Archive for September 2016

Belajar Mengalahkan Diri Sendiri


“Karena manusia bukan Tuhan yang tahu segala yang tersimpan dalam hati dan pikiran. Maka katakanlah, agar orang lain mengerti dan setiap masalah terselesaikan tanpa adanya masalah baru” (Anonim)

Satu setengah tahun lalu
saat menghadiahi Emak sarjana pendidikan
sekaligus menjadi sarjana pertama dalam keluarga :)
Sebagai perempuan termuda di rumah, bisa dibilang saya adalah perempuan yang paling keras kepala. Tidak kalah dengan keras kepalanya Emak. Meskipun sama-sama keras kepala, kami memiliki satu perbedaan. Emak menunjukkan kekeraskepalaannya dengan ucapan, sedangkan saya menunjukkan kekeraskepalaan saya dengan diam.

Terbayang bagaimana jika kami sedang marah? Ya, emak akan terus berbicara dan saya akan terus diam untuk menunjukkan kemarahan saya. Buruknya lagi, saya baru saja melewati masa marahan saya dengan Emak di hari ini, tepat di Hari Raya Idul Adha ini.

Semua ini bermula dari argument kami tentang pembagian tugas di rumah. Emak dan bapak memiliki usaha kecil-kecilan berjualan soto di salah satu perkantoran di Jakarta. Sementara itu saat ini saya sedang bekerja sebagai asisten dosen di salah satu kampus swasta, mengajar private anak berkebutuhan khusus pada malam hari, sambil belajar untuk mempersiapkan kuliah di Eropa. Sayangnya, meskipun saya sudah berusaha untuk mendapatkan beasiswa keluar negeri, tapi Emak dan Bapak belum meresui saya. Hingga kekecewaan saya memuncak saat saya memilih belajar dibandingkan membantu kakak di dapur untuk keperluan dagang esok harinya.

Emak marah. Seperti biasa membandingkan saya dengan anak tetangga atau sepupu yang lainnya. Lalu semuanya merambat pada kesalahan-kesalahan sebelumnya yang kembali disebut. Alhasil, malam itu saya meninggalkan buku-buku saya dan mengerjakan apa yang Emak minta, meskipun sambil sedikit menangis.

Saya menangis bukan karena diminta bekerja membantu menyiapkan dagangan. Saya menangis karena saya tidak mengerti apa yang harus saya lakukan dengan dagangan yang selama ini diurus oleh Emak dan kakak saya. Ditambah lagi Emak yang memberikan perintah berurutan. Saya selalu merasa bingung jika diberi perintah berurutan atau diberikan daftar perintah lebih dari dua secara langsung dan bersamaan. Tapi Emak dan orang-orang rumah lainnya tidak memahami saya. Yang saya tahu –berdasarkan ilmu pendidikan khusus yang sedang saya geluti saat ini, kurang mampu menerima perintah secara berurutan adalah salah satu tanda disleksia. Setelah saya telusuri dan ingat-ingat lebih jauh lagi, memang sejak kecil saya tidak bisa diberi perintah berurutan. Kalaupun saya melakukannya, saya akan melakukannya sambil menangis kebingungan karena tidak paham mana yang harus dilakukan duluan.

Lanjut pada cerita saya pada malam itu. Semuanya saya coba lakukan seperti apa yang dilakukan Emak dan kakak. Demikian pula keesokan harinya, saya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan sebagai pengajar sekaligus anak. Mengajar, menyapu, mengepel, dan menyeterika pakaian saya lakukan dengan cukup baik hari ini.

Sayangnya, saat saya bangun pukul setengah dua malam untuk shalat, saya mendengar Emak sedang mengomel sendirian di dapur. Beberapa omelannya tentang pekerjaan untuk keperluan berdagang esok hari yang belum selesai dikerjakan oleh kami anak-anaknya. Sisanya adalah kemarahan Emak kepada saya. Refleks saat itu juga saya tidak jadi beranjak keluar kamar. Saya malah menangis semalaman hingga mata saya sembab.

Pagi harinya saya memutuskan absen dari tugas harian saya di rumah. Rumah yang sudah dipel dan piring kotor yang sudah saya bersih tidak menjadi pemandangan pagi sebelum saya berangkat bekerja. Saya hanya diam di kamar, memikirkan omelan Emak malam itu dan pergi bekerja di saat saya harus pergi.

Sore harinya saya habiskan waktu di kamar. Saya sama sekali tidak berkumpul dengan keluarga lainnya di ruang menonton. Saya memutuskan tidak berbicara pada yang lainnya meskipun Bapak masih memutuskan berbicara dengan saya. Emak, memutuskan mengikuti apa yang sudah saya mulai. Jika di rumah, yang saya lakukan hanya membaca buku-buku pendidikan khusus atau mempersiapkan ujian IELTS. Oh iya,

Di tengah doa setelah shalat, saya teringat salah satu ajaran Rasulullah bahwa jika seorang muslim sedang marah, maka dilarang saling mendiamkan lebih dari tiga hari. Mengapa tiga hari? Karena selama tiga hari itu sejatinya waktu yang cukup untuk menghilangkan amarah dan selebihkan bukan amarah saat bertengkar yang berperan tapi amarah lain, ego lain yang mengambil alih.

Mengingat hal itu, saya memikirkan cara bagaimana melakukan aktivitas seperti sedia kala. Jika saya sudah marah sejak Kamis pagi, dan memilih tidak berbicara sejak Jumat, maka Minggu adalah hari terakhir saya untuk mendiamkan mereka. Tapi saya tidak ingin dianggap salah oleh Emak. Saya juga tidak mau melakukan itu terlebih dahulu.

Beruntung ada adik Emak bertamu pada MInggu sore. Saya selalu menutupi konflik keluarga di depan orang lain, termasuk di depan keluarga besar. Jadi selama adik Emak bertamu, saya bersikap seperti biasa, keluar kamar, berbicara dengan yang lainnya, dan ikut bergabung di ruang tamu. Tapi setelah adik Emak pulang, saya kembali ke kamar. Saya tidak tahu harus memulai dari mana dan saya justru kembali ke kamar, mengurung diri hingga hari raya tiba. Saya juga memutuskan untuk mogok makan sejak sabtu sore. Emak tahu itu.

Malam itu saya menangis lagi sendirian. Saya bingung ingin memulai dari mana. Yang bisa saya ucapakan di antara takbir hari raya idul adha adalah “Kapan ini akan berakhir, ya Allah!”

***

Saya tidak shalat hari raya karena saya sedang dalam masa menstruasi. Saya menghabiskan pagi hanya di dalam kamar sementara Emak dan kakak saya sibuk di dapur sejak Minggu pagi untuk menyiapkan hari raya.

Tepat pukul setengah delapan pagi, setelah Emak pulang dari shalat hari raya, Emak masuk ke kamar saya. Beliau membangunkan saya dengan menggoyang-goyangan badan saya sambil berkata,  “Bangun, Nak. Ini hari raya. Ngapain kamu marah kayak begitu?”
Saya tidak menjawab dan lagi-lagi hanya menangis.

“Mau sampai kapan kamu kayak gini? Ini hari raya. Ayo keluar!” Emak masih menggoyangkan tubuh saya sementara saya diam dan tidak berkutik sedikitpun.

Setengah jam berlalu dan saya memutuskan bangun. Saya kembali ke laptop dan membuka file palajaran individual yang saya punya. Tidak lama kemudian Emak datang lagi menghampiri saya.

“Makan sana! Emak masak-masak dari kemarin. Tolong ubah sikap kamu. Ini hari raya. Saling memaafkan,” kata Emak di belakang saya. Saya hanya lurus menatap laptop denga mata berkaca-kaca antara marah dan keinginan untuk mengakhiri amarah.

Pukul delapan empatlima Emak kembali dan mulai menaikkan nada suaranya. “Kamu kenapa sih? Marah kenapa? Kenapa gak ngomong? Kenapa begini?”

“Lis gak marah. Lis begini karena Emak yang marah duluan,” jawab saya.

“Marah yang kapan? Emak gak marah. Kan Emak bilang kalau Lis mau belajar silakan. Gak apa-apa. Emak gak mau Lis gagal ujian dan malah nyalahin Emak.”

“Waktu malam Emak marahin Lis. Padahal Lis lagi tidur. Lis sedih dengerinya,”

“Astaghfirullah, Nak. Kapan itu?”

“Tuh kan Emak gak ngerasa ngomong. Tapi Lis ngedenger sendiri dari kamar. Lis mau shalat tapi gak jadi gara-gara Lis denger Emak marahin Lis malem-malem,” saya semakin menangis.

Emak terus bertanya banyak hal tentang perilaku saya belakang. Lalu sebuah memeluk saya sesudah berkata, “Maafin Emak ya. Maaf kalau Emak khilaf. Kesal dan bicara kasar ke Lis. Emak gak ada maksud apa-apa,”

Saya terus menangis. Terunduk di dalam kedua lengan saya. Emak mengangkat kepala saya. Beliau terus berbicara.

“Lihat Emak, Lis. Lihat Emak. Emak minta maaf ya. Lis tahu kan Emak pengin Lis sukses, Emak khilaf ngomel karena kesel. Lihat Emak, Lis. Lihat!” Emak menangis, meminta saya terus melihat kea rah matanya.

Saat itu saya merasa seperti anak kecil kembali. Saya seperti anak-anak berkebutuhan khusus yang sering saya tangani. Saya mengalami meltdown (pelampiasan amarah dari menumpuknya kesal akan banyak hal).

Saat itulah saya tahu bahwa saya harus mengatakan semua yang saya rasakan hingga meltdown saya hilang. Saya mengatakan apa saja yang saya harapkan dari Emak, Bapak, dan kakak. Termasuk berharap Emak tidak memberikan perintah berurutan atau banyak perintah secara bersamaan. Di saat itulah saya mengatakan keinginan saya untuk melanjutkan kuliah ke University of Birmingham sangat besar, demi Emak dan Bapak. Termasuk mengatakan untuk tidak memikirkan pernikahan demi memikirkan kebahagiaan Emak Bapak dan untuk mengangkat derajat keduanya di hadapan Allah juga orang-orang yang pernah memandang rendah keluarga kami. Juga tentang kesedihan saya selama beberapa bulan ini mengurus anak-anak jalanan sendirian di saat beberapa teman yang saya anggap bisa mendukung justru memilih mundur.

Begitupun Emak. Beliau mengungkapkan apapun yang beliau ingin ungkapkan. Harapan beliau kepada saya. Doa-doa beliau kepada saya dan keluarga. Termasuk nasihat untuk focus melanjutkan kuliah dibandingkan mengurus anak-anak jalanan sendirian.

Kami mengakui segala kesalahan kami. Mengungkapkan kegelisahan kami satu sama lain. Lalu mengatakan maaf dalam pelukan. Emak mencium wajah saya yang berlumuran air mata. Meminta saya menatap wajahnya sekali lagi. Sekali lagi berbagi maaf, tetap memeluk saya hingga saya merasa tenang dan kami sama-sama merasa lebih baik.

***

Sebenarnya yang ingin saya sampaikan di sini bukan bagaimana saya bermarahan dengan Emak hingga kami berbaikan di hari raya idul adha ini. Saya ingin menyampaikan apa yang ada di balik marah dan maaf yang kami bagi selama beberapa hari belakangan.

Saya pribadi merasa begitu egois ketika saya merasa menjadi yang paling tersakiti karena omelan Emak. Saya merasa sudah cukup tertekan dengan pekerjaan di kampus, private, pekerjaan sosial yang saya lakukan sendiri, serta pekerjaan di rumah sebagai anak rumah tangga. Tapi saya lupa berkaca pada Emak yang saat ini menjadi tulang punggung keluarga karena kondisi Bapak yang sudah tidak sesehat dulu. Saya lupa melihat Emak yang harus memikirkan saya, kakak dan keponakan yang disabilitas, serta kakak pertama saya yang seorang single parent. Saya lupa berkaca pada Emak yang harus bangun dini hari dengan menyekolahkan saya hingga sarjana. Saya lupa pada sosok hebat yang telah menjadikan saya seperti sekarang saya adanya. Saya lupa melihat sisi lain di rumah ini dari beliau.

Saya tersadarkan akan hal ini karena malam harinya saya menonton live action Chibi Maruko Chan the movie. Dalam film tersebut Maruko marah kepada ibu dan kakaknya karena ibu membelikan pakaian baru untuk kakaknya tapi tidak untuk dirinya. Sebaliknya, Maruko malah diberikan pakaian yang pernah dipakai kakaknya. Di bagian lain, Maruko sedih karena kakaknya memberikan seri stiker yang sedang dikumpulkannya kepada adik kelasnya dalam agenda “Perjalanan Pertemanan”. Saat Maruko mengadu kepada ibunya, ibu Maruko hanya menjawab, “Ya mau bagaimana lagi. Kan sudah diberikan ke orang lain.” Mendengar jawaban ibunya, Maruko jadi semakin sedih dan marah kepada hampir seluruh penghuni rumah –kecuali kepada kakeknya. Tapi di akhir cerita, kakak Maruko tetap memberikan sebuah Bulu Amal kepada Maruko daripada kepada adik kelasnya. Kakak Maruko berkata kepada adik kelasnya bahwa Bulu Amal adalah lambang keluarga dan bagaimanapun Maruko tetaplah keluarganya dibandingkan dengan adik kelasnya tersebut.

Saya merasa posisi saya cukup mirip dengan Maruko. Saat ibu Maruko merespon aduan Maruko dengan kata “mau bagaimana lagi” adalah sebuah respon logis tetapi Maruko menanggapinya dengan respon perasaan. Hingga akhirnya Maruko merasa ibunya salah dan ibu Maruko menganggap Maruko salah telah marah tanpa sebab yang jelas. Persis seperti marahnya saya kepada Emak karena Emak telah marah kepada saya. Padahal Emak belum tentu semarah saya saat saya dimarahi oleh beliau.


Satu hal lagi, saya sering kali merasa bahwa diri sayalah yang paling sengsara. Mungkin ini sering dialami banyak orang, merasa bahwa dirinyalah yang ada di posisi paling buruk dan terpuruk sendirian. Padahal, jika ingin membuka diri sedikit saja, kita akan tahu bahwa kesulitan bukan hanya milik kita sendiri. Kesulitan dan keresahan adalah milik banyak orang. Tapi membuka diri adalah pilihan beberapa orang untuk menyadari. Saya pun baru menyadari bahwa kesusahan yang saya alami tidak seberapa besar dibandingkan apa yang harus Emak hadapi, terutama saat berhadapan dengan saya.

Lalu di mana letak kesalahan yang sesungguhnya? Pada gengsi kita. Itulah jawaban yang saya punya saat ini.

Saya gengsi untuk bertanya langsung maksud amarah Emak malam itu dan saya malah memilih diam di kamar sambil menangis. Saya gengsi untuk memulai percakapan setelah tiga hari tidak berbicara. Pun saya gengsi untuk melunakkan hati saya sendiri.

Emak? Mungkin Emak gengsi dengan diamnya saya, hingga beliau marah di belakang saya. Bisa jadi beliau juga gengsi dengan amarahnya sendiri hingga beliau ikut mendiamkan saya saat saya mulai memilih diam.

Kami sama-sama gengsi untuk menunjukkan kalau kami ingin semuanya kembali seperti sedia kala. Kami nyatanya gengsi mengakui bahwa kami saling membanggakan, saling menyayangi, dan ingin kembali seperti sedia kala.

Lalu gengsi itu hilang saat kami sama-sama mengungkapkan apa yang sebenarnya kami rasakan. Keterbukaan akan apa yang kami alami adalah pemutus tali gengsi tersebut. Saat bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang kami harapkan, dan apa yang tidak kami harapkan, semua amarah itu perlahan hilang bersama hilangnya gengsi kami untuk saling terbuka. Kemudian, hilanglah gengsi kami untuk saling meminta maaf meskipun saat itu wajah kami jelek dan beringus karena sama-sama sedang menangis.

Benar apa kata seseorang, kejujuran adalah kunci dari sebuah hubungan. Jujur tentang apa yang kita rasakan dan jujur terhadap apa yang kita harapkan benar-benar menjadi inti dari kebersamaan. Pastinya, jujur pun perlu diikuti oleh pembicaraan untuk menemukan solusi bersama.

Untuk sebuah hubungan ibu dan anak, bapak dan anak, guru dan murid, teman, sahabat, dan kekasih. Sejatinya tidak ada yang akan salah paham jika kita mau mengatakannya. Tidak ada yang tersakiti jika kita mau mengalah tapi tidak pada ego dan gengsi diri sendiri.

Untuk Emak yang telah mengajarkan arti perjuangan. Lis percaya, kita masih bisa saling berpelukan, tersenyum, dan tertawa bersama hingga suatu hari nanti Emak melihat Lis menjadi seorang sarjana untuk kedua dan ketiga kalinya, bersama dengan suami dan anak-anak Lis. Semoga Allah senantiasa menyehatkan dan menjaga Emak Bapak di manapun kalian berada. Amiin.

“Mengalahlah pada setiap orang hingga tidak ada lagi yang mampu mengalahkanmu”
(Anonim)


Jakarta, 13 September 2016
0:49 pagi


13 September 2016
Posted by Lisfatul Fatinah

Melly; Kurungan Harapan (2)




Tiga tahun lalu saat saya masih kuliah, seorang ibu datang ke rumah saya. Beliau bertamu ketika saya sedang membuang sampah selapas menyapu teras rumah di sore hari.

“Kak Lis,” panggilnya dari balik pagar rumah saya.

Saat saya menoleh, dia mendekati saya. Beliau tersenyum meski raut wajahnya tidak bisa menutupi kelelahannya.

Namanya Bu Tuti, anak seorang lelaki paruh baya yang saya kenal baik sebagai guru mengaji di perkampungan tempat tinggal kami.

“Kak Lis katanya ngajar di SLB ya?” tanyanya langsung.

“Saya masih kuliah, Bu. Sambil ngajar juga. Tapi bukan di SLB,” jelas saya.

“Tapi ngajarin anak-anak yang kayak begitu kan?” tanyanya lagi.

Saya mengerutkan kening. Sebenarnya kata “begitu” ketika membicarakan profesi saya adalah salah satu kata yang membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Kata itu membuat seolah-olah anak-anak berkebutuhan khusus tidak memiliki kriteria lain selain keabstrakan yang tidak terdefinisi di masyarakat. Di sisi lain, kurangnya informasi kepada masyarakat tentang keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus ini menjadi salah satu sebab munculnya kata “begitu”.

“Iya kan, Kak Lis?” tanyanya lagi dengan suara yang lebih menarik keprihatinan saya.

“Iya, saya ngajar anak-anak yang autis. Tapi di sekolah inklusi, Bu. Sekolah umum yang nerima anak-anak autis,” saya mencoba menjelaskan.

“Ini…,” suaranya menggantung antara keraguan dan harapan. “Ada anak di TPA saya yang diam terus. Gak mau berbaur dengan anak-anak lain. Kemampuannya juga di bawah yang lain.”

“Oh, terus gimana, Bu?” tanya saya.

“Kak Lis bisa liatin anak itu dulu? Kali aja Kak Lis bisa nanganin anak itu,” beliau memegang tangan saya. Sebuah kontak fisik antara guru dan wali murid ini kurang saya sukai. Bukan karena alasan agama melainkan saya akan sulit menolak karena ketika tangan saya disentuh, maka dengan sendirinya saya menjadi luluh untuk melakukan sesuatu untuk anak mereka.

Saya mengiyakan permintaannya. Membuat janji pertemuan yang ternyata tidak pernah dapat saya tepati karena tugas-tugas di kampus yang saat itu cukup menyita waktu.

***

Itu adalah pertemuan pertama saya dengan orang tua Melly yang kemudian saya tahu dari Emak bahwa yang dimaksud dengan murid TPA-nya adalah Melly. Entah kenapa Bu Tuti menyebut anaknya sebagai muridnya. Tapi saya yakin, beliau memiliki alasan untuk hal itu dan saat ini saya tidak terlalu mempedulikan alasan itu.

Kini saatnya saya focus kepada Melly, membayar hutang pertemuan itu.

***

Pertemuan kedua. Melly diantar ibunya hingga teras rumah. Tubuhnya menggelantung di tangan ibunya, tidak mau masuk. Melly merajuk tanpa suara, kakinya yang memaku di teraslah yang menyuarakan keengganannya masuk bersama saya. Maka dengan terpaksa saya melepas tangannya dari tangan ibunya dan menuntunnya ke dalam rumah.

Tangan Melly dingin. Mungkin sepertinya selalu dingin, karena di pertemuan pertama pun tangannya dingin. Secara fisik Melly sama seperti anak kelas tiga sekolah dasar pada umumnya, malah tubuhnya cenderung tinggi. Tubuhnya sudah mencapai telinga saya yang memiliki tinggi seratus lima puluh sentimeter saja. Badannya kurus dengan kulit kuning langsat, bersih. Mata sipit dan postur tubuhnya yang sering membungkuk adalah beberapa hal yang membuatnya agak berbada dengan anak-anak lainnya di sekitar rumah.

***

Saya mengajak Melly duduk bersama saya. Kami dipisahkan sebuah meja lipat bergambar tokoh kartun Spongebob Square Pants. Saya kembali mengambil kardus berisi buku-buku dan memintanya mengambil buku baru untuk dibaca bersama –yang kenyataannya hanya saya yang membaca.
Melly tidak merespon. Dia hanya menunduk. Rambutnya yang tak cukup panjang agak menjuntai, membantunya menutup diri dari pandangan saya.

“Hari ini kita mau mambaca buku ya mana nih?” saya bertanya.

Tetap tidak ada respon. Saya memutuskan untuk mengambil sebuah buku tipis dari Serial Profesi yang berjudul “Pengusaha Boneka”.

“Aku bacakan yang ini ya. Kamu mau?”

Melly tetap diam. Tidak ada suara. Tidak ada isyarat ataupun gesture tubuh yang menjawab pertanyaan saya.

“Kamu suka boneka? Aku suka boneka. Waktu aku esde, aku punya banyak boneka. Aku juga suka bikin baju boneka sendiri. Buku yang mau kita baca ini tentang boneka loh. Sebenarnya ini tentang pengusaha boneka. Orang yang punya banyak banget boneka. Mau tahu gak kenapa orang ini punya banyak banget boneka? Aku mulai baca ya. Melly dengarkan ya, nanti kita gentian bacanya!”

Kurang lebih seperti itulah saya berbicara sendiri agar tidak ada kesunyian di antara kami. Harapan saya, Melly serupa dengan anak-anak lainnya yang tidak mau berbicara di tempat belajar dan kemudian “terpancing” untuk berbicara setelah saya menjadi cerewet, banyak bercerita.

Sayangnya, usaha saya belum menunjukkan hasilnya. Melly tetap diam. Bahkan tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Selama pertemuan ini, Melly hanya memainkan tangannya. Memasukkan seluruh jarinya ke mulut, mengayunkan badannya ke depan dan belakang, atau memonyongkan mulutnya.

Mungkin saya kurang menarik baginya, atau memang pendekatan saya yang salah? Saya mencoba menerka-nerka. Dan saya tidak bisa menemukan jawabannya.

Pertemuan-pertemuan selanjutnya saya variasikan dengan bermain, menonton video, dan bernyanyi. Meskipun tidak membuahkan hasil, saya terus mencoba. Bahkan saya mulai bercakap-cakap dengannya –meskipun itu hanya seperti berbicara sendiri. Saya bertanya  apapun tentang dirinya meskipun saya sudah tahu jawabannya dan saya menjawab pertanyaan saya sendiri. Saya berbicara apa saja yang memiliki hubungan antara saya dan dirinya.

“Waktu aku sekolah esde, aku gak bisa nulis huruf “a” loh, Mell. Aku coba nulis huruf “a” botak tapi jadinya aneh banget. Gak mirip huruf “a”. Sediiih banget. Padahal kalau disuruh nulis, pasti banyak banget kan huruf “a”-nya. Aku belajar nulis huruf “a” sampe satu buku tulis ini nih, Mell. Pernah juga kertasnya sampai bolong gara-gara aku selalu ngehapus huruf “a” yang salah. Tapi sekarang aku udah bisa nulis huruf “a”. Soalnya aku coba terus, Mell.”

Melly tetap diam hingga satu setengah jam yang berlalu terasa sangat melelahkan dan membuat saya tampak terlalu bodoh sebagai seorang guru.


(bersambung)
02 September 2016
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -