Archive for August 2016
Melly; Kurungan Harapan
Nyaris satu
setengah tahun saya menjadi guru biasa, mengajar anak-anak, remaja, dan dewasa
yang tidak luar biasa. Itu artinya selama itu pula saya vacuum menjadi guru
pendidikan khusus, mengajar anak-anak dengan autism ataupun kesulitan belajar. Selama
itu tidak berhubungan dengan anak-anak dengan difable cukup membuat saya agak
kikuk saat diminta mengatasi kasus baru dari seorang anak.
***
Hari itu
saya sedang terburu-buru keluar rumah, melewati jalan yang tidak biasa saya
lewati karena jalan yang biasa saya lewati ditutup. Di tengah ketergesahan
saya, sebuah suara memanggil-manggil dari belakang.
“Kak Lis, bisa
bantu saya?” katanya dari balik pagar rumah.
“Iya,
kenapa, Bu?” tanya saya.
“Tolong
bantu anak saya. Bisa ajarin dia, Kak?” suaranya penuh harap.
Saya tidak mengiyakan
ataupun menolak permintaan beliau, karena saat itu saya memang sedang mengurus
anak-anak jalanan di tempat lain dan hanya ingin focus di sana. Saya hanya
khawatir akan memberi harapan palsu jika saya mengiyakan, tapi ternyata
sebenarnya saya tidak sanggup. Maka pembicaraan kami kala itu ditutup tanpa
kesimpulan.
***
“Tadi ada
yang nyariin kamu,” kata Emak saat saya baru saja tiba di rumah.
“Siapa? Ada
perlu apa?” tanya saya.
“Itu…. ibu
belakang rumah. Dia ke sini minta tolong anaknya diajarin sama Lis. Kasihan ih,”
jawab Emak dengan penuh dramatisasi.
Saya tidak
banyak menyahut . Saya hanya bilang kalau tubuh saya sudah cukup lelah dengan
aktivitas di luar rumah dan tidak ingin menambah aktivitas lain. Tapi semalaman
Emak terus mendesak saya untuk bersedia mengajarkan anak tetangga belakang
rumah yang tempo hari memanggil saya yang sedang lewat di depan rumahnya.
“Anaknya
memang beda kayaknya, Lis. Udah kelas tiga tapi gak bisa baca. Nilainya banyak
yang nol. Kalau belajar, bukunya pasti diberantakin. Teriak-teriak. Kalau
dibilangin sama ibunya, dia malah mukul-mukul ibunya. Buku-bukunya juga
dibuangin,” Emak terus mengulang cerita itu.”Ajarin dia aja ya. Hitung-hitung
membantu gitu.”
Emak tahu
kalau saya sudah menolak lebih dari sepuluh anak tetangga yang minta diajari karena
saya ingin focus mengurus anak-anak jalanan. Namun sepertinya kali ini saya
tidak bisa menolak. Saya kalah dengan janji saya. Meskipun saya senang mengajar
tapi saya berjanji pada diri sendiri untuk memprioritaskan mengajar anak-anak
dengan difable daripada mengajar anak-anak pada umumnya. Saya pun menerima
permintaan tolong itu.
***
Senin pukul
empat sore adalah waktu saya dan anak ini membuat janji. Saya tidak tahu anak
ini. Yang saya tahu anak ini sedang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.
Selebihnya adalah informasi objective dari Emak dan ibu anak ini yang kurang
dapat saya percayai sebelum saya melihatnya sendiri.
Ya, karena
kebanyakan orang tua memberikan informasi yang bersifat harapan atau ilusi.
Misalnya adalah orang tua merasa mendengarkan anaknya mampu mengucapkan kalimat
utuh, padahal yang diucapkan anak adalah gumaman panjang dan orang tua hanya
menerjemahkan sesuai apa yang diharapkannya. Demikian juga dengan anak ini.
Ibunya bilang kalau anak ini memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik,
tetapi nilai semua matapelajarannya selalu di bawah empat dan anak ini sering
diam bahkan tidak berbicara.
Di
pertemuan pertama, saya mengeluarkan satu kardus buku bacaan anak yang sejak
pertama kali turun mengajar saya gunakan sebagai bahan ajar tambahan atau untuk
sekadar menarik perhatian anak. Proses perkenalan dengan anak ini tidak bisa
dibilang lancar, karena dia bahkan tidak mau (–entah– tidak bisa) menyebut namanya.
MELLY.
Begitulah ibuya memperkenalkan kami. “Lis” adalah nama yang saya sebut saat
berkenalan dengannya. Selebihnya saya bebaskan dia memanggil saya “Bu Lis”
ataupun “Kak Lis”.
Melly
memasuki rumah saya sambil terus memegangi tangan ibunya. Ibu Melly
membujuk agar Melly tetap di dalam
ruangan bersama saya. Sedangkan ibu Melly menunggu di teras rumah, sesekali
mengintip ke dalam ruangan.
Saya
kembali memperkenalkan diri saya saat kami hanya berdua. Saya menjabat
tangannya yang kecil dan dingin. “Kamu boleh panggil aku Kak Lis atau Bu Lis
ya, Mell,” kata saya.
Melly hanya
diam. Menunduk. Lebih tepatnya membungkuk dalam duduknya hingga saya hanya bisa
melihat rambutnya yang jatuh terurai menutupi wajahnya. Saya memiringkan badan,
mengintip apa yang sedang dia lakukan di balik rambutnya itu. Saya melihat
Melly memainkan tangannya. Sesekali dia memasukkan jemarinya ke dalam mulut.
“Kamu suka
membaca buku? Aku punya banyak buku di sini. Kamu boleh pilih satu buku yang
kamu mau,” kata saya setelah beberapa menit berbicara apa saja demi menarik
perhatiannya.
Melly tetap
diam. Kali ini punggungnya sedikit terangkat, sehingga saya bisa sedikit
melihat wajahnya yang kuning langsat. Saya berpura-pura tidak memperhatikannya.
Saya terus berbicara sendiri untuk menghindari kesunyian sambil memilih satu
buku yang akan saya bacakan untuknya. Sebuah buku berjudul “Domba; Pabrik Penghasil Wol” menjadi pilihan pertama saya.
Saya
menanyakan Melly tentang buku yang akan saya bacakan untuknya. Saya ingin tahu
ketertarikannya pada buku yang saya pilih. Maka saya tunjukkan sampul muka buku
yang bergambar domba dan anak-anak kecil. Tapi Melly tetap diam. Dia tidak
berekspresi atau memberi isyarat apapun yang membuat saya mengerti apakah dia
suka atau tidak menyukai buku yang saya pilih.
Saya membaca
dengan suara seolah-olah saya sedang di depan anak yang sangat antusias
mendengarkan saya. Saya tetap berpura-pura mengabaikan sikap Melly yang diam.
Sesekali saya meliriknya. Wajahnya kini terangkat. Melly mengeluarkan jari-jarinya
dari dalam mulut. Menurunkannya dan menyembunyikannya di bawah meja. Kini dia
melihat ke arah buku dan sesekali saya dapat merasakan dia melihat ke arah saya.
Gottcha! Melly mulai tertarik atas apa yang saya lakukan.
Satu jam
berlalu sangat lambat dengan proses komunikasi yang hanya satu arah ini. Saya
memutuskan bertanya tentang cerita yang telah saya bacakan kepadanya. Tapi
Melly hanya diam. Dia tidak merespon sedikit pun. Jari-jari tangannya kembali
memenuhi mulutnya. Saya terus berbicara namun tidak tampak gelagat Melly akan
menanggapi saya.
Jari-jari
tangannya memenuhi mulutnya saat ini saya mencoba menarik tangannya,
mengisyaratkan agar dia mengeluarkan jari-jarinya dari mulut. Melly menurut,
meski tidak ada satu katapun yang dikeluarkannya. Tidak pula ada suara.
Waktu kami
tinggal lima belas menit lagi. Saya masih terus berbicara sendiri dengan Melly,
dengan buku. Saya kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan cerita yang baru saja saya baca.
“Benang wol
bisa dibuat apa aja yaaa? Ini apa nih yang dari wol?” seru saya antusias sambil
menunjuk gambar topi merah jambu yang terbuat dari wol.
Tiba-tiba, “Topi.”
Ada suara yang kecil dan nyaris tidak terdengar dari mulut Melly.
Saya
berteriak girang, “Tooopiiiii! Hebat! Tos dulu ah!”
Tapi Melly
kembali tidak merespon. Nyaris satu setengah jam di pertemuan pertama ini,
Melly akhirnya mengeluarkan suara pertama dan terakhirnya hingga beberapa hari
ke depan.
(bersambung)
Tanyakan Aku di Surga Ya, Kak!
Ilustrated by Ahdoy |
Beberapa
hari lalu saya mengajak anak asuh saya di KOPAJA (Komunitas Peduli Anak
Marjinal) untuk mengikuti agenda pekanan; berkunjung ke rumah guru mengaji di
daerah Jakarta Selatan. Saya sengaja mengajak anak-anak ke sana untuk
mengenalkan mereka kepada teman-teman saya sekaligus supaya anak-anak tahu apa
yang saya lakukan jika tidak bersama mereka.
Di tempat
guru ngaji saya, sudah pasti kami mengaji. Materi kami saat itu adalah tentang
sedekah, silaturahim, dan saling mencari di surga. Saya pikir anak-anak saya
akan bosan di tempat mengaji. Jadi sebelum kami tiba di tempat guru mengaji,
saya berpesan kepada anak-anak untuk tidak protes selama di sana dan baru boleh
protes kalau sudah pulang dari pengajian.
Saya tidak
pernah memiliki espektasi apapun agar anak-anak menyukai ajakan saya untuk
bergabung di sini. Yang ada di kepala saya adalah mereka akan mengeluh capek,
karena rumah saya cukup jauh dari rumah guru ngaji dan butuh 15 menit jalan
kaki untuk menuju angkutan umum dari depan rumah. Selain itu saya sempat
berpikir kalau anak-anak akan mengeluh bosan. Tapi ternyata tidak.
“Seru juga ya tadi, Kak!” itulah kalimat yang
pertama kali dikeluarkan anak-anak di tengah perjalanan pulang.
“Kalau
rambut dibelah tujuh kan jadinya tipis banget ya. Gimana kita ngelewatinnya?”
celetuk satu anak sambil mengeluarkan sehelai rambutnya dari dalam jilbab.
“Kalau
sedekah bikin kita kaya, berarti makin banyak sedekah kita bisa makin kaya dong
yaa, Kak, nanti?”
“Bener juga
yaa, Kak. Kalau kita udah di surga nanti mah iiiih apa sih dunia!” kata salah
satu anak sambil mengibaskan tangannya, memperagakan apa yang dilakukan teman-teman
saya di pengajian.
Sampai-sampai di pertengahan jalan saat ada seorang pengemis, anak-anak hampir selalu bilang, “Ada pengemis. Kasih aaaah!” seolah-olah memberi ke pengemis adalah aktivitas yang ringan dan menyenangkan. Anak-anak juga berebut untuk memberikan sedekah dengan uang mereka yang sebenarnya juga tidak banyak.
Kadang saya
iseng untuk bertanya kepada mereka, “Kenapa sih kamu mau ngasih duit kamu ke
pengemis itu? Kan kamu juga gak ada duit.”
“Habisnya
kasihan, Kak. Udah tua gitu,” jawab mereka, padahal (salah seorang teman bahkan
berkata) sejatinya kondisi mereka juga patut dikasihani.
Iya,
anak-anak asuh saya dan teman-teman di KOPAJA bukanlah anak-anak yang mampu
secara finansial, mereka adalah anak-anak pemulung, tukang angkut sampah,
pengamen, dan buruh kerok botol bekas. Status mereka di Jakarta adalah sebagai
penduduk gelap. Tidak ada KTP apalagi bantuan sosial dari pemerintah seperti
BPJS ataupun KJP. Tapi mereka tidak
berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Mereka sama-sama memiliki kemampuan
untuk mencapai cita-cita merek dengan tekad dan keyakinan mereka.
Pembahasan
tentang materi di pengajian tidak hilang sampai perjalanan pulang, bahkan di
rumah pun kami masih terus berbincang tentang itu. Anak-anak terus melempar
candaan sambil berdiskusi tentang apa
yang mereka dengarkan selama di pengajian. Kemudian salah seorang anak berkata, “Kakak… kalau kakak masuk surga duluan jangan lupa tanyain aku ya. Hehehe” dia
tertawa.
Saya pun
menimpali ucapannya, “Kalau kamu duluan yang masuk surga, jangan lupa cari
kakak juga yaa!,”
“Iya, Kak.
Aku bakal cari kakak,” katanya.
Lalu diam-diam
ada yang meleleh di dalam dada saya.
Untuk Sri dan Nuy
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain” [Rasulullah SAW]
Ada empat
jenis manusia di dunia ini. Begitu kata seorang teman. Manusia wajib, manusia
sunnah, manusia makruh, dan manusia haram.
Manusia
wajib adalah orang yang keberadaannya bermanfaat dan ketiadaannya dirindukan.
Manusia sunnah adalah mereka yang keberadaannya memberi manfaat, tetapi ketika
mereka tidak ada maka tidak apa-apa. Itu berarti keberadaan manusia sunnah
tidaklah memberi banyak pengaruh.
Lalu
manusia makruh adalah orang-orang yang keberadaan dan ketiadaannya tidak
memberikan pengaruh apapun. Terakhir, manusia haram yakni mereka yang
keberadaannya meresahkan dan kepergiannya dinantikan. Artinya, keberadaannya
tidak memberi manfaat tetapi justru mendatangkan masalah.
Empat jenis
manusia di atas ada di sekitar kita dan kita pastilah salah satu darinya. Sering
kali kita menakar nilai seseorang saat seseorang
tersebut telah meninggal dunia. Kita akan tahu apakah banyak orang yang
menangisi kematiannya atau justru biasa-biasa saja. Tapi bagaimana kita bisa
tahu di manakah posisi kita di hadapan masyarakat sebelum kita berhadapat
dengan-Nya?
Dan saya
menemukan jawabannya beberapa pekan lalu saat Pak Anies Baswedan dicopot dari
jabatannya. Beliau tidak meninggal dunia, hanya digantikan dengan yang lain.
Tapi hampir seluruh rakyat Indonesia terutama yang menggeluti dunia pendidikan
bersedih karenanya, menangisi pergantian posisi beliau. Itu artinya Pak Anies
adalah manusia wajib bagi Indonesia.
Di sinilah
saya belajar bahwa untuk mengetahui nilai kita di masyarakat, kita tidak harus
pergi untuk selamanya. Pergi dalam artian berpindah tempat juga bisa menjadi
takaran apa dan di mana nilai kita bagi masyarakat.
Datang dan
pergi. Itulah sejatinya keberadaan kita saat ini. Terlebih untuk teman-teman
yang memilih lingkup pengabdian masyarakat seperti mengajar di daerah-daerah
pelosok. Yang perlu dipikirkan setelah memikirkan cara bertahan hidup adalah
memikirkan bagaimana kita bisa menjadi manusia wajib di tempat mengabdi.
Dalam hal
ini, menjadi manusia wajib di daerah pengabdian bukan hanya dirindukan
kepergiannya atas rasa kekeluargaan. Harus lebih dari itu. Yakni ketika kita
bisa meninggalkan kebaikan jangka panjang di tempat pengabdian.
Dalam
setiap perjalanan, kita semua pasti membawa sesuatu tapi tidak semua dari kita
mampu meninggalkan sesuatu. Hal ini serupa dengan perjalanan pengabdian di
pelosok. Setiap yang mengabdi pasti membawa sesuatu; niat baik, konsep
perubahan, dan lainnya. Tapi tidak semuanya meninggalkan sesuatu untu tempat
mengabdinya.
Meninggalkan
sesuatu bukan berarti meninggalkan benda, pakaian bagus ala kota, sepatu, atau
lainnya yang “hanya” berupa kenangan yang mengingatkan mereka pada kita lalu
sudah. Bukan! Bukan itulah yang seharusnya ditinggalkan meskipun semua hal itu
diperbolehkan.
Pengabdian
di pelosok yang umumnya untuk guru, sependek yang saya pahami adalah bagaimana membantu
pendidikan di pelosok menjadi lebih baik, tidak sebatas memberikan harapan tetapi memberi jalan untuk menjadi lebih baik, termasuk mengestafetkan visi pendidikan yang
selama ini dimiliki Indonesia. Di Jakarta berpendidikan berarti menjalankan 12
tahun sekolah, kuliah, lalu berkarya untuk lingkungannya. Tapi di tempat lain,
di bagian lain Indonesia, berpendidikan
cukup tentang bisa membaca dan menulis. Hanya itu.
Hal inilah
yang semestinya menjadi sorotan kita. Kekokohan diri para pendidik dan peserta
didik akan pentingnya pendidikan yang lebih dari sekadar baca tulis. Terkadang
kondisi yang berbeda drastis dengan kenyamanan di kota membuat kita merasa iba
hingga kita rela memberikan apapun yang kita punya. Demikian pula yang saya
rasakan selama berkecimpung dengan anak-anak jalanan. Bnayak donator yang iba
pada kondisi anak-anak hingga mereka rela memberikan barang apapun untuk
anak-anak.
Tapi
nyatanya, bukan benda-benda dan hadiah itu yang mereka perlukan. Karena justru
pemberian benda atau hadiah kepada mereka bisa menjadi boomerang untuk kita.
Kata-kata “apa hadiah yang kakak atau ibu guru punya untuk kami?”, “hadiahnya
apa?” lambat laun akan menjadi hasil dari iming-iming hadiah yang telah
diberikan. Lebih jauh lagi adalah kemarahan warga dan bentrok antar warga
karena persoalan hadiah adalah buahnya. Itulah yang pernah saya rasakan.
Pernah
seorang teman saya mengajar di pelosok Papua dengan segenap ilmu kependidikan
dan semnagat perubahan yang dia bawa. Dia pun telah menyiapkan apa yang harus
dia tinggalkan. Bukan sebuah kado, melainkan semngat belajar dan pola pikir
yang baru untuk mencapai perubahan yang lebih baik melalui pendidikan. Tapi
sayangnya di akhir pengabdiannya, sesame guru yang mengabdi memberikan banyak
hadiah kepada anak-anak di sana. Hingga murid-muridnya bertanya, “Mama ibu guru
punya apa untuk hadiah kami?”
Sebuah
pertanyaan simple yang mungkin sebagian beranggapan hanya sekadar hadiah,
kenapa tidak diberikan saja. Sekali lagi bukan! Ini bukan sekadar hadiah,
melainkan tentang mental anak-anak kita kelak.
Berbicara
tentang pengabdian adalah berbicara tentang sebuah gerakan perubahan, bukan
sekadar sebuah belas kasih memberi. Lantas apa yang akan kita tinggal dan masih
berguna dengan ada atau tiadanya kita? Maka memikirkan apa yang akan dijadikan
hadiah adalah hal yang tidak akan berlangsung lama dampaknya. Berubah pola
pikir, menanamkan semangat bermimpi, dan kekuatan untuk berubah menjadi lebih
baik adalah apa yang sejatinya mereka butuhkan.
Jika
anak-anak kita merasa bahagia akan hadiah-hadiah yang kita berikan, maka yang
akan kita dapatkan adalah hadiah-hadiah kita bisa lebih berarti daripada
keberadaan kita. Maka menjadi yang dirindukan karena keberadaannya, karena
kedekatannya dengan anak-anak, karena ketauladanannya adalah lebih utama dari
sekadar hadiah.
Satu tahun
di tempat pengabdian bukanlah waktu yang sebentar untuk mengabdi, bukan pula
waktu yang lama untuk menciptakan perubahan. Terlebih lagi bagaimana mengatur
strategi agar perubahan yang telah kita buat dapat diestafetkan ke generasi
pengajar selanjutnya dengan visi pendidikan yang sama. Apakah ini mudah? Sama
sekali tidak. Tapi kita harus memulainya.
***
Tulisan ini
saya hadiahkan untuk dua adik saya sekaligus teman yang saya sayangi; Sri
Hildayati dan Nur Asyah. Selamat atas terpilihnya kalian menjadi pengajar di
pelosok. Jadilah manusia wajib di sana dan siapkan apa yang akan kalian
tinggalkan di sana.
Ada satu
hal lagi yang ingin saya sampaikan. Di manapun kita berada, kita adalah duta
untuk negara dan agama kita.
Di sana, di pelosok sana, sampaikanlah kepada
murid-murid kalian bahwa mereka adalah Indonesia. Tunjukkan kepada mereka
betapa indah negeri yang mereka punya.
Ceritakan perjuangan pejuang-pejuang terdahulu untuk bebas mengibarkan Merah Putih
hingga saat ini. Tunjukkan kepada mereka keberagaman Indonesia dengan damai dan
cinta. Tunjukkan kepada mereka bahwa mereka dan kalian adalah Indonesia yang
patut berbangga menyebut nama tanah airnya di mana pun berada. Tunjukkan kepada
murid-murid kalian bagaimana menjadi Indonesia yang menjunjung tinggi budi pekerti
dan membela kemuliaan negeri.
Di pelosok
sana, sampaikan kepada mereka bahwa kalian adalah muslimah yang taat kepada
Allah SWT. Sampaikan kepada mereka akan cinta kasih Allah SWT kepada ummat-Nya. Ceritakan kepada mereka kelembutan Rasulullah berserta kewibawaannya
dalam memimpin ummat Islam. Ceritakan kesetiaan para khulafaur Rasyidin kepada
Rasulullah dan perjuanga mereka meneruskan dakwah Rasul. Tunjukkan kepada mereka
keindangan Islam dalam bermuamalah. Tunjukkan kepada mereka kesejukan Islam
melalui sikap lembut dan loyal kalian kepada murid dan lingkungan. Tunjukkan
kepada mereka, bahwa setiap muslim bukanlah orang yang sempurna tapi tunjukkan
pula betapa sempurnanya Islam mengatur kehidupan kita semua. Tunjukkan semua itu melalui tindak tanduk kalian selama bersama mereka.
Tidak ada
temu dan peluk di antara kita. Hanya tulisan ini yang mengantarkan kepergian
kalian dalam mengabdi. Beriring doa dari sini, semoga kalian menjadi duta
Indonesia dan Islam yang sesungguhnya di sana. Tetaplah fokus pada apa yang
akan kalian tinggalkan. Jadilah manusia wajib bagi mereka, sosok yang
keberadaannya bermanfaat dan senantiasa dirindukan bahkan sebelum kaki kalian
melangkah pulang.
Salam sayang untuk anak-anak Indonesia di pelosok sana. Kita mengabdi dengan hati yang sama, di tempat berbeda. Semoga Allah selalu memberkahi kalian, Nuy, Sri. Amiin :')
Doa di Sujud Terakhir 2; Percaya dan Sabar
Kami masih
membahas tentang mimpi-mimpi besar. Bukan hanya mimpinya untuk mendapatkan
beasiswa hingga kuliah dan menjadi seorang pramugari, melainkan juga mimpi
saya yang turut saya bagikan kepadanya.
“Kak Lisfah
udah lama gak lapak. Katanya kakak sekolah lagi ya?” tanyanya.
Saya memang
sudah setahun lebih tinggal di tempat yang jauh, di kota kecil tempat
orang-orang bermimpi besar singgah untuk sementara dan mereka tidak akan meninggalkan kota kecil itu kecuali untuk
beranjak ke anak tangga yang lebih tinggi untuk mencapai impian mereka. Selama
hampir satu setengah tahun saya belajar, bukan melanjutkan S2 melainkan untuk
mempersiapkan keberangkatan kuliah S2. Saya juga bercerita kepadanya serta kedua orang
tuanya bahwa impian saya untuk melanjutkan kuliah S2 tahun ini harus saya tunda
hingga waktu yang tidak dapat saya perkirakan.
“Kenapa,
Kak?” tanya mereka.
Saya akan
melanjutkan kuliah jika saya sudah yakin bisa meninggalkan mereka, ketika
mereka sudah benar-benar terselamatkan dari jalanan. Saya akan melanjutkan
kuliah saat mereka sudah benar-benar terselamatkan dengan Islam mereka,
setidaknya saat mereka sudah memiliki sifat muroqobatullah (selalu merasa diawasi Allah) dan mereka sudah terbiasa shalat tanpa diingatkan terlebih dahulu.
“Saya mau ambil
beasiswa buat lanjutin kuliah di Inggris, Bu. Makanya berat untuk ninggalin jauh anak-anak,” saya mengakhiri cerita saya kepada ibunya.
Saya
melihat berpasang-pasang mata satu keluarga di depan saya berbinar mendengar cerita saya.
Lalu lagi-lagi dia berceletuk, celetukan yang saya tahu datang dari sudut hatinya.
“Beasiswa,
Ma. Mau kayak, Kak Lisfah,” katanya.
Itu adalah
bagian percakapan personal yang sering saya lakukan dengan warga Lapak Pemulung. Saya
senang bisa berbicara dari hati ke hati dengan mereka, bercerita tentang
masalah mereka. Jika memang saya tidak bisa membantu mereka secara langsung,
setidaknya kami bisa berbagi suka, duka, semangat, dan doa.
***
“Kak Lisfah
pernah jalan-jalan ke mana aja?” tanyanya saat kami sedang di dalam angkot
selepas berkumpul dengan teman-teman saya.
“Kakak
belum pernah ke Papua dan Nusa Tenggara. Alhamdulillah semua pulau besar di
Indonesia sudah pernah kakak kunjungi. Tapi kakak dibayarin. Kak Lisfah mah gak
punya duit buat jalan-jalan,” saya tertawa diikuti oleh renyah tawanya.
“Naik
pesawat dong, Kak?” tanyanya dengan mata membesar.
“Iya dong.
Kan jauh-jauh,” jawab saya masih dengan tertawa kecil. Tapi saat itu saya lihat air wajahnya berubah.
“Yaaah, aku
gak pernah naik pesawat. Gimana bisa jadi pramugari yaa, naik pesawat aja belom
pernah,” jawabnya jujur.
“Iiih, gak
apa-apa, kan belom pernahnya kemaren-kemaren. Besok-besok juga bakalan naik
pesawat,” saya mencoba menyemangatinya, “Kakak pernah cerita kan kalo Kak
Lisfah jalan-jalan hampir selalu gratis. Itu karena kakak coba ikut banyak
kegiatan. Di sekolah gak cuma belajar untuk dapet nilai, tapi juga untuk cari
pengalaman. Pengalaman itu didapat kalau kita aktif ikut banyak aktivitas. Misalnya
kayak gini, kamu latihan keroncong, ikut OSN, ikut lomba tari. Itu gak dapet
nilai sih memang, tapi itu dapet pengalaman. Siapa tahu dari ikut-ikut begituan kamu
bisa pergi ke tempat jauh naik pesawat. Bisa ketemu pramugari deh. Bisa lihat
cara pramugari kerja. Iya gak?” saya mendadak cerewet.
“Amiin, ya
Allah. Mudah-mudahan ya, Kak. Semoga bisa naik pesawat!” suaranya penuh
semangat dan saya jauh lebih bersemangat untuk terus mendukung dan
mendoakannya.
Dia adalah
satu dari banyak anak asuh saya dan teman-teman seperjuangan yang sangat
semangat belajar, di sekolahnya memang dia bukanlah head and shoulders student,
tapi dia cukup cerdas. Berkali-kali dipercayai gurunya untuk mewakili sekolah
di berbagai ajang perlombaan akademis ataupun non-akademis. Terakhir, alhamdulillah sekolahnya mempercayai anak-anak untuk tampil di
Taman Ismail Marzuki untuk merayakan Festival Pelestarian Keroncong dan saya diminta untuk mendampingi mereka dalam latihan hingga penampilan di acara.
“Doa di
sujud terakhir setiap shalat itu pasti terkabul, Kak?” tanyanya untuk diri.
“Pasti
terkabul. Tapi syaratnya kamu benar-benar percaya dan sabar. Minta doa juga
sama banyak orang supaya kamu dapat beasiswa,”
“Amiin ya
Allah. Aku harus bisa masuk sekolah negeri biar ngeringanin beban mama, Kak.
Biar gampang juga dapetin beasisiwanya,” jelasnya.
See! Dia
sudah merencanakan segalanya untuk mimpi kecil yang akan membesarkan dirinya
kelak. Dia tahu mendapatkan beasiswa tidak mudah dan perlu strategi untuk
mendapatkannya. Dia tahu bahwa lembaga beasiswa akan melirik siswa-siswa dari
sekolah yang terpercaya kualitasnya. Oleh karena itu dia selalu menyebut
beberapa nama sekolah negeri yang menjadi targetnya. Dan saya selalu mengamini
impiannya.
“Tapi mamanya
XX pernah bilang gini, Kak. Anak saya mah di XYZ (nama sekolah yayasan
terdekat), memangnya situ maunya sekolah gratisan terus?” dia menirukan gaya
ibu-ibu berbicara, “Emangnya salah ya, Kak, kalau aku mau di sekolah negeri
yang gratis?” tanyanya.
“Sama
sekali gak salah dong. Itu hak kamu. Itu bukti kalau kamu mampu diterima di
sekolah pemerintah. Gak usah didengerin ah yang kayak gitu mah. Ngerusak mimpi
kamu nanti!” imbuh saya.
“Iya juga
ya, Kak. Itu kan artinya aku bisa ya, Kak. Ya Allah, mudah-mudahan bisa ya,
Kak,” tandasnya.
“Pasti!”
saya menjawab dengan mantap. Memeluknya.
***
Apa yang sudah
saya tinggalkan untuk mereka? Tanya saya pada diri saya sendiri. Berkali-kali.
Tapi saya
tidak pernah mendapatkan jawabannya. Keberadaan saya di dekat mereka tidak akan
lama. Mungkin satu, dua, atau lima tahun lagi. Dana bantuan bukanlah hal yang
dia dan anak-anak marjinal lainnya butuhkan. Kedekatan mereka dengan Allah dan
satu dua cerita bernasihat adalah apa yang saya percayai benar-benar mereka
butuhkan.
Doa di
sujud terakhir, mungkin hanya sebuah pesan singkat, aktivitas rutin yang sangat
sederhana. Tapi yang luar biasa adalah ketika mereka mempercayai itu dan
melakukannya dengan sepenuh hati. Lebih dari itu, mereka membuktikan bahwa
mimpi mereka benar-benar ingin mereka bebaskan menjadi kenyataan.
Percaya dan
sabar, adalah dua hal yang mungkin jauh dari kehidupan mereka, anak-anak yang
termarjinalkan. Sebagian kecil dari mereka hidup sebagai anak-anak pada umumnya
di sekolah selama enam jam dan sisanya mereka habiskan di jalanan untuk
mendapatkan uang. Terkadang di akhir pekan mereka kedatangan tamu yang bisa tiba-tiba dengan akrabnya bermain bersama mereka,
kadang berjanji pada mereka untuk datang lagi tapi kebanyakan malah tak pernah
datang lagi.
Begitulah,
kadang mereka sulit percaya pada orang lain. Seperti ada tembok pemisah antara
kehidupan mereka dengan kehidupan kita kebanyakan yang mendapatkan kemudahan. Sebab
itu, meskipun mereka tidak mudah percaya pada orang lain, setidaknya saya harus
meyakinkan mereka bahwa ada satu Dzat yang harus mereka percayai ketika tidak
ada lagi yang dapat dipercayai di dunia ini. Dialah Allah SWT.
Kebanyakan
dari mereka terbiasa mendapatkan fasilitas dari orang yang menamakan diri
mereka donator. Atau kedatangan orang-orang yang senang mengucapkan, “Ayo duduk
sini, nanti dikasih hadiah” dan banyak kalimat serupa lainnya. Sehingga sangat
memungkinkan mereka mengira bahwa mereka bisa dengan mudah mendapatkan hadiah
dengan duduk manis meskipun pikiran mereka melalang buana ke tempat entah.
Bersabar mungkin adalah hal yang jarang mereka pelajari, maka mengajak mereka
bersabar akan jawaban doa adalah satu dan banyak cara yang baru bisa saya
berikan kepada mereka. Tidak mudah memang, tapi lagi-lagi saya yang harus lebih
dulu menerapkan sabar demi mengajak mereka untuk bersabar.
Doa di
sujud akhir setiap shalat, percaya, dan bersabar akan menjadi rangkaian senjata
mereka untuk meraih mimpi. Saya percaya dan saya akan terus berdoa untuk mereka
atas hal ini di dalam sujud terakhir setiap shalat saya.
Untuk
anak-anak tercinta yang semoga Allah senantiasa melindungi mereka. Amiin.
Doa di Sujud Terakhir
Siang itu saya
dan salah seorang anak asuh saya shalat di masjid pinggir jalan, masjid terdekat
dari posisi kami. Kebetulan saat itu kami sedang dalam perjalanan. Alih-alih
hendak mencari tempat untuk membeli segelas jus buah untuk menghilangkan dahaga
di tengah perjalanan kami, saya malah mengajak dia untuk shalat terlebih dahulu
karena azan zuhur sudah dikumandangkan.
Di dalam
masjid kami shalat berjamaah dengan jamaah masjid lainnya. Lalu dimulailah
perbincangan selepas shalat yang sampai saat ini masih terngiang di telinga
saya.
“Kakak…,
kakak tadi sujudnya kok lama. Salamnya jadi terlambat,” tanyanya sambil
merapihkan kunciran rambutnya.
“Tadi kakak
lagi doa,” jawab saya singkat sambil melipat mukena.
Kemudian
kami sama-sama terdiam. Saya menerka-nerka apa yang harus saya katakan selanjutnya.
Saat itu, mungkin dia sedang menyiapkan pertanyaan lain buat saya.
“Kamu suka
berdoa gak?” Tanyaku
“Suka, Kak,”
dia menyahut dengan suara rendah. Suara yang direndahkan dan sangat lembut di
telinga saya.
“Bagus tuh.
Doanya yang banyak yaa. Insya Allah terkabul,” saya tersenyum, “Menurut kamu
Allah pelit gak sih?” lanjut saya.
Dia
menggeleng sambil tersenyum. Matanya terus mengarah kepada saya meski tampak
ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Kalo kamu
percaya Allah nggak pelit, kamu harus banyak berdoa tuh. Kamu tahu gak kalau salah
satu waktu berdoa yang paling bagus itu saat sujud terakhir?”
Dia
lagi-lagi menggeleng. Raut wajahnya sedikit berubah. Lagi-lagi tampak ada yang
tersembunyi di baliknya.
“Kalau kita
berdoa di sujud terakhir setiap shalat kita, insya Allah doanya akan terkabul. Jadi,
kamu minta apa aja deh tuh sama Allah. Minta semoga bisa dapat beasiswa sampai
kuliah. Minta sama Allah semoga bisa sukses dan ngebanggain ibu-bapak yaa. Kamu
mau jadi pramugari kan?”
Dia
mengangguk.
“Nah,
mintalah di setiap sujud terakhir shalat kamu. Sehabis shalat, bayangkan Allah
ada di depan kita, minta sebanyak-banyaknya. Semoga bisa menjadi pramugari yaa.”
Dia
mengangguk lagi. Semakin kencang. Matanya berkaca-kaca. Saya melihat dia
tersenyum lebar. Senyum yang dibuat untuk mencegah air matanya jatuh di depan
saya. Di situlah saya tahu apa yang tersembunyi di balik wajahnya sedari tadi.
Harapan besar.
Ada harapan
besar pada dirinya yang dia sembunyikan dari orang-orang di sekitarnya. Dia
hanya berusaha menjadi anak yang rajin sekolah meski orang tuanya (hanya)
seorang pemulung. Ada harapan besar pada jiwanya untuk menjadi sukses dan
menggapai cita-citanya sebagai pramugari.
***
Sehari
berlalu, saat itu dia bermalam di rumah saya sebab saya ingin mengajaknya bertemu
dengan beberapa teman saya. Jika bersamanya, saya selalu bercerita tentang
orang-orang besar. Saya selalu bercerita tentang pengalaman saya di kampus,
pengalaman berkeliling Indonesia tanpa mengeluarkan uang sepeser pun dari
tabungan pribadi karena bertugas sebagai perwakilan kampus.
Selama di
rumah, saya dibuat terkejut olehnya. Setiap kali azan berkumandang, dia selalu
bilang,n“Kak, kita shalat ya,” dia langsung mengambil wudhu dan shalat tanpa
terlebih dulu saya ingatkan.
Di waktu
subuh, dia shalat di samping saya yang sedang tilawah. Di sinilah saya merasa
betapa impiannya tak sekadar di bibir saja, dia benar-benar menginginkan
impiannya menjadi kenyataan.
Subuh itu,
dia memperpanjang sujud terakhirnya. Cukup panjang sujudnya, begitu pula doanya
selepas shalat.
“Udah doa
nih di sujud terakhir?” saya menggodanya.
Dia hanya
tertawa kecil.
“Sejak
kapan?” tanya saya.
“Habis
kakak kasih tau. Pas shalat asharnya aku doa di sujud terakhir,” sahutnya polos
sambil berbinar.
***
Entah,
percakapan singkat ini sudah berlangsung cukup lama, tapi semuanya masih
tergambar jelas di mata saya.
Doa di
sujud terakhir setiap shalat hanya setitik pesan yang dapat saya estafetkan
kepadanya, demi menolongnya dari keputusasaan. Saya berharap dia terus menggantungkan
harapannya kepada Allah, bukan kepada saya ataupun para donatur. Saya berharap
dia, salah satu anak asuh kesayangan saya, bisa melihat bahwa tidak ada mimpi
yang terlalu besar untuk seseorang.
Doa di
sujud terakhir setiap shalat adalah ucapan semangat saya untuknya. Saya ingin
cita-citanya tidak hanya sebatas harapan, mimpi, lalu sudah. Saya ingin
cita-citanya, tekadnya, perlahan berubah menjadi doa-doa panjang dalam setiap
sujudnya hingga Allah mewujudkan semua yang dia impikan.
Saya
percaya, Allah akan menolongnya untuk mencapai cita-citanya.Saya percaya, suatu
hari dia akan berdiri di depan saya menggunakan seragam tugas pramugari salah
satu maskapai terbaik di negeri ini.
Saya mohon
doa para pembaca untuk dia dan seluruh anak asuh saya. Semoga mereka menjadi
anak-anak yang sukses dunia akhirat. Semoga mereka bisa meraih cita-cita
mereka, mengangkat derajat kedua orang tua mereka, dan tetap menjadi orang yang
selalu ingin membantu kesulitan orang lain. Amiin.