Archive for March 2015

Trip Teach and Shared: Selamat Datang Ibu Bapak!

Pagi, Tanjung Sari!

Matahari  masih malu-malu saat mata kami terbuka untuk memulai hari di tempat baru. Satu satu di antara kami memulai hari dengan ibadah, beberapa mandi dan beberapa tidak. Yang tidak mandi itu salah satunya adalah aku. Hihihi.

Sejak pukul 5.30 WIB istri Pak Apang, warga yang rumahnya berhadapan dengan TK, sudah menyiapkan sebaskom nasi goreng lengkap dengan telur matasapi dan kecap di meja depan rumahnya. Kami memang memesan sarapan kepada beliau, karena dengan barang bawaan yang banyak dan jarak yang jauh,kami tidak mungkin hanya memakan roti atau sereal.


Melihat teman-teman masih sibuk mengantre di toilet, aku berpikir mungkin pukul 6.00 WIB kami baru bisa makan bersama. Sehingga setidaknya paling lambat pukul 7.00 WIB kami sudah bisa mulai naik. Tapi nyata tidak. Hiks. Setengah jam berlalu, teman-teman masih ada yang mengantre di kamar mandi. Beberapa teman-teman lelaki juga tampak masih tidur di dalam mushalah. Ah, telat telat telat! Pikiranku tetap tertuju pada itinerary yang sudah kususun dan mungkin karena tidak tenang memikirkan acara ini, aku tidak bernafsu makan.

Pukul 7.00 WIB, akhirnya seluruh teman sudah selesai makan. Kami semua masuk ke dalam mushalah untuk membagi barang bawaan yang begitu banyak sekaligus repacking bawaan kami masing-masing. Di luar dugaanku, ternyata untuk mengatur barang bawaan yang banyak ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar :( maka habis sudah satu jam di dalam mushalah untuk repacking seluruh barang bawaan tim.

Lewat dari pukul 8.00 WIB, kami selesai repacking. Kami saling bertukar tas, sesuai dengan kemampuan fisik kami. Saat itu aku memilih membawa tas Kak Tiwi yang berisi banyak logistik dan tasku yang jauh lebih kecil dibawa olehnya.

 Kami keluar mushalah. Sambil menunggu yang lainnya keluar, aku duduk di depan mushalah. Beberapa saat kemudian Mas Wadi keluar dari mushalah dan duduk di sampingku, berjarak kurang lebih tiga puluh senti.

“Lisfah. Ngomong!” ucap Yudith yang berdiri di depanku sambil memberi kode dengan matanya.

“Hah?” aku melirik ke kanan dan melihat sosok Mas Wadi. “Takut, Dith. Gimana ya ngomongnya. Gak enak ih. Um, nanti aja deh, jangan pas ada banyak orang.”

“Oh yaudah.” Yudith mengiyakan. Duuuh, betapa tidak sopannya aku dan Yudith saat itu membicarakan orang di depan orangnya langsung. Saat itu aku bertanya-tanya apakah Mas Wadi memahami pembicaraan kami atau tidak. Semoga tidak ya. Hehehe.

***


Yudith menginstruksikan semuanya untuk berkumpul di depan mushalah. Setelah berdoa, kami berjalan ke Timur. Melangkahkan kaki setapak demi setapak untuk bertemu anak-anak Cibuyutan! :)

Pembuka perjalanan kami menuju Cibuyutan berupa jalanan bebatuan pipih yang menurun. Lima ratus meter kurang lebih jaraknya. Kami masih bergerombol di awal perjalanan ini.

Aku memegang buku kecil dan membaca ulang itinerary yang tertulis di dalamnya. Seharusnya sebelum berangkat tadi aku mem-briefing teman-teman terkait tugas masing-masing saat tiba di Cibuyutan. Tapi karena waktu yang ada telah habis untuk repacking, maka sambil berjalan aku menghampiri satu per satu orang yang akan kumintai bantuan selama acara. Saat aku berbincang dengan Minka tentang apa saja yang akan kami lakukan, tetiba Yudith menghampiri.

“Lisfah, udah ngomong?” tanya Yudith mengagetkanku yang sedang asik ngobrol.

“Eh iya!” mataku mencari sosok yang sedang kami maksud. Ternyata Mas Wadi sedang berjalan di depan bersama Babeh, tepatnya di bagian paling depan yang berjarak cukup jauh dariku. “Yuk samperin! Tapi ngomongnya kalau dia lagi sendirian ya, Dith.”

Aku dan Yudith berjalan lebih cepat, mengejar langkah yang lainnya untuk menyusul Mas Wadi dan Babeh. Saat sudah nyaris berjalan di paling depan, kami memperlambat langkah. Menunggu Babeh berjalan terpisah dengan Mas Wadi.

“Mas  Wadi, ada yang mau ngomong,” kata Yudith to the point.

“Hehg?” aku terkejut mendengar betapa Yudith berbicara tanpa basa-basi. “Um, iya, Mas. Tentang penyuluhan, mau minta maaf.”

“Hah? Ya? Oh, itu. Kenapa? Gak bawa ya? Gak apa-apa kok. Santai aja,” jawaban Mas Wadi lebih mengejutkanku. Kok Mas Wadi tahu? Jangan-jangan Mas Wadi paham saat tadi aku dan Yudith ngobrol di depannya. Duh malu!

“Hehehe, iya. Maafin ya, Mas. Gak enak banget sama Mas Wadi,” aku memasang wajah melas.

“Iya, iya, gak apa-apa,” Mas Wadi menegaskan.

“Makasih ya, Mas!” aku dan Yudith menyahut hampir berbarengan. Sebenarnya aku sedikit bingung.

Tanpa kami sadari, hampir 500 meter kami berjalan dan kami tiba di sebuah pertigaan yang arah kirinya membawa kami ke Cibuyutan. Saat yang lain meneruskan perjalanan, aku memilih duduk saja bersama Rahma, Minka, dan Kak Sari. Aku menunggu yang lainnya, terutama teman-teman yang lelaki. Aku ingin bertukar tas, karena aku merasa tidak kuat membawa tas Kak Tiwi yang penuh dengan logistik.

“Mas, mau tukeran tas dong!” aku berseru padaMas Awal yang muncul pertama  kali.

“Oh, tuker? Sama siapa?” tanya Mas Awal. Bersamaan dengan itu Mas Wadi muncul.

“Mas Wadi, aku boleh tukeran tasnya? Ini berat banget. Gak kuat,” pintaku.

“Tuker? Oh. Boleh boleh,” Mas Wadi menghampiriku yang duduk di tangga sebuah bangunan. Kami bertukar tas dibantu Mas Awal.

“Ini enteng!” aku berseru spontan saat tas Mbak Aby yang dibawa Mas Wadi berpindah ke pundakku.

“Luar biasa! Yang seperti ini enteng!” kata Mas Wadi dan Mas Awal senada.

“Bukan gitu, Mas. Maksudnya ini lebih enteng daripada tas yang aku bawa sebelumnya,” aku meralat ucapanku.

Setelah bertukar tas, aku dan yang lainnya meneruskan perjalanan. Hingga kami bertemu dengan yang lainnya pada sebuah jembatan yang berdekatan dengan warung kecil. Beberapa teman yang sudah tiba lebih awal tampak sedang menikmati pemandangan berupa hamparan sawah yang menghijau, bebatuan besar yang membentuk formasi mengagumkan di sungai yang ada di bawah jembatan. Aku meletakkan tas di kursi bamboo yang ada di depan warung dan bergabung dengan yang lainnya untuk berfoto. Yang lainnya tampak ada yang duduk-duduk saja, ada yang menyanntap camilan di warung seperti yang dilakukan Pak Madinah, bahkan Mbak Nina menyempatkan diri untuk turun ke sungai dan duduk di atas batu yang paling besar.

Kurang lebih sepuluh menit kami berhenti, kemudian kami melanjutkan perjalanan.


Sebuah bukit tampak jauh di depan kami, kata Kak Solihun, Cibuyutan ada di balik bukit itu. Aku benar-benar lupa dengan jalur dan seberapa jauh kami harus berjalan. Entah mungkin karena tiga tahun lalu aku sibuk menikmati pemandangan dan tidak memperhatikan jauhnya jarak yang kutempuh.

Hamparan sawah, barisan pepohonan, semak-semak, satu dua wanita dan lelaki tua yang berpapasan, hingga sapi-sapi dengan gemerincing lonceng yang tergantung di leher menjadi pemandangan kami selama perjalanan. Di tengah perjalanan ini aku kembali bertukar tas dengan Mas Awan mulai merasa sangat lelah. Apalagi matahari kian merangkak ke tengan langit, menunjukkan sinarnya yang menyengat tubuh.

Nyaris pukul 11.00 WIB, aku menghentikan langkah. Bergabung bersama beberapa teman yang sudah lebih dahulu beristirahat di antara rerumputan dan semak-semak. Kami memutuskan berkumpul di tempat ini, karena menurut Kak Solihun, Cibuyutan sudah dekat. Kurang lebih 10 menit lagi, katanya menambahkan.

Di tempat pemberhentian ini kami saling melempar canda, ejekan, dan tawa bersama. Membaur dengan sendirinya di tengah lelah yang menggelantung di pundak. Beberapa di antara kami memang sudah saling kenal, tapi banyak juga yang baru kami kenal di perjalanan ini, tapi semua itu tidak menghalangi kami untuk bisa berbaur. Misalnya saja Mbak Nina yang datang dari Cilegon. Kepolosannya membuat kami tertawa hingga sakit perut. Apalagi saat Mbak Nina mempraktikkan cara membuka buah kecapi dengan gigi. Kepribadiannya yang apa adanya selalu membuatku tertarik untuk menyimak setiap ucapannya. Hehehe :D

Cukup lama kami sudah beristirahat, sekitar setengah jam kalau tidak salah. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Sebagian mempercepat langkah agar semakin lekas sampai. Aku berjalan agak lambat karena kepala yang pusing dan perut yang kurang nyaman. Mungkin karena tadi pagi aku belum sarapan.


Selamat Datang Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak!

Lima belas menit sejak kami meninggalkan tempat beristirahat tadi, tampak sebuah bangunan merah muda dengan jejeran rumah-rumah kayu di kejauhannya.

“Sampai! Kita sampai! Alhamdulillah!” aku berseru kencang. Semakin dekat aku ke banguan merah muda itu, semakin tampak beberapa teman sudah duduk asik melepas lelah setelah terbakar matahari selama perjalanan.

“Alhamdulillah!” yang lainnya menyusul berseru.

Di dalam salah satu ruangan bangunan sekolah terlihat Kak Ihsan, seniorku yang mencetuskan ide membina Desa Cibuyutan. Ada juga Pak Mista, sesepuh Cibuyutan yang wajahnya sudah kukenal tiga tahun lalu. Lalu ada Pak Idris, kepala sekolah sekaligus guru di sekolah Cibuyutan.

 “Selamat datang ibu-ibu dan bapak-bapak dari Jakarta! Terima kasih sudah mau datang ke Cibuyutan!” seru Pak Mista saat prosesi penyambutan yang begitu sederhana.

Saat mendengar Pak Mista mengucapkan ‘ibu-ibu dan bapak-bapak’, keningku berkerut. Ingin mengintrupsi bahwa kami belum menikah dan rata-rata masih berstatus mahasiswa. Tapi Kak Ihsan yang melihat ekspresi wajahku langsung tersenyum dan mengarahkan telapak tangannya kepadaku seolah tahu apa yang ingin aku lakukan dan dia menghentikannya sebelum aku memulai. Maka, aku diam dan hanya mendengarkan Pak Mista dan Pak Idris berbicara bergantian.

“Jadi, teman-teman, usia seperti kita ini kalau di sini sudah jadi ibu-ibu dan bapak-bapak. Makanya Pak Mista dan Pak Idris memanggilkan kita ibu-ibu dan bapak-bapak, bukan kakak-kakak. Iya kan ya, Pak?” Kak Ihsan menjelaskan tanpa dipinta. Aku hanya cengar-cengir malu atas apa yang sudah aku pikirkan sebelumya. Kulihat Pak Mista dan Pak Idris mengangguk, mengiyakan apa yang diucapkan Kak Ihsan.

“Anak-anak mulai jam 1 siang ya, Lis. Sekarang dibagi-bagi aja tugasnya,” kata Kak Ihsan sebelum aku mem-briefing teman-teman. Aku hanya mengangguk. Bukan karena aku paham, tapi karena hanya mengiyakan di tengah kebingunganku.

Briefing dilakukan dengan sangat singkat. Semuanya merapikan barang bawaan dan pindah ke rumah warga yang akan kami tumpangi. Kami terbagi ke dalam empat rumah dengan tiga rumah untuk wanita dan satu rumah untuk lelaki.

Sejujurnya saat itu aku benar-benar panik, bingung harus memulai dari mana. Semua itu karena jadwal kami yang molor. Aku menjadwalkan pukul 13.00 WIB untuk Teaching Class, sedangkan realitanya di jam itu kami baru mau mulai. Aku memilih beristirahat sebentar di rumah Bu Rani, ibu beranak dua yang kami tumpangi rumahnya.  Bersama Klara, aku membuat jadwal acara yang baru hingga sore nanti serta mematangkan konsep outbond yang rencananya akan dilakukan sore selepas ashar.

Setelah cukup tenang dan letih sudah berkurang, aku dan Klara memilih kembali ke sekolah dan mempersiapkan acara di rumah guru. Dari ruang sebelah terdengar suara anak-anak bernyanyi dibimbing Kak Ihsan. Mereka terdengar sangat kompak. Satu dua celotehan dari mereka yang sangat menggemaskan, membuatku sedikit relaks.

Setelah shalat Zuhur dan baru saja kembali berkutat dengan perlengkapan acara, tetiba Kak Ihsan masuk ke dalam ruangan.

“Mau dimulai kapan, Lis? Ini udah jam 1 loh! Anak-anak udah siap dari tadi. Teman-temannya yang di acara diarahin dong buat segera mulai,” ucapan Kak Ihsan menyerbuku.

Aku terdiam beberapa saat hingga akhirnya aku hanya menyahut, “Hehg? Hu’um. Iya, Kak.”

Mukaku tertekuk saat itu, bingung harus melakukan apa. Sejak tadi kembali lagi ke sekolah, teman-teman masih banyak yang belum datang. Melihat ketegasan Kak Ihsan dalam waktu dan kekurangsiapan diriku, saat itu rasanya aku ingin menangis saja. Tapi aku pikir menangis pun tidak ada gunanya dna tidak akan memperbaikin keadaan.

Aku keluar, mencari beberapa teman yang aku butuhkan untuk mengisi acara. Beruntungnya Vany yang tadi saat aku kembali ke sekolah masih tidur-tiduran, kini tampak sudah berdiri di ruangan. Aku langsung memintanya untuk masuk ke dalam ruangan dan membuka acara dengan perkenalan. Yang kuingat, saat itu Vany ditemani Mas Awal, Dhika, dan Mas Awan.

Satu satu teman yang lain muncul. Aku meminta beberapa teman yang bertugas menjadi pendamping kelompok anak-anak untuk stand by di depan kelas. Sedangkan aku melanjutkan menyiapkan perlengkapan outbond.


Aku terus berkutat dengan persiapan acara di dalam ruang guru ditemani beberapa teman yang memang sedang tidak melakukan apapun. Di luar ruangan terdengar suara Klara yang sedang memandu game anak-anak. Sebenarnya aku mau bergabung, ikut bermain dengan anak-anak. Tapi itu mustahil. Hiks. Sedihnyaaa  T_T

Akhirnya aku tetap berkutat dengan persiapan perlengkapan acara dibantu Kak Sari, Babeh, Dhika dan Vany yang merapikan bingkisan untuk anak-anak. Di luar, suasana sudah berubah. Anak-anak sudah terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil didampingi kakak-kakaknya. Mereka sibuk menentukan nama kelompok dan membuat yel-yel. Oh, serunyaaaa tapi tetap saja aku tidak bisa gabung. Huhuhu T_T


Teaching Class pn tiba. Kelas 5 dan 6 dipegang Mas Wadi yang hendak mengajarkan keterampilan dokter kecil. Kelas 3 dan 4 dipengang oleh Mbak Aby dan Vany yang akan mengajarkan Bahasa Inggris. Aku dan Farah mengajar menggambar di kelas 1 dan 2.

Di kelasku dan Farah, ada 11 anak dengan 5 anak kelas 2 dan 6 anak kelas 1. Semuanya duduk rapi sambil menunjukkan wajah-wajah polos mereka yang selalu menggemaskan. Dengan sebuah kapur di tangan, aku menulis namaku besar-besar di papan tulis untuk memperkenalkan diri.

Kemudian, dilanjutkan dengan mengajak anak-anak berimajinasi dengan coretan-coretan yang kubuat di papan tulis dan membuat ikan-ikan dari coretan-coretan tersebut. Wajah anak-anak tampak sangat antusias untuk menemukan gambar ikan di balik coretan jelek yang kubuat. Bahkan beberapa teman yang menyaksikkan aku mengajar pun ikut mencari gambar ikan dalam coretan yang kubuat.

Yang paling membuatku senang adalah saat setiap anak berebut maju untuk menggambar ikan di dalam coreta yang kubuat. Beberapa malah harus digendong untuk meraih gambar ikan yang terletak di bagian atas papan tulis. Bagi seorang guru, manalah lagi yang lebih menyenangkan hati jika bukan saat melihat anak-anaknya belajar seperti tidak merasa belajar, belajar dengan tertawa, antusias, dan menyenangkan. Di sini, aku merasakan benar-benar menjadi guru dibandingkan sebelumnya :)

Ada satu anak yang paling menonjol di kelasku dan Farah. Namanya Intan, gadis kecil dengan rambut lurus sepundak. Setiap kali ditantang untuk maju ke depan, Intan selalu mengacungkan tangan lebih cepat dari teman-temannya. Bahkan sesekali dirinya langsung maju ke depan. Sayangnya, Intan tampak seperti anak yang tidak terbiasa berbicara. Saat maju ke depan tanpa diintruksi, Intan langsung mengambil kapur di tanganku tanpa izin. Bahkan saat berganti aktivitas menjiplak bebek dengan tangan, Intan langsung menarik spidol yang ada di tangan Farah.

Saat itu Klara yang mengamati kami mengajar langsung memberi kode kepadaku untuk melihat ke arah Intan. Melihat Intan mengambil spidol yang ada di tangan Farah tanpa izin, aku mengambil spidol itu kembali sambil berkata, “Tidak langsung diambil ya, Sayang. Coba bilang ‘kakak, aku mau pinjam spidolnya ya’.”

Intan mengulang apa yang sudah kucontohkan. Dia kembali berkumpul dengan anak-anak yang lainnya, melanjutkan menjiplak bebek dengan kedua tangannya yang belepotan dengan cat dan memberi gambar pada karyanya menggunakan spidol yang baru saja dipinjamnya dari Farah.



***

Selesai Teaching Class, giliran ibu-ibu belajar membaca dan menulis bersama Inta dan Nengsri. Anak-anak kembali bergabung menjadi kelompok besar, bermain bersama kakak-kakak pendampingnya dan juga Vany tentunya.

Yang lainnya, termasuk aku mempersiapkan makan sore bersama. Seharusnya ini adalah makan siang, tapi karena kami tiba telat di Cibuyutan, jadilah ini makan sore. Maka sejak tiba di Cibuyutan kami belum mengisi perut, tapi lapar menjadi hilang begitu saja saat pikiran hanya tertuju pada acara.

Waktu berlaju menuju pukul 15.30 WIB sore saat kami hendak makan. Seharusnya kami sedang siap-siap untuk memulai outbond tapi ini kami malah baru akan makan. Lalu kapan outbond dimulai? tanyaku pada diri sendiri. Maka 15 menit kemudian, aku bilang ke Klara untuk memberitahukan ke anak-anak untuk berkumpyl kembali pukul 16.30 WIB untuk outbond.

Jam tangan Mbak Pupun menunjukkan pukul 16.15 WIB, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan anak-anak. Aku berbicara pada Yudith, meminta sarannya apakah outbond tetap diadakan sore itu juga atau tidak. Yudith bilang kalau outbond dilakukan besok saja, apalagi langit sudah mulai gelap. Well, akhirnya aku kembali ke rumah, mengambil senter dan siap-siap ke menuju salah satu rumah yang ingin aku kunjungi.



Anak Setan

“Kak Ihsan gak apa-apa nganterin” tanyaku padanya yang sedang mengecek sekolah dan hendak mengunci seluruh ruangan.

“Gak apa-apa. Kita ke rumahnya aja. Biasanya saya lihat anaknya main sih,” jawab Kak Ihsan.

“Oh gitu. Okay!” kataku sambil membuntuti Kak Ihsan.

Aku mengajak Yudith dan Klara ke rumah yang hendak aku sambangi. Sebuah rumah yang cukup besar dibandingkan rumah-rumah lainnya yang berada di bawah sekolah. Bagian depan rumah tersebut dijadikan warung dengan sebuah meja dan bangku panjang yang bisa diduduki tiga orang.

“Assalamualaikum. Ibu,  ini ada ibu guru dari Jakarta mau ketemu,” Kak Ihsan memberi salam kepada seorang ibu yang sedang di dalam warung.

Saat itu pula ibu tersebut keluar warung, lalu seorang bapak muncul dari samping rumah. Keduanya menjabat tangan kami. Kak Ihsan mengulang maksud kami menggunakan bahasa Sunda. Lalu suami istri di depan kami mengatakan anak yang kami cari sedang pergi bermain di atas, bersama beberapa anak lainnya. Aku, Klara, dan Yudith diantar Kak Ihsan mencari anak yang ingin kami temui.

Rohni namanya. Seorang anak yang tiga tahun lalu kutemui di Cibuyutan  ini. Dulu, pada sore hari setelah aku dan yang lainnya selesai mengerjakan tugas di desa ini, tetiba seorang teman menghampiriku dengan tergesa-gesa.

“Kak Lis! Kak Lis!” katanya sambil berlari masuk ke rumah yang kami tumpangi bersama, -sama seperti Klara, temanku yang satu ini pun memanggilku kakak meskipun kami satu angkatan dan aku lebih suka langsung dipanggil nama.

“Kenapa, Nuy?” tanyaku yang saat itu sedang berbincang dengan teman lainnya.

“Aku kan dapat tugas ngedata warga. Di sana itu pas tadi ngedata ada anak DS,” jawabnya dengan napas tersenggal.

“Kamu yakin dia DS? Liat langsung anaknya?” aku terkejut dan mengklarifikasi lagi pesannya.

“Bener, Kak! Aku liat sendiri. Ayo aku antar sekarang!” Nuy menarik tanganku.

Aku menolak ajakan Nuy. Bukan karena tidak mau, tapi karena sore itu sampai malam nanti aku masih mempunyai tugas di mushalah desa. Akhirnya aku hanya mendengarkan cerita Nuy tentang anak DS yang ditemuinya.

DS adalah singkatan dari Down Syndrome, salah satu syndrome pada anak yang menyebabkan kondisi fisik anak tersebut berbeda dengan yang lainnya bahkan sangat mudah dikenali oleh orang awam sekalipun, dominan kasus anak DS disertai dengan IQ di bawah rata-rata yang menyebabkan anak mengalami mental retarded. DS kadang disebut Mongolia Syndrome atau Sindrome Kembar Sedunia karena wajah anak DS menyerupai orang Mongol dan wajah anak DS di seluruh dunia ini nyaris serupa. Lidah anak DS lebih pendek dan lebih tebal dari lidah manusia pada umumnya. Jemari anak DS juga pendek-pendek dengan telapak tangan yang kasar.

Sedikit yang aku tahu, DS disebabkan kelebihan kromosom pada anak yang konon hal ini bersifat genetik. Selebihnya aku kurang tahu, sebab sebagai guru pendidikan khusus aku tidak dituntut untuk mengetahui secara detail tentang penyebab kelainan pada anak, aku fokus pada perkembangan anak. Termasuk saat bertemu Rohni, tujuanku kali ini ingin bermain dengannya, melihat perkembangannya, dan berbincang banyak hal dengan orang tua Rohni tentang masa depan Rohni ke depan.

Beberapa menit kami berkeliling di sekitar rumah rumah Rohni, mencari keberadaannya. Beberapa anak yang kami temui bilang kalau Rohni ada di atas, di rumah salah seorang warga. Saat memasuki pekarangan umah warga yang dimaksud, aku melihat sesosok anak lelaki yang sedang bermain dengan dua anak perempuan. Itu Rohni, kataku senang.

“Punten, Bu. Ada Rohni?” tanya Kak Ihsan pada salah satu wanita paruh baya yang sedang duduk di bangku yang ada di depan rumah.

“Rohni? Itu Rohni! Niiii, dicari ibu bapak guru itu!” teriak wanita lain yang ada di pekarangan.

Mendengar teriakan itu, Rohni berlari ke arah kami smabil berteriak, “Aaaaaaaaah!”

Klara dan Yudith yang ada di sampingku langsung tertawa, aku membungkuk sambil membentangkan tangan. Rohni memeluk, meski hanya memeluk pinggangku. Lalu bergantian memeluk yang lainnya.

“Salim, Ni, salim!” seru ibu-ibu yang ada di dekat kami.

Kami mengucapkan salam berbarengan, Rohni menjawab salam dengan speech yang lucu dan mencium satu satu tangan kami. Kami semua tertawa. Aku mengacak-acak rambutnya yang tipis.

“Rohni, ini ibu guru dari Jakarta mau maen sama Rohni!” kata Kak Ihsan dari kejauhan. Dia tetap berdiri di tempatnya sejak kami memasuki pekarangan rumah ini.

“Bu Gulu! Aaaaaaaah!” kata Rohni sambil menunjuk kami dan tertawa. Lalu matanya beralih ke sebuah kantung yang kubawa. Tangannya menunjuk kantung tersebut dan bertanya denganku menggunakan ekspresinya.

“Ini kado buat Rohni. Buat belajar,” kataku sambil membuka  kantung plastik yang di dalamnya terdapat hadiah yang sengaja kusiapkan untuknya.

“Ka…, Kaaa!” katanya.

“Tidak. Tidak. Dibukanya tidak sekarang. Kita ke rumah Rohni dulu ya, baru buka kadonya,” Klara mengambil alih. Yudith hanya menyaksikan kami. Mungkin Yudith sedikit bingung harus bersikap seperti apa pada Rohni, karena Rohni terlihat berbeda dengan anak lainnya.

Rohni sendiri bukannya mendengarkan ucapan Klara malah menunjuk benda lain yang sedang dipegang Klara. “Ape. Apeeee!” katanya.

“Hape? Kamu mau lihat hape? Untuk apa?” tanya Klara dengan ekpresi yang sedikit dilebih-lebihkan.

“ Toooo!” kata Rohni sambil melompat.

“Oooh. Mau foto? Yuk Yuk kita foto bareng. Ibu yang fotoin ya!” Klara menyahut dan mulai mengambil posisi untuk memfoto kami. Aku, Yudith, Rohni, dan seorang anak lainnya. Kemudian kami bergantian berfoto. Kak Ihsan masih berdiri di tempatnya, melihat kami yang bercengkrama dengan Rohni.

Klara dan Yudith membujuk Rohni untuk pulang ke rumahnya. Kata mereka, di rumah kita akan membuka kado dan berfoto lagi. Oleh karena itu Rohni mau pulang, malah sangat senang ^_^

Saat tiba di rumahnya, Rohni kembali menunjuk kantung yang kubawa. Dia meminta kado itu segera dibuka. Maka dengan bantuan Kak Ihsan dan ibunya, Rohni membuka kadonya. Isinya hanya sedikit perlengkapan belajar untuk melatih motorik Rohni berupa beberapa buku mewarnai yang berisi cerita, beberapa puzzle dan krayon.

“Ini ibu guru dari Jakarta, Bu. Mereka ngajar anak-anak kayak Rohni di Jakarta. Mau maen sama Rohni terus mau ngobrol sama ibu katanya.” kurang lebih begitu kata Kak Ihsan menggunakan bahasa Sunda kepada ibu saat Rohni sangat antusias membolak-balik buku mewarnai.

“Oooh, ya Allah. Makasih, Bu,” jawab ibu Rohni dengan nada yang takzim.

Pembicaraan sore ini mengingatkan aku pada pertemuan kami tiga tahun lalu. Dulu saat pertama kali berbincang dengan ibu Rohni, bagaimana beliau menyebut Rohni saat aku bertanya tentang kondisi perkembangan Rohni? Roh Kolot. Anak Setan. Itu sebutan orang-orang, termasuk keluarganya kepada Rohni. Kala itu, sontak aku dan teman-teman terkejut. Miris dan hampir  ikut menangis saat ibu Rohni  mengucapkan ‘Anak Setan’ dengan mata berkaca-kaca.

Ketika itu juga aku dan teman-teman bilang pada beliau bahwa Rohni bukan Roh Kolot, Anak Setan, atau Anak Kutukan seperti yang disebut oleh warga. Kami bilang bahwa kami mengajar anak-anak seperti Rohni di Jakarta. Ada banyak anak-anak yang seperti Rohni di Jakarta, bahkan di seluruh dunia.

“Ibu masih ingat saya? Saya pernah ke sini dulu. Waktu  pertama kali mahasiwa UNJ datang ke sini,” kataku mengingatkan kedatanganku beberapa tahun lalu.

Aku berbincang sedikit dengan ibu Rohni dibantu Kak Ihsan yang menjelaskan ulang menggunakan bahasa Sunda kepada beliau. Klara dan Yudith, bermain bersama Rohni dengan krayon dan buku mewarnai baru miliknya. Rohni telihat sangat antusias mewarnai. Saat Klara meminta Rohni menggunakan krayon dengan warna tertentu, Rohni menolak dan mengambil seluruh krayonnya. Dia ingin memilih warna sendiri. Hahaha.

Sore kian beranjak hingga langit menjadi gelap. Kak Ihsan mengajak kami pamit.

“Rohni, ibu guru pulang yaaa!” kataku, disusul Klara dan Yudith, “Iya, nanti kita main lagi ya!”

Setelah mendengarkan kami pamit, air wajah Rohni berubah drastis. Dia langsung merangkak ke arahku, langsung duduk di pangkuanku sambil menunduk.

“Duuh, ngambek nih ngambek,” Kak Ihsan meledek.

“Ooh, ngambek. Hahaha,” aku, Yudith dan Klara tertawa.

“Eh, Rohniii. Ibu pulang dulu ya. Nanti malam sama besok ibu guru ke sini lagi,” kataku membujuk Rohni. Ketika dibilang begitu, Rohni merosot dari pangkuanku. Menunduk dengan mulut memonyong.

Klara memanggil Rohni. “Rohni…” Disusul Yudith yang ikut membujuk, “Rohni, ibu guru pulang ya. Besok main lagi.”

Rohni memalingkan wajah saat Yudith dan Klara menyentuhnya. Uuuuuh, anak ini ngambek ternyata. Hehehe. Kami akhirnya membujuk bahwa setelah shalat maghrib kami akan kembali ke sini untuk bermain bersamanya. Akhirnya Rohni membolehkan kami pulang.

“Peluk dulu dong!” kataku sebelum kembali ke sekolah.

Satu satu di antara kami berpelukan dengan Rohni. Dia mencium tangan kami sambil berseru, “Aikuuuuuuum!” kami semua menjawab kompak, “Wa’alaikumussalaaaaam!” sambil melambaikan tangan :)


Night of The Crybaby

Selepas shalat Isya, aku dan Nengsri kembali ke rumah Rohni. Mala mini aku berniat untuk berbincang banyak dnegan ibu Rohni terkait Rohni selama tiga tahun belakangan ini. Aku mengajak Nengsri sebagai translator pembicaraan kami. Hehehe.

Sepulangnya dari rumah Rohni, aku dan Nengsri bergabung dengan yang lainnya yang sudah berkumpul di selasar sekolah. Yeeaaach! Dinner is coming! Makanan kami memang  hanya dengan lauk seadanya tapi rasanya enak! :P


Sehabis makan, kami membentuk lingkaran untuk evaluasi acara hari ini dan membahas apa yang kami lakukan besok. Tapi anehnya Kak Tiwi minta evaluasi di belakang, padahal setahuku di mana-mana eveluasi lebih dulu baru membahas acara selanjutnya. Tapi ya sudahlah, terserah saja, begitu pikirku.

Sebagai orang yang wara-wiri di acara, aku kebagian berbicara paling akhir. Aku menjelaskan apa saja kekurangan acara selama satu hari ini dan meminta maaf atas kekurangan acara juga kesalahan yang telah aku lakukan. Tapi tiba-tiba aku dikejutkan dengan Kak Tiwi yang mengatakan bahwa outbond tadi sore dibatalkan karena aku sibuk sendiri dan tidak mau meminta tolong kepada yang lain. Belum lagi yang lain mengiyakan. Ditambah Mbak Aby, Vany, dan Mbak Nina berkata kalau sore tadi ada 20 anak yang datang untuk mengikuti acara. Tapi karena aku, Klara, dan Yudith tidak ada di lokasi, anak-anak dipulangkan.

Setelah itu, yang lainnya ikut berbicara. Dan aku merasa sangat bersalah. Memang tadi sore saat berjalan ke arah Rohni, aku melihat anak-anak berkumpul dengan pakaian yang rapi di belakang sekolah, di dalam pagar tempat  panel surya berjajar. Tapi yang kulihat hanya beberapaa anak, tidak sampai 20, bahkan 10 anak pun tidak.

Aku mencoba menjelaskan pada semuanya bahwa aku pikir lebih baik outbond di-cancel saja. Bukan untuk ditiadakan, hanya diundur sampai besok pagi. Lagi pula sebelumnya aku sudah berdiskusi dengan Yudith yang bertanggung jawab atas acara ini. Tapi yang lainnya terus berkata bahwa ada 20 anak yang berkumpul di lapangan dan akhirnya dibubarkan karena aku tidak ada di lokasi.

Aku meminta maaf atas kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kalau anak-anak datang. Aku juga minta maaf karena tadi sore sudah pergi tanpa pamit kepada yang lain. Tapi sepertinya teman-teman tidak menerima alasanku. Aku pun melempar pandangan ke Klara yang duduk di depanku. Jujur saat itu aku bingung dan ingin menangis. Klara tidak tahu apa-apa, tadi sorepun aku yang mengajak Klara ke rumah Rohni. Jadi kalaupun mau dibilang salah, ini memang salahku.

“Hancur! Hancur acaranya!” suara tinggi Mas Awal mengejutkanku. Aku sempat melihat tangannya berayun ke lantai, seperti hendak memukul lantai.

Mendengar Mas Awal berkata demikian, aku tidak bisa menahan airmataku. Tangisku pecah, merasa sangat bersalah sekaligus takut. Saat itu yang ada dipikiranku adalah betapa kasarnya Mas Awal berteriak seperti itu kepadaku, apalagi di hadapan teman-teman. Aku benar-benar terkejut dan tak bisa menahan tangis. Nengsri yang duduk di sampingku memelukku. Aku sedikit tenang, tapi masih takut dan sangat sedih.

Aku semakin berdebar saat Pak Madinah, ayah Klara, ikut berbicara. Jangan merasa terdusut! Begitu kata Pak Madinah. Aku menggeleng dengan airmata tetap mengalir. Tidak, aku menangis bukan karena merasa tersudut, ucapku dalam hati. Kita belajar tanggung jawab, kata Pak Madinah kepadaku. Aku malah semakin menangis. Aku jadi semakin merasa bersalah. Hiks. Tolong maafkan, maafkan Lis dong T_T

Pak Madinah terus sanja berbicara, aku tidak mendengar jelas ucapannya karena aku masih terus menangis karena kesalahanku. Lalu tiba-tiba semua bertepuk tangan sambil berteriak, “Selamat ulang tahuuuuun!” Dan semuanya tertawa.

Nyebelin! Seruku dalam hati. Aku ingin berhenti menangis saat itu, tapi tidak bisa T_T

“Maaf ya, Lisfah, kita gak nyediain apa-apa!” kata Yudith. Aku hanya mengangguk sambil mengusap airmata.

“Mau tau gak siapa yang ngasih tau ulang tahun kamu?” tanya Kak Tiwi.

“Nggak. Nggak mau!” serbuku. Aku tidak pernah mempublikasikan tanggal lahirku, di sosial media pun aku selalu memprivasi tanggal lahir. Orang yang tahu tanggal lahirku pasti orang yang pernah melihat KTP-ku dan itu pasti salah satu di antara mereka yang pernah naik gunung denganku.

Okay, malam itu berakhir dengan tawa teman-teman dan kedua mataku yang sembab. Ada satu yang membuatku kesal. Klara! Selama evaluasi wajahya begitu panik dan terlihat sangat melas. Mungkin persis seperti wajahku yang panik.

“Muka melas lu tadi bikin kesel banget sih, Ra! Ternyata lu sekongkolan! Huh!” kataku sambil mencubit pinggangnya. Klara hanya tertawa.

Pukul 22.00 WIB. Cibuyutan gelap. Panel surya sudah dinyalakan sejak Maghrib tadi dan kini mengalirkan listrik ke rumah-rumah untuk sekadar memberi penerangan dengan satu dua buah lampu. Saatnya kami beristirahat untuk kembali bermain bersama anak-anak di keesokan hari.

Terima kasih atas kejutan yang menyebalkan tapi sangat berkesan. Terima kasih atas doanya, teman-teman :)


Bersambung…,

© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 19 Maret 2015



19 March 2015
Posted by Fatinah Munir

Trip Teach and Shared: Kami Berkumpul Karena Cinta

Those who live, sees. Those who travel, sees more.
(Ibnu Batutah)


Sebermula Rindu

Semua berawal dari rindu. Rindu pada aktivitas yang berbaur dengan alam. Rindu bercengkrama dengan anak-anak. Rindu berkumpul dengan banyak teman-teman baru. Rindu yang kian menggerumbul kala rutinitas semakin membosankan dan berbagai urusan semakin mempenatkan pikiran.

Maka pada suatu malam, aku membuka wacana di grup WhatsApp bernama “Ngesoters”, grup yang sudah hampir satu tahun kuhuni bersama teman-teman yang kukenal melalui pendakian ke Gunung Pangrango pada 7 Juni 2014 lalu. Wacana ini pun mengumpulkan kami yang masih bertahan di grup dengan teman-teman sependakian yang sudah meninggalkan grup.

Perbincangan pun dimulai. Yang kami inginkan hanya berpergian sambil memberikan manfaat bagi orang-orang sekitar. Informasi demi informasi kami kumpulkan hingga terpilih satu tempat bernama Cibuyutan, sebuah desa terpencil yang pernah kusambangin tiga tahun lalu.


Cibuyutan terletak di Kabupaten Bogor, di atas bukit yang harus ditempuh dua hingga empat jam berjalan kaki dari jalan raya terakhir di kaki bukit. Tak ada listrik di Cibuyutan, listrik hanya tersedia sejak pukul enam sore. Tak semua rumah memiliki kamar mandi ataupun MCK, sehingga sebagian warga harus ke sungai atau ke MCK umum untuk mandi ataupun buang air. Tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai, jika ada warga yang sakit dan ingin berobat harus dibawa turun ke bawah. Dan yang paling menyedihkan buatku adalah hanya ada satu sekolah di Cibuyutan. Sekolah yang ada merupakan madrasah ibtidaiyah (setara sekolah dasar) dengan bangunan empat ruangan; tiga ruangan untuk ruang kelas yang artinya satu ruang digunakan untuk dua tingkatan kelas dan satu ruangan untuk ruang guru sekaligus ruang perpustakaan.



Tiga tahun lalu saat pertama kali aku ke Cibuyutan, kondisi Cibuyutan jauh lebih buruk lagi. Tidak ada listrik selama 24 jam. Hanya beberapa keluarga yang cukup mampu yang dapat membeli jenset dan bisa menikmati pijaran lampu di malam hari. Sisanya, warga hanya menggunakan lilin atau obor. Sekolahnya pun jauh lebih buruk. Setiap yang pertama kali melihat bangunan sekolahnya, pasti tidak akan mengira bahwa itu adalah bangunan sekolah, sebab bangunannya lebih mirip dengan kandang kambing dengan bangku dan meja yang nyaris semuanya rapuh. Dan ternyata memang jika tidak digunakan untuk belajar, bangunan itu digunakan untuk kandang ternak warga sekitar.

Pada kesempatan kali ini, aku kembali bersama teman-temanku. Tak hanya teman sependakian Gunung Pangrango, tapi juga bersama teman-teman baru yang juga mempunyai alasan yang sama bernama cinta, dan tujuan yang sama untuk berbagi. Maka inilah kami, dalam sebuah perjalanan bernama Trip Teach and Shared. Taraaaa..., these are us! ^_^


Atas kanan-kiri: Babeh, Nengsri (Pororo), Putu, Aby, aku, Wadi, Vany, Awan, Minka, Sari, Pak Madinah
Bawah kanan-kiri: Tiwi, Rahma, Yolla, Klara, Farah, Mumpuni, Inta, Awal, Nina, Dhika, Yudith

20 Februari 2015

Malam ini adalah hari keberangkatanku dan teman-teman menuju Cibutuyan. Dalam itinerary (rencana perjalanan), kami akan menuju Cibuyutan pukul 9 malam menggunakan sebuah tronton dari depan Stasiun Tanah Abang. Kami memutuskan berkumpul di Stasiun Tanah Abang karena perlengkapan untuk acara ini banyak disimpan di tempat tinggalku yang berjarak 15 menit berjalan kaki dari stasiun.

Awalnya aku pikir semua akan berjalan dengan tepat waktu, nyata tidak. Satu hari ini sangat crowded hingga membuatku datang telat ke lokasi berkumpul, meskipun jarakku dengan lokasi kumpul hanya 15 menit :(

Di hari keberangkatan ini, seharusnya aku mulai packing sedari pagi lalu beristirahat penuh karena kondisi badan yang kurang sejak beberapa hari. Tapi nyatanya tidak. Di pagi hari aku harus dua kali bolak balik ke pasar tradisional dekat rumah untuk membeli berbagai keperluan untuk konsumsi karena Kak Tiwi yang seharusnya menyiapkan konsumsi dari Jakarta memiliki banyak urusan dan tidak dapat mengurusnya sendiri.

Setelah belanja beberapa keperluan konsumsi, aku harus ke kampus untuk menyerahkan hasil revisi skripsi setelah sidang pada 16 Februari 2015 lalu. Meksipun harus menunggu dosen penguji hingga 2 jam, beruntungnya saat menyerahkan hasil revisi yang tidak terlalu banyak ini dosen pengujiku langsung membaca dan meng-ACC hasil revisiku hari itu juga.

Selepas mengurus skripsi di kampus, aku juga tidak langsung kembali ke rumah :( Aku masih harus ke Slipi untuk menjemput Yolla dan Mbak Nina. Keduanya harus menungguku 2 jam di dalam mal sebelum aku jemput. Hiks. Maafkan ya, Mbak Nina dan Yolla, jam kedatangan kalian di luar prediksi >,<

Aku, Mbak Nina, dan Yolla tiba di rumah kurang lebih pukul 16.00 WIB. Aku membiarkan keduanya beristirahat di ruang tengah sambil mengobrak-abrik tumpukan buku di lemari depan.

Sedangkan aku menyiapkan barang bawaan pribadi yang hanya sedikit dan mengeluarkan beberapa logistik yang masih di dalam kulkas.

“Kak Lisfah mandi geh. Kan belom mandi dari pagi!” seru Yolla saat melihat aku duduk dan hanya bengong. Iya, karena kondisi badan yang kurang fit dan demam, sejak tadi pagi aku tidak mandi >,<

“Nanti aja, Yol. Ini beresin ini dulu. Ini loh masih ada yang belum dibungkus. Konsumsi juga belum dibeli semua. Mau ke Pasar Kencar dulu. Jam 5 stok sayurannya baru datang dari Pasar Induk, jadi masih segar,” aku menyahut.

Sambil menunggu sore beranjak. Mbak Nina dan Yolla masih berkutat dengan buku-bukuku. Hingga hampir pukul 17.00 WIB, bapak pulang. Aku meminta bapak mengantarku ke pasar menggunakan motor untuk membeli beberapa sayuran yang akan dibawa.

Selama aku tinggal ke pasar, Yolla dan Mbak Nina merapihkan tumpukan perlengkapan, bingkisan, dan logistik yang akan kami bawa. Mereka juga sempat mengajak kakak pertamaku pergi mencari bakso untuk mengisi perut kami sebelum berangkat.

Sepulangnya dari pasar, aku bersama yang lainnya makan sore bersama sambil mengingat-ingat apa saja yang belum dibeli dan apa saja yang belum disiapkan.

Biskuit dan susu! Jagung! Gula merah untuk kacang ijo! Tronton apa kabar? Ah! Putuuuu! Putu belum ada kabar! Satu satu hal yang tercecer muncul di kepala. Seketika itu juga perlahan-lahan kepanikan datang. Aku mempercepat makanku dan mengajak kakakku kembali ke pasar untuk mengambil sekardus biskuit dan susu yang sudah kupesan. Lewat pukul 18.00 aku mengajak Yolla kembali ke Pasar Kencar untuk membeli jagung.

Aku dan Yolla tiba di rumah tepat saat azan maghrib berkumandang di televisi, berbarengan dengan pesan dari Yudith yang sudah tiba di jembatan penyeberangan dekat rumah dan minta dijemput. Aku dan Yolla menjemput Yudith. Mbak Nina masih berkutat dengan merapihkan barang-barang tim.

Selepas menjemput Yudith, aku mendata ulang hal-hal yang kurang. Apalagikah yang kurang? Um..., Putu! Putu belum membalas pesan-pesanku sedari tadi. Aaaaarrrgggghhh! Jangan-jangan dia lupa. Atau dia ketiduran? Atau jangan-jangan dia benar-benar tidak mendapat izin dari tante? Duh, bagaimana ini? Sejak awal aku sudah mengingatkan untuk izin dulu ke tante. Kalau tante tiba-tiba datang ke rumah bagaimana? Kalau tante marah kepadaku karena mengajak Putu tanpa izin bagaimana jadinya? Panik! Aku benar-benar panik!

“Kak Lisfah mandi dulu geh!” Yolla lagi-lagi mengingatkan.

“Shalat dulu deh habis itu mandi. Kalian mau ambil wudhu duluan?” seruku menanggapi Yolla.

Selepas shalat dan mandi aku merapikan kembali perlengkapan pribadi yang akan kubawa. Tinggal memasukkan beberapa perintilan, pikirku. Maka aku membiarkannya begitu saja dan membantu yang lainnya merapikan barang-barang yang sedari tadi tak habis-habisnya dirapikan.

Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 19.30. Beberapa pesan masuk di hapeku.

Lisfah di mana? Saya sudah di depan Stasiun Tanah Abang tapi kok belum lihat kelompok kamu ya? –Solihun

Mbak, saya sudah sampai di Stasiun Tanah Abang.

Pesan pertama datang dari Kak Solihun, seniorku di kampus sekaligus salah satu relawan di Cibuyutan yang akan mendampingi perjalanan kami. Pesan kedua datang dari sopir tronton.

“Astaghfirullah! Yudiiith, sopir trontonnya sampe. Kak Solihun juga. Klara tadi juga ngabarin udah sampe. Gimana doong?” aku bingung.

“Yaudah ayo jalan habis beresin ini!” sahut Yudith.

“Itu Yudith makan dulu. Tadi yang lain udah makan. Apa mau makan lagi bareng Yudith?” emak menyambung percakapan, “Itu bapaknya masih cari taksi buat angkut barang.”

Yudith mengiyakan perkataan emak. “Putu mana, Lis?”

Aaaarrrrgggghh. Aku kembali panik. Telepon tidak diangkat, pesan pun tidak dibalas.

“Insya Allah dia ikut. Tungguin dulu sebentar ya,” kataku dan tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Ya Allah Yudith! Belom ngeprint yang buat Mas Wadi!”

“Ya ampun Lis. Yaudah diprint dulu. Ditungguin!,” sahut Yudith. Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB.

“Ngapain lagi? Dari kemaren tuh diurus yang bener. Disiapin jauh-jauh hari!” seru emak yang melihatku berlari ke kamar atas untuk mengeprint.

Sejak itu aku ingin menangis. Ingin menyahut bahwa semuanya sudah disiapkan dan bagian yang ini tinggal diprint, aku fokus dengan persiapan sidang dan revisi hasil sidang. Tapi semua itu tertahan di tenggorokan. Aku cuma diam.

Saat aku mengklik print, mesin printer berbunyi sebagai tanda bahwa ia hendak menjalankan tugasnya. Satu lembar sudah keluar. Sepuluh lembar lagi maka aku bisa tenang. Sayangnya aku malah semakin panik saat sebuah notifikasi muncul di layar laptop. Tinta warna printerku hampir habis!

Ya Tuhan! Salah apa aku! Aku mencoba terus menjalankan printer, bagaimanapun hasilnya nanti. Saat itu aku mendengar suara dari lantai bawah. Tampaknya taksi sudah datang dan barang-barang sudah diangkut ke dalam taksi yang menunggu di depan gang rumah.

“Masih ngapain, Lis? Katanya jalan jam 8 malam. Ini udah jam 8 lewat,” seru bapak dari bawah.

“Masih ngeprint. Tunggu dulu!” suaraku serak hampir menangis.

“Ini barangnya udah diangkutin. Temennya udah siap! Dari kemaren kemana aja, udah mau jalan baru ngeprint!” bapak kembali berbicara dari bawah.

“Iyaaa Lis tau. Aduuh, jangan didesak gitu. Lis bingung!” aku mengintip dari atas ke arah bapak, menatap bapak dengan mata berkaca-kaca.

“Kebiasaan! Mana tasnya? Biar diangkut ke taksi,” kata bapak sambil berpaling.

“Jangaaaan! Ada yang belum dimasukin,” jawabku. Aku melihat ke arah printer yang mengedipkan lampu merah tanda tinta habis. Hufh! Aku menghembuskan napas berat. Bagaimana nanti bilangnya ke Mas Wadi kalau bahan penyuluhannya tidak ada. Hiks T_T

Aku turun ke bawah dengan tergesah. Mengambil mukena di kamar dan memasukkannya ke dalam tas bersama beberapa alat mandi.

Saat menggunakan sandal di teras, Putu muncul. Napasku lega sekali melihat dia akhirnya ikut. Aku menebak ini adalah pengalaman Putu bepergian jauh dengan bersusah-susahan menggunakan tronton. Karena yang aku tahu, teman kecilku ini selalu menggunakan kendaraan pribadi setiap kali bepergian dan tidak sering ikut aktivitas bersama anak-anak.

Saat itu perhatianku tertuju pada barang-barang yang melekat di tubuh Putu. Rambutnya masih sedikit basah. Lehernya berbalut plasmina. Tangannya memegang hape yang tersambung dengan power bank. Yang paling menarik perhatianku adalah tasnya. Putu membawa tas kecil berserut dan sebuah tas selempangan yang digantungkan dipundak kanannya. Seriusan mau bawa dua tas begitu sambil naik? Tanyaku pada diri sendiri.

“Putu, barangnya mau dititipin ke Lis gak? Ini tas Lis masih kosong loh.” aku memberikan tawaran.

“Eh, gak usah, Lis. Enteng kok ini,” Putu menjawab, lalu berbincang dengan emak dan kakakku di dekat pagar.

“Ayo cepetan! Nunggu apa lagi!” seru bapak dari luar pagar.

Putu, Yudith, Yolla, dan Mbak Nina yang ada di luar pagar langsung berjalan keluar gang menuju taksi di temani bapak. Aku membuntuti dari belakang bersama emak.

Saat tiba di depan taksi, aku terdiam. “Ada yang lupa! Hape Lis masih di cash,” aku mengerutkan kening sambil berseru takut-takut kepada bapak.

“Astaghfirullah. Cepetan! Kebiasaan lupa lupa melulu!” jawab emak kala aku sudah berlari kembali ke rumah.

Beberapa menit kemudian aku sudah tiba di dekat taksi. Yolla tampak menenteng botol-botol air minum dari warung. Aku teringat bahwa aku belum membeli air minum. Tapi Yolla mengatakan bahwa air minum yang dibawanya sudah termasuk untukku. Syukurlah kalau begitu. Tapi aku teringat sesuatu.

“Ada yang lupa lagi, Pak,” kataku pada bapak yang mau melepaskan tas dari pundakku.

“Apa lagi? Astaghfirullah, Nak! Udah yang lain jalan duluan, biar Lis jalan jam 11 malam sendirian!” jawab bapak. Emak hanya diam di sampingku. Yolla menatapku dari seberang.

“Bapak ih, jangan ngomong gitu!” aku menangis saat itu juga. Emak menyuruhku untuk bergegas kembali. Kali ini aku berlari lebih kencang dari sebelumnya.

Akhirnya aku dan yang lainnya duduk di dalam taksi yang akan mengantarkan kami ke Stasiun Tanah Abang.

“Lewat fly over aja ya, Pak. Nanti belok pas Hotel Milenium,” seruku pada bapak sopir taksi.

Beberapa menit kemudian, taksi yang kami tumpangi akan melewati lampu merah Hotel Milenium dan berbelok kea rah Stasiun Tanah Abang. Tapi anehnya, bapak sopir taksi malah tancap gas melaju lurus ke depan.

“Loh, kok ke sini, Pak?” tanyaku heran.

“Emang Mbak mau kemana?” bapak sopir taksi kembali bertanya.

“Ke Stasiun Tanah Abang, Pak.” jawabku.

“Katanya mau ke Jonggol. Ya makanya saya lurus,” bapak sopir taksi menimpali dengan santai.

“Hah? Ya kali, Pak, ke Jonggol naik taksi. Iya, memang mau ke Jonggol. Tapi kami cuma minta diantar ke Stasiun Tanah Abang,” aku menjelaskan.

“Lah saya tanya ke bapak tadi mbak-mbak ini mau kemana, katanya mau ke Jonggol. Ini makanya lurus biar masuk tol langsung,” bapak sopir taksi menjelaskan kembali.

Bapaaaaak. Seruku dalam hati dengan wajah kembali ditekuk.

“Yasudah, Pak, belok kiri di depan. Muter di air mancur Monas itu ke arah Tanah Abang lagi. Stasiun ya, Pak!” seruku pada supir taksi.

Well. Kami akhirnya tiba di Stasiun Tanah Abang. Lokasi yang hanya berjarak 15 menit berjalan kaki dan malam itu menghabiskan Rp55.000,- menggunakan taksi. Syududududu.

***

“Hai, semuanya. Aku Lisfah yang wara-wiri hubungin kalian. Maaf ya, telat! Hehehe!” aku berseru kepada teman-teman yang sudah duduk rapi di dalam tronton. Ada perasaan sangat bersalah saat itu, karena aku terlambat. Tapi bingung menjelaskannya kenapa aku bisa terlambat. Maka aku memilih tidak menjelaskan apa-apa.

Tinggal menunggu Babeh yang sedang menjemput buku dari donatur, juga Dhika dan Kak Tiwi yang masih di perjalanan menuju Tanah Abang. Aku memilih ngobrol bersama Klara dan ayahnya sambil menunggu anggota tim ini lengkap.


Sebelum naik ke dalam tronton, Yudith menepuk bahuku. Hendak mengatakan sesuatu.

“Udah ngomong, Lis?” tanya Yudith.

“Ngomong?” aku belum mengerti.

“Ke Mas Wadi,” lanjut Yudith.

Aku menekuk wajah. “Belum. Takut. Gimana ngomongnya? Gak enak ih. Temenin dong!”

“Yaudah yang penting ngomong sebelum sampai Cibuyutan,” seru Yudith.

“Hu’um. Tapi takut ngomongnya. Temenin ya!” jawabku.

Meskipun Yudith mengiyakan, entah kenapa aku tetap takut dan merasa bersalah. Aku sudah janji akan membawa hasil print untuk penyuluhan. Tapi karena lupa dan saat diprint tinta printer habis, jadilah aku tidak membawa apa yang sudah aku janjikan ke Mas Wadi :(

Pukul 22.00 WIB seluruh tim lengkap. Kami pun berangkat. Di dalam tronton ini tampak tak banyak yang saling berkenalan. Itu jelas karena mereka sudah saling berkenalan satu sama lainnya sebelum aku datang. Tapi saat itu aku masih berusaha menghapal wajah-wajah dan nama mereka.

Perjalanan malam ini aku habiskan dengan berbincang apa saja bersama Klara. Mulai dari konsep acara, karena Klara aku todong untuk ikut menggantikan Sofiah yang seharusnya menemaniku di bagian acara, perbincangan kami perlahan mengalir pada pembahasan tentang anak-anak, parenting, perkuliahan, dosen-dosen, hingga banyak hal lainnya tentang kampus yang akan kami tinggal beberapa pekan lagi.

***

21 Februari 2015

Sebuah tangan menepuk pundakku, membangunkanku yang tertidur. Jam tangan yang dikenakan Klara menujukkan hampir pukul 1.00 WIB dini hari dan hari sudah berganti. Seluruh tim turun dari tronton dan barang-barang siap diturunkan pula. Kami sudah tiba di Desa Tanjung Sari, desa terakhir sebelum kami harus berjalan kaki 2 – 4 jam berjalan kaki menuju Cibuyutan.

Kami yang perempuan mengangkut barang pribadi kami ke gedung TK dan beristirahat di lantai dua. Sedangkan perlengkapan tim dan teman-teman yang lelaki di mushalah untuk beristirahat. Menunggu matahari pagi muncul dan kami siap melanjutkan perjalanan.

Saat tiba di lantai dua TK, seluruh teman sudah mengambil posisi. Ada pula yang sudah memejamkan mata. Aku memilih sudut kanan ruangan tepat di antara Klara dan Kak Sari. Tinggal Yolla yang masih bolak-balik mencari tempat tidur yang nyaman.

“Kak Lisfah gak tidur? Biasanya paling cepet tidur,” kata Yolla.

“Belum ngantuk. Hehehe,” sahutku.

Aku mengecek hape. Terlihat sebuah notifikasi di sudut layarnya.

“Barokallohu fii umrik!” sebuah tulisan tampak di layar hapeku. Oh my God! Aku tersenyum melihat tulisan itu.

Aku mengeluarkan mukena dan sabun pencuci wajah. Klara yang ada di sampingku masih membolak-balikkan badan dan belum tampak sudah tertidur.

“Ada yang mau ikut ke bawah?” tanyaku pada siapa saja yang mendengarkanku di ruangan ini.

“Mau ngapain, Kak?” tanya Klara, -meskipun satu angkatan Klara memanggilku dengan sebutan kakak meskipun aku lebih senang dipanggil nama secara langsung.

“Buang air kecil, ambil wudhu,” aku tersenyum pada Klara.

“Ikut, Kak!” Yolla menyahut.

Malam itu, di ruangan asing yang pernah aku tempati tiga tahun lalu, aku sempatkan shalat beberapa rakaat dan membaca beberapa surat yang kusukai. Entah mengapa sebuah tulisan “Barokallohu fii umrik” yang beberapa menit lalu kubaca membuatku ingin memulai hari ini dengan hal-hal yang baik dan menenangkan. Dan senangnya melihat Yolla dan Klara ikut shalat di sampingku. Lalu keduanya tidur lebih dulu.

Saat jam di hape menujukkan pukul 2.00 WIB, aku memilih tidur. Mengistirahatkan tubuh yang sedari tadi terus terbatuk. O God, aku tidak sabar menunggu bertemu dengan anak-anak Cibuyutan! Semoga besok lebih sehat, lebih baik, dan lebih menyenangkan!


Bersambung…,

© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 17 Maret 2015
17 March 2015
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -