Posted by : Lisfatul Fatinah 30 May 2014

Karena di balik pintu itu adalah sedu, maka tertutup saja adalah pilihannya. Lalu buang saja kuncinya hingga jatuh ke paling lembah agar tak ada carauntuk terbuka walau secelah.




“Kapan kamu menikah?” Mama menyentak pagi dengan pertanyaan itu lagi.

Aku hanya menjawab dengan seulas senyum hambar. Lagi-lagi, pembahasan pernikahan menghilangkan seleraku untuk menyantap sepotong roti yang sudah dibaluri selai strawberi.

“Masih terlalu pagi untuk membicarakan itu, Ma,” Jawabku sekenanya sambil beralih pada tab putih di sisi lain meja makan.

Sebenarnya, itu hanya alasanku saja untuk menghindari pertanyaan Mama. Sepagi ini, di atas meja makan, tak ada yang menarik bagiku selain sejumlah rencana pertemuan dengan teman-teman dan rekan kerja.

“Kamu kalau ditanya, jawabnya begitu terus, Nak.”

Lalu Mama selalu menanyakan hal  yang sama setiap pagi. Masih banyak hal  yang lebih penting untuk aku pikirkan sepagi ini, kupikir. Pertemuan dengan “penggila” properti interior, meng-update desain interior di web, dan sejumlah pertemuan penting lainnya yang lebih menyenangkan dari pada membahas cinta dan pernikahan.

Aku memeriksa to do list di tab. Pergi ke rumah Anggun, adikku, adalah kegiatan pertama yang harus aku lakukan pagi ini. Sambil memberi check list pada agenda pertama,  aku memperhatikan Mama yang terlihat lelah sepagi ini. Di sofa panjang yang tak jauh dari meja makan, Mama hanya terpejam.

“Mama tidak sarapan?” mataku tertuju pada piring Mama yang masih tertelungkup.

Tak ada jawaban. Mama bangkit dari sofa dan berjalan lunglai ke arah meja makan. Mata Mama sembab. Wajahnya pucat. Di tangannya tergenggam beberapa kantung teh yang sudah direndam.

“Mama menangis lagi?” aku sontak meletakkan tab yang sedari tadi kupegang.

“Tidak. Alergi debu Mama kambuh lagi.” Mama berbohong.

“Mama, kalau ditanya jawabnya begitu terus.” Aku memerhatikan tangan lemah Mama yang sibuk mengompres sembab di matanya. Sedih. “Mama dipukul lagi?”

“Tidak apa-apa. Papamu sudah berangkat ke bandara jam 6 pagi tadi. Dia ada meeting di Singapura.”

“Saya tidak menanyakan Papa. Saya menanyakan Mama,” suaraku merendah. Miris. Ikut merasakan sakit yang Mama rasakan, meski Mama tak pernah mau mengakuinya.

“Hampir jam 7, kamu tidak telat?” Mama kembali mengalihkan pembicaraan.

Mama menutupi kesedihannya, lagi. Aku hanya menatapnya, berusaha menembus ruang hatinya yang selalu berusaha kuat, meski jelas-jelas tersakiti. Semakin dalam aku menatap Mama, aku semakin ikut sakit.

Teng! Teng! Detak jam antik di ruang tengah mengaburkan tatapanku.

“Saya mau ke rumah Anggun, Ma. Kemarin dia minta saya ke sana. Mama mau titip sesuatu untuk dia?”

“Tidak.” Mama manjawab dingin, sedingin embun yang biasa menyentuh kakiku di subuh hari sebelum aku beraktivitas.

Aku menghabiskan teh susu yang mulai dingin, mengeluarkan kunci mobil dari tas, lalu bangkit menghampiri Mama sebelum pergi ke rumah Anggun.

“I love you, Ma. Assalamulaikum.” bisikku saat mencium keningnya.

Mama diam. Aku melangkah meninggalkan Mama dengan segumpal duka dan amarah.

“Jangan ceritakan ini pada Anggun, Nak,” suara Mama tertahan, nyaris tak terdengar.

Aku terus menjauh dari Mama yang isaknya mulai terdengar.

***

Semalam Papa pulang. Hanya itu yang aku tahu. Suara mobil Papa menderu halus saat memasuki pekarangan rumah. Tak ada keinginan sedikitpun bagiku untuk keluar kamar dan menyambut kedatangan Papa.

Setiap terdengar deru mobil Papa, selalu terdengar langkah kaki Mama yang letih dan sapaan rindu seorang istri pada sang suami. Tapi, tak ada jawaban hangat dari Papa yang dirindukan orang rumah. Suara dan tatapan Papa selalu dingin, dan Mama selalu bertahan dalam kebekuan itu.

Jika suara Papa sudah terdengar, I’m Not Write The Sins milik Panic at The Disco siap berputar keras-keras di kamarku, disusul dengan The Mocking Bird yang dilantuntan Eminem. Keduanya berputar berulang-ulang, hingga aku terpejam dan terjaga sebelum subuh datang.

“Siang ini kamu ada agenda?” suara Arya di seberang sana menghamburkan kesedihan pagi ini.

“Nggak,” jawabku sekenanya.

“Kita ketemu di tempat biasa ya, ada yang ingin aku bicarakan.”

“Bicara apa?,” 

"Nanti kalau ketemu juga tahu,"

"Kamu mau bicara apa?" aku mengulang tanya.

"Kamu datang saja. Nanti pasti juga tahu," jawabannya hendak bermain tebak bersamaku.

Kumatikan hape saat mendengar jawaban absurtnya.


Masih pagi kenapa nona yang satu ini galak sekali? 

Arya mengirim pesan singkat, mengomentari  sikapku yang tak bersahabat sepagi ini.

I don’t care, Dude! Aku melempar handphone ke bangku belakang.

***

Mobilku memasuki pekarangan sebuah rumah besar yang bernuansa coklat . Deretan bunga bougenvile menyambut kedatangan mobil merah yang kukendarai ketika pintu gerbang otomatis itu mulai terbuka. Kuparkirkan mobil beberapa meter tepat di depan pintu rumah. Belum sempat aku melangkahkan kaki di teras rumah ini, tiba-tiba seorang wanita berlari dari balik pintu dan menghambur ke arahku.

“Hei?” tubuhku nyaris jatuh saat Anggun menubruk dengan pelukannya.

“Kakak,” suaranya serak. Tangisnya tumpah dalam pundakku.

“Kukun…,” aku menggantungkan suara, tak mengerti mengapa Anggun, Si Kukun yang selalu cerita menjadi begitu melankolis seperti ini.

Anggun terus menangis. Ia tak menghiraukan keheranan yang menggantung di pikiranku.

“Boleh Kakak masuk dulu, Kun?” aku berbisik di telinganya.

Tanpa suara, Anggun melepas pelukannya. Sambil berangkulan kami berjalan melewati pintu besar yang penuh dengan ukiran.

Kami duduk di ruang tamu yang didominasi warna putih gading. Di atas sofa panjang, Anggun menenggelamkan wajahnya di pangkuanku. Tak ada kata-kata selama sepuluh menit pertama kami bersama.

“Kukun, kalau kamu terus menangis seperti ini, Kakak tidak akan tahu kenapa kamu meminta kakak datang sepagi ini,” tangan saya mengelus rambut panjangnya.

Anggun terisak, berusaha menyudahi tangisnya. Tanganku, hanya bisa terus mengelus rambut dan pundaknya sambil merajuk dalam hati, berhentilah menangis adik terkasih.

“Aku mohon, jangan katakan apapun kepada Mama tentang apa yang akan aku ceritakan, Kak,” Anggun mulai bersuara, meski belum mau mengangkat wajahnya dari pangkuanku.

“Ya, ceritakanlah,”

“Aku gak tahu apakah ini karma atas apa yang aku lakukan dulu kepada Kakak,” Anggun memulai ceritanya. “Dulu, aku memang sering heran dan marah dengan sikap Kakak. Kakak tahu kan kalau aku sayang sekali sama Kakak, tapi aku juga sangat membenci sikap Kakak yang menurutkan sangat diluar logika wanita normal. Aku…, aku minta maaf, Kak, atas semua sikapku yang arogan. Maafin Kukun yang selama ini menganggap Kakak terlalu aneh. Kukun…,”

Suara Anggun terputus. Mata sembabnya bersitumbuk dengan kecemasan di mataku. Dia kembali memelukku, untuk kedua kalinya di pagi ini. Aku hanya mematung, belum mengerti apa yang ingin disampaikannya sejak aku tiba di sini.

“Kukun minta maaf karena kadang Kukun sangat membenci sikap Kakak.”

Aku mengangguk kecil, mengulaskan senyum tipis, dan mengusap air matanya yang mengalir tenang. “Kakak selalu sayang kamu dan akan tetap sayang kamu, meski kamu membenci sisi lain dari diri kakakmu ini.”

“Kak…, aku ingin pulang,” suara Anggun terhenti lagi, berganti dengan tangis yang ditungkannya dalam pelukanku.

“Dear, tenangkan diri kamu dulu,”

“Kakak, selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana perasaan kakak. Tapi …,”

Kata demi kata keluar dari mulutnya dengan penuh tenaga. Setiap kalimat yang diucapkannya membuatku semakin tegang, semakin tercekat, dan kehilangan kata untuk mengomentarinya. Anggun terus meluncurkan rahasianya, berbicara dengan terburu-buru, seakan dikejar-kejar masa lalu yang siap menyeretkan kembali ke dunia kelam. Suaranya naik turun, kadang terhenti dan berganti air mata, kadang terhenti dan tak ada kata-kata di antara kami.

“Aku benci ini ...,” Anggun menutup wajahnya dengan jari-jarinya yang terluka. Ia menangis, berharap air mata yang terus tumpah bisa menghapus masa lalunya. []


Bersambung…,

{ 1 komentar... read them below or add one }

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -