selepas subuh atau di antara maghrib dan isya, sering sekali bapak memastikan apakah saya sudah membaca al-Qur’an atau belum. Jika saya menjawab belum, bapak akan meminta saya membaca al-Qur’an sesegera mungkin. Jika saya menjawab sudah, bapak akan meminta saya berdoa untuk keluarga kami yang masih hidup ataupun sudah tiada. Biasanya bapak akan secara khusus menyebut nama salah satu abangnya yang meninggal beberapa tahun lalu. Abah Nasir namanya, seorang abang yang sangat dekat dan begitu disayangi bapak.

“Doakan emak bapak supaya sehat sejahtera. Doakan kakek nenek juga juga Abah Nasir-mu, supaya lapang dan terang kuburnya,” begitulah kurang lebih cara bapak menyuruh.

Pernah sesudah shalat ashar saya melihat bapak mengaji di dalam kamar. Beliau menghadap kiblat, memunggungi pintu kamar yang terbuka lebar. Saat itu tidak ada siapa-siapa di rumah kecuali saya dan bapak saja. Dari luar kamar, sekilas saya melihat bapak mengaji dengan kepala sangat menunduk. Suara bapak terdengar serak.

Selepas menyelesaikan bacaan al-Qur’annya, bapak keluar kamar dan duduk-duduk santai di teras rumah. Saya menghampiri bapak, menemani bapak duduk sambil memastikan bahwa beliau baik-baik saja. Saat itu, seperti biasa bapak selalu mengawali pembicaraan dengan topik yang tidak bisa diduga, “Begini rasanya kangen, Nak. Kangen banget ke orang yang sudah tidak bisa dilihat wajahnya,” suara bapak sedikit bergetar.

Saya bertanya, “Kenapa, Pak?”

“Bapak kangen sama saudara bapak. Kangen sama Abah Nasir-mu yang dari kecil selalu nemenin bapak,” tampak mata bapak berkaca-kaca.

Cepat-cepat bapak mengusap matanya sebelum air matanya jatuh, “Kalau kamu kangen sama seseorang, baca al-Qur’an saja. Kalau nanti bapak atau emakmu sudah tidak ada terus kamu kangen emak bapak, baca al-Qur’an saja. Berdoa supaya kebaikan al-Qu’an itu juga mengalir ke orang-orang yang kamu kangenin ya!”

“Hu’uh!” jawab saya dengan sekali anggukan meskipun saat itu saya tidak begitu paham dan kurang bisa merasakan apa yang sedang bapak rasakan kepada almarhum abangnya, Abah Nasir.

***

Sekarang. Setelah bapak pergi, saya tahu apa yang bapak rasakan saat itu. Saya mengerti bagaimana sesaknya dada bapak saat beliau merindu Abah Nasir. Saya paham bagaimana rindu itu menjadi-jadi saat diri ini ingin bertemu, mendengar suaranya, bahkan ingin sekali memeluknya namun semua itu mustahil dilakukan sudah. Sekarang saya memahami rasa itu dengan sebenar-benarnya.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain menumpahkan seluruh rindu itu pada air mata, begitulah mulanya buat saya. Itulah yang saya lakukan setiap kali melihat foto bapak dan berharap bisa melihat wajah bapak saat saya sudah di rumah.  Tetapi bersamaan dengan datangnya kerinduan itu, pesan bapak tentang membahasakan kerinduan itupun datang. Seolah-olah saat itu saya mendengar bapak berbisik kepada saya, “Bapak juga kangen,” lalu bapak mengulang pesan yang pernah beliau sampaikan. “Bacalah al-Qur’an setiap kamu kangen bapak! Doakan bapak setiap kamu kangen bapak!”

Begitu saja berulang-ulang pesan itu terngiang dalam ingatan, setiap kali rindu itu datang. Kadang rindu ini kerap datang di sembarang tempat, bahkan rindu ini bisa datang saat saya melintasi sebuah warung mie ayam tempat saya dan bapak biasa makan berdua hampir di setiap Sabtu siang. Air mata kerinduan ini akan begitu saja meleleh dari ujung mata meski saya sudah berusaha keras menahannya.

Jika rindu itu datang lagi, sementara waktu saya akan memilih menyendiri dalam kamar yang dikunci. Saya hanya ingin menikmati kerinduan yang saya rasakan sendiri dan berusaha membahasakan rindu ini dengan cara yang pernah bapak ajarkan; membaca al-Qur’an. Meskipun setiap ayat al-Quran yang dibaca membuat rindu ini semakin memuncak karena semakin mengingatkan saya pada bacaan al-Qur’an bapak, tetapi sungguh setelahnya saya bisa merasakan ketenangan di antara rindu yang menjejal.

Bagaimanakah bahasa rindu? Adalah bahasa Tuhan dalam ayat-ayat-Nya. Yang meski tangis membersamai bacaan al-Qur’an kita, tetapi itulah sebaik-baiknya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan kerinduan. Seperti pesan bapak pada rindu yang kini saya rasakan, maka mendoakan beliau dan memanjangkan bacaan al-Qur’an adalah sebaik-baiknya bahasa untuk menyampaikan kerinduan.

Semoga Allah alirkan setiap kebaikan dari bacaan al-Qur’an untuk bapak di sana.
Semoga Allah luaskan rahmat-Nya untuk bapak di surga terbaik-Nya. Semoga lapang dan terang benderang tempat bapak di sana. Aamiin.

Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa fu’anhu.

Jakara, Agustus 2017
Yang selalu merindumu, Pak
@fatinahmunir

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -