Posted by : Lisfatul Fatinah 09 January 2013


"Tulisan ini saya dedikasikan untuk lelaki kedua yang saya cintai setelah Nabi Muhammad saw. Untuk lelaki yang tak banyak bicara, yang selalu mengajarkan saya dalamnya makna keindahan diam. Untuk lelaki yang selalu bekerja keras, merelakan setiap titik peluhnya untuk kehidupan yang lainnya. Untuk lelaki yang selalu teduh tatapannya, yang selalu menatap saya lamat-lamat setiap kali ingin mengucapkan nasihat. Untuk lelaki yang mengajarkan saya arti gigih dalam setiap langkah tangguh tanpa mengeluh. Untuk lelaki tersayang yang menyinari kehidupan saya,  yang saya panggil Bapak."




Bismillahirrahmanirrahim

Mungkin benar apa yang banyak dikatakan orang, bahwa anak lelaki cenderung lebih dekat dengan Ibu dibandingkan dengan Bapaknya. Sebaliknya, anak perempuan justru lebih dekat dengan Bapak dibandingkan dengan Ibunya. Hal ini pun terjadi kepada saya, sebagai anak perempuan bungsu di rumah. Ya, saya lebih dekat dengan Bapak dibandingkan dengan Ibu saya. Kendati demikian, percayalah sayang dan cinta yang saya  miliki tidak membedakan keduanya.

Sejak kecil, saya memang selalu dekat dengan Bapak. Mulai dari bangun pagi hingga ingin tertidur lagi, saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bapak. Bangun tidur, bukannya dimandikan Ibu, saya malah dimandikan Bapak. Saat hendak berangkat kemana-mana, yang saya tanyakan selalu saja Bapak.

Sampai sekarang saya masih ingat begitu banyak kenangan manis bersama Bapak. Setiap ba’da Ashar, saya selalu memijat kaki Bapak. Lalu membersihkan kulit kaki Bapak yang sering berganti kulit. Sambil menunggu Maghrib, sampai usia saya memasuki angka tujuh, saya selalu bergelantung di kaki Bapak yang asik duduk di sofa. Saya menikmati naik turun ayunan kaki Bapak sambil mendengarkan shalawat yang dialunkan Beliau.

Masih tergambar di pelupuk mata saya gaya Bapak bercengkrama dengan saya. Bapak selalu membuat saya tergeli-geli karena jenggotnya yang digosokan ke pipi saya. Atau, ketika Bapak memonyongkan bibirnya, menekuk kelopak matanya untuk menakut-nakuti saya. Lalu saya menjerit dan tertawa di balik selimut.

Masih teringat juga saat hampir setiap malam saya dan Bapak duduk berdua, menggelar karpet di depan televisi. Saat Ibu dan kakak-kakak saya sudah tidur, saya dan Bapak malah sibuk di dapur memasak indomie ala Bapak yang tidak ada tandingannya. Setelah itu, saya dan Bapak duduk berkulum sarung siap menyaksikkan pertandingan tinju.

Kenangan lainnya. Hampir setiap malam saya menyaksikkan Bapak berlatih silat bersapa Paman. Saat itu pula saya yang sedang memegang boneka langsung mengikuti gerakan Bapak dan Paman. Tertawa lepas saat memainkan kayu panjang berlagak seorang pendekar.

Kenangan yang jelas juga di memori. Jika awamnya anak perempuan pergi berbelanja bersama Ibunya, maka saya adalah anak perempuan yang berbelanja bersama Bapaknya.  Hampir setiap kali membeli keperluan, saya selalu bersama Bapak. Pergi ke pasar Tanah Abang, membeli sepatu, seragam, alat tulis, tas, bahkan pakaian sehari-hari bersama Bapak. Bahkan, Bapak sudah seperti tempat pelarian saya. Setiap kali permintaan saya tidak dikabulkan Ibu, saya akan meminta ke Bapak. Bapak selalu mengabulkan keinginan saya meski tak pernah berkata “Ya”. Meski tak pernah mengiyakan atau menyahuti permintaan saya, setiap kali saya hampir lupa dengan permintaan saya, Bapak tiba-tiba berkata, "Masih mau yang itu? Besok ke Tanah Abang ya."

Begitulah kenangan manis betapa dekatnya saya dengan Bapak. Saking dekatnya, sampai-sampai saya dan Bapak punya kebiasaan dan selera yang sama; kami suka sekali masak indomie atau nasi goreng lepas tengah malam, sama-sama tidak suka manis, dan sama-sama peka dengan makanan yang ditambahi gula atau tidak.

A, semua kenangan itu terjadi dulu. Sampai usia saya di angka tujuh. Kini usia saya sudah hampir tiga kali lipat dari itu. Sudah hampir tidak pernah ada lagi kejadian-kejadian merindukan seperti di atas, kecuali kebiasaan menonton tinju di tengah malam atau saat liburan dan memasak indomie bersama :’)

Sekarang saya sudah tidak bisa lagi bergelayut di kaki Bapak. Selain karena saya sudah terlalu besar untuk duduk di kaki Bapak, sepertinya kaki Bapak juga sudah terlalu tua untuk dijadikan tempat bergelayut saya yang sudah tidak anak-anak lagi.

Saya juga sudah jarang memijit kaki Bapak apalagi bercanda dengan Bapak di depan televisi. Entahlah, semua kebiasaan manis itu perlahan-lahan terhenti dengan bertambahnya usia saya. Sekarang saya malah sok sibuk di luar rumah. Kuliah, kerja, mengajar, mengurus organisasi ini itu, dan lain-lain.

Kadang, saat ada waktu beberapa jenak untuk beristirahat dari aktivitas sok sibuk di luar rumah, kenangan-kenangan indah, kebiasaan manis, dan tawa renyah Bapak berputar lagi di kepala. Sejurus saya merindukan masa-masa itu lagi. Masa-masa bersama Bapak. Masak bersama, makan bersama, ke pasar bersama, jalan-jalan bersama, dan menonton tinju bersama.

Biasanya saya melampiaskan kerinduan itu dengan selalu menyempatkan shalat berjamaah bersama Bapak. Suara Bapak saat membaca surat-surat Suci Allah tak jarang membuat hati saya bergetar. Dan, entah mengapa setiap menjadi makmum Bapak, mulai dari takbiratur ihram sampai salam, airmata saya selalu mengalir diringi sesegukan. Lalu, Bapak selalu berkata, "Minum inza, supaya besok bisa kuliah. Makanya, janganminum es terus." Duh, Bapak seperti tak tahu kalau saya sedang menangisi masa anak-anak saya saat bersamanya, bukan sedang terkena flu atau demam.

Akhir-akhir ini, rekaman kenangan masa kecil bersama Bapak semakin jelas tergambarkan. Terlebih lagi beberapa hari ini waktu saya untuk berdiam diri di rumah sedikit bertambah dan Bapak sedang di rumah.

Beberapa pekan ini, saya selalu menatap Bapak lamat-lamat saat Bapak tidur dalam lelah dan sakitnya. Semakin saya menyelami wajahnya, semakin dalam kerinduan yang saya rasa. Sungguh, semakin bergerumuh kenangan masa lalu itu hingga memecahkan kantung airmata saya. Diam-diam tangis ini membuncah. Entah perasaan ini apa namanya.

Wajah Bapak mulai yang menua, garis-garis tangan Bapak juga sudah mengeriput. Bapak semain tua dan –menurut Bapak– saya sudah dewasa. Dua qodratullah ini berjalan sejalan, seiring berputarnya waktu yang saya lalui. Kini, dalam pikiran saya hanya terbersit satu pertanyaan. Apakah yang sudah saya berikan kepada Bapak sebagai anaknya?

Pertanyaan ini tak pernah saya ucapkan di depan Bapak. Tapi entah mengapa, beberapa hari lalu saat saya sedang menemani Bapak yang hanya bisa berbaring, tiba-tiba Bapak berkata, “Jadi orang hidup jangan pernah menganggap harta sebagai hal terpenting. Iman sama Allah yang penting. Kalau iman sudah kuat, orang pasti shaleh. Kalau sudah shaleh, harta tanpa diminta juga akan datang,” sejenak Bapak terdiam. “Kamu juga. Jangan pernah mengutamakan harta, jangan anggap harta bisa bawa bahagia buat kamu juga buat Bapak. Yang penting hati kamu tetap sama Allah, yang penting kamu tetap berbuat baik sama orang tua.” Bapak terdiam lagi. Memejamkan mata. Entah karena menahan sakitnya atau karena lelah berbicara. Saya tak menjawab apa-apa. Hanya anggukan dan airmata yang menanggapi Bapak.

Sejak Bapak berkata demikian hingga sekarang, saya semakin merasakan betapa Bapak sudah tua dan saya semakin dewasa. Akan ada banyak hal yang berubah –dan harus berubah.

Jika dulu saya selalu mengadu kepada Bapak, ini saatnya saya menjadi pendengar untuk segala kisah yang ingin Bapak tinggalkan. Jika dulu saya selalu minta dibuatkan indomie ala Bapak, kini saatnya saya memasak makanan-makanan kesukaan Bapak.

Sudah hampir sebulan ini Bapak hanya bisa berbaring di rumah karena sakitnya. Sejak sebulan terakhir ini pula segala pemikiran saya akan masa depan semakin berubah dan bertambah matang.

Meski masa anak-anak itu telah berlalu, tapi kenangan dan pengalaman manis bersama Bapak, saat Bapak masih sehat, tetap melekat di hati saya. Biar semua cerita manis itu ada di hati dan kepala saya, supaya bisa mejadi cerita untuk suami dan anak-anak saya :')

Kini, saat Bapak semakin tua dan saya semakin dewasa, saya bertekad untuk suatu hal. Apapun yang saya lakukan saat ini hingga akhir hayat nanti, itu semua hanya untuk kedua orangtua saya. Masa depan saya juga untuk orangtua. Segala amal ibadah saya untuk Bapak dan Ibu saya. Dosa-dosa saya, bisar saya yang menanggungnya.

Dan, satu hal besar yang selalu saya penjatkan. Semoga Allah Memperkenankan Bapak tetap ada di samping saya hingga Bapak bisa menjadi wali nikah saya dan Bapak bisa melihat cucu-cucunya yang lahir dari rahim saya.

Terakhir, untuk Bapak, satu-satunya lelaki yang saya sayangi setelah Nabi Muhammad, semoga Allah menjadikan sakitmu sebagai pengugur dosa-dosa, sebagai pensucian jiwa raga. Semoga sakit yang Bapak derita tak berlambat-lambat ada, tetapi lekas diangkat-Nya. Semoga Bapak, cahaya di atas cahaya hati saya, selalu dilindungi Allah.

Sungguh, tiada apapun yang pantas untuk membayar setiap peluh yang Bapak teteskan untuk saya kecuali doa saya, amal kebaikan saya, dan surga-Nya.

Saya Lis, anak Bapak Munir yang kangen sekali masa kecilnya bersama Beliau :')

{ 2 komentar... read them below or Comment }

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -