- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Hardiknas bersama Kenangan, Keberagaman, dan Kesadaran
Posted by : Lisfatul Fatinah
08 May 2013
Di Indonesia, bulan Mei dikenal sebagai Bulan
Pendidikan. Seperti yang teman-teman
semua ketahui, tepatnya setiap 2 Mei Indonesia memperingati Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas). Ada yang berbeda di peringatan Hardiknas tahun ini. Karena saya sudah tiga tahun
menjadi mahasiswa, saya kangen sekali dengan Upacara Hardiknas yang biasanya
dulu, semasa SD-SMA, dijadikan upacara wajib tahunan selain upacara rutin setiap
Senin dan Upacara Hari Kemerdekaan.
Di kampus saya, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), biasanya ada
berbagai macam bentuk acara dalam memperingati Hardiknas. Misalnya saja upacara
rutin di halaman gedung Perpustakaan Utama, Wisata Akbar UNJ a.k.a. aksi di
depan Gedung Kemendikbud terkait kebijakan pendidikan satu tahun terakhir,
rangkaian acara dari Lembaga Dakwah Kampus.
Tahun ini saya mendapatkan undangan Upacara Peringatan Hardiknas,
bukan dari panitia upara tahunan, melainkan dari BEMJ PGSD FIP UNJ. Entah mengapa,
meskipun baru kali ini mendapatkan undangan Upacara Peringatan Hardiknas, saya
merasakan keantusiasan yang tinggi untuk ikut hadir. So, saya memutuskan untuk
hadir di upacara ke gedung PGSD yang terpisah dari kampus utama :)
Well, singkat cerita saya bersama seorang teman di kelas
menghadiri upacara ini, sekaligus mengatasnamakan BEMJ PLB FIP UNJ ^_^
Pagi hari dengan kostum kemeja putih dan rok hitam, saya
pergi ke upacara. Upacara kami tidak hanya bernuansa hijau dengan almamater
UNJ, ada warna merah-putih dari seragam anak-anak SD dari SD Laboratorium UNJ.
Senang rasanya bisa berada di antara barisan mahasiswa PGSD. Meskipun saya dan
teman saya seperti “bocah hilang” karena cuma kami berdua yang bukan mahasiswa PGSD,
melainkan mahasiswa PLB :)
Bersama anak-anak SD Laboratorium UNJ ^^ |
Alright, akan membosankan kalau saya membicarakan bagaimana
berjalannya upacara. So, kali ini saya akan membicarakan hal yang berbeda dari
upacara-upacara seperti biasanya.
Upacara Peringatan Hardiknas ini bukan sekadar upacara
hormat bendera, ada serangkaian acara “istimewa” yang membawa saya pribadi pada
kenangan semasa SD. Selepas upacara masih ada pertunjukkan tarian dan paduan
suara dari anak-anak SD Laboratorium UNJ dan para calon guru SD dari UNJ :)
Jujur, tarian dan paduan suara anak-anak SD ini membuat saya
terharu mengingat betapa masa-masa SD itu sudah menjadi masa lalu yang
tertinggal di belakang. Sambil menikmati pertunjukkan selepas upacara, saya
ikut bernyanyi bersama anak-anak SD Laboratorium UNJ sambil mengibas-ngibaskan
bendera plastik yang dibagikan panitia.
Bersama salah satu mahasiswi dari Papua |
Oh iya, ada satu hal yang kontras dari keadaan mahasiswa
PGSD UNJ dengan mahasiswa lainnya. Di PGSD UNJ ini banyak teman-teman perantau
dari Papua, mereka adalah penerima beasiswa Pemda Papua yang kuliah di PGSD
UNJ. Tidak hanya warna kulit mereka yang lebih gelap, tetapi dialek dan intonasi
berbicara mereka juga membuat mereka menonjol di antara mahasiswa lainnya. But,
that’s not barrier for me to know them. Justru perbedaan yang kontrasn ini yang
membuat saya semakin berbinar-binar di tengah euphoria Hardiknas dan tidak mau
pulang dari acara ini, karena saya menyukai keberagaman dan saya ingin mengenal
teman-teman dari Papua ^_*
Dalam rangkaian peringatan Hardiknas ini, teman-teman dari
Papua selalu menampilkan pertunjukkan khusus. Kali ini mereka menarikan tarian
khas mereka dengan dandanan dan pakaian khas mereka. Saya kurang tahu nama
tarian mereka ini apa. Tapi, saat menikmati tarian mereka yang diterjemahkan
otak saya adalah tarian mereka menceritakan sepasang burung (Ratu dan Raja
Burung) yang diburu oleh masyarakat Papua. Ini hanya terjemahan saya ya,
entahlah benar atau salah.
Tarian persembahan teman-teman dari Papua |
Euforia Hardiknas tidak berhenti sampai di sini saja. Masih ada
karnaval seru bersama anak-anak SD
Selepas menyaksikan pertunjukkan yang membuat saya “melayang”
dan karnaval bersama anak-anak SD
yang membuat saya “terbang”, acaranya
dilanjutkan dengan pameran kerajinan tangan mahasiswa dari matakuliah Seni dan lomba
untuk anak-anak SD maupun mahasiswa.
***
Mereka, teman-teman dari Papua mengingatkan saya pada
semangat pemuda yang memudar. Apalagi pemuda-pemuda di Jakarta, yang seharusnya
menjadi penggerak perubahan negara karena di Jakarta-lah inti kehidupan negara
ini berlangsung. Karena di Jakarta-lah semua kebijakan dan fenomena negara
dimulai, tidak hanya untuk dimulai tetapi juga untuk memengaruhi nasib negara
ini bertahun-tahun ke depan.
Sebelumnya, saya pernah bertemu dengan guru-guru SLB dari
Papua. Kami bertemu di SLB Negeri Semarang, saat saya mengisi liburan semester
saya di SLB tersebut. Kendari saya hanya berkesempatan berbincag sebentar
dengan guru-guru SLB dari Papua, tetapi semangat mereka begitu dahsyat menumbuk
hati saya. Mereka, jauh-jauh datang ke Semarang dari Papua untuk mengetahui
bagaimana cara guru-guru SLB di Tanah Jawa mengajar ABK (Anak Berkebutuhan
Khusus) dengan pengelolaan sekolah yang konon, menurut pemberitaan di media
terus berkembang menjadi lebih dan lebih baik lagi.
Mereka, guru-guru SLB dari Papua, datang bukan untuk meneguk
semangat guru-guru SLB di pulau Jawa, karena saya tahu betul semangat mereka
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru SLB di Jawa. Kalian tahu mengapa
mereka datang ke Jawa demi merauk ilmu di sini. “Karena di Papua hanya ada 1
SLB, sedangkan jumlah ABK di Papua tidak sedikit. Kami juga ingin seperti kalian
di Jawa yang punya banyak SLB,” kata salah satu guru itu kepada saya.
Deg! Saat itu juga aliran darah saya terasa menderas, bulu
kuduk bangkit, dan kantung airmata membuncahkan muatannya. Jujur saja, saya
malu dengan jawaban guru ini. Jawa boleh jadi memiliki segalanya, termasuk
perhatian lebih dari pemerintah pusat, tapi semangat untuk mempertahankan
kepemilikan ini apalagi untuk memperbaiki jauh lebih miskin dibandingkan
dimiliki guru-guru SLB dari Papua.
Sekarang, ketika
berhadapan dengan teman-teman mahasiswa dari Papua, saya semakin malu pada diri
saya, pada Tuhan saya. Mereka yang dibiayai Pemda Papua harus terpisah lautan
dan puluhan atau bahkan ratusan pulau dengan tanah kelahiran dan orang tua.
Bersama teman-teman dari Papua ^_* |
Meskipun kesempatan berbincang dengan guru dan mahasiswa
dari Papua, tetap ada sentilan hebat pada hati saya terhadap apa yang telah dan
akan saya lakukan. Saya sempat berpikir bahwa kita, pemuda-pemuda di daerah “nyaman”,
khususnya Jawa, kebanyak kufur dan terlanjur nyaman dengan keadaan. Hasilnya,
kenyamanan itu membuat kita hanya berdiam diri menikmati “kenyamanan di tempat”
dan tidak ingin bergerak maju.
Dua pertemuan saya dengan guru dan mahasiswa dari Papua saya
piker cukup memberikan gambaran seberapa kontrasnya makna pendidikan yang ada
di tangan kita, para penduduk Jawa. Mereka yang diutus Pemda Papua sudah
memiliki misi yang kuat untuk mencapai Papua yang lebih baik dari sekarang dan
berusaha mengimbangi kemajuannya dengan Jawa. Mereka memiliki tujuan yang jelas
dalam perjalanan pendidikan mereka; bahwa mereka ingin memajukan Papua yang kekurangan
perhatian dari pemerintah pusat.
Lalu, saya bertanya pada diri saya sendiri. Apa visi misi
yang saya bawa sejauh ini, selama kurang lebih 3 tahun merasakan kuliah di dua
kampus yang berbeda? Jujur saja, saya tidak menemukan jawaban yang konkret dan
spesifik selain jawaban abstrak berupa “Saya ingin memajukan pendidikan
Indonesia”.
Berbeda dengan mereka yang sudah memiliki visi misi yang
jelas dan spesifik bahwa mereka ingin membangun banyak SLB di Papua, mereka
ingin membangun banyak sekolah untuk anak-anak di pelosok Papua. Saya pikir, kita
–termasuk saya pastinya– yang sudah di
tanah yang kaya perhatian dan sumber daya terlanjur terkungkung dengan
kenyamanan di negeri sendiri. Sehingga kita kehilangan pandangan untuk mau
melangkah ke mana dan tidak tahu apa yang hendak kita perbuat. Pasti kebanyakan
di antara sibuk dengan rutinitas linear; kuliah, mendapat gelar, ijazah kuliah,
lalu mencari kerja.
Right, melihat kekontrasan visi misi yang kita genggam
dengan para guru dan mahasiswa dari Papua, saya pikir kita yang ada di “tanah
yang disayang” Pemerintah Pusat tanpa disadari telah didik menjadi robot
pekerja, bukan penggerak, visioner, apalagi innovator. Berbeda jauh dengan
teman-teman dari pelosok negeri ini yang datang ke Jawa untuk belajar dengan
visi perubahan, menggerakkan tanah kelahiran yang ditinggalkan juga tertinggal,
dan menciptakan hal baru untuk tanah kelahiran yang lebih baik.
Teman-teman Papua bersama Dekan FIP dan dosen :) |
Yup, just a simple thing; vision and mission our study which
make we are so different. Sebenarnya, kalau
dipikir-pikir, keengganan kita
untuk keluar dari kotak kenyamanan inilah yang juga jadi pembeda antara kita
dengan mereka yang dari Papua. Entahlah, masa iya harus diberi terus diberi
kesusahan dulu baru kita sadar dan mau berubah menjadi lebih baik.
Over all, peringatan Hardiknas tahun ini sangat menyentil
hati saya. Hardiknas tahun ini membuat saya berpikir berkali-kali tentang sudah
seberapa bermanfaatnya saya pada tanah kelahiran saya, khususnya lingkungan
saya. Teman-teman dari Papua telah membuat diri saya malu pada diri saya
sendiri dan pada kenyamanan yang sudah saya terima sejak lahir, bahwa tidak
banyak yang sudah saya lakukan untuk lingkungan saya bahkan untuk diri saya
sendiri. Jadi, apa yang harus saya banggakan dibandingkan dengan semangat dan
visi misi yang mereka genggam untuk tanah kelahiran mereka.
So, melalui semangat Hardiknas ini setidaknya semoga kita
semua, khususnya pemuda di “tanah dimanja” Pemerintah Pusat untuk juga
bergerak, mengemban visi misi, dan inovasi yang tidak sebatas pada “memajukan
pendidikan Indonesia”. Tetapi kita juga harus bisa atau setidaknya berusaha
mengubah sistem yang sampai saat ini masih carut-marut, termasuk mengubah
pendidikan yang merobotkan manusia menjadi pendidikan yang memanusiakan manusia.
Jangan sampai juga kita yang sekarang sudah menjadi robot pendidikan, di masa
depan malah ikut menciptakan robot-robot pekerja yang baru.
Last, semoga pendidikan di Indonesia bisa menjadi pendidikan
yang memanusiakan manusia dan berkeadilan. Yaitu pendidikan yang tak kenal bulu,
yang mana setiap makhluk bernama manusia di negeri ini, baik muda-tua,
miskin-kaya, “normal”-“cacat”, di kota-pelosok berhak mendapatkan pendidikannya.
Amin.
Semangat meninspirasi dan bermanfaat tanpa batas! ^_^
Aminnn... ikut ngaminin doanya biar kedepannya pendidikan di indonesia berorientasi pada memanusiakan manusia bukan menargetkan manusia yg tidak lebih seperti sebuah robot... orang papuanya ramah2 :)
ReplyDeleteAmin amin :)
DeleteIya, dong. Teman-teman dari Papua baik-baik :)
weeewww, keren banget dapat beasiswa, papua lagi :))
ReplyDeletesemoga pendidikan indonesia makin maju dan kece, nahlo
Amin amin :) Makasih sudah baca :)
Deletewaaahh mbakk meriah yah acaranya, tadi waktu pertama berkunjung kesini belum sempet baca postingannya kirain acara hardiknasnya di papua eh ternyata foto2 semua yang ditampilkan adalah mahasiswa dari papua..Keren euyy... jadi ingat kampung kelahiran saya di papua..
ReplyDeleteMemang kalau dibandingkan dengan papua, pendidikan di jawa jauhh lebih maju apalagi didukung sarana dan prasarananya, tapi meskipun begitu orang-orang di papua juga nggak mau ketinggalan, semangat mereka memang tinggi buktinya banyak temen-temen saya juga yang asli sana memilih mengenyam pendidikan di luar papua dengan harapan ilmu yang mereka dapat dari luar Papua dapat membantu mereka membangun papua yang lebih maju daripada yg sekarang.. khususx di bidag pendidikannya juga^^
Ini di Jakarta, tapi dimeriahkan oleh teman-teman Papua. Jadi berasa di Papua sih kalo saya :D
DeleteAmin amin ya Lathif. Makasih nih doanya ^_^
meriah sekali upacara hardiknasnya..sampai diiringi dg tarian dari papua lg...
ReplyDeleteKalau ditempatku paling cuma paduan suara dr anak SMP atau SMA..
Akan terasa sekali keanekaragaman didaerah kita..
Pendidikan itu tak kenal ras dan suku...
Buktinya mahasiswi dari papua saja bisa dapat beasiswa...salut sekali.. :)
Yup. Meriah dan seruuuuu :)
Delete