Posted by : Fatinah Munir 17 July 2016

Bismillahirrahmanirrahim

Sepiring makanan yang ditata cantik bersama dengan pisau dan garpu di bagian tepinya adalah wujud penghilang lapar kami. Kami tak tahu kalau semua itu bukan sekadar makanan yang akan habis kami lahap. Lebih dalam lagi, ini adalah cara kami belajar hal baru.

Sepotong Samali Sandwich adalah mata pelajaran sabtu sore kemarin.



Pelayan datang memberitahukan kalau Salami yang kami pesan sudah tiba di dapur mereka. Gesturenya sedikit tergesa, sebab kami sudah menunggu lebih dari setengah jam untuk memesannya. Wajah pelayan lelaki itu memberi senyuman kepada kami –saya, Erny, dan Senna seorang adik yang tunanetra, padahal kami baru saya dikejutkan oleh suaranya yang tiba-tiba datang saat kami sedang tenggelam dalam diskusi projek yang akan kami jalani.

Saya berjalan ke arah kasir, memesan tiga potong Samali Sandwich dan kembali meneruskan diskusi hangat kami hingga sepuluh menit kemudian pelayan wanita dengan ramah mengantarkan tiga sandwich yang kami pesan. Di atas piring putih bersih, ditemani sebungkus saus sambal sachet dan garpu pisau yang digulung oleh tisu di tepi piring. Kenapa sandwich disajikan menggunakan pisau? Pikir saya, karena memakan sandwich dengan tangan sepertinya jauh lebih nikmat.

Erny merapihkan meja sambil terus berbicara tentang projek yang sedang kami rancang dan saya tetap menulis kesimpulan dari apa yang kami bertiga bicarakan.

Ini makannya pakai pisau sama garpu loh, Sen. Itu yang pertama kali saya ucapkan saat tangan Senna menyentuh tepian piring. Ini baru pertama kalinya Senna makan menggunakan pisau dan garpu. Akan sulit pastinya bagi seorang yang awas melihat untuk pertama kalinya makan menggunakan pisau dan garpu, terlebih untuk Senna yang kurang awas dalam melihat. Tapi bukan Senna namanya jika dia tidak ingin mencoba, meskipun saya menawarkan opsi untuk memotongkan rotinya atau memintanya memakan sandwitch itu menggunakan tangan, memakan roti seperti biasanya.

Tawa. Itulah yang saya dan Erny lakukan pertama kali saat melihat Senna makan. Garpu yang tertusuk ke roti, sisi tajam pisau menghadap ke atas dan bagian tumpul yang terus digesekkan ke piring.

Saya mengetuk pisau Senna dengan pisau yang ada di tangan kanan saya, mengarahkan pisaunya untuk menyentuh salah satu ujung roti dan mengetuk garpunya untuk mendekati pisau yang ada di ujung roti. Gerakkan garpunya ke kiri sejauh yang kamu mau, ukuran itu adalah ukuran potongan roti yang akan kamu makan dan kamu bisa memotongnya menggunakan pisaumu tepat bersebelahan dengan garpu yang kamu tusukkan ke roti. Cuma itu yang bisa saya bantu untuk Senna. Kelihatannya mudah dilakukan, tapi tidak begitu kenyataanya. Butuh beberapa kali percobaan untuk meletakkan pisau di ujung sisi makanan dan mengukurnya menjadi potongan roti dengan garpu sebelum Senna memotongnya. Erny yang sedari tadi tidak bisa menahan tawa kini malah asik memotret –entah atau merekam– kejadian di depannya.

Setelah sekian kali mencoba, Senna berhasil memindahkan garpunya ke tangan kanan untuk menusuk potongan roti yang terpisah dan kini siap disantap dengan tangan kanannya. Kata mama gak boleh ah makan pakai tangan kiri. Begitulah Senna bergurau, menambah tawa yang sedari tadi pecah.
Kami kembali pada diskusi meski tetap diselingi tawa tentang sepotong roti. Dan Senna tampak menikmati pengalaman pertamanya makan dengan garpu dan pisau. Sesekali saya dan Erny melihat ke arah roti Senna yang sudah terbagi menjadi tiga potongan besar dan Senna menyantapnya dengan garpu yang digunakannya dengan tangan kiri.

“Gue aja ngerasa susah makan pake garpu sama piso, apalagi Senna,” celetuk Erny saat melihat Senna melahap potongan terakhir rotinya.

“Hahaha, susah juga ya ternyata. Gimana kalau gue makan pakai sumpit coba?” Senna terkekeh, Erny dan saya kembali dibuat tertawa oleh celotehnya.

***


Lucu? Iya pasti. Inilah mata pelajar saya dan Erny sabtu sore kemarin yang mungkin juga bisa menjadi mata pelajaran untuk siapa saja yang membaca tulisan ini.

Dari sepotong Samali Sandwich ada mata pelajaran tentang sudut pandang dan ketekunan. Terkadang kita merasa bahwa apa yang ada di depan kita adalah sebuah keindahan yang dapat dinikmati dengan cara kita sendiri, atau mengikuti cara umumnya orang menikmati. Ya…, misalnya makan menggunakan garpu dan pisau. Tapi ada sisi lain, di sudut pandang lain bahwa apa yang kita nikmati tidaklah atau belumlah kenikmatan untuk orang lain seperti yang Senna alami sabtu sore kemarin.

Ada nikmat yang harus dia rasakan dengan cara berbeda. Ada nikmat yang harus kita bagi dengan cara berbeda, dari sudut pandang yang berbeda. Kadang tidak mudah mengubah sudut pandangnya, tapi butuh ketekunan di sana, ketekunan yang bertahan hingga usaha kita di sudut pandang berbeda itu bisa menghasilkan nikmat di sisi yang berbeda.

Mengukur nikmat dari sudut pandang berbeda ini tanpa saya sadari juga luput dari kehidupan keseharian saya. Sering saya membelikan benda atau makanan untuk emak bapak, kakak kakak, dan Naufal di rumah. Tapi responnya tidak selalu seperti yang saya harapkan; wajah senang mereka saat mencoba benda yang belikan atau mencicipi makanan yang saya bawa.

“Rasanya aneh,” begitu keseringan respon emak atau bapak saat makan spaghetti, pizza, dimsum, atau makanan-makanan yang saya beli di cafĂ© selepas bepergian. Lalu mereka akan memakan beberapa potong dan memberikannya kepada Naufal yang memang suka memakan segala jenis makanan.

“Terlalu mewah. Mau dipakai kemana yang kayak gini?” adalah respon berbeda yang dikeluarkan emak bapak dan kakak saya jika saya membelikan mereka benda yang saya pikir  bagus.
Tapi ternyata selama ini saya tidak sepenuhnya benar. Apa yang saya pikir bagus, enak, dan nyaman justru terlihat aneh bagi emak bapak dan kakak. Saya yang justru harus menyesuaikan apa yang ingin saya berikan dengan kebiasaan mereka, meskipun tujuannya adalah ingin mereka menggunakan apa yang saya pakai dan memakan apa yang juga saya makan.

Di sinilah sudut pandang nikmat harus diubah. Sepotong Samali Sandwich yang ditata cantik di atas piring belum tentu menyenangkan bagi Senna dan kawan-kawannya. Memakan hidangan tertentu menggunakan garpu pisau belum tentu mewah dan menyenangkan untuk Senna dan kawan-kawannya. Maka harus ada sedikit penggeseran sudut pandang agar satu hal kita nikmati bersama di atas satu meja menjadi sama-sama nikmat dari sudut pandang berbeda. Ya, hanya sedikit diubah.

Hal ini tidak hanya tentang yang awas melihat ataupun yang memiliki disabilitas pengelihatan. Ini tentang semua hal di dunia. Tentang semua orang yang ada di sekeliling kita. Karena jika kita bisa melihat satu hal dari banyak sudut –mentrasformasi nikmat yang kita nikmati menjadi nikmat dari berbagai sudut,  maka kita tidak akan pernah merasa menjadi yang paling baik di antara yang lainnya.
Senna Rusli telah menjadi guru saya sabtu sore kemarin dan sepotong Samali Sandwich yang menjadi mata pelajaran yang menyenangkan, telah sedikit menggeser sudut pandang saya tentang arti nikmat.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? :)


Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -