Archive for January 2018

NHW #1: Adab Menuntut Ilmu

   
Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, setelah kami menjalankan kelas dan diskusi materi pertama mengenai adab menuntut ilmu, kini saatnya fasilitator kami, Mbak Trisa memberikan tugas yang dirancang oleh Tim Matrikulasi Institute Ibu Profesional. Oh iya, untuk resume kelas dan diskusi materinya ada di sini.

Tugas ini kita namakan NICE HOMEWORK dan disingkat menjadi NHW. Berhubung ini adalah tugas perdana, maka saya memberikan judul NHW #1. Ada beberapa pertanyaan yang harus kami jawab dalam bentuk tulisan, gambar, atau mind map. Karena saya suka menulis, maka saya memutuskan untuk mengerkajan NHW #1 dalam bentuk tulisan dan diposting di blog ini dengan harapan apa yang saya tuliskan bisa lebih bermanfaat untuk yang membacanya. Nah, berikut ini adalah pertanyaan dari NHW #1 di kelas matrikulasi kami :

Tentukan satu jurusan ilmu yang akan Anda tekuni di universitas kehidupan ini?

Alasan terkuat apa yang anda miliki sehingga ingin menekuni ilmu tersebut

Bagaimana strategi menuntut ilmu yang akan Anda rencanakan di bidang tersebut?

Berkaitan dengan adab menuntut ilmu, perubahan sikap apa saja yang Anda perbaiki dalam proses mencari ilmu tersebut?

Mudah sekaligus sulit untuk saya menjawab pertanyaan di atas. Lebih tepatnya untuk menjawab pertanyaan nomor 3 dan 4, sebab butuh waktu khusus untuk merefleksikan diri dan menyelaraskan pikiran dan hati. Hehehe. Dan mohon maaf kepada Mbak Trisa, fasil keren yang akan membaca tulisan saya ini, sebab akan menjadi jawaban yang agak panjang. Semoga tidak bosan membacanya ya, Mbak! Bismillah! ^^

Jurusan Ilmu yang Akan Ditekuni di Universitas Kehidupan Ini

Sejujurnya ada banyak hal yang ingin saya pelajari selagi saya masih bisa belajar kepada siapapun itu, di mana pun, dan kapan pun saya memiliki kesempatan belajar. Tetapi jika diminta untuk memilih satu ilmu yang akan ditekuni di universitas kehidupan ini, insya Allah saya ingin menekuni pendidikan khusus untuk anak-anak dan dewasa dengan autisme.

Hampir empat tahun ini saya berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan khusus untuk individu dengan autisme, baik itu anak-anak ataupun dewasa autisme. Tapi sebenarnya, saya sudah membersamai anak dengan autisme selama hampir enambelas tahun ini. Keponakan saya yang pertama dan satu-satunya didiagnosis mengalami keautistikkan sejak usia dua tahun, delapanbelas tahun sudah berarti usianya tahun ini.

Jika dikatakan keponakan saya adalah alasan saya ingin menekuni keilmuan ini, iya, itulah salah satunya. Tetapi bisa dibilang juga saya terlambat menekuni ilmu ini karena keponakan saya sudah bukan anak-anak lagi ketika saya baru mempelajari autisme tujuh tahun lalu di Pendidikan Luar Biasa UNJ. Kira-kira saat itu keponakan saya menginjak usia sebelas.

Di masa itu saya merasa agak kurang membantu keponakan saya, karena yang saya pelajari di bangku kuliah adalah penanganan anak dengan autisme, sedangkan keponakan saya sudah hampir memasuki remaja awal. Itu artinya akan ada masalah dan penanganan yang berbeda di usia tersebut. Ilmu yang saya dapat terasa nanggung, kurang terimplementasi pada kehidupan saya sendiri. Itulah yang pernah saya rasakan.

Saya mencoba kembali berpikir bahwa setiap ilmu pasti mempunyai manfaat dan tidak ada kata terlambat untuk mengamalkannya. Dari sinilah saya mulai mencoba melapangkan hati dan mengendurkan idealisme atas ilmu yang saya pelajar. Semaksimal mungkin membantu keponakan saya dengan sedikit ilmu yang saya punya.

Lalu terpikirkan lagi oleh saya untuk mendalami pendidikan khusus untuk autisme dewasa. Keputusan ini saya ambil dengan harapan ilmu tersebut bisa saya terapkan untuk menangani keponakan saya kelak di usia dewasanya. Di samping itu, setelah saya sedikit mempelajari autisme dewasa melalui berbagai referensi, ternyata memang bidang keilmuan ini tidak banyak diminati pendidik baik itu di dalam ataupun di luar negeri, ditambah lagi tidak banyak tempat belajar untuk autisme dewasa.

Bukan hanya karena jarangnya fasilitas dan tenaga profesional yang mumpuni di bidang ini di Indonesia, melainkan juga karena banyak rentetan masalah dalam ranah ini yang kurang mendapatkan tempat di Indonesia. Misalnya saja sedikitnya kesadaran orang tua untuk menemukan dan mengembangkan kemampuan setiap individu dengan autisme, sehingga banyak individu dengan autisme yang dirumahkan setelah lulus sekolah. Belum lagi hak-hak lain autisme dewasa yang sangat berbeda, seperti hak-hak vokasi, hak bekerja atau mengembangkan diri dengan membuka lapangan pekerjaan sendiri, termasuk juga hak mendapatkan pendidikan seksual untuk autisme dewasa yang masih sering dianggap tabu di Indonesia yang beradat ketimuran. Jelas ilmu dalam ranah ini akan agak berbeda dengan apa yang saya pelajari sebelumnya di ranah pendidikan anak-anak.

Kini sudah dua tahun saya berkutat mengajar mahasiswa dengan autisme, alhamdulillah. Cara pandang saya semakin terbuka, termasuk semakin luas tujuan saya untuk menekuni ilmu ini. Di tempat mengajar sekarang, saya belajar banyak hal tentang pendidikan autisme dewasa. Kasus demi kasus yang ada bersama dengan murid-murid besar saya cukup banyak menjadi pembelajaran sendiri buat saya untuk nantinya menangani keponakan saya di rumah.

Ada lagi satu hal yang saya dapatkan di tempat saya mengajar sekarang. Satu hal ini yang tidak hanya membuka pikiran dan pandangan saya lebih lebar, tetapi juga membuka hati saya. Sebuah fakta bahwa tidak sedikit autisme dewasa di sekitar saya dan membuat saya membuka diri bahwa ilmu yang ingin saya tekuni ini tidak boleh dinikmati dengan egois, hanya untuk keponakan saya sendiri. Maka saya bertekad insya Allah saya ingin terus belajar tentang pendidikan autisme untuk membantu banyak anak dan dewasa dengan autisme di sekitar saya. Bukankah keberkahan ilmu akan semakin luas jika dimanfaatkan lebih banyak lagi?

Hal lainnya yang membuat saya ingin terus menekuni ilmu pendidikan khusus ini, khususnya di pendidikan autisme adalah karena sedikitnya minat keprofesian dan minimnya informasi masayarakat terhadap keilmuan ini. Padahal ilmu ini akan sangat dibutuhkan setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan karena semakin meningkatkan jumlah anak dengan autisme.

FYI, di sini disebutkan bahwa duabelas tahun lalu terdapat 1 per 500 anak didiagnosis autism. Kiini diperkirakan 1 per 250 anak dengan autisme. Itu artinya jumlah anak dengan autisme semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Insya Allah saya akan belajar menebarkan manfaat keilmuan ini lebih luas lagi agar Indonesia, khususnya lingkungan saya, agar masyarakat bisa lebih menerima keberadaan mereka yang mengalami keautistikan. Lebih jauh lagi berharap masyarakat bisa ikut membantu individu dengan autisme untuk bisa hidup sebagaimana kita pada umumnya.

Strategi Menuntut Ilmu Pendidikan Khusus untuk Autisme ala Lisfah

Sejujurya, untuk bisa menekuni pendidikan khusus untuk autism di Indonesia saat ini tidak mudah. Sedikit referensi ilmiah, sedikit lembaga keilmuannya, dan sedikit pula yang tahu tentang hal ini. Karena ini saya mempunyai strategi yang terdiri dari beberapa cara yang bisa saya lakukan secara terikat ataupun tidak. Maksudnya adalah saya mencoba membuat strategi agar proses menekuni ilmu ini bisa dimaksimalkan, baik itu secara formal ataupun nonformal.

Pertama saya menargetkan diri untuk membaca tentang pendidikan khusus dan keautistikkan minimal dua kali seminggu, baik itu artikel, jurnal ilmiah, atau berita. Target ini insya Allah saya capai melalui beberapa website yang saya percayai penulisan dan pembahasannya cukup ilmiah, yakni www.autisme.com, www.autismspeak.org, www.templegrandin.comwww.nationalautismassociation.org, www.disabilityscoop.com, www.autismnj.org, www.autism-society.org, dan lain-lain.

Kedua adalah saya belajar mengerucutkan lingkup media sosial saya pada pendidikan khusus untuk individu dengan autisme. Jadi setiap media sosial yang saya gunakan bukan untuk mengetahui aktivitas teman-teman saya, melainkan untuk mengais ilmu dari akun sesama pengajar anak dengan autisme di dalam dan luar negeri, akun lembaga pendidikan dan penanganan autisme, dan akun orang tua dengan anak berkebutuhan khusus.

Strategi saya yang lainnya adalah memaksimalkan pengamatan terhadap murid-murid besar saya selama mengajar. Tujuan sebenarnya adalah menemukan setiap kasus yang bisa saya teluri penyelesaiannya, baik itu secara ilmiah ataupun trail and error.

Kemudian, masih berhubungan dengan strategi sebelumnya, besar harapan saya bahwa kasus-kasus yang saya amati ini nantinya bisa saya jadikan tulisan, entah itu tulisan ringan ataupun ilmiah. Masih berkorelasi dengan strastegi kedua juga, media sosial yang saya gunakan seperti blogspot, Instagram, Facebook, insya Allah saya maksimalkan untuk memposting tulisan-tulisan ringan mengenai murid-murid besar saya. Tujuannya bukan agar orang-orang tahu aktivitas saya selama di tempat mengajar, melainkan agar orang yang awam pada anak dengan autisme bisa mendapat gambaran tentang siapa dan bagaimana kehidupan anak dengan autisme.

Alhamdulillah, berkat tulisan-tulisan saya, ada cukup banyak email atau pesan masuk melalui akun media sosial saya yang menanyakan tentang penanganan autisme. Yang selalu membuat saya terharu adalah ada saja pesan-pesan yang masuk dari murid-murid SMA yang berkeinginan menjadi pengajar pendidikan khusus seperti saya. Alhamdulillah :)

Strategi selanjutnya adalah mendatangi seminar atau diskusi ilmiah berkaitan dengan pendidikan khusus, terlebih terkait pendidikan anak dan dewasa dengan autisme. Sayangnya strategi ini belum cukup efektif dilakukan karena minimnya lembaga yang mengadakan seminar dan diskusi ilmiah yang mengangkat keilmuan ini dari sisi pendidikan, kalau pun ada umumnya dilaksanakan di luar negeri.

Dikarenakan hal di atas, munculah strategi baru yang saya persiapkan bersama beberapa teman seprofesi dan sefrekuensi dalam komunitas yang kami namai kitainklusi. Di komunitas ini insya Allah salah satu agendanya adalah mengadakan diskusi mengenai autisme dengan sudut pandang utama pendidikan. Walaupun baru  berlangsung secara online, saya berharap kami bisa konsisten di kitainklusi. Amiin.

Selanjutnya adalah strategi yang sebenarnya agak berat buat saya dan masih meraba-raba proses pelaksanaannya, yakni melakukan penelitian mandiri terkait dengan kasus-kasus yang saya temui di lapangan. Kendalanya sebenarnya satu, diri saya sendiri yang kurang percaya diri untuk memulai.

Terakhir adalah sebuah strategi besar yang proses pencapaiannya terus saya lakukan, yakni melanjutkan kuliah pendidikan khusus atau pendidikan autisme di luar negeri, insya Allah. Mengapa pilihannya luar negeri? Sebab jurusan kuliah yang spesifik pada pendidikan anak dan dewasa dengan autisme hanya ada di luar negeri. University of Birmingham insya Allah menjadi target saya, sebab di sanalah satu-satunya universitas yang mengadakan autism studies di berbagai cabang keilmuan pendidikan autisme. Target lainnya adalah mengambil program belajar di Jepang. Di Chiba University untuk magister atau training dan penelitian di Akita University atau Osaka Kyoiku University.

Tahun ini saya targetkan untuk mempersiapkan semua hal yang diperlukan untuk bisa belajar di salah satu universitas di atas. Oleh sebab itu tahun ini semua berkas yang biasanya dijadikan persyaratan mengambil pendidikan di luar negeri saya lakukan. Termasuk juga strategi untuk menyiapkan ujian bahasa Inggris dengan meluangkan  waktu minimal dua jam untuk belajar Bahasa Inggris, mulai dari reading, listening, dan writing.

Perubahan Sikap yang Harus Lisfah Perbaiki dalam Proses Mencari Ilmu

Selain menyiapkan strategi sebagai amunisi untuk mencapai target keilmuan yang ingin saya tekuni, tentunya hal yang paling urgen buat saya pribadi adalah bagaimana merancang amunisi agar diri saya bisa sejalan dengan strategi yang sudah saya susun. Hal ini perlu saya lakukan agar keinginan dan sikap saya satu frekuensi, demi terlaksananya startegi dan tercapaian tujuan keilmuan yang saya idamkan.

Menurunkan ego. Menurut saya tingginya ego adalah musuh untuk penuntut ilmu, sebab karenanyalah akan muncul rasa selalu merasa paling benar, merasa paling tahu, dan tidak mau menerima perbedaan. Ego ini yang kadang luput dari kontrol saya, sehingga merusak proses menuntut ilmu. Apalagi ilmu yang saya tekuni ini beririsan dengan berbagai ilmu lainnya seperti psikologi, terapi, dan kedokteran. Jika saya masih kalah dengan ego saya sendiri, sepertinya saya akan sulit berkembang, karena di lapangan pun saya harus bertemu dan bekerjasama dengan berbagai keilmuan tadi. Dengan mengontrol dan terus menekan ego, saya berharap akan semakin terbuka pikiran saya untuk menerima perbedaan sudut pandang. Juga supaya saya semakin mudah menerima ilmu dari orang lain, sehingga ilmu yang saya terima menjadi sebenar-benarnya cahaya.

Menunda untuk menunda. Ini sikap paling berbahaya yang ada dalam diri saya yang harus saya lawan selama ini. Saya kebiasaan menunda pekerjaan. Bukan karena malas, tapi karena saya lebih sering berpikir random. Apa yang seharusnya dikerjakan malah saya tinggalkan untuk mengerjakan hal yang lain. Oleh karena ini saya berusaha menunda untuk menunda dengan sekuat tenaga saya, sekecil apapun pekerjaan itu. Bismillah! XD

Mengatur waktu dan disiplin. Mengatur waktu adalah salah satu kelemahan saya sekaligus dampak dari kebiasaan menunda. Hasilnya kadang saya justru tidak disiplin terhadap aturan yang saya buat untuk diri saya sendiri. Oleh karena itulah mengatur waktu dan disiplin menjadi bagian dari sikap yang harus saya perbaiki demi tercapainya ilmu yang ingin saya tekuni.

Untuk belajar mengatur waktu, saya memaksakan diri untuk melakukan aktivitas sesuai dengan agenda yang saya buat dalam buku agenda. Termasuk juga di dalamnya belajar membuat daftar prioritas aktivitas. Sekecil apapun rencana yang saya buat di setiap harinya, saya usahakan untuk mencatatnya. Mulai dari daftar bacaan hingga daftar pengaturan keuangan. Hehehe.

Hal terakhir untuk belajar mengatur waktu dan disiplin ini saya juga mulai dengan memperbaiki shalat saya, berusaha shalat sesegera mungkin, kecuali memang harus berada di tempat yang saya sulit shalat di awal waktu. Ditambah lagi, saya memancing kedisiplinan waktu saya dengan tetap menjalankan tahajjud sengantuk apapun saya di sepertiga malam. Harapan saya dengan memperbaiki ibadah saya juga bisa memperbaiki managamen waktu dan kedisiplinan saya.

Kira-kira begitulah jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan NHW #1 kelas matrikulasi yang berkaitan dengan adab menuntu ilmu. Meskipun sebenarnya saya merasa tugas ini seperti jebakan untuk jujur dan merefleksikan diri sendiri. Hehehe. Semoga dari tulisan ini ada nilai manfaat dan inspirasi kebaikan yang bisa diambil :)

 “Menuntut ilmu adalah salah satu cara meningkatkan kemuliaan hidup kita, maka carilah dengan cara-cara yang mulia.”
(Institut Ibu Profesional)


@fatinahmunir  | 27 Januari 2018
27 January 2018
Posted by Lisfatul Fatinah

Adab Menuntut Ilmu


Bismillahirahmanirahim

Memasuki pekan pertama belajar bersama ibu dan calon ibu professional di kelas Matrikulasi IIP. Rasanya deg-degan dan excited pastinya. Alhamdulillah materi pertama adalah tentang adab menuntut ilmu. Ada alasan mengapa materi ini yang menjadi pembuka kelas kami, karena dalam beramal, melakukan berbagai hal, adab adalah hal yang harus dimiliki terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu dari hal yang ingin diamalkan atau dilakukan.

Well, tanpa prolog Panjang lebar, berikut ini adalah materi adab menuntut ilmu yang saya pelajari di kelas Matrikulas Batch 5 Jakarta yang disusun oleh Tim Matrikulasi Institut Ibu Profesional dan difasilitatori oleh Mbak Trisa :)

***

Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengubah perilaku dan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Karena pada dasarnya ilmu menunjukkan kepada kebenaran dan meninggalkan segala kemaksiatan.

Banyak diantara kita terlalu buru-buru fokus pada suatu ilmu terlebih dahulu, sebelum paham mengenai adab-adab dalam menuntut ilmu. Padahal barang siapa orang yang menimba ilmu karena semata-mata hanya ingin mendapatkan ilmu tersebut, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat baginya, namun barangsiapa yang menuntut ilmu karena ingin mengamalkan ilmu tersebut, niscaya ilmu yang sedikitpun akan sangat bermanfaat baginya.

Karena ILMU itu adalah prasyarat untuk sebuah AMAL, maka ADAB adalah hal yang paling didahulukan sebelum ILMU.

ADAB adalah Pembuka Pintu Ilmu Bagi yang Ingin Mencarinya.

Adab menuntut ilmu adalah tata krama (etika) yang dipegang oleh para penuntut ilmu, sehingga terjadi pola harmonis baik secara vertikal, antara dirinya sendiri dengan Sang Maha Pemilik Ilmu, maupun secara horisontal, antara dirinya sendiri dengan para guru yang menyampaikan ilmu, maupun dengan ilmu dan sumber ilmu itu sendiri.

Mengapa para Ibu Profesional di kelas matrikulasi ini perlu memahami adab menuntut ilmu terlebih dahulu sebelum masuk ke ilmu-ilmu yang lain? Karena ADAB tidak bisa diajarkan, ADAB hanya bisa ditularkan.

Para ibulah nanti yang harus mengamalkan adab menuntut ilmu ini dengan baik, sehingga anak-anak yang menjadi amanah para ibu bisa mencontoh adab baik dari Ibunya. Berikut ini adalah beberapa adab yang semestinya dimiliki setiap penuntut ilmu, termasuk ibu dan calon ibu yang berkaitan dengan beradab pada diri sendiri, kepada guru atau pemilik ilmu, dan kepada sumber ilmu.

Adab Pada Diri Sendiri

Hal pertama yang harus dilakukan penuntut ilmu adalah ikhlas dan mau membersihkan jiwa dari hal-hal yang buruk. Selama batin tidak bersih dari hal-hal buruk, maka ilmu akan terhalang masuk ke dalam hati.Karena ilmu itu bukan rentetan kalimat dan tulisan saja, melainkan ilmu itu adalah “cahaya” yang dimasukkan ke dalam hati.

Selanjutnya adala membiasakan diri selalu bergegas, mengutamakan waktu-waktu dalam menuntut ilmu. Hadir paling awal dan duduk paling depan di setiap majelis ilmu baik online maupun offline.

Jangan lupa pula, sebagai penuntut ilmu sudah semestinya menghindari sikap yang “merasa’ sudah lebih tahu dan lebih paham, ketika suatu ilmu sedang disampaikan. Selama menuntut ilmu sebaiknya mengosong gelas yang kita punya agar yang masuk dapat diterima dengan kelapangan hati dan kejernihan pikiran, bukan karena untuk membandingkan kemampuan penuntut ilmu dengan orang lain.

Setiap penuntut ilmu sudah seharusnya menuntaskan sebuah ilmu yang sedang dipelajarinya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengulang-ulang, membuat catatan penting, menuliskannya kembali dan bersabar sampai semua runtutan ilmu tersebut selesai disampaikan sesuai tahapan yang disepakati bersama.

Terakhir dan yang paling penting adalah bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas yang diberikan setelah ilmu disampaikan. Karena sejatinya tugas itu adalah untuk mengikat sebuah ilmu agar mudah untuk diamalkan.

Adab Terhadap Guru (Penyampai Sebuah Ilmu)

Sebagai penuntut ilmu, yang membutuhkan ilmu, sudah semestinya penuntut ilmu harus berusaha mencari ridha gurunya dan dengan sepenuh hati. Penuntut ilmu harus menaruh rasa hormat kepadanya, disertai mendekatkan diri kepada Dia yang Maha Memiliki Ilmu dalam berkhidmat kepada guru.

Di samping itu hendaknya penuntut ilmu tidak mendahului guru untuk menjelaskan sesuatu atau menjawab pertanyaan, jangan pula membarengi guru dalam berkata, jangan memotong pembicaraan guru dan jangan berbicara dengan orang lain pada saat guru berbicara. Hendaknya penuntut ilmu penuh perhatian terhadap penjelasan guru mengenai suatu hal atau perintah yang diberikan guru. Sehingga guru tidak perlu mengulangi penjelasan untuk kedua kalinya.

Poin terakhir ini adalah hal kecil yang kadang disepelekan oleh para penuntut ilmu, yaitu penuntut ilmu meminta keridhaan guru, ketika ingin menyebarkan ilmu yang disampaikan baik secara tertulis maupun lisan ke orang lain, dengan cara meminta ijin. Apabila dari awal guru sudah menyampaikan bahwa ilmu tersebut boleh disebarluaskan, maka cantumkan/ sebut nama guru sebagai bentuk penghormatan kita.

Adab Terhadap Sumber Ilmu

Kendati sumber ilmu terkadang berupa benda mati, tetapi dalam beradab, penuntut ilmu juga perlu memiliki adab terbaik kepada sumber-sumber ilmu tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Tidak meletakkan sembarangan atau memperlakukan sumber ilmu dalam bentuk buku ketika sedang kita pelajari. Tidak melakukan penggandaan, membeli dan mendistribusikan untuk kepentingan komersiil, sebuah sumber ilmu tanpa ijin dari penulisnya. Tidak mendukung perbuatan para plagiator, produsen barang bajakan, dengan cara tidak membeli barang mereka untuk keperluan menuntut ilmu diri kita dan keluarga. Dalam dunia online, tidak menyebarkan sumber ilmu yang diawali kalimat “copas dari grup sebelah” tanpa mencantumkan sumber ilmunya dari mana. Dalam dunia online, harus menerapkan sceptical thinking dalam menerima sebuah informasi. jangan mudah percaya sebelum kita paham sumber ilmunya, meski berita itu baik.

Adab menuntut ilmu ini akan erat berkaitan dengan keberkahan sebuah ilmu, sehingga dengan beradab dalam menuntut ilmu diharapkan ilmu yang sedang kita cari dapat mendatangkan manfaat bagi hidup kita dan umat.

Referensi :

Turnomo Raharjo, Literasi Media & Kearifan Lokal: Konsep dan Aplikasi, Jakarta, 2012.

Bukhari Umar, Hadis Tarbawi (pendidikan dalam perspekitf hadis), Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 5

Muhammad bin Sholeh, Panduan lengkap Menuntut Ilmu, Jakarta, 2015

Teruntuk referensi video penjelasan adab menuntut ilmu, bisa ditonton di sini.

Selama proses belajar, kami memiliki sesi tanya jawab seputar materi adab menuntut ilmu ini. Berikut ini saya tambahkan resume dari pertanyaan yang disampaikan dalam sesi diskusi materi :)

Pertanyaan 1:

Bila kita perhatikan isi materi yang disampaikan Ibu Septi pada acara milad kemarin, maka disebut bahwa sistem pendidikan berkembang dari jaman dahulu hingga sekarang, yaitu:

1.0: I know, you don't know. I teach you.
2.0: I know, you know. Let's discuss.
3.0: I know, you know. Let me hear you.

Nah pertanyaan saya adalah, bagaimana dengan sistem belajar yang diterapkan dalam kelas MIIP sekarang ini? Harapan saya, jawabannya dapat memperjelas bagaimana etos belajar yang harus kita lakukan dalam kelas ini ke depannya.

Jawaban 1:

Sistem belajar di IIP memegang prinsip semua murid, semua guru, Mbak. :) Jadi, guru bukanlah seseorang yang tahu segalanya. Begitu sebaliknya dengan murid, murid juga bukan orang yang tidak tahu apa apa. Semua member IIP bisa menjadi guru, semua member IIP bisa juga menjadi murid.  Setiap orang punya ilmu di bidangnya masing-masing. Jika ada perbedaan pendapat, dapat dicari titik tengahnya dengan cara yang baik. Bukan menyalahkan, menghujat dan lain sebagainya. :)

Pertanyaan 2:

Tidak meletakkan sembarangan atau memperlakukan sumber ilmu dalam bentuk buku ketika sedang kita pelajari. Ini maksudnya bagaimana?

Jawaban 2:

Saya kasih contoh aja ya, Mbak. :) Misalnya buku. Kadang kita secara tidak sadar, tidak menghargai buku. Misalnya meletakkan buku sembarangan sehingga rentan terinjak, tertendang, melempar buku, mencoret coret buku bacaan (buku yang bukan untuk dicoret), mengotori buku (kecuali anak anak yang memang belum paham) dan tindakan tidak baik lainnya yang dilakukan terhadap buku. wwalaupun buku adalah benda mati, namun kita tetap harus menghargainya sebagai salah satu sumber ilmu dan memperlakukannya dengan baik. :)

Pertanyaan 3:

Bagaimana sikap kita sebagai narasumber jika menyikapi orang yang merasa lebih mengerti dan paham tentang ilmu yang sedang disampaikan oleh narasumber, sebagai narasumber atau sebagai penuntut ilmu

Jawaban 3:

Sebagai narasumber yang menyampaikan ilmu, jika ada penuntut ilmu yang merasa lebih mengerti dengan apa yang kita sampaikan, hargai pendapat mereka terlebih dahulu. Bisa jadi pendapat yang disampaikan memang benar. Jika pendapat disampaikan dengan cara yang baik dan memang benar menurut kita, terima dengan ikhlas karena itu adalah ilmu bagi kita. Namun, jika cara menyampaikannya kurang baik dan benar, lebih baik bersabar dan menerima. Jika menurut narasumber pendapat orang yang menuntut ilmu tadi tidak benar, lakukan diskusi dua arah dengan cara yang baik. Bukan dengan ego, menyalahkan dan menghujat.

Sebaliknya sebagai penuntut ilmu, jika ada hal yang tidak sepakat dengan ilmu yang diberikan oleh narasumber, juga harus disampaikan dengan cara yang baik :)

Pertanyaan 4:

Bagaimana cara kita berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu zaman old, namun berada di zaman now (misal orangtua kita) yang terkadang penerapannya sudah tidak cocok.

Jawaban 4:

Hihi. Kalau soal ini saya coba share pengalaman pribadi ya, Mbak. :) Untuk komunikasi atau memberikan pendapat kepada orang tua ini ada trik trik tersendiri buat saya.

Saya perhatikan sifat orang yang lebih tua ada beragam. Ada yang mau menerima pendapat karena memang mengikuti perkembangan zaman. Nah, tipe seperti ini biasanya cukup disampaikan dan dijelaskan contoh keadaan yang sebenarnya. Ada yang merasa lebih tahu karena memang lebih berpengalaman, saya coba sampaikan pendapat sata terlebib dahulu. Jika masih belum bisa diterima, biasanya saya minta tolong kepada orang ketiga yang dipercaya oleh orang yang lebih tua tersebut. Atau bisa juga minta orang yang memang ahli dibidangnya untuk menjelaskan. Ada yang saklek (keras kepala), dan tidak mau menerima pendapat kita sama sekali. Nah, biasanya saya cukup menyampaikan saja, diterima alhamdulillah, tidak diterima tidak apa apa. Yang penting tugas kita adalah menyampaikan. :) Semuanya tetap disampaikan dengan cara yang baik ya, Mbak, tidak marah marah, membentak, menyalahkan dan lain sebagainya. :)

Pertanyaan 5:

Dalam era informasi yang sangat cepat ini, bagaimana caranya kita mengetahui bahwa informasi yang diberikan itu benar atau hoax, meskipun kadang di cantumkan nama penulisnya ternyata bukan dia yang menulis? Dan bagaimana cara kita melindungi karya tulisan kita sendiri. Terima kasih.

Jawaban 5:

Untuk mengetahui, biasanya langsung menghubungi penulisnya. Tanyakan langsung untuk memastikan apakah tulisan tersebut memang benar ditulis oleh beliau atau tidak. Di IIP istilahnya clear and clarify disingkat CnC.

Jika mendapatkan info dari yang lain dan ada sumbernya, gunakan daftar pusata yang baik.  Misalnya sebuah artikel kita dapatkan dan tidak dari group Matrikulasi IIP jakarta (disampaikan oleh ani/nama samaran), dari group IIP Jakarta 02 disampaikan oleh Yuni, dst. Namun jika memang boleh disebar dengan mencantumkan sumber utama, kita bisa menyebutkan sumber utama tersebut saja. Jika kita ragu, apakah itu benar dari penulisnya langsung atau tidak, saya lebih memilih tidak share atau tidak mempercayai informasi tersebut.

Pertanyaan 6:

Tolong diberi arahan soal gadget time. Misal seorang ibu bukan hanya menjalankan satu kelas whatsapp (ada kelas lain selain IIP) & juga punya bisnis online. Bagaimana menjelaskan dan mengatur gadget time kepada anak.

Jawaban 6:

Kita bisa membuat jadwal gadgetnya bunda dan kemudian sampaikan, berikan pemahaman dan diskusikan kepada anak dan keluarga. Misalnya saya jualan online, gadget time saya pagi. Pukul 09.00 - 11.00 untuk packing barang pesanan kemaren. Pukul 13.30 - 15.30 untuk membalas chat pesanan. Pukul 20.00 - 21.30 untuk berkomunitas. Baik via WA, fb, IG dll.

Biasanya masalah online shop adalah harus cepat merespon chat pelanggan, solusinya kita bisa rekrut karyawan khusus. Jika tidak bisa, cukup infokan kepada pembeli kalau chat akan dibalas pada jam sekian sampai jam sekian.

Bagaimana jika anak anak atau keluarga masih meminta perhatian di jam jam tersebut, layani anak sebentar dan sepenuh hati, kemudian kembali lagi minta izin melanjutkan aktivitas online.

Pertanyaan 7:

Mbak, mau tanya. Tentang adab menuntut ilmu, apakah ini nanti bisa diterapkan bersikap kepada suami. Jadi walaupun secara ilmu kita lebih tinggi daripada suami tapi tetap memposisikan suami sebagai sumber ilmu?

Jawaban 7:

Bisa mba. Bisa diterapkan kepada semua anggota keluarha dan semua orang. Biasanya saya kalau ke suami sifatnya lebih ke sharing dan diskusi dua arah, bukan mengajarkan. Misalnya saya kemaren dapat ilmu, kemudian saya ceritakan kepada suami. Saya tanya pendapatnya. Dan kita diskusi.


@fatinahmunir | 26 Januari 2018
26 January 2018
Posted by Lisfatul Fatinah

Perjalanan Menjadi Ibu Profesional


Bismillahirrahmanirrahim

Sudah hampir dua minggu saya tidak menulis di blog ini. Insya Allah tulisan kali ini akan menjadi sebuah tulisan awalan dari tulisan lainnya yang akan saya posting setelah ini, sebab cikal bakal tulisan yang lainnya akan dimulai dari kisah di bawah ini :)

Alhamdulillah ála kulli haal. Bulan ini ada lagi satu nikmat yang Allah SWT berikan kepada saya, sebuah nikmat menuntut ilmu dan teman-teman yang sama hausnya untuk meneguk ilmu-ilmu baru di sebuah komunitas yang insya Allah sangat diidamkan setiap wanita untuk bergabung di dalamnya. Institut Ibu Profesional (IIP), di sinilah saya sekarang belajar, insya Allah sampai sepuluh minggu ke depan untuk mengikuti kelas Matrikulasi (kelas dasar di program IIP) bersama teman-teman yang saling menyemangati dan fasilitator yang sangat menginspirasi. Jika proses belajar di kelas Matrikulasi lancar, insya Allah akan ada banyak sekali ilmu yang akan didapatkan di tingkatan kelas selanjutnya. Mohon doanya ya! :)

Jujur, buat saya pribadi untuk bisa bergabung dengan IIP ini tidak cukup mudah. Saya harus mencari infonya berkali-kali, khawatir lagi-lagi tertinggal info pendaftarannya. Alhamdulillah, Agustus 2017 lalu ada satu kesempatan di mana teman saya yang sudah mengikuti kelas Matrikulasi IIP Kediri  mengirimkan undangan wisuda online di whatsapp group (WAG).

Saat itu saya bahagia bukan main. Terasa sedang bermimpi bergabung, ada di satu WAG dengan ibu-ibu pembelajar, professional, dan shalehah. Dari sanalah Allah SWT Membuka jalan buat saya, alhamdulillah. Saya mendapatkan info pendaftaran untuk masuk ke WAG calon peserta kelas matrikulasi batch selanjutnya atau yang disebut WAG Foundation IIP.

Perjuangannya tidak sampai di situ, sebab harus mengantre di daftar tunggu untuk bisa masuk WAG Foundation IIP. Masya Allah! Oh iya, berdasarkan info yang saya terima sebelumnya, anggota baru akan dimasukkan ke dalam WAG Foundation IIP setiap bulannya, jadi saat itu setiap bulan saya lalui dengan harap-harap cemas, khawatir tidak masuk ke grup dalam waktu dekat dan lagi-lagi harus menunggu. Karena terlalu bingungnya menunggu, akhirnya setiap bulan, Agustus dan September, saya menginput data ke link pendaftaran WAG. Hihihihi. Kalau ini sungguh jangan ditiru! XD

Alhamdulillah lagi dan lagi, awal Oktober sebuah notifikasi WA memberitahukan kalua saya sudah dimasukkan ke WAG Foundation IIP :)

Okay, setelah masuk ke WAG Foundation IIP, saya dan ibu-ibu dan calon ibu lainnya tidak serta merta bisa langsung mengikuti kelas Matrikulasi IIP. Butuh waktu untuk lagi-lagi menunggu jadwal belajar. Sebagai gantinya, kami pun mempunyai jadwal berlajar dan sharing bebas selama di WAG Foundation IIP. Hingga pada akhir Desember 2017 perdaftaran kelas Matrikulasi IIP Batch 5 dibuka dan proses pendaftarannya benar-benar bendebarkan. Kalau tidak percaya, silakan gabung di WAG Foundation IIP untuk nantinya mendaftar WAG Matrikulasi IIP Batch 6. Hehehe.

Januari 2018. Alhamdulillah, hadiah manis di awal tahun di mana pada bulan inilah saya dan teman-teman yang sudah mendaftar bisa masuk ke WAG Matrikulasi IIP Batch 5. Tapi perjuangan belum berakhir ibu dan calon ibu, sebab selama kelas Matrikulasi ini nasib kita ditentukan untuk bisa resmi menjadi anggota IIP atau tidak.

Loh, masuk Matrikulasi belum menjadi anggota IIP ya? Betul sekali. Tugas dan penilaian dari tugas yang kita kerjakan di kelas Matrikulasi ini yang nantinya kita layak lulus kelas, diwisuda, dan resmi menjadi anggota IIP atau tidak. Luar biasa ya perjuangan ibu dan calon ibu penuntut ilmu!

Okay, lanjut kepada inti postingan ini. Jadi saya ingin bercerita tentang pertama kalinya saya menghadiri agenda IIP secara nyata alias offline. Agenda ini merupakan Gathering sekaligus Milad IIP ke-6 yang diadakan 21 Januari 2018 lalu di Resto Bebek Dower, Jakarta.

Ada yang unik dan baru buat saya di acara ini, yakni konsep acara yang mengusahakan hamper 0% sampah. Jadi untuk meminimalisir sampah, seluruh peserta diminta membawa wadah makan dan minum sendiri. Lalu cemilan yang ada juga sistemnya dari kita untuk kita, istilah sekarangnya adalah potluck party. Potluck itu sendiri maksudnya adalah setiap orang yang hadir diwajibkan membawa cemilan atau makanan dalam wadah besar untuk dimakan bersama atau sharing makanan. Seru dan menarik buat saya, karena yang saya bayangkan adalah banyaknya makanan dengan jenis dan jumlah sangat bervariasi.

Tampak seperti jualan ya, tapi semua ini adalah camilan dari potluck yang dikumpulkan. Untuk yang mau comot-comot bisa membawa wadah makan sendiri untuk mengambil camilan apa saja yang disuka :)
(dokumentasi pribadi)
Tapi saat hari pelaksanaan acara, karena terlalu semangat membawa buah-buahan untuk potluck, saya justru lupa membawa wadah makanan dan minuman sendiri. Jadilah saya harus balik lagi ke rumah sebelum naik ke atas angkot dan rencana tiba di lokasi tepat pukul 8.00 WIB menjadi pukul 8.30 WIB. Saat tiba di lokasi, masya Allah, sudah ramai dengan ibu dan calon ibu, banyak juga yang membawa serta anak dan suaminya. Meskipun membawa anak usia balita hingga remaja, para ibu di sini masih bisa tetap fokus belajar bersama suami, karena ada ruang aktivitas untuk balita, anak-anak, dan remaja. Keren ya! :D

Acara gathering dan milad ini diawali dengan banyak sekali pengenalan tentang IIP. Mulai dari sejarah berdirinya IIP hingga saat ini, komponen-komponen di dalamnya, termasuk berbagai program IIP yang di antaranya adalah rumah belajar (Rumbel). Dalam presentasi Rumber IIP, ada Mbak Agris dari Rumbel Menulis, Mbak Evy dari Rumbel Gardening, Mbak Sari dari Rumber Sew and Craft, dan Mbak Aya dari Rumbek Sejuta Cinta (Sedkah Jumat untuk Tanah Air Tercinta).

Para ibu profesional yang telah menjadi change maker family.
(Mohon maaf atas badan bapak itu yang menutupi objek utama, hanya ini dokumentasi terbaik yang saya punya buat para change maker falimy >,<)
Masuk ke acara inti, tema acaranya Change Maker Family. Berat sekali, piker saya saat membacanya. Membayangkan mengurus anak dan suami lalu memastikan anak bertumbuh dan berkembang menjadi anak yang shaleh dan shalehah saja sudah berat, apalagi jika harus menjadi change maker family (keluarga pembuat perubahan). Tapi ternyata ada, justru banyak ibu-ibu hebat yang menjadi bagian dari change maker family. Di wajah ibu-ibu hebat itu ada banyak sekali hal yang membuat saya merasa kerdil selama acara berlangsung. Banyak juga momen di mana saya bersyukur karena kekhawatiran saya tidak hanya dirasakan oleh saya seorang. Di sini saya berjumpa dengan banyak sekali ibu professional yang menginspirasi, yang tidak hanya menjadi manfaat untuk diri dan keluarganya saja tetapi juga untuk banyak orang di sekitarnya.

Ibu professional pertama yang langsung membuat saya sesak terharu karena kisah inpirasinya adalah Mbak Annisa Miranty Gumay. Beliau mendirikan projek Raqueefa Bookhouse dan Komik Keluarga bersama empat orang anaknya. Sebagai single parent, sebab suami beliau meninggal saat beliau hamil anak kempat, beliau bisa membuktikan bahwa keterbatasan dalam figure suami untuk dirinya dan ayah untuk anak-anaknya tidak menghambat beliau untuk terus bermanfaat. Ada satu kalimat dari Mbak Annisa yang membuat saya sangat yakin bahwa beliau memang semestinya menjadi change maker family. Saat suaminya meninggal dan anak-anaknya bertanya tentang keberadaan ayah mereka, Mbak Annisa menjawab, “Ayah sedang lihat-lihat rumah kita di surga, karena Ayah penasaran rumah kita di surga sudah jadi atau belum. Nah, supaya rumah kita di surga besar dan cepat jadi, kita harus berbuat banyak kebaikan. Nanti kan di sana kita juga bisa ketemu Ayah, bisa tinggal di rumah di surga bersama lagi.”

Ibu professional kedua ini merupakan ibu hebat yang mengingatkan saya akan pentingnya mempersiapkan diri untuk “menjadi”, untuk bisa bermanfaat sedini mungkin sebelum usia sudah terlanjur menua. Nama beliau adalah Mbak Siti Munawaroh atau yang biasa dipanggil Mbak Mumun. Mbak Mumun ini usianya jauh di atas saya. Beliau bercerita bahwa beliau terlambat menyadari betapa dirinya harus bermanfaat semaksimal mungkin sebelum tutup usia. Pemikiran ini muncul di usia Mbak Mumun yang sudah berkepala empat. Iya, di usia 40 tahun Mbak Mumun memulai semuanya untuk membuat manfaat kepada sekelilingnya. Hingga akhirnya beliau bersama suaminya mendirikan Sanggar Belajar Hasanah Center di Jakarta yang melatih banyak ibu dan remaja berbagai keterampilan. Hasanah Center bersama Mbak Mumun memantau perkembangan keterampilan orang-orang yang dilatihnya dan mengembangkannya menjadi sebuah industri kecil.

Ibu professional lainnya adalah Mbak Efi Femiliyah yang mendirikan Taman Baca Warga 67. Taman baca ini diinisiasi berdasarkan pengalaman anak-anak di sekiar rumahnya yang sudah terpapar  pornografi. Maka Mbak Efi dibantu suami mendirikan taman baca yang aktif setiap selasa di wilayah rumahnya. Tidak ada tempat permanen untuk Mbak Efi “mangung”, mendongeng atau membacakan buku untuk anak-anak dan remaja. Mbak Efi dan suami membawa buku-bukunya sendiri dari rumah menggunakan koper untuk disajikan kepada anak dan remaja di sekitar rumahnya.

Terakhir adalah sosok ibu yang setiapa ibu dan calon ini masa kini yang ingin meniti karier wajib belajar dari beliau. Beliau adalah Mbak Erna Listia, ibu di balik suksesnya Resto Bebek Dower. Beliau adalah mantan ibu pekerja di luar, tepatnya di perusahaan Johnson and Johnson selama kurang lebih tujuh tahun. Kedudukan dan penghasilan yang tidak sedikit sudah ada di tangan beliau. Saat itu tidak ada yang perlu beliau khawatirkan tentang kesejahteraan di masa depan. Tetapi saat beliau hamil tujuh bulan anak kedua, beliau memutuskan untuk melepas semua jabatan beliau. Ya, beliau pindah menjadi ibu pekerja domestic, mengurus rumah, anak, dan suami. Beliau memutuskan membuka Resto Bebek Dower dengan tekad bahwa seorang ibu juga bisa sukses di luar dan di dalam rumah tanpa mengorbankan waktu untuk anak-anak. Sekarang pun terbukti, resto beliau ada ratusan di seluruh Indonesia dan kualitasnya tidak usah ditanya :)

Menginspirasi ya! Itu baru sedikit inspirasi dari miniseminar para change  maker family, loh. Masih ada Ibu Septi, pendiri IIP dan suami, Pak Dodik, yang juga akan berbagi cerita dan ilmunya kepada para peserta bagaimana cara mempersiapkan diri menjadi change maker family. Beberapa hal yan disampaikan Ibu Septi dan Pak Dodik insya Allah akan saya tuliskan di bawah ini.

dokumentasi pribadi
Kenapa Harus Menjadi Change Maker Family?

Pernah mendengar hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk yang lainnya? Yap! Hadits ini yang menjadi landasannya. Kebermanfaatan perempuan pastinya tidak akan berhenti ketika perempuan sudah menikah. Justru dengan adanya suami dan anak, kebermanfaatan seluruh anggota keluarga bisa dimaksimalkan dengan kolaborasi dan saling bersinergi mengerjakan kebaikan. Perlu diingat, berkarya dan mendidik anak bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya adalah hal yang dapat saling mendukung, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengambil kesempatan menjadi change maker family karena alasan ingin fokus mendidik anak :)

Selain itu, apakah ada alasan lain yang membuat kita harus menjadi pembuat perubahan di tengah zaman yang deras sekali arus perubahannya? Apakah ada alasan lain untuk tidak menjadi pembuat perubahan sedangkan perubahan zaman tak tentu arahnya, kepada kebaikan atau keburukan? Maka memulai kebaikan dari diri sendiri, lalu ke keluarga, dan melakukan bersama-sama kebaikan keluar untuk memberi manfaat seluas-luasnya adalah pilihan terbaiknya. Hal ini jugalah pilihan terbaik saat ini untuk membentuk kebaikan dari rumah, tidak mengharapkan kebaikan masuk dari luar rumah untuk mempengaruhi keluarga tetapi berusaha menjadi baik dari dalam rumah dan memberikan kebaikan itu kepada banyak hal di luar rumah.

Analoginya adalah seperti sebuah telur diberi tekanan dari luar yang hanya akan menjadi sebuah telur dadar, roti, dan sebagainya dengan berbagai jenis tapi habis manfaatnya jika sudah dimakan. Berbeda dengan telur yang diberi tekanan dari dalam, secara alami akan menghasikan individu baru yang akan menghasilkan banyak lagi telur.

Bagaimana Menjadi Change Maker Family?

Bertolak dari hal di atas, maka kita jika kita mau membuat perubahan untuk sekeliling kita, maka yang harus kita ubah terlebih dahulu adalah diri kita sendiri. Dan perubahan pada diri kita sendiri bisa dimaksimalkan bagi yang sudah berkeluarga dengan mengubah keluarga kita.

Tapi ada yang perlu diperhatikan nih, terkait mengubah keluarga. Fokus utama kita adalah bagaimana mengubah diri sendiri, sedangkan anggota keluarga lainnya seperti anak dan suami, insya Allah akan berubah ketika kita berubah. Jadi tidak perlu mengeluarkan banyak energi untuk mengubah seseorang, sebab kita tidak akan pernah bisa mengubah orang lain. Maka dimulai dari diri sendiri yang niscaya akan menular ke keluarga adalah awalannya. Jangan lupa dilakukan dari sekarang :)

Oh iya, kebanyakan orang belum mau memulai kebaikan karena takut atau khawatir tidak sempurna, sehingga banyak yang memutuskan untuk menjadi sempurna dulu untuk memulai. Tapi menurut Ibu Septi, jangan pernah menunggu kesempurnaan untuk memulai suatu kebaikan. Jika kita terus menunggu dan memikirkan kesempurnaan, niscaya kita tidak akan memulai atau bergerak. Justru kita harus memulai kebaikan itu sedini mungkin dan secepat mungkin kebaikan itu bisa dilakukan.

Langkah pertama memang selalu dianggap sulit, pun itu untuk menjadi change maker family. Tapi sebenarnya kita bisa membuat langkah pertama ini menjadi mudah caranya adalah dengan memulai kebaikan dengan passion yang kita punya. Lakukan kebaikan di ranah passion kita, usahakan yang terbaik, dan serahkan hasilnya kepada Allah SWT. Tapi ingat saat kita ingin menerima lebih, maka kita harus berubah menjadi yang layak untuk menerima itu semua.


Bagaimana Melakukan Projek Change Maker Family?

Membuat projek keluarga berarti membuat perubahan bersama-sama. Oleh sebab itu hal in aja dengan team work. Untuk bisa membuat perubahan bersama anggota keluarga lainnya, maka setiap anggota keluarga harus sering main bareng, bercanda bareng, dan beraktivitas atau bekerja bareng. Jika sudah terbiasa melakukan banyak hal bersama, maka ikatan antar anggota keluarga akan semakin kuat dan setiap anggota keluarga akan saling memahami karakter masing-masing lebih dalam lagi.

Kemudian mulailah melakukan projek bersama yang dimulai dari projek sederhana yang bisa dipahami anak usia dini dan tidak membosankan untuk orang tua. Pada bagian ini setiap anggota keluarga berhak mengajukan sebuah projek, anggota keluarga yang mengajukan projeknya bisa menjadi leader projek. Misalnya ibu memiliki projek, maka ibu bisa menjadi team leader yag sebelumnya harus mempresentasikan projeknya secara singkat kepada suami dan anak-anak. Suami dan anak-anak berhak memberikan masukan atas projek ibu. Di samping itu ibu juga bisa bertanya kepada anggota keluarga yang lain, anak dan suami, peran apa yang ingin mereka ambil untuk menyukseskan projek tersebut.

Projek yang dilakukan tidak perlu sebuah projek besar, bisa saja projek kecil yang hanya memakan waktu dua hingga tujuh hari proses persiapan hingga pelaksanaan. Misalnya adalah projek membagikan makanan gratis kepada penyapu jalanan di hari Sabtu. Maka seluruh anggota keluarga yang kini menjadi tim kebaikan bisa mengambil peran masing-masing, seperti siapa yang menentukan tempat pembagian makanan, siapa bagian dokumentasi, siapa bagian belanja makan untuk dibagikan, lalu siapa yang bertanggung jawab memasak jika makanan yang akan dibagikan tersebut berupa makanan matang. Masya Allah, menarik bukan! Terbayang bagaimana kebaikan tiap kebaikan diinsisasi dari dalam keluarga, anak-anak diajarkan kebaikan langsung dengan projek dan praktiknya, hal ini mengingatkan saya pada kajian parenting bersama Ayah Irwan yang saya buat resumenya di sini.

Ada hal lain yang harus diperhatikan untuk membuat kebaikan dan perubahan bersama; kesiapan dan kesempatan. Dua hal ini harus ada bersamaan. Terbayang kan bagaimana mustahilnya sebuah kebaikan dilakukan ketika kita sudah siap tetapi tidak punya kesempatan. Apalagi jika sebenarnya kita mempunyai kesempatan tapi sayangnya kita belum ada kesiapan. Oleh sebab itu kitalah yang semestinya menciptakan kesiapan dan kesempatan tesebut, menjadi diri yang layak dan siap untuk mengambil kesempatan kebaikan bersama keluarga.

Bagaimana Jika Projek Kebaikan Change Maker Family Ini Tidak Berhasil?

Apa sih memangnya yang menjadi parameter sebuah kebaikan? Apakah jika semua orang mau ikut dalam kebaikan yang kita lakukan? Apakah saat semua orang menerima kebaikan yang kita lakukan? TIDAK!

Tidak ada parameter keberhasilan dari Change Maker Family. Semua parameter itu sejatinya adalah hal yang kebanyakan dibuat-buat. Seperti yang sebelumnya ditulisakan, bahwa kita tidak bisa mengubah banyak orang dan tidak bisa membahagiakan semua orang. Terlalu berusaha mengubah dan membahagiakan banyak orang akan menguras banyak sekali energi yang kita punya. Hasilnya kemungkinan besar kita akan kecewa jika respon orang tidak sesuai dengan harapan kita. Oleh karena itu, mulai semuanya dengan mengubah diri sendiri dan setiap menjalankan projek yang penting kita bahagia, tidak peduli berapa banyak orang yang menerima projek kita. Selama projek itu sebuah kebaikan, niscaya lambat laun akan ada orang-orang sefrekuensi yang dipertemukan dengan kita. So, tugas kita hanyalah menebar benih-benih kebaikan sebanyak mungkin dan membiarkan benih kebaikan itu tumbuh sesuai fitrahnya di tangan masing-masing orang yang menerima.


Adakah Tips Lain untuk Menjadi Change Maker Family?

Ada 4E yang bisa kita lakukan untuk menjadi change maker family dalam menjalankan projek perubahan dan kebaikan bersama keluarga, yaitu Enjoy, Easy, Excellent, dan Earn.

Pastikan kita enjoy atau nyaman dan bahagia dalam melakukan projek kebaikan. Kenyamanan dan kebahagiaan ini sangat menentukan apakah projek kebaikan ini bisa berjalan atau tidak nantinya. Kebahagiaan yang dimaksud ini bisa ibu dan tim keluarga dapatkan dari dalam rumah, dari diri sendiri. Jadi change maker family tidak pernah mencari kebahagiaan dari luar timnya, meskipun itu sekadar mengharapkan apresiasi orang lain dari projek yang dilakukan :)

Lalu tetap lakukan setiap hal dalam projek dengan easy, santai. Melakukan projek kebaikan, jika kita tidak bahagia pasti kita tidak akan santai menjalankannya. Akan ada rasa kesal atau berharap banyak selama mengerjakan projek. Oleh sebab itu, menjalan projek dengan santai agar yang dilakukan semuanya maksimal :)

Kemudian lakukan setiap halnya dengan excellent. Menjadi yang terbaik selama projek kebaikan keluarga berlangsung buka berarti harus menjadi yang sempurna dalam setiap halnya. Kedua hal ini jelas sangat berbeda. Ketika kita melakukan yang terbaik, berarti kita telah fokus pada hal-hal positif dan kelebihan diri yang bisa kita maksimalkan. Berbeda ketika kita menjadi kesempuranaan sebagai target dari yang kita lakukan, pasti akan banyak energi yang terkuras untuk mengejar kesempurnaan itu. Maka akan jauh lebih baik jika energi kita disalurkan untuk tetap melakukan yang terbaik. :)

Jangan lupa untuk earn your work, menikmati setiap usaha. Untuk menikmati setiap usaha yang kita lakukan dalam projek kebaikan bersama tim keluarga ini tentunya tidak perlu menunggu hasil. Kita bisa menikmati hasil setiap projek di setiap tahapan projek ini berlangsung. Misalnya menikmati setiap saat berbicara bareng tentang projek, menikmati setiap candaan yang dilakukan di tengah-tengah proses pembuatan projek, dan menikmati setiap usaha yang dilakukan orang-orang tersayang dalam keluarga yang terlibat dalam projek ini.

Ibu Septi bersama Pak Dodik dan Enest, anaknya. Looking at them who always keep smiling during the talkshow really sparking joy :)
(dokumentasi pribadi)
Masya Allah! Seru bukan! Saya yang belum menikah pun merasakan bagaimana serunya dan menyenangkannya melakukan projek kebaikan bersama untuk menjadi change maker family ini. Terbayang bagaimana keberkahan dan rahmat Allah SWT akan terus mengalir dalam keluarga yang terus dan terus melakukan kebaikan untuk banyak orang, bukan untuk diri sendiri. Terbayang bagaimana nikmatnya bisa berkolaborasi kebaikan dengan orang-orang tersayang (suami dan anak-anak), sehingga hubungan yang terkait bukan hanya tentang mendidik dan dididik melainkan bagaimana saling terpaut dalam pahala-pahal kebaikan.

@fatinahmunir | Jakarta, 25 Januari 2018


25 January 2018
Posted by Lisfatul Fatinah

Tentang 2017



Bismillahirrahmanirrahim

“Life has  a way of tasting a person will, either by having nothing happen at all or by having everything happen at once.”
(Paulo Coelho)

Sudah hampir sepuluh hari 2018 terlewati, tetapi masih banyak di 2017 dan tahun-tahun sebelumnya yang masih membekas dan melekat di relung hati dan pikiran.

Sebenarnya pada 2017 saya tidak memiliki banyak resolusi atau target tahunan. Adapun sebuah postingan di instagram yang pernah saya buat tentang resolusi, itu hanya sebatas daftar hal-hal yang ingin saya lakukan. Semuanya tercatat setelah terlintas sejenak dalam benak. Qodarullah semuanya terjadi satu per satu meskipun beberapa hal yang terlewati tidak pernah terpikirkan sedikitpun walau sejenak.

Meskipun banyak hal diraih, rasanya hal ini tidak boleh dijadikan referensi, sebab apa yang saya rasakan setelah melewati semua rencana-rencana yang tidak direncanakan itu tidak sepuas yang telah direncanakan.Yang paling membedakan adalah kurangnya esensi dari yang dicapai. Di sini saya mulai memahami arti failing to plain is planning to fail.

Setiap halnya yang terlewati pada 2017 lalu penuh kejutan. Beberapa hal membuat tertawa, kadang tersenyum dalam hati, lebih sering lagi tersenyum untuk menutupi sedih, di lain waktu juga saya meronta. Tetapi berupa rasa itulah yang kini, setelah sepekan merenungi, membuat saya cukup siap untuk menjalani apa-apa yang sudah direncanakan di tahun ini. Ya, 2017 buat saya adalah tahun yang penuh kejutan dan saya menyebutnya sebagai tahun penempaan.

Januari 2017 terlewati dengan harapan dan keridhaan yang selalu dinanti. Hari-hari di bulan ini adalah waktu di mana setiap halnya dimulai dengan penuh kejutan yang melegakan. Malam pergantian tahun saya lalui dengan berdiam diri di dalam masjid bersama seorang sahabat dan seorang murid kelas bahasa Inggris saat saya mengajar di Kediri. Hari pertama 2017, sepulang dari masjid adalah momen yang berharga bagi saya di bulan ini, sebab di hari ini ada dialog istimewa -bagi saya khususnya, antara saya dan bapak. Di sinilah untuk pertama kalinya bapak mau menerima hadiah dari saya. Kisah tentang dialog dengan bapak ini saya tuliskan beberapa waktu lalu di sini.

Di bulan ini pula, tepatnya di hari ketujuh, alhamdulillah setelah menanti selama dua tahun, bapak akhirnya memberikan restu dan ridhanya buat saya untuk meneruskan kuliah di luar negeri. Maka sejak restu dan ridha ini dikantongi, saya kembali belajar dan mempersiapkan diri untuk kembali mendaftar beasiswa :)

Februari 2017 dirasakan dengan segenap syukur dan pandangan yang semakin luas atas nikmat Allah yang senantiasa terbentang. Di bulan kedua 2017 ini untuk pertama kalinya saya berkunjung ke beberapa negara untuk tujuan lebih dari sekadar berjalan-jalan. Selama perjalanan inilah saya menemukan teman-teman baru, guru hebat yang sangat passionate, sosok-sosok muslim inspiratif di tengah keminoritasan, dan teman-teman lintas negara yang Allah SWT perkenalkan dari tegur sapa di tepi jalan.

Di waktu-waktu berharga ini saya selalu mengusahakan berdiskusi, berbagi cerita, dan melihat langsung semangat pendidik di negara maju dan segala perjuangan mereka untuk menjadi guru yang qualify menurut peraturan negara. Semuanya menjadi inspirasi bagi saya untuk bisa menjadi guru yang layak mendidik, ditiru, dan digugu, meskipun saya menyadari bahwa apa yang telah saya lakukan hanya seujung kuku dari perjuangan mereka. Dan saya pun menyadari betapa masih banyak yang harus dilakukan agar Indonesia bisa memiliki kualitas pendidikan seperti negara-negara maju lainnya.

Di tempat-tempat baru yang saya lewati di bulan inilah yang juga mengajarkan saya betapa luas khazanah ilmu yang belum tersentuh. Saya melihat nilai-nilai Islam begitu disebarluaskan dalam lisan dan perilaku oleh teman-teman seiman di tempat minoritas. Pada mereka saya menemukan Islam yang menjadi rahmat, yang tidak hanya sebagai keyakinan tetapi juga pengetahuan bagi siapapun. Insya Allah pengalaman ini akan saya tulis di lain waktu :)

Oh iya, selama perjalanan di bulan ini saya belajar bagaimana sebuah negara besar bisa tumbuh dan terus berkembang pesat karena tiada orang-orang di dalamnya yang berani melupakan sejarah. Tiada perjuangan dan tindakan mereka yang terinspirasi dari sejarah kelam negara yang mereka hidup di dalamnya. Termasuk saya pun belajar bagaimana berteman dengan beberapa teman dari negara lain dan saling bertukar kisah tentang budaya dan adab di setiap negara. Alhamdulillah ‘alaa kulli haal, bulan ini Allah SWT berikan keberkahan.

Maret 2017 ketika kenikmatan berkelindan dengan keberkahan yang terpaut oleh tali perkenalan. Bulan ini pun terlalui dengan kejutan-kejutan kecil. Awal bulan, pertemuan dengan beberapa teman berkebangsaan Jepang pun terjadi dengan cukup dadakan. Dua hari dilalui dengan berkeliling Jakarta dan berbagi cerita tentang kebiasaan, budaya, pengalaman, dan lelucon ala Indonesia-Jepang. Ini adalah kali pertama saya mendampingi teman dari negara lain melancong di negeri sendiri. Sejak menemani mereka, saya punya target semoga suatu hari nanti saya bisa lagi dan lagi menemani teman-teman dari negara lain untuk berkeliling di negara sendiri :)

Tak lama berselang, alhamdulillah saya akhirnya bisa melakukan traveling dan mendaki sesuai target saya, yaitu pendakian 2017 harus diawali dengan misi berbagi kebaikan. Maka jadilah saya bersama seorang sahabat dan teman naik gunung membuat sebuah taman baca di sebuah desa di Garut. Sebelum kami berkemah di kaki gunung Cikuray.

Pada misi kebaikan kali ini, saya sangat berterima kasih kepada bapak yang sudah banyak membantu saya menyiapkan beberapa hal untuk persiapan pembuatan taman baca. Bapak banyak membantu saya memilah buku-buku, mengemas buku-buku ke dalam kardus, dan juga mengangkut buku-buk untuk dibawa ke Garut. Jazakumullah khiar, Pak :)

Oh iya, hal istimewa lainnya di bulan ini adalah saya bersyukur sekali bisa merasakan pertama kalinya berpergian jauh dan menginap bersama murid-murid spesial saya. Semua kenangan ini terekam dalam agenda summer camp 2017 di tempat saya mengajar. Selama summer camp berlangsung, segala keletihan dan kegembiraan tetap terlewati dengan senyum dan tawa tiada henti :D

Seperti keberkahan yang tiada habis kebaikannya, di bulan ini pula untuk pertama kalinya saya mendapat hadiah dari Paman Kyai yang tinggal di Madura. Hadiah kecil berupa surban yang biasa Paman Kyai pakai dan diberikan kepada saya seusai keluarga menunaikan tahajjud. Teriring pula doa beliau saat memberikan surban, “Semoga semakin bijaksana, terjaga wibawamu, dan selamat dunia akhiratmu.” Lalu dia bulan berikutnya saya berpikir doa ini mungkin menjadi satu hadiah yang menjadi penguat bagi saya di hari-hari selanjutnya.

April 2017 yang datang membawa memori paling perih tapi tak mau saya lupakan. April selalu menjadi bulan yang dinanti oleh saya, sebab bulan ini adalah bulan khusus para penyandang autisme. Awal bulan dilalui dengan semangat, membuat berbagai tulisan tentang autisme di instagram dan blog juga berusaha terlibat dalam aktivitas bertajuk autism awareness di luar ataupun dalam tempat saya mengajar. Di samping itu, bulan ini pula saya merasakan menjadi panitian volunteer untuk agenda bertaraf internasional. Alhamdulillah, saya berkesempatan membantu sekaligus mendengarkan langsung ceramah dari Ustadz Zakir Naik.

Tapi ada waktu di mana saya seolah tidak ingin mendahapi bulan ini, sebab pada bulan ini pula kesedihan terbesar dalam hidup saya selama ini terukir. Rasa sedihnya membuat saya merasa sakit hati pada apa yang telah Allah SWT Tuliskan kepada saya. Sebuah sedih dan sakit yang meruntuhkan segala cita-cita saya dan sempat membuat saya kehilangan arah. Di sinilah saya merasa hilang sudah satu kaki saya untuk melangkah, sehingga jangankan berlari, berjalan pun setelahnya saya teramat tertatih.

Bulan keempat 2017 ini, tepat di pekan keduanya bapak pergi meninggalkan kami. Bapak berpulang ke tempat tinggalnya, ke sisi termulia Allah SWT. Masih ingat di bulan Januari tentang restu bapak untuk saya melanjutkan pendidikan? Mimpi itu memudar setelah pemberi restu itu pergi dan setiap hari di bulan-bulan selanjutnya menjadi minim arti.

Mei 2017 saat hari-hari berjalan bagai bayang-bayang. Di bulan ini, meski sudah sebulan bapak pergi, bayang-bayang beliau masih ada, melekat di sekitar saya. Semuanya berjalan dengan semangat yang mengambang, tidak ada antusiasme seperti dulu lagi.

Di awal bulan, saya memantapkan diri untuk tidak naik gunung lagi hingga saya benar-benar siap pergi bersama yang bertanggung jawab atas saya. Dan bulan ini saya tetapkan sebagai terakhir kalinya saya mendaki, yakni ke Gunung Sumbing bersama beberapa teman sehobi. Entah kapan Allah SWT perkenankan saya kembali menggeluti alam.

Keputusan ini juga menjadi awal mula dari segala keputusan saya untuk berdiam diri di rumah. Ya, saya memilih untuk lebih banyak berdiam diri di rumah. Menjadikan keluarga yang sebelumnya first priority menjadi super first priority. Meminimalisir aktivitas di luar dan mencoba sedikit demi sedikit menerima kehilangan.

Tahun lalu, Ramadhan jatuh di akhir bulan ini. Setiap harinya dilalui dengan aduan kepada Allah SWT. Setiap ada kesempatan sendirian, meski di luar waktu ibadah, selalu menjadi waktu mencurhatkan segala kepada-Nya, tentang semua rasa yang meskipun Dia Tahu, tapi saya butuh menyampaikan kepada-Nya.

Tidak ada yang istimewa di hari-hari bulan ini atau pun selanjutnya bagi saya, kecuali rasa ingin tahu yang melejit tinggi tentang bagaimana kehidupan kita setelah kematian dan apa yang terjadi di dalam kubur seseorang. Maka saya mulai membaca berbagai hal tentang kehidupan alam kubur dan akhirat. Saya juga banyak bertanya kepada teman-teman yang ahli dalam urusan agama. Apakah saya bisa mengenali bapak, bertemu bapak, dan berkumpul lagi dengan bapak di akhirat nanti, di surga-Nya? Itulah pertanyaan-pertanyaan besar yang berkumpul dalam dada saya.

Segala bentuk instrospeksi tentang apa-apa yang telah dan akan di lewati juga menjadi pilihan saya di bulan ini. Saya memutuskan untuk banyak berpikir. Lagi-lagi pun saya mencoba merenungkan dan mikirkan banyak hal yang harus dilakukan, bertadabbur, melihat lagi ke belakang dan melihat jauh ke depan. termasuk menyelaraskan kembali impian dan kenyataan yang telah Allah SWT tetapkan. Meskipun tampaknya saat itu belum ada titik terang. Belum saya temukan ketenangan. Saya gamang dan masih perlu banyak belajar menerima dengan keikhlasan.

Juni 2017 berlalu masih dalam sendu. Akhir Ramadhan dan Idul Fitri tahun lalu ada di bulan ini. Setiap malamnya selalu terpanjat doa dan istighfar buat bapak. Tidak ada yang menjadi teramat istimewa di bulan ini kecuali harapan bisa meraih Lailatul Qadr dan Allah SWT mengabulkan setiap bagian dari hal-hal kecil saya dalam doa saya.

Sama halnya tidak ada yang teramat istimewa di hari raya saat itu kecuali pergi ke makam bapak sebagai ganti dari mencium tangan dan memeluk bapak di tahun-tahun sebelumnya. Di hari raya ini, saya memutuskan hanya untuk berdiam diri di rumah dan bersilaturahim ke keluarga pada hari-hari berikutnya.

Juli 2017 yang semakin hampa dan langkah yang tak lagi bernyawa. Sungguh hidup masih saya jalani di bulan ini tetapi tidak ada nyawa dalam setiap hari saya melangkah. Hari demi hari dilewati cukup dengan melakukan rutinitas mengajar dan menghadiri majelis ilmu, tetapi semangat dan antusias yang biasanya ada seolah sudah menguap begitu saja. Semangat saya seolah ikut pergi bersama dengan kesedihan karena bapak berpergi. Tenaga dan semangat yang tersisa hanya untuk dihabiskan di dalam rumah.

Di bulan ini, seorang teman yang lama sekali tak bertemu ataupun berkirim kabar, tiba-tiba mengirimkan saya sebuah pesan Facebook dari Jepang. Dia mengirimkan saya sebuah postingan video tentang rombongan orang-orang dengan disabilitas di sebuah festival. Saat itu dia juga menawarkan saya untuk belajar di Jepang, termasuk memberikan beberapa link beasiswa untuk guru, sesuai profesi saya. Kembali lagi kenangan dan impian itu dibuka. Saat itu, saya teringat kepada impian saya dan juga restu bapak yang telah dikantongi. Tapi anehnya, semangat itu belum muncul lagi. Saya memutuskan untuk tidak mengikuti seleksi beasiswa dan memilih diam sendirian seperti biasanya, bersama Allah SWT. saja. Hanya untuk beberapa lama. Janji saya pada diri sendiri.

Agustus 2017 yang menjadi masa mengurung diri dan pergi dari ke sedikit apapun bentuk kebisingan.  Pada bulan ini masih nyata bekas-bekas sedih. Hari-hari yang saya jalani berlalu begitu saja. Meskipun sedikit demi sedikit saya memutuskan untuk mencari kesibukan sambil tetap menarik diri dari keramaian.

Ada dua aktivitas baru di bulan ini seingat saya, yakni saya mulai bergabung dengan klub bahasa Inggris dan menjadi volunteer di sebuah organisasi yang mengampanyekan antirokok di kalangan anak-anak. Dua aktivitas ini saya pilih karena ketertarikan saya pada bahasa dan anak-anak. Di samping itu, di sini saya tidak terlalu terikat dan setidaknya berharap di sini saya bisa mengurangi kesedihan dan sedikit menanamkan lagi semangat.

Lalu di bulan yang sama saya juga memutuskan untuk menonaktifkan sosial media. Tidak ada lagi akun sosial media, tidak pula menulis untuk menyembuhkan diri. Hanya berdiam diri di rumah, menikmati apa pun yang bisa saya lakukan, meski hanya ada di rumah untuk tidur atau asalkan tidak keluar seperti yang emak minta dan asalkan tidak sering-sering bertemu banyak orang seperti yang saya mau.

September 2017 tempat di mana perenungan semakin menjadi. Saya semakin bertepekur dengan diri saya sendiri bersama Allah SWT. Bertanya berkali-kali atas apa yang telah dilewati dan berpikir berkali-kali atas apa yang hendak dilewati. Sama seperti bulan-bulan sebelumnya, intensitas aktivitas apapun di luar rumah terus berkurang. Hanya mengajar, kajian Islam, dan kelas bahasa yang saya jalani. Saya juga menyadari bermula dari sini sedikit demi sedikit hubungan dengan teman-teman terjeda sebab memilih berpikir lebih lama.

Mungkin ada satu yang membuat saya merasa cukup bahagia. Yakni waktu di mana semester pertama di tahun ajaran pertama di mulai. Pekan-pekan pertama bertemu murid-murid besar yang istimewa dengan berbagai pendekatan dan observasi, cukup membuat saya teralih dari sedih dan kelesuhan diri.

Oktober 2017 di mana setitik demi setitik muncul jawaban dan mulai merangkak mengaisi semangat. Memasuki akhir 2017 ini muncul beberapa pertanyaan dari teman-teman yang tidak pernah saya duga –sebab nyatanya kami jarang bertemu pun itu bersapa di sosial media. Mereka adalah orang-orang yang diam-diam memperhatikan saya di sosial media, yang kemudian bertanya kemana saya selama ini dan mengapa sosial media saya tidak ada lagi. Ada juga beberapa pesan yang masuk ke WhatsApp ataupun yang disampaikan melalui orang lain tentang pribadi saya. Salah satunya adalah kerinduan teman-teman pada tulisan atau postingan saya. 

Di sinilah saya menemukan setitik semangat di balik sedih dan luka, di mana ternyata apa yang dianggap biasa oleh saya –postingan sosial media, bisa bernilai manfaat bagi orang di sekitar saya. Sejak bulan ini saya –lagi-lagi berpikir, untuk sedikit demi sedikit membuka diri, kembali bergerak meski terseok. Memulai mencari celah untuk kembali bermanfaat, kembali bersemangat dari awal meski grafiknya tak secepat dulu.

November 2017 saat tiap kepingan semangat ditata sedemikian rupa. Pada hari-hari di bulan ini saya mulai membangun kembali diri saya yang sempat pecah.

Saya menyebut bulan ini sebagai bulan penyembuhan, di  mana setiap harinya saya niatkan untuk menjadi saya yang dulu. Meskipun sudah mulai merasa tertekan sebab rutinitas yang berbeda, dari sangat sering beraktivitas menjadi sangat meminimkan aktivitas. Tapi saya tetap mencobanya.

Apa yang dirasakan saat itu? Banyak hal yang saya rasakan. Mulai dari distraksi yang lebih tinggi, mudah menangis, mudah menyendiri sampai benar-benar hanya ingin sendiri di kamar, lalu semangat lagi untuk bertemu teman-teman meskipun masih sangat pilih-pilih untuk bertemu teman-teman tertentu.

Bulan sebelum akhir tahun ini menjadi sangat berat bagi saya sekaligus menjadi titik tolak saya membentak diri. Betul, membentak diri saya sekuat-kuatnya demi membentuk diri lebih baik lagi. Apa jadinya jika saya terus sedih? Bukankah kebahagian dan kesedihan itu menular? Kenapa saya tidak mencoba untuk berbahagia? Kenapa saya tidak mencoba tersenyum meskipun di balik pintu kamas saya menangis dan meraung-raung mengadukan segala rasa kepada Allah SWT?

Ya. Di bulan ini saya mencoba menemukan jawaban sendiri dari segala pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada habisnya di pikiran saya.

Saya benar-benar berjuang untuk mengenakan kembali pakaian saya, menjadi yang aktif, progresif, passionate, dan penuh dengan impian yang terencana. Bedanya, saat ini saya belajar menanggalkan hal-hal yang menjebak saya seperti karakter dominan, selalu ingin yang terdepan, dan ambisi untuk tak ingin terkalahkan. Sedikit demi sedikit saya mencoba membuka diri. Sangat sedikit demi sedikit. Memulai dari nol untuk kembali seperti dulu; kaya semangat kebaikan seperti dulu, penuh passion, spontanitas menuangkan ide, dan membuka pikiran meskipun harus berpikir berkali lipat dari sebelumnya ketika ingin meraih suatu target.

Desember 2017 menjadi tempat berpikir lebih dalam dan lebih cepat untuk bisa mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi sedetik kemudian dalam hidup ini. Itu yang saya pikirkan saat itu. Semuanya saya tata ulang dengan cepat dan dalam. Mulai dari kesedihan yang datang bersama hikmah di dalamnya, berdiam untuk menemukan jawab dari segala pertanyaan saya pada diri sendiri dan semesta, sampai dengan kembali dan kembali menata impian yang sempat ingin dikurung selama. Lalu semua itu saya coba selaraskan dengan kenyataan yang ada.

Di bulan ini saya mencoba menakar kembali kemampuan saya, menemukan kunci-kunci semangat yang masih tersisa –meskipun bapak sebagai kunci utamanya telah tiada, merefleksikan diri untuk mencari celah untuk saya cela diri saya sendiri. Lalu melihat ke depan, membaca kemungkinan-kemungkinan terburuk dan terbaik yang akan ditemui dan mendaftar segala hal yang harus saya siapkan untuk menghadapinya.

Beginilah 2017 menjadi tahun penempaan buat saya. Di mana saya harus menyadari bahwa tidak selamanya kemudahan dapat saya terima, tidaklah kebahagiaan selamanya saya temui, sedemikian pula tidaklah kesulitan dan kesedihan harus digenggam. Toh nyatanya kekecewaan pada Allah SWT yang pernah saya rasakan adalah sebenarnya kekecewaan saya pada diri saya sendiri, sebab melepaskan kesempatan selagi di hadapan.

Di sinilah bagian sulitnya. Yakni saat saya terpaksa atau belajar mengikhlaskan untuk menahan keinginan diri sendiri demi menyeimbangkannya dengan harapan emak dan kakak. Mengalahkan diri sendiri dari kata “pokoknya harus” menjadi “kalau saya begini nanti yang lain bagaimana”. Sulit memang, apalagi sebelumnya setiap hal saya lakukan dengan mudah dan nyaris persis seperti apa yang saya inginkan.

Kini, di 2018 ini, saya berharap bisa menjadi awal yang baik untuk memulai menjadi diri yang lebih menahan diri. Menahan diri dari kebahagiaan yang berlebih, menahan diri dari kesedihan yang terlalu dalam, menahan diri dari keegoisan berkeinginan, dan banyak lagi bentuk menahan diri lainnya.

Di tahun ini saya tidak ingin mengulang kegagalan merencanakan. Saya ingin tahun ini menjadi tahun di mana diri ini semakin baik lagi dan lagi hati dan pikiran saya. Berharap tahun ini bisa semakin dekat dan berpasrah kepada Allah SWT, agar bisa lebih melembutkan hati dan menerangkan pikiran saya. Berharap tahun ini bisa berlebih dalam bersyukur dan bertafakur hingga saya lupa bagaimana rasanya kufur. Berharap tahun ini juga bisa mewujudkan apa yang emak impiakan sekaligus apa yang bapak harapkan.

***

Tapi setelah sejauh ini saya menulis dan flash back kembali apa-apa yang sudah saya lewati, rasanya sejauh ini saya masih kurang bersyukur, telalu mengukur diri dari kehilangan dan lupa pada apa-apa yang terjadi sebelum rasa sedih yang bertubi itu datang.  Di balik segala kesedihan dan ketertatihan di tahun penempaan ini, masih ada tiga setengah bulang pertama yang saya nikmati dengan teramat indah dan sangat patut disyukuri. Dari dua belas bulan yang telah dilalui ke belakang, meskipun penuh naik turun semangat, tetapi masih ada seperempat perjalananya yang bisa saya lalu dengan dengan senyuman.

Saya bersyukur bisa melewati seperempat tahun belakangan dengan kesempatan-kesempatan yang Allah SWT berikan, entah itu kesempatan untuk tersenyum ataupun bersedih. Bersyukur juga tahun lalu saya benar-benar ditempa, sehingga saya bisa memperbaiki diri lagi dan lagi. Beberapa hal yang saya amati menjadi pencapaian saya di masa-masa sedih itu sebenarnya adalah pencapaian yang lebih kepada esensial perbaikan diri. Iya, benar-benar berhubungan dengan managemen diri dan hati.

Alhamdulillah tahun lalu sudah mulai belajar mengatur prioritas, keluarga tetap menjadi the most first priority jauh dan jauh di atas segala rencana-rencana, termasuk mengelola ego untuk tidak hanya memikirkan apa yang saya inginkan saja. Lalu, alhamdulillah bisa sedikit demi sedikit mengelola keuangan, mengatur alur masuk dan keluarnya uang dengan lebih hati-hati dan terdata. Sangat bersyukur pula di tahun ini bisa merampungkan beberapa buku berbahasa Inggris yang menjadi target saya, merapikan lemari menggunakan metode Konmari, berhenti (sejenak) membaca novel memperbanyak bacaan pengetahuan umum, belajar berenang, dan menemukan banyak lainnya yang mendekati akhir tahunnya sedikit demi sedikit semakin memberikan kelegaan. Alhamdulillah. Laa haulaa wa laa quwwata illa illah :)



***

Untuk teman-teman yang membaca tulisan ini, semoga doa-doa kebaikan dalam tulisan ini juga mengalir kepada kalian. Semoga semakin tercurah cinta Allah SWT kepada kita agar semakin kita cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Allahumma amiin.

"No one is coming to make your 2017 unsuccessful. This life of yours is 100% your responsibility. Dear past, thank you for your lesson. Dear future, insya Allah I'm ready. Dear Allah, thank you for another chance."

@fatinahmunir | 10 Januari 2018



10 January 2018
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -