Archive for August 2018

Zero Waste Life Journey: Refuse and Reduce Journey



Zero Waste Life Journey
Refuse and Reduce Journey

Selama sepekan kedua ini mendapat tantangan baru zero waste life untuk praktik 5R's Concept yang pernah saya tulis di sini. Tantangan kali ini adalah menolak (refuse) dan mengurangi (reduce) penggunaan barang-barang yang berpotensi menjadi sampah, terutama plastik sekali pakai. Seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya di sini, saya tidak memulai dari rumah tetapi dari diri saya sendiri. Jadi, semua tantangan ini saya mulai dari diri saya sendiri.

Start From The Big Four

Oh oiya, untuk pemula seperti saya, pastinya sangat sulit untuk memulai zero waste life ini. Selain karena banyak sekali benda-benda di sekitar kita yang langsung menjadi sampah, pemula seperti saya juga bingung harus memulai dari mana atau mengganti benda-benda yang langsung menjadi sampah itu dengan apa.

Tapi tenang saja, Alhamdulillah ada solusi yang cukup ampuh yang ditawarkan oleh Plastic Free July. Plastic Free July ini sendiri adalah sebuah challange menolak plastik selama sebulan yang sudah dimulai sejak Juli 2011 lalu. Untuk memudahkan praktik zero waste life buat pemula seperti saya, Plastic Free July ini menawarkan tahap refuse dan reduce ini dengan menolak dan mengurangi The Big Four, Si Empat Benda Terlarang saya menyebutnya.

The Big Four ini adalah empat benda remeh yang ada di sekitar kita, yang sering kali kita gunakan, tapi langsung menjadi sampah dan menempati posisi jumlah sampah yang paling banyak di TPA negara manapun. Keempat benda ini adalah kantung plastik, botol minum sekali pakai, sedotan, dan gelas sekali pakai (dalam terminologi aslinya sebenarnya adalah gelas kertas sekali pakai untuk kopi).

Nah…, jadi untuk para pemula di zero waste life, bisa memulai refuse dan reduce dengan menolak kantung plastik sampah dan menggantinya dengan tas kain. Kita bisa juga menolak pakai botol plastik sekali pakai dan menggantinya dengan tumbler. Kemudian menghindari sedotan jika masih dapat diminum tanpa sedotan atau mengganti sedotan plastik dengan sedotan stainless steel, sedotan bambu, atau sedotan berbahan silicon yang bisa dicuci pakai. Terakhir adalah menghindari gelas sekali pakai dan menggunakan gelas sendiri yang bisa dipakai berkali-kali.

My Refuse and Reduce Journey


Begitulah kira-kira langkah awal refuse dan reduce dengan menolak The Big Four, empat benda terlarang dalam zero waste life. Memang hanya sedikit permulaannya, hanya sebatas pada beberapa benda. Tapi insya Allah, dengan konsisten dan menikmati tahapan kecil tersebut kita bisa melangkah ke tahap zero waste selanjutnya yang jauh lebih sulit dan lebih menantang.

Amunisi berpergian nol sampah ala Lisfah
Untuk saya pribadi, dalam rangka refuse dan reduce melalui the bigh four, hal pertama yang saya lakukan adalah membawa bekal makanan, camilan, dan minum dari rumah. Di hari saat saya harus keluar rumah hampir seharian, saya menyiapkan amunisi yang sekiranya akan dibutuhkan. Saya mulai dengan membawa satu tempat makan berisi makan siang, satu tempat makan berisi camilan, satu set sendok dan sumpit stainless steel (karena saya lebih nyaman pakai sumpit daripada garpu), satu tumbler besar untuk air putih, dan satu tumbler kecil untuk kopi (karena saya pecinta kopi, hehehe), terkahir adalah saputangan sebagai pengganti tisu makan. Semuanya dimasukkan ke dalam tas kain serbaguna.

Membeli makanan dengan membawa wadah sendiri juga jadi bagian dari refuse and reduce yang saya lakukan di sini. Beberapa kali saya mencoba membeli makanan dengan wadah sendiri. Awalnya deg-degan, khawatir dipandang aneh dan merepotkan. Tapi alhamdulillah, respon penjualnya rata-rata senang sekali dan mau membantu menata makanan di wadah saya. Misalnya saja seorang penjual ayam goreng di bawah ini yang mau memotong-motong ayam goreng yang saya beli agar muat di dalam wadah saya. ^_^

Membawa wadah sendiri saat membeli makanan. Maafkan gambar yang blurry karena difoto secara mendadak :D

Tiwul yang dibawa dari rumah untuk camilan di jam istirahat mengajar.
Selanjutnya adalah meninggalkan tisu dan menggantinya dengan saputangan dan handuk. Sebenarnya cukup mudah untuk saya menolak dan mengurangi penggunaan tisu, karena keluarga saya juga tidak terbiasa menggunakan tisu. Kami terbiasa menggunakan kain untuk membersihkan sesuatu di benda ataupun di tangan. Saya cukup kenal penggunaan tisu untuk berbagai hal hanya saat sudah kerja, karena di tempat kerja saya semuanya harus serba bersih dan rapi dengan mengandalkan tisu.

Kembali lagi ke menolak dan menghindari tisu yaa. Untuk handuk kecil, saya pakai yang sudah tersedia di rumah dan jika sekiranya membutuhkan stok tambahan saya baru akan membeli handuk kecil yang  baru. Dan untuk saputangannya, saya juga pakai yang ada di rumah saja dulu. Karena almarhum bapak selalu menggunakan dan membelikan saya saputangan, jadi saya pakai saputangan beliau dan saputangan yang saya simpan cukup lama sebelumnya. Hehehe. Untuk saputangan lainnya, saya menggunakan kain jilbab ukuran 115x115 cm yang tidak terpakai dan dijumput untuk memperindah kainnya. Saputangan yang ini tidak menyerap keringat, jadi pakai sebagai pengganti tisu makan.

Menolak menggunakan tisu ini saya coba tularkan ke teman-teman di tempat mengajar saat kejadian rok saya terkena kuah sayur di jam makan siang. Saat itu maintenance perempuan menawarkan saya tisu tapi saya meminta kanebo atau lap dapur untuk membersihkan serat-serat bumbunya. Alhamdulillah, saya dikasih kanebo untuk membersihkan rok. Kalau saja memakai tisu untuk membersihkan rok saya, kira-kira saya sudah menyumbang 3-5 lembar tisu untuk sampah hari itu.

Berbagai jenis saputangan sebagai pengganti tisu.
Menolak dan mengurangi kantung-kantung plastik ini bisa dibilang susah tapi gampang atau gampang tapi susah. Hehehe. Saya mencoba menggunakan totebag yang bisa digunakan berkali-kali. Satu totebag kecil buatan murid besar saya yang dihadiahkan ke saya untuk membawa bekal dan barang bawaan yang tidak muat di tas. Satu lagi adalah totebag ukuran lebih besar yang bisa dilipat seperti dompet dan disimpan di dalam tas. Totebag kedua ini akan dipakai kalau diperjalanan saya ingin belanja atau tiba-tiba harus membawa barang berukuran besar. Anyway, totebag yang kedua sudah berumur 5 tahun, alhamdulillah.

Untuk mengurangi penggunaan kertas, terutama memo atau notes, saya mulai memaksimalkan penggunaan kalender digital di hape. Pilihan saya jatuh pada aplikasi kalender keluaran G. Selain karena bebas biaya penggunaan, saya juga sudah terbiasa menggunakan email dari Mr. G, jadi semua schedule dan reminder saya bisa terintegrasi langsung ke email yang saya gunakan sehari-hari tanpa membuat email baru. Selain itu, kalender digital milik Mr. G ini juga punya fiture pengaturan jadwal otomatis untuk goal atau target yang saya punya. Misalnya ketika saya mengatur target self-learning bahasa Jepang 2x sepekan, kalender Mr. G akan mencari jadwal senggang dari data schedule yang saya input dan meletakkan jadwal saya di jadwal tersebut. Jadi, saya tidak perlu repot-repot mencari jadwal kosong saya untuk memenuhi target self-learning bahasa Jepang yang saya punya.

Sebagai tambahan, aplikasi kalender ini menampilkan schedule harian saya lengkap dengan daftar jam dan klasifikasi agenda berdasarkan warnanya, ini membantu saya melihat jadwal saya 24 jam ke depan secara detail. Kalau saja tampilan ini dipakai di atas kertas, pasti saya butuh buku agenda yang tebal atau besar. Yang pastinya akan saya buang setelah satu tahun. Ini benar-benar membantu saya mengurangi penggunaan kertas dan alat tulis dengan tinta warna-warni.

Totebag ungu ini bisa dijadikan dompet. Totebag belacunya digunakan untuk membawa bekal makanan.

Contoh schedule yang saya punya di aplikasi kalender punya Mr. G. Kanan adalah tampilan harian dan kiri adalah tampilan mingguan :)
Selanjutnya penggunaan sabun isi ulang. Saya belum bisa membeli sabun isi ulang buatan rumah yang bisa dibeli dengan membawa botol isi ulang sendiri. Hiks. Padahal di perkampungan tempat tinggal saya ada yang menjual sabun buatan rumah ini. Tapi karena kulit saya sensitif sekali, sampai saat ini saya hanya bisa menggunakan sabun bayi untuk badan, cuci tangan, dan mencuci baju T_T Jadi, sejauh ini dan pekan ini pastinya saya baru bisa zero waste sabun dengan membeli kemasan refill dan menggunakan botol sabun yang sudah dipakai lebih dari satu tahun.

Terakhir, mulai mengganti pembalut sekali pakai dengan pembalut cuci pakai (menspad). Yang satu ini masih tahap ingin membeli di hari ini. Selain memilih produk menspad yang nyaman menurut sesama pejuang nol sampah, saya juga masih memilih penjual yang ramah lingkungan yang tidak menggunakan banyak plastik packaging-nya. Berharapnya sih saya bisa dapat penjual yang membungkus produknya dengan kemasan ecogreen. Hehehe.

Sabun mandi dan refill-nya yang biasa saya pakai.
Refuse and Reduce Challenges

Praktik refuse dan reduce ini sejujurnya tidak mulus begitu saja. Banyak juga kendalanya. Kendala pertama saya adalah ketika ada tanggung jawab moral untuk berbelanja di BzM saat ikut kelas bahasa Inggris di Kementerian Pendidikan setiap Selasa malam. Di sini yang dijual makanan berkemasan plastik, notes book, dan gelang karet. Huaaaa…. Semuanya adalah barang-barang yang akan jadi sampah T_T

Finally, saya memutuskan membeli keripik tempe dalam kemasan cukup besar. Rencananya, plastik bungkusnya akan saya pakai ulang untuk menyimpan barang-barang kecil atau sebagai sampul dari salah satu novel di rumah. Honestly, ini pertama kalinya saya merasa sangat bersalah saat membeli jajanan. Huhuhuhu. Di samping itu ada beban psikis juga ketika menolak membeli, karena kelas bahasa Inggris yang saya ikuti ini gratis dan satu-satunya pemasukan para committees untuk menjalankan kelas ini hanya dari BzM. Huhuhuhu. Dear, Commitees…, hopefully one day you sell zero waste product with BzM. Hihihihi xD

Keripik tempe yang dibeli dengan penuh kegalauan XD
Masalah kemasan lainnya berhubungan dengan kebiasaan saya mengonsumsi permen di waktu-waktu tertentu. Biasanya hampir setiap hari bisa mengonsumsi satu permen, tapi karena memulai zero waste life ini saya berusaha kuat untuk tidak mengonsumsi permen. Dan akhirnya, pekan ini saya bolong satu lagi menggunakan kemasan yang berpotensi menjadi sampah, karena saya memakan satu permen yang bungkusnya sampai sekarang saya simpan di dalam tas.

Next challenge adalah saat harus menerima struk kertas dari stasiun kereta karena saya kehabisan saldo di e-money saya dan dari minimarket saat mengisi e-money. Hahaha, ironis sekali contohnya ya. Kalaupun saya tidak menerima atau menolak, struk-struk ini pasti tetap akan jadi sampah di tempat lain kan. Saya berharap sekali setiap tempat transaksi memiliki sistem struk digital melalui email, sehingga tidak perlu kertas-kertas lagi sebagai bukti transaski.

Kejadian lainnya adalah ketika saya kesulitan melakukan finger print untuk presensi di tempat mengajar. Resepsionis kampus spontan memberikan saya selembar tisu untuk saya membersihkan scanner finger print. Untuk menghargai resepsionis ini, saya menerima tisunya tapi menyimpannya di dalam tas untuk dipakai lagi jika besok-besok saja perlu membersihkan scanner finger print. Sekarang, tisu itu sudah dipakai berkali-kali dan sudah sangat lecek. Hehehe.

Berbagai jejak tantangan refuse dan reduce :D
Well, ini baru awalan. Praktik zero waste life masih sangat jauh ke depan. Belajar bersama-sama di kelas intensif Hjrah Nol Sampah membuat saya tidak merasa sendirian. Ada banyak pejuang-pejuang nol sampah yang membersamai saya. Dan melalui tulisan ini, saya juga merasa tidak berjuang sendiri tapi bisa berbagai susah senangnya menjalankan hidup nol sampah.

@fatinahmunir | 17 Agustus 2018

Merdeka Indonesia!
Merdeka tanpa sampah!
17 August 2018
Posted by Fatinah Munir

Zero Waste Life Journey: 5R’s Concept




Zero Waste Life Journey
5R’s Concept

Buat kebanyakan orang, termasuk saya, hidup tanpa sampah yang terlintas pertama kali adalah tidak membuang sampah seenaknya atau sembarangan dan harus pandai mendaur ulang sampah. Tapi ternyata pemikiran ini salah besar. Hidup nol sampah bukan hanya tentang mendaur ulang sampah-sampah menjadi lebih berguna. Ada beberapa tahapan yang jauh lebih penting dan semestinya kita lakukan terlebih dahulu sebelum ke tahap mendaur ulang. Beberapa tahapan ini menjadi start point atau prinsip paling yang mendasari hidup nol sampah. Prinsip ini bernama 5R’s (Five R’s) yang merupakan singkatan dari Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, and Rot atau dalam bahasa Indonesia berarti Menolak, Mengurangi, Memakai Ulang, Mendaur Ulang, dan Mengomposkan.

Saya kurang tahu siapa yang mencanangkan 5R’s Concept ini, tapi sumber paling lama yang saya temukan ada tulisan pada 2011 lalu di blog www.zerowastehome.com, milik seorang zero waste life mother bernama Bae Johnson. 5R’s Concept ini merupakan cara hidup nol sampah yang dilakukan secara berurutan, mulai dari langkah paling awal hingga paling paling tinggi. Jadi, 5R’s Concept ini dilakukan seara berurutan.

REFUSE what you do not need. TOLAK yang tidak dibutuhkan.
REDUCE what you do need. KURANGI yang dibutuhkan.
REUSE by using resuables. PAKAI ULANG barang-barang yang bisa dipakai ulang.
RECYCLE what you can not refuse, reduce, and reuse. DAUR ULANG yang tidak bisa ditolak, dikurangi, dan dipakai ulang.
ROT the rest. KOMPOSKAN sisanya.

Dari ilustrasi 5R's ini terlihat kalau semakin kita menerapkan 5R's ke tahap Rot (pengomposan), jumlah sampah yang kita miliki semestinya semakin sedikit.
Refuse, menolak yang tidak dibutuhkan adalah menolak untuk membeli, menerima, dan menggunakan berbagai macam hal yang berpotensi menjadi sampah. Dengan menolak barang dan jasa yang berpotensi menghasilkan sampah, maka kita sudah mulai menginjak tahap pertama hidup nol sampah. Beberapa hal yang bisa kita lakukan misalnya, menolak menggunakan barang berbahan plastik kemasan sekali pakai, menolak menggunakan banyak kertas, termasuk menolak produk-produk gratisan atau hadiah yang sebenarnya tidak betul-betul dibutuhkan.

Reduce, mengurangi yang dibutuhkan adalah mengurangi konsumsi kita. Artinya adalah menggunakan barang-barang yang benar-benar dibutuhkan, tidak impulsif dalam menggunakan dan membeli barang. Sehingga semakin sedikit barang yang kita gunakan maka semakin sedikit pula sampah yang akan kita hasilkan. Untuk menerapkan reduce ini kita bisa memulai dengan mematangkan rencana pembelanjaan sehingga tidak ada barang yang dibeli tanpa rencana, mengurangi mengonsumsi makanan yang dibeli instan atau fast food di luar rumah, dan jika memungkinkan menggunakan atau membeli barang bekas atau second hand untuk mengurangi sampah produksi.

Reuse, memakai ulang barang-barang yang bisa dipakai ulang. Contoh kecil dari tahap reuse adalah dengan menggunakan kembali plastik-plastik yang ada di rumah untuk berbelanja hingga plastik-plastik tersebut benar-benar tidak bisa digunakan kembali. Atau menggunakan saputangan atau handuk kecil yang bisa dipakai berulang kali sebagai pengganti tisu. Contoh lainnya adalah menggunakan botol minum yang bisa dipakai berkali-kali.

Recycle, mendaur ulang barang-barang yang tidak bisa ditolak, dikurangi, dan dipakai ulang. Misalnya kita bisa memeriksa barang-barang yang kita punya dan sekiranya sudah tidak bisa lagi digunakan. Lalu menggunakan barang-barang tersebut dengan fungsi berbeda. Misalnya menggunakan kaos bekas yang tidak mungkin dipakai atau disumbangkan untuk menjadi lap dapur atau dijahit menjadi tas belanja. Atau bisa juga menggunakan kantung-kantung plastik yang sudah ada di rumah menjadi pengganti benang rajut dan merajutnya menjadi tas seperti yang dilakukan Teh Ncie di projek Merajut Indonesia miliknya.

Rot, mengkomposkan sisanya atau sampah-sampah organik yang tidak bisa didaur ulang. Untuk komposing ini sendiri ada banyak sekali ilmunya yang akan harus dipelajari. Selain itu, karena banyak sistem pengomposan maka kita harus menemukan sistem pengomposan yang cocok dengan konsisi dapur dan rumah kita.

Sekali lagi, dalam pelaksanaannya 5R's ini harus dilakukan secara berurutan. Jadi kita harus bisa refuse (menolak), reduce (mengurangi), dan reuse (memakai ulang) barang di sekitar kita terlebih dahulu. Barulah barang-barang yang berpotensi menjadi sampah dan tidak bisa melawati tiga tahapan di atas dapat kita recycle (daur ulang). Sisanya, sampah-sampah organik yang tidak bisa didaur ulang bisa kita komposkan. So, jika 5R's ini diterapkan dengan konsisten maka jumlah sampah rumah tangga yang kita miliki untuk dibuang ke TPA pada akhirnya akan sangat sedikit.

Melakukan 5R’s hingga tahap pengomposan memang tidak mudah dan tidak harus ke tahap itu dengan cepat. Butuh proses untuk menuju tahap paling tinggi ini dan yang terpenting adalah kita bahagia menjalankannya. So, mari ikut hidup nol sampah!

Referensi:
www.zerowastehome.com
Kelas Intensif Hijrah Nol Sampah, Institut Ibu Profesional

@fatinahmunir | 17 Agustus 2018



Posted by Fatinah Munir

Zero Waste Life Journey: Mindfulness, Persiapan Hijrah Nol Sampah



Zero Waste Life Journey
Mindfulness, Persiapan Hidup Nol Sampah

Setelah merencanakan beberapa langkah pertama untuk memulai zero waste life, langkah selanjutnya adalah belajar tentang praktik baik nol sampah. Tapi sebelum praktik langsung hidup nol sampah, ada dua langkah persiapan yang harus dilakukan.

Pertama adalah mencari alasan terkuat yang membuat kita memilih hidup nol sampah. Harus ada alasan yang akan mengingatkan kita untuk tetap konsisten dengan pilihan ini. Di samping itu, alasan kuat kita bisa dijadikan bagian dari strategi mengajak orang lain untuk ikut hidup nol sampah. Alasan ini juga sebaiknya dituliskan dan ditempel di berbagai tempat yang akan sering kita lihat. Jika hal pertama ini sudah kita lakukan, selanjutnya adalah tentang hal paling fundamental untuk memulai zero waste life.

Buat saya pribadi, alasan terkuat saya hijrah ke hidup nol sampah adalah prinsip mindfulness yang saya punya. Mindfulness atau kesadaran dan kehati-hatian adalah prinsip hidup saya. Maksudnya adalah setiap yang saya lakukan dalam hidup ini harus didasari oleh kesadaran dan kehati-hatian pada sekitar saya, pada orang dan lingkungan saya. Saya berusaha untuk tidak merusak, menyusahkan, mengganggu, dan menyepelekan sekitar saya. Maka mindfulness atas menjaga lingkungan untuk kebaikan jangka panjang kehidupan di atas bumi ini melalui zero waste life adalah alasan terkuat saya.

Mindfulness ini biasanya saya tuliskan di tempat wallpaper hape dan laptop dan saya tempel di meja mengajar. Tulisan mindfulness-nya sendiri saya ambil dari www.unsplash.com.

Di samping itu, sebagai seorang muslimah, agama saya melarang untuk berbuat kerusakan di bumi. Setidaknya ada 26 ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan kerusakan di bumi. Di setiap ayat tersebut berisi keterangan bahwa manusialah yang sering kali berbuat kerusakan di bumi karena kerakusan dan rasa tidak bersyukur mereka. Melalui pilihan hidup nol sampah ini saya berharap untuk semaksimal mungkin bisa menjadi muslimah yang tidak berbuat kerusakan di atas bumi ini. Lebih jauh lagi, dengan menerapkan hidup nol sampah saya berharap tidak hanya bisa membantu menjaga lingkungan tetapi juga bisa meninggalkan jejak-jejak kebaikan yang bisa ditiru oleh banyak orang.

Sumber: www.unsplash.com
Kedua adalah refleksi sampah yang dihasilkan diri sendiri. Di sini saatnya kita berintrospeksi diri sampah-sampah apa saja yang selama ini banyak kita hasilkan. Caranya bisa dengan memeriksa sampah-sampah rumah tangga yang ada di rumah dan melihat sampah jenis apa yang paling banyak kita hasilkan.

Di rumah saya, karena kami berasal dari keluarga pedagang makanan maka sampah rumah tangga yang paling banyak kami hasilkan adalah dari produksi makanan yang akan dijual. Misalnya kulit bawang, tulang ayam, dan kulit telur, dan plastik-plastik belanja bahan-bahan untuk berjualan. Sedangkan sampah saya pribadi, yang paling banyak adalah sampah kertas. Entah itu kertas memo, notes untuk mencatat jadwal, atau untuk mencatat ide-ide tulisan.

Saya pikir akan susah kalau saya memulai dari dapur yang notabene bukan wilayah kekuasaan saya di rumah, karena kakak pertama dan ibu saya yang mengelola dagangan dan dapur. Jadi saya putuskan untuk memulai semuanya dari diri saya sendiri terlebih dulu, yakni dengan mengurangi sampah kertas.

Selanjutnya adalah melihat barang-barang yang saya pakai dan berpotensi menjadi sampah. Ada dua barang yang saya punya yang pastinya akan menjadi sampah, yaitu notes kecil untuk mencatat beberapa hal yang saya khawatir akan lupa dan tisu kemasan travel pack. Jadi, saya mencoba untuk tidak menggunakan kertas notes terlalu banyak dan sepenuhnya meninggalkan tisu.
Ini baru persiapannya zero waste life, belum mulai mempraktikkannya. Semoga istiqomah untuk seterusnya. Aamiin.

@fatinahmunir | 17 Agustus 2018

Posted by Fatinah Munir

Zero Waste Life Journey: Diet Sampah Ala Lisfah



Zero Waste Life Journey
Diet Sampah Ala Lisfah

Setelah tahu kemana perginya sampah kita, terus bagaimana dong?

Ya sudah sih, itukah udah bukan tugas kita. Itu udah bagiannya pemerintah.

Sudah ada petugas khusus yang akan mengelola sampah. Kamu kan pendidik, sampah itu urusannya ahli pengelolaan limbah dan aktivis lingkungan.

Ngapain sok mikirin sampah? Sudah, urusin aja diri sendiri dan belajar perbaiki diri sendiri aja dulu sebelum memperbaiki sampah-sampah.

Nah, biasanya yang seperti ini nih tanggapan yang akan didapat. Memang saya pendidik, dari  keluarga pedagang, pastinya tidak punya kapabilitas untuk bicara soal lingkungan. Betul juga, kita tidak perlu terlalu mengurus hal yang bukan bidang kita dan lebih baik memperbaiki diri sendiri.

Tapi justru melalui sampah ini saya jadi tersadar untuk memperbaiki diri sendiri. Lebih tepatnya belajar untuk lebih memikirkan apakah selama ini saya secara tidak sadar juga turut berkontribusi dalam kerusakan alam. Dari sinilah saya mulai untuk belajar diet sampah. Kalau saya baca dan menonton video dari berbagai referensi, begitu banyak PR yang harus dilakukan untuk memulai memperbaiki diri menuju the real zero waste life. Terlebih lagi keluarga saya pedagang makanan dan pasti banyak sampah rumah tangga yang kami hasilkan. Oleh sebab itu, sebagai langkah awalnya saya mencoba diet sampah dari diri saya sendiri.

Diet sampah ala saya sebenarnya tidak terlalu banyak. Saya hanya memulai dengan hal-hal sederhana yang sekiranya membuat saya menghasilkan banyak sampah. Beberapa hal di bawah ini adalah cara saya diet sampah sebagai newbie dalam zero waste life.

NO kantung plastik, YES tas belanja sendiri. Saya akan mencoba tidak menggunakan kantung plastik untuk belanja dan menggunakan tas belanja sendiri. Untuk kantung-kantung plastik yang tidak bisa dihindari, saya dan keluarga memang terbiasa menyimpan kantung-kantung plastik tersebut untuk dipakai berulang kali hingga kantung plastik tersebut benar-benar tidak bisa dipakai, seperti rusak atau robek.

NO minuman kemasan, YES botol minum sendiri. Memulai zero waste life dnegan tidak membeli minuman kemasan adalah hal yang paling perlu dilakukan diri saya sendiri. Sebagai gantinya, saya akan membawa botol minum setiap kali keluar rumah, sehingga akan mengurangi frekuensi saya membeli air minum kemasan.

NO makanan kemasan plastik, YES wadah makan sendiri atau membeli jumlah kiloan. Sejak bertekad hidup dengan nol sampah, saya juga mulai merencanakan untuk tidak membeli makanan atau camilan dalam kemasan plastik. Saya mencoba menggunakan wadah makan sendiri setiap ingin membeli makanan dan membawa tempat makan kosong saat berpergian. Membawa makan siang dan camelin dari rumah juga menjadi salah satu usaha untuk menghalangi saya membeli makanan kemasan plastik di luar rumah.

NO tisu, YES saputangan. Mengganti tissue dengan saputangan menjadi salh satu langkah utama untuk menerapkan zero waste life. Saya pikir bagian ini yang paling mudah, karena saya baru mengenal menggunakan tissue saat bekerja beberapa tahun ini.

NO pembalut sekali pakai, YES pembalut cuci pakai. Hal yang satu ini agak berat buat saya, karena ini masih perencanaan dan saya belum pernah melakukannya. Rencananya, insya Allah di bulan ini saya akan memulai menggunakan pembalut cuci pakai sebagai pengganti pembalut sekali pakai. Saat ini, saya sedang mencoba mengobservasi produk-produk pembalut cuci pakai yang sekiranya cocok dengan saya.

NO gampang membuang barang, YES reuse dan recycling barang yang tidak terpakai. Untuk langkah yang satu ini, sebenarnya sudah menjadi kebiasaan saya. Berbagai hal yang saya punya biasanya akan saya pikirkan berulang kali sebelum saya buang. Biasanya beberapa barang bahkan saya alihkan fungsinya atau saya daur ulang menjadi barang-barang yang bisa saya pakai sendiri.

Terakhir dan paling penting adalah NO hidup nol sampah sendirian, YES ajak teman-teman untuk ikut hidup nol sampah. Yang ini saya pikir tidak kalah menantangnya dibandingkan langkah-langkah awal di atas. Butuh semangat yang besar untuk mengajak orang lain ikut hidup nol sampah dan butuh ekspektasi yang tidak besar juga saat menyampaikannya agar tidak mudah putus asa saat orang yang diajak justru cuek atau tidak peduli.

Begitulah cara saya diet sampah sebagai langkah awal untuk memulai hidup nol sampah. Tidak mudah, tapi tetap harus dilakukan bertahap dan perlahan. Harus dinikmati agar setiap prosesnya dilewati dengan hati yang bahagia. Akan banyak barang bawaan saat berpergian pastinya, tapi dapat dipastikan juga tidak ada jejak-jejak sampah yang akan saya tinggalkan. Inilah awal mula refleksi diri saya untuk ikut kontribusi menjaga lingkungan, demi kehidupan anak cucu saya di masa depan yang terjaga.

Kita memang tidak bisa mengubah dunia, tapi kita bisa mengubah diri kita untuk mengubah dunia. Cukup lihat diri kita. Refleksikan kesalahan yang selama ini kita lakukan kepada diri dan sekitar. Lalu lakukan perubahan kepada kita hingga diri kita tidak hanya menjadi baik untuk diri sendiri, tetapi juga untuk dunia.

@fatinahmunir | 17 Agustus 2018

Posted by Fatinah Munir

Zero Waste Life Journey: Kemana Perginya Sampah Kita?





Zero Waste Life Journey
Kemana Perginya Sampah Kita?

Saat rumah sudah bersih, kinclong, wangi, tanpa sampah, pernahkah terpikirkan kemana sampah-sampah kita pergi? Sampah-sampah yang sudah enyah dari mata kita dan seolah-olah hilang semua masalah tentang sampah, tapi ternyata di sanalah permasalahannya bermula.

Di rumah saya, semua sampah dijadikan ke dalam satu kantung yang sama. Sampah di dapur, semuanya dimasukkan dalam satu kantung. Di setiap kamar, semua sampah dimasukkan kantung. Di teras ataupun di kamar mandi, sampah juga masuk dalam satu kantung. Kantung-kantung sampah tersebut akan disetorkan ke petugas sampah dua kali seminggu dalam kantung-kantung yang diikat kencang. Begitu saja. Sangat mudah. Kami tinggal membayar uang iuran sampah tiap bulan dan sampah-sampah itu sudah hilang dari pandangan mata.

Sampah dari rumah-rumah yang ada di perkampungan saya biasanya akan diangkut juru sampah setiap dua pekan sekali. Kemudian para juru sampah akan menunggu sebuah truk sampah yang akan mengangkut sampah-sampah ini ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Bantar Gebang, Bekasi.

Jika sampah-sampah ini tidak langsung dibawa ke TPA, sampah-sampah ini akan singgah di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang lokasinya sekitar 15-20 menit berjalan kaki dari rumah saya. Lokasinya tepat di sisi bantaran kali Banjir Kanal Barat, di belakang Stasiun Tanah Abang. Lokasi TPS ini berdekatan dengan pasar tradisional yang cukup besar di perkampungan saya dan tepat bersebelahan dengan area main anak. Bahkan ada area main anak lainnya yang tidak berjarak jauh dari TPS ini.

Terbayangkah bagaimana jadinya pasar yang sudah kotor berdekatan dengan TPS? Apakah makanan yang dijual di pasar itu cukup sehat untuk dikonsumsi? Yang paling memprihatinkan adalah tempat main anak yang bersebelahan dengan tumpukan sampah. Terbayangkah bagaimana anak-anak bermain jungkat-jungkit, berkumpul dengan anak-anak sebayanya sambil makan disuapi orang tuanya, dan semua itu dilakukan berdekatan dengan tumpukan sampah yang pasti berbau tidak sedap? Apakah tumbuh kembang anak akan maksimal jika lingkungannya seperti ini?

Untuk beberapa warga di perkampungan saya tinggal yang enggan membayar iuran sampah kepada para juru sampah, biasanya mereka akan memilih membuang sampah di kali Banjir Kanal Barat. Meskipun telah ada petugas yang beroperasi membersihkan maupun berjaga di waktu-waktu tertentu, para warga ini tetap membuang sampah secara diam-diam di waktu-waktu sepi seperti tengah malam atau di pagi buta. Efeknya, kali yang sudah dibersihkan oleh pemerintah dan diperindah dengan mural-mural, tetap terlihat kotor dan banyak sampah yang menggenang terbawa arus.

Kali Banjir Kanal Barat yang dijadikan tempat membuang sampah untuk beberapa warga
Dokumentasi pribadi

Tempat Pembuangan Sampah Sementara di tepi kali Banjir Kanal Barat
Dokumentasi pribadi

Lokasi Tempat Pembuangan Sampah yang bersebelahan dengan teman bermain anak
Dokumentasi pribadi
Lihatlah, ternyata sampah-sampah ini tidak hilang begitu saja. Masih panjang petualangan sampah-sampah ini. Ada yang melanjutkan perjalanan melalui tangan pemulung hingga ke pengepul untuk dijual kembali. Ada yang berakhir di Bank Sampah untuk dikelola menjadi barang yang lebih berharga. Dan yang paling banyak adalah yang berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Bantar Gebang, Bekasi, menjadi gunungan plastik.

Kalau dari hasil membaca sana-sini, 70% sampah yang ada ternyata sampah rumah tangga, sampah organik yang sebenarnya bisa membusuk dan bermanfaat jika dikelola dengan baik. Hanya 30% sampah yang tidak bisa diurai. Jadi idealnya yang 30% ini saja sampah yang masuk ke TPA dan sisanya adalah sampah-sampah yang bisa dikelola lagi, dimanfaatkan lagi. Ini mah idelanya ya. Tapi tidak ada yang seideal ini di Indonesia, untuk saat ini.

Lalu bagaimana nasib sampah-sampah yang kita buang dari rumah. Kalau di rumah saya, biasanya sampah-sampah ini akan langsung diangkut oleh truk sampah setelah dijemput dari rumah ke rumah oleh juru sampah. Jika belum dijemput oleh truk sampah, sampah-sampah ini ditempatkan di pembuangan sementara. Tempat pembuangan sementara ini di sekitar Stasiun Tanah Abang, dekat pasar, tepatnya di pinggiran Kali Banjir Kanal Barat. Di situ ada truk-truk sampah yang akan mengangkut sampah-sampah ini ke TPA. Lalu diapakan sampah-sampah di TPA?

Sejujurnya saya belum tahu persis akan diapakan sampah-sampah kita di TPA ini. Pernah sekali saya ke Bantar Gebang mengunjungi anak-anak perkampungan sana, ternyata jumlah sampahnya sudah seperti gunungan. Benar-benar seperti bukit-bukit Teletubies yang saya tonton saat kecil. Bedanya, bukit ini tidak hijau. Bukit-bukit ini hitam dan bau, lebih-lebih baunya jika sudah masuk musim hujan.

Itu baru sampah-sampah di rumah yang dibuang melalui bantuan juru sampah, belum lagi sampah-sampah yang dibuang sembarangan di pinggir jalan, di kali dan sungai, atau di tempat-tempat wisata alam. Beberapa video dari YouTube Channel aktivis lingkungan di Indonesia ataupun luar negeri bahkan menunjukkan bahwa semakin banyak sampah di lautan. Diprediksikan 2050 nanti jumlah sampah di lautan akan lebih banyak dibandingkan jumlah ikan-ikannya? Lah terus anak cucu saya makan apa dong nanti? Huaaaa T_T

Ini bukan sekadar prediksi sebenarnya, tapi data dan hasil penelitian. Bahkan sekarang sudah banyak foto-foto dari penyelam di perairan Indonesia yang menunjukkan hewan-hewan yang terkena dampak dari sampah-sampah di lautan ini. Mulai dari kuda laut yang berenang dengan cotton but, anjing laut yang mati karena terikat tali plastic, atau kura-kura yang hidungnya tersumbat sampah.

See! Efek buruk dari sampah bukan hanya banjir di musim hujan, tetapi hampir ke pada seluruh makhluk hidup yang ada di atas bumi. Mulai dari tanah dan tumbuhan hingga hewan-hewan di lautan. Hanya tinggal menunggu hitungan waktu hingga manusia juga mengalami dampak terburuk dari sampah yang kita abaikan selama ini. Dan yang paling dekat dengan dampak buruk sampah ini, mungkin bukan lagi kita yang hidup di masa kini melainkan anak cucu keturunan kita nanti.

Anjing laut yang mati karena terlilit sampah tali.
Sumber: Google image

Kura-kura yang hidungnya tersumbat sampah

Kura-kura yang pertumbuhan cangkangnya terganggu karena terlilit plastik sampah
Sumber: Google image
Sebagai contohnya, salah satu video berjudul Ocean of TheFuture yang saya tonton menggambarkan nasib anak-anak di masa depan saat melihat tampilan lautan dunia melalui tempat wisata edukasi. Di sini anak-anak tidak lagi melihat beraneka ragam species makhluk hidup di lautan, tetapi anak-anak hanya bisa melihat beragam jenis sampah di lautan.

Masalah plastic bukan hanya masalah negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan negara maju seperti Indonesia pun memiliki masalah sampah yang membuat lautannya menjadi lautan sampah, seperti yang disebutkan di dalamnya adalah lautan Karibia yang sudah terisi oleh pulau-pulau sampah.

So, sampah ini bukan masalah yang bisa kita anggap remeh. Mungkin bukan sekarang dampak besarnya, tetapi puluhan tahun ke depan di masa anak-anak dan cucu-cucu kita menjadi generasi yang produktif, di saat itulah sampah menjadi masalah besar yang sudah sangat terlambat untuk diatasi.

@fatinahmunir | 14 Agustus 2018
14 August 2018
Posted by Fatinah Munir

Review NHW MIIP #9: Berubah Atau Kalah



Berubah Atau Kalah

Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah termasuk orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka. – HR Hakim.

Berubah adalah sebuah keniscayaan bagi kita semua, karena kalau kita tidak pernah berubah, maka sejatinya kita sudah mati. Maka dengan membaca Nice Homework #9 ini, kami bangga dengan banyaknya ide-ide perubahan yang sudah teman-teman tuangkan dalam tulisan. Kebayang tidak, andaikata dari seluruh peserta matrikulasi Ibu Profesional ini menjalankan langkah pertama perubahan yang sudah dituangkan dalam ide-ide di NHW #9, akan muncul berbagai perubahan kecil dari setiap lini kehidupan.

Andaikata hanya 10% saja yang berhasil menjadikan ide perubahan ini menjadi sebuah gerakan nyata, maka sudah ada sekitar 100 lebih perubahan kecil menjadi gerakan-gerakan positif baru yang memicu munculnya perubahan besar. Untuk itu kita perlu mencari yang namanya tipping point agar perubahan-perubahan yang kita lakukan bisa memberikan impact perubahan yang besar.

The tipping point: the point at which a series of small changes or incidents becomes significant enough to cause a larger, more important change. –Malcolm Gladwell

Tipping point adalah titik di mana usaha-usaha kecil yang dilakukan berakumulasi menjadi satu hal besar yang cukup signifikan untuk dianggap sebagai perubahan. Istilah tipping point sudah lama digunakan dalam bidang sosiologi, tapi baru populer setelah dibahas secara mendalam oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya yang berjudul The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference.

Tidak perlu orang banyak untuk menyukseskan gerakan yang akan bunda lakukan. Kalau bisa dengan suami dan anak-anak sebagai satu tim, itu sudah cukup. Namun apabila tidak memungkinkan, maka temukan beberapa orang yang satu visi dengan bunda, meski dengan misi yang berbeda-beda, pasti akan bertemu.

Dalam ekonomi, ada Pareto Rule yang menyatakan bahwa 80% dari pekerjaan yang ada sebenarnya diselesaikan hanya oleh 20% orang, yang berarti gerakan kita harus punya 20% orang spesial ini untuk bisa mencapai tipping point. Di bukunya, Gladwell mengupas tentang tiga jenis orang yang menentukan kesuksesan adopsi sebuah ide atau gerakan.

Connector

Connector adalah mereka dengan kemampuan bersosialisasi luar biasa yang bisa menghubungkan orang dari berbagai bidang. Sepanjang yang kami tahu, suatu gerakan bisa jadi besar kalau bisa merangkul banyak orang untuk berkolaborasi. Inilah mengapa kita perlu tipe-tipe connector di komunitas atau gerakan apa pun. Mereka adalah jenis orang yang secara natural selalu percaya diri untuk lebur dan bersosialisasi. Tidak hanya sekadar gaul dan kenal banyak orang,  connector juga harus punya sensitivitas untuk bertanya. “Siapa, ya, yang saya kenal yang bisa membantu gerakan ini?”atau “Bagaimana cara menghubungkan si A dari bidang ini dan si B dari bidang itu untuk berkolaborasi?”

Maven

Maven adalah mereka dengan pengetahuan sangat luas yang senang mengakumulasi informasi dan membagikannya. Bisa dibilang maven adalah orang-orang yang sangat senang belajar. Tidak hanya jadi nerd yang menyimpan semua ilmunya sendiri, maven senang membagikan temuan-temuan barunya kepada orang lain. Orang-orang seperti maven yang punya antusiasme dalam berbagi bisa menarik orang-orang ke sebuah gerakan, melalui api mereka dalam menyebarkan insight bermanfaat.

Salesman

Salesman, tentu, adalah mereka yang punya kemampuan persuasi luar biasa. Salesmen tentu saja dibutuhkan untuk “menjual” apa sebenarnya misi yang dibawa, dengan kemampuan mempersuasinya yang sangat hebat. Tanpa berniat menjual pun, orang-orang yang gifted sebagai salesman selalu bisa bikin orang tertarik dengan apa pun yang dibicarakannya.

Kebanyakan dari sebuah gerakan memiliki kemampuan salesman, tapi tidak punya connector dan maven untuk mengimbangi. Maka sejatinya kita perlu 3 orang saja di awal membangun sebuah gerakan perubahan di sekitar kita, ada salesman yang bisa menjual gagasan kita ke pihak lain, ada connector yang berpikir strategis untuk menghubungkan pihak A dan B, serta maven yang pintar dan senang berbagi.

Setiap orang punya tipping point. Titik di mana persepsi, kebiasaan, bahkan hidup seseorang berubah secara mendadak, dan efeknya cukup dahsyat terhadap kehidupan kita semua. Oleh sebab itu, tipping point bukan titik balik, melainkan titik perubahan. Ia merupakan titik kritis dari kondisi A ke kondisi B.

Selamat berkolaborasi untuk menemukan tipping point teman-teman semua dengan ide-ide perubahan yang sudah dituangkan dalam bentuk NHW#9

Lihatlah potensi kekuatan di keluarga kita terlebih dahulu, baru merambah ke luar.

Salam Ibu Profesional,
Tim Matrikulasi Ibu Profesional.

Sumber bacaan:

Malcolm Gladwell, Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference, 2000
Materi Matrikulasi sesi #9, Ibu Sebagai Agen Perubahan, 2018
Hasil Nice Homework #9 para peserta matrikulasi Ibu Profesional batch #4, 2018
Posted by Fatinah Munir

NHW MIIP #9: Bunda Sebagai Agen Perubahan



Bunda Sebagai Agen Perubahan

Bunda, kalau sudah menemukan passion (ketertarikan minat ) ada di ranah mana, mulailah lihat isu sosial di sekitar bunda, maka belajar untuk membuat solusi terbaik di keluarga dan masyarakat.
Rumus yang dipakai adalah PASSION + EMPHATY = SOCIALVENTURE.

Socialventure adalah suatu usaha yang didirikan oleh seorang social enterpreneur baik secara individu maupun organisasi yang bertujuan untuk memberikan solusi sistemik untuk mencapai tujuan sosial yang berkelanjutan. Sedangkan social enterpreneur adalah orang yang menyelesaikan isu sosial di sekitarnya menggunakan kemampuan enterpreneur. Sehingga bunda bisa membuat perubahan di masyarakat diawali dari rasa emphaty, membuat sebuah usaha yang berkelanjutan diawali dengan menemukan passion dan menjadi orang yang merdeka menentukan nasib hidupnya sendiri.

Hal ini akan membuat kita bisa menyelesaikan permasalahan sosial di sekitar kita dengan kemampuan enterpreneur yang kita miliki, sehingga untuk melakukan perubahan tidak perlu menunggu dana dari luar, tapi cukup tekad kuat dari dalam. Mulailah dari yang sederhana, lihat diri kita, apa permasalahan yang kita hadapi selama ini. Apabila kita bisa menyelesaikan permasalahan kita dan membagikan sebuah solusi, bisa jadi ini menjawab permasalahan yang dihadapi oleh orang lain. Karena mungkin banyak di luar sana yang memiliki permasalahan yang sama dengan kita.
Setelah selesai dengan permasalahan kita sendiri, baru keluar melihat isu sosial yg ada di sekitar kita.
Bagaimana caranya? Buatlah table dengan tiga kolom yang berisi rumusan  PASSION,  EMPHATY , SOCIALVENTURE.

Selamat menjadi agen perubahan!

Everyone is a Changemaker
(Setiap orang adalah agen perubahan)

Salam Ibu Profesional
Tim Matrikulasi Ibu Profesional

Untuk menjawab tantangan kali ini, saya membuat draf saya sendiri terkait passion, emphaty, dan socialventure yang akan saya buat.

PASSION saya ada pada ​pendidikan autisme dan inklusi, literasi dengan hard skill dan soft skill​menulis juga mengajar.

EMPHATY yang saya punya berkaitan dengan social issue  ​penolakan pada anak berkebutuhan khusus (bully, takut mendekat atau didekati), anggapan disabilitas sebagai penyakit. Dampaknya anak berkebutuhan khusus kekurangan akses di lingkungan, sulit terlibat dalam lingkungan umum, dan sulit mandiri karena minim dukungan masyarakat. Maka sebagai sasaranya, saya membidik ​seluruh masyarakat awam, orang tua anak berkebutuhan khusus, dan guru umum.

SOCIALVENTURE yang saya buat adalah ​mensosialisasikan kedisabilitasan kepada masyarakat umum melalui platform media sosial, memberikan informasi dan bimbingan kepada orang tua anak berkebutuhan khusus dan guru umum. Ide ini terwujud dalam bentuk komunitas
bernama Kitainklusi.

Alhamdulillah, projek ini sedang berjalan dan sedang berproses untuk terus menjadi lebih baik agar bisa lebih bermanfaat buat masyarakat lebih luas. Kitainklusi ini bisa diakses melalui instagram @kitainklusi dan wesite www.kitainklusi.com. Berbagai pertanyaan mengenai kedisabilitasan bisa diajukan melalui email kitainklusi@gmail.com atau via DM instagram @kitainklusi.

@fatinahmunir | Jakarta, 14 Agustus 2018



Posted by Fatinah Munir

MIIP #9: Bunda Sebagai Agen Perubahan



Bunda Sebagai Agen Perubahan


Perempuan khususnya seorang ibu adalah instrumen utama yang sangat berperan sebagai agen perubahan. Dari sisi individu untuk menjadi agen perubahan adalah hak semua orang tidak berbatas gender. Karena semua memiliki potensi dasar yang sama berupa akal, naluri, dan kebutuhan fisik. Sedangkan dalam konteks masyarakat, keberadaan ibu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan keluarga, dimana keduanya memiliki porsi prioritas yang sama.

Keberadaan Ibu di masyarakat akan meningkatkan kualitas pendidikan keluarga di rumah, demikian juga pendidikan keluarga di rumah akan memberikan imbas positif pada peningkatan kualitas masyarakat. Maka berkali-kali di Ibu Profesional kita selalu mengatakan betapa pentingnya mendidik seorang perempuan itu. Karena mendidik satu perempuan sama dengan mendidik satu generasi.

Maka apabila ada satu ibu membuat perubahan akan terbentuk perubahan satu generasi yaitu generasi anak-anak kita. Luar biasa kan impactnya.

Darimanakah mulainya? Kembali lagi, kita harus memulai perubahan di ranah aktivitas yang mungkin menjadi misi spesifik hidup kita. Kita harus paham jalan hidup kita ada dimana. Setelah itu baru menggunakan berbagai cara menuju sukses.

Setelah menemukan jalan hidup, segera lihat lingkaran pertama Bunda, yaitu keluarga. Perubahan-perubahan apa saja yang bisa kita lakukan untuk membuat keluarga kita menjadi Change Maker Family. Mulailah dengan perubahan-perubahan kecil yang selalu konsisten dijalankan. Hal ini untuk melatih keistiqomahan kita terhadap sebuah perubahan. Karena sejatinya amalan-amalan yang dicintai adalah amalan yang langgeng ( terus menerus) walaupun sedikit. 

Kalau di Jepang mereka mengenal pola Kaizen (Kai = perubahan, Zen = baik). Kaizen adalah suatu filosofi dari Jepang yang memfokuskan diri pada pengembangan dan penyempurnaan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Setelah terjadi perubahan-perubahan di keluarga kita, mulailah masuk lingkaran kedua yaitu masyarakat /komunitas sekitar kita. Lihatlah sekeliling kita, pasti ada misi spesifik Allah menempatkan kita di RT ini, di Kecamatan ini, di kota ini, atau di negara ini. Lihatlah kemampuan Bunda, mampu di level mana. Maka jalankan perubahan-perubahan tersebut, dari hal kecil yang kita bisa.

Start From The Emphaty

Inilah kuncinya. Mulailah perubahan di masyarakat dengan membesarkan skala perubahan yang sudah kita lakukan di keluarga, sehingga aktivitas kita di masyarakat tidak akan bertabrakan dengan kepentingan keluarga. Bahkan akan saling mendukung dan melengkapi.

Setelah emphaty maka tambahkan passion, hal ini akan membuat kita menemukan banyak sekali solusi di masayarakat.

Keluarga tetap nomor pertama, ketika bunda aktif di masyarakat dan suami protes, maka itu warning lampu kuning untuk aktivitas kita, berarti ada yang tidak seimbang. Apabila anak yang sudah protes, maka itu warning keras, lampu merah. Artinya bunda harus menata ulang tujuan utama kita aktif di masyarkat.

Inilah indikator bunda shalehah, yaitu bunda yang keberadaannya bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan lingkungan sekitarnya. Sehingga sebagai makhluk ciptaan Allah, kita bisa berkontribusi kebermanfaatan peran kita di dunia ini dengan rasa tentram.

Salam,
Tim Matrikulasi IIP

Sumber Bacaan :
Masaaki Ima, Kaizen Method, Jakarta , 2012
Ashoka Foundation, Be a Changemaker: Start from the Emphaty, 2010
Materi-materi hasil diskusi keluarga bersama Bapak Dodik Mariyanto, Padepokan Margosari, 2016
Video di https://youtu.be/tDKZAKpH-GI


Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -