Archive for 2015
The Teacher's Journey (7): Mau Kemana Sehabis Lulus Kuliah?
Mau kemana sehabis lulus kuliah?
Itulah pertanyaan yang selalu kudengar dari banyak orang kepada
setiap orang yang baru lulus kuliah. Kini, giliranku yang menerima pertanyaan
itu dari orang-orang yang kutemui.
Tentang apa yang akan kulakukan selepas lulus kuliah,
sebenarnya sudah aku bicarakan dengan emak jauh sebelum aku lulus. Tapi
lagi-lagi emak selalu saja bilang, “Semoga Allah ngasih jalan ya, Nak.”
Ada banyak arti yang terpendam dalam satu kalimat yang
emak sampaikan. Salah satunya adalah sebuah haru yang emak simpan baik-baik.
Beberapa tahun ini, saat aku baru masuk kuliah di UNJ,
usaha emak dan bapak memang mengalami kemunduran. Bisa dibilang penghasilan
dari berdagang emak bapak menurun hingga 50% dari sebelumnya. Tapi Alhamdulillah,
meskipun usaha emak bapak sedang turun, selama kuliah aku bisa mengandalkan
uang beasiswa, menulis freelance, dan juga panggilan wawancara ke radio atau
penelitian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Yang membuatku khawatir adalah ketika aku lulus kuliah.
Dengan berakhirnya pekuliahanku, itu artinya berakhir pula masa beasiswaku. Dan
itu membuatku harus memutar otak untuk tidak menyusahkan emak bapak sebelum aku
mendapatkan pekerjaan. Kadang aku mendiskusikan hal ini kepada emak bapak.
Bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga rencana-rencana jangka panjang yang
ingin aku capai. Kami senang membicarakan rencana ini bersama-sama, meskipun di
akhir percakapan emak selalu mengucapkan hal sama dan selalu membuat suasana
menjadi haru.
“Kamu dari keluarga gak punya, tapi cita-cita kamu selalu
tinggi. Semoga Allah ngasih jalan, Nak,” kata emak.
Jika emak sudah berkata seperti itu, aku selalu langsung
beranjak pergi karena takut mengeluarkan airmata di depannya. Lalu dengan intonasi
suara ceria yang dibuat-buat aku berkata, “Apaan ih emak. Gak usah terlalu
dipikirin sih. Insya Allah bisa.”
***
Demi memuliakan emak bapak, selepas kuliah ini aku sudah mempunyai
serangkaian rencana. Rencana pertamaku adalah pergi ke Pare, Kediri, untuk
belajar bahasa Inggris. Aku berencana selama dua bulan di Pare untuk
mempersiapkan IELTS dan meningkatkan kemampuan speaking-ku.
Sebelum berangkat ke Pare, aku mendaftar pekerjaan di
Sekolah Alam atau Homeschooling yang sudah aku jadikan sasaran karierku. Semoga
Allah melancarkan prosesnya hingga aku bisa diterima sebagai tutor di salah
satu sekolah yang aku targetkan.
Sepulang dari Pare, aku berencana mengajar di Sekolah
Alam atau Homeschooling tersebut. Masih sambil mengajar, aku berniat terus
belajar bahasa Inggris. Mungkin di tempat kerja nanti aku bisa berbicara dan
menulis menggunakan bahasa Inggris, ya hitung-hitung sambil melatih kemampuan bahasa
Inggris-ku. Selain itu, mungkin di luar jam mengajar aku akan mengambil les
bahasa Jepang.
Kenapa harus bahasa Inggris dan bahasa Jepang? Semua itu
berhubungan dengan rencanaku selanjutnya. Paling lama tahun depan aku ingin
mendaftar beasiswa LPDP untuk program magister. Berhubung major Special Needs
Education di Indonesia hanya tersedia di Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI), Bandung, maka aku pikir akan banyak kesempatan emas yang bisa aku ambil
untuk memperoleh beasiswa Magister Special Needs Education di luar negeri.
Untuk spesialisasi pendidikan anak dengan autisme, aku memiliki target untuk
kuliah di Jepang di Kyoto University, Yokohama National University, atau
minimal di Malaya University, Malaysia. Selepas lulus magister, aku ingin
menjadi dosen di almamaterku, UNJ.
Itulah rencana jangka panjang yang sudah aku rancang demi
emak dan bapak. Melihat kondisiku saat ini, memang semua terlihat impossible.
Tapi aku punya Tuhan. Aku punya Allah yang selalu membantu hamba-Nya yang yakin
atas janjinya. Aku punya Allah yang selalu Mengabulkan doa-doaku setiap kali
aku meminta. Semoga Allah melancarkan segala urusanku yang berkaitan dengan
impian-impianku. Semoga Allah Membantuku menunaikan setiap hajat yang kupunya. Semua
ini untuk emak bapak. Untuk memuliakan keduanya di hadapan-Nya. Semoga Allah
senantiasa Mengabulkan. Amin.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 13
April 2015
The Teacher's Journey (6): Mak, Aku Sarjana!
Sudah hampir dua puluh kali revisi untuk bab IV dan bab V
tugas akhirku. Dosen pembimbingku pun mengizinkanku untuk maju mempresentasikan
hasil penelitian. Aku pikir jalanku akan mulus-mulus saja jika aku sudah
dinyatakan boleh maju mempresentasikan hasil penelitian, tapi nyatanya tidak.
Huft!
Saat jadwal seminar hasil penelitian diumumnya, ternyata
jadwalnya sangat lama. Masih sepuluh hari jaraknya sejak jadwal seminar
diumumkan. Dosen pengujiku bilang kalau aku tidak akan bisa mengikuti jadwal
wisuda semester ini jika aku mengikuti jadwal yang ada. Maka dosen pengujiku menyarankanku
untuk meminta perubahan jadwal kepada dosen kepala penguji.
Nasib! Hari itu kepala penguji tidak ada di kampus begitu
pun dengan tim pelaksana ujian. Bermodalkan nekad, aku menelpon dua dosen yang
bertugas di tim pelaksanaan ujian akhir. Aku memita jadwal ujianku dimajukan
dengan alasan seperti yang diberitahukan dosen pengujiku –agar aku bisa
mengejar wisuda di semester tujuh.
Bersyukur Alhamdulillah, kedua dosen yang kuhubungi menerima
permohonanku untuk ujian lebih awal, yakni hari Selasa depan. Tepatnya tiga
hari lagi.
The day is comes!
Aku mempresentasikan hasil penelitianku
tanpa kehadiran dosen pembimbing kedua. Hari itu beliau sedang kuliah di
Bandung. Lagi-lagi beruntungnya aku bisa, tidak ada perbaikan berarti yang
harus aku lakukan terhadap tugas akhirku. Insya Allah bisa aku selesaikan dalam
waktu satu malam dan esok harinya bisa aku berikan kepada dosen penguji dan
dosen pembimbingku. Tapi berita buruknya, pekan depan aku harus ikut sidang.
Mau tidak mau, segalanya harus dilakukan lebih cepat dari sebelumnya. Oh. My.
God!
Mak, Aku Sarjana!
Dengan segala peluh dan airmata –I’m really
serious about this!, aku menyelesaikan tugas akhir dan bisa mengikuti sidang di
waktu yang sangat mepet. Hingga pada tanggal 27 Februari 2015 aku dinyatakan
lulus sebagai sarjana pendidikan. Tapi aku belum bisa bersantai-santai. Masih
banyak berkas yang harus diurus sebelum waktu wisuda datang. Ahay! Kembali
berpusing ria dengan berkas dan tanda tangan! :D
Alhamdulillah. Selasa, 24 Maret 2015. Aku bersama empat
puluh teman sesame mahasiswa Pendidikan Luar Biasa akhirnya diwisuda di Jakarta
International Expo, Kemayoran. Emak, Bapak, Ong, Nti, dan Naufal ikut datang.
Teman-teman dekatku juga datang. Mengharukan sekaligus menyenangkan. Yang
paling melegakan adalah aku akhirnya bisa membayar janjiku kepada emak untuk
merampungkan kuliahku tiga setengah tahun saja.
Selanjutnya, saatnya bersiap memenuhi janjiku yang
lainnya pada emak. Bersiap mencapai impian selanjutnya! Bismillah!
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 12
April 2015
The Teacher's Journey (5): Mengejar Sarjana
Mei 2014
Ini adalah bulan terakhir perkuliahan. Alhamdulillah
selama tiga tahun aku mengambil sks hingga full di setiap semsternya. Semester
enam ini adalah semester terakhir perkuliahan di kelas, karena seluruh
perkuliahan yang harus dituntaskan sebelum tugas akhir sudah diselesaikan.
“Semester depan itu semester terakhir kamu kan, Lis,”
tanya emak. Um, lebih tepatnya emak memastikan aku lulus di semester tujuh
seperti janjiku saat masuk UNJ.
“Insya Allah kalau skripsi Lis lancar. Doain aja, Mak,”
jawabku.
“Emak bantu Cuma sampai semester depan loh. Selebihnya
kalau kamu main-main, emak gak tanggung jawab,” lanjut emak memastikan aku
benar-benar akan memenuhi janji.
Jadi sebenarnya sejak semester empat aku memperjuangkan
biaya kuliahku sendiri. Beberapa beasiswa dari luar kampus aku kantungi untuk
membayar uang kuliah. Tapi sayangnya
beasiswa tersebut turun setiap enam bulan sekali dengann waktu yang tidak
bersamaan dengan tenggat waktu pembayaran kuliah. Mau tidak mau sebelum
beasiswa turun, aku harus menabung. Jika uang tabunganku tidak cukup untuk
membayar uang kuliah, aku akan meminjam uang kepada emak bapak untuk menutupi
kekurangan biaya kuliahku. Ya, meskipun kenyataannya beberapa semester emak
bilang kalau uang pinjamanku tidak usah dibayar.
Emak tidak hanya memastikan kelulusanku di semester tujuh
kepadaku. Ternyata emak terlanjur excited dengan mengatakan kepada tetangga dan
keluarga besar kami kalau aku akan lulus di semester tujuh.
Duh! Bagaimana ini. Aku belum mempunyai strategi untuk
menyelesaikan kuliah yang tinggal satu semester lagi menurut perhitungan emak.
Maka pada saat pemilihan dosen pembimbing, aku langsung menembak satu dosen
yang aku pastikan dapat membimbingku agar dapat menyelesaikan penelitian dalam
waktu satu semester.
Ibu Suprihatin atau yang lebih akrab dipanggil Ibu Key (dibaca
Key, bukan Ki). Beliau dosen pengampu Pendidikan Anak dengan Autisme sekaligus
dosen yang sangat aku kagumi sejak pertama kali perkuliahan bersama beliau.
Dengan ketegasan yang beliau miliki, aku yakin beliau bisa membimbingku dan aku
akan nyaman dengan beliau.
Alright! Dosen pembimbing satu sudah terpilih. Giliran
menunggu pengumuman dosen pembimbing kedua yang ternyata jatuh pada Pak Budi
Santoso. Beliau calon doktor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),
Bandung. Beliau dosen muda yang sangat cerdas dan bisa dibilang gaul. Yaa,
cukup mengimbangi Bu Key –menurutku.
Penelitian aku lakukan nyaris bersamaan dengan program
PKM (Pelaksanaan Kegiatan Mengajar) selama tiga bulan di SDN Kelapa Gading
Timur 04 Pagi, Jakarta Utara. Murid yang aku ajar adalah subjek dalam
penelitianku.
Awalnya prosesnya mudah. Tapi sayangnya, di tengah penelitian aku harus menghadapi
permasalahan tidak penting yang sialnya malah berpengaruh besar pada kelancaran
proses penelitianku. Malam menulis dan mengolah data adalah imbasnya. Dan
kemalasan itu berlangsung satu bulan. Selama sebulan aku tidak menyentuh
penelitianku, pun tidak menghubungi dosenku. Arhg!
Saat teman-teman yang lainnya sudah mulai seminar hasil
penelitian, aku malah baru mengonsultasikan data hasil penelitianku. Dampaknya,
kedua dosenku memarahi dan sempat selama dua minggu tidak mempedulikanku. Hiks.
Tapi aku terus berusaha membujuk keduanya. Melakukan
perbaikan sendiri dengan mencoba membaca
ulang hasil tulisanku yang membandingkannya dengan buku panduan penelitian.
Hingga akhirnya, hasil tulisan tiga kali revisi hasil bimbingan sendiri, alias
tanpa dosen pembimbing, aku serahkan kepada kedua dosen pembimbingku.
Bersyukurnya aku, kedua dosen pembimbingku mau menerimanya. Sejak saat itu aku
di-push habis-habisan untuk mengejar ketertinggalan. Semua dilakukan serba cepat. Hari ini bimbingan,
malam revisi, besok menyerahkan hasil revisi. Begitu seterusnya hampir satu
bulan.
Meksipun aku sudah mengerahkan semua tenaga dan waktu,
aku berpikir bahwa aku akan tetap tertinggal dari teman-teman lainnya. Seluruh
teman yang penelitian bersamaku sudah melakukan sidang, sedangkan aku belum
juga maju seminar hasil penelitian. O God, what should I say to my emak? Hiks.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 12
April 2015
The Teacher's Journey (4): Membayar Janji
Hasil Ujian Masuk Bersama akan diumumkan. Aku masih
mengikuti perkuliahan Farmasi. Hari itu aku memilih pulang ke rumah daripada ke
asrama. Tepat sehabis maghrib aku tiba di rumah dan membuka website pengumuman.
Aku memasukkan beberapa angka yang menjadi identitasku. Klik. Sebuah tulisan
terpampang lebar.
Selamat Anda Lulus
di Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta!
Aku senang bukan kepalang. Saat itu aku ke kamar emak
bapak juga kakak untuk memberitahukan bahwa aku diterima di Pendidikan Luar
Biasa Universitas Negeri Jakarta. Seisi rumah ikut senang. Kini semuanya
membantuku mempersiapkan kepindahanku ke UNJ.
“Kalau dari awal kamu ke UNJ aja, biaya masuk Farmasi
bisa dipakai sampai kamu lulus dari UNJ kali ya, Nak?” kata emak kepadaku.
Saat itu aku langsung menangis, memegang tangan emak
sambil memintaa maaf atas apa yang telah aku lakukan.
“Emak jangan bilang gitu dong. Lis berat ngejalaninnya
nanti,” kataku.
“Nggak. Nggak apa-apa kok. Ya buat pelajaran aja jangan
sampai begini lagi. Pilih yang Lis mau. Jangan terbawa omongan orang. Sekarang
belajar yang benar di UNJ,” nasihat emak kepadaku.
Sambil mengurus pendaftaran ulang, kakak membantuku
pindah dari asrama ke rumah. Aku memilih tinggal di rumah selama kuliah di UNJ.
Meskipun harus ditempuh dengan dua kali naik angkutan umum, tetapi jarak UNJ
dengan rumah cukup dekat. Hanya 45 sampai 60 menit. Jika macet, maksimal
aku membutuhkan waktu 90 menit.
***
Sejak pertama kali masuk UNJ, aku mencatat kembali
janji-janjiku kepada emak bapak. Aku belajar lebih giat dan lebih aktif
dibandingkan saat aku masih di Farmasi. Aku berusaha semampuku untuk
membuktikan pada emak bapak bahwa kepindahanku ke pendidikan tidak untuk
main-main dan aku siap membuktikan bahwa aku bisa membayar satu tahunku di
Farmasi dengan banyak prestasi di tempat baruku.
Alhamdulillah, di UNJ aku berusaha aktif di BEM Jurusan
Pendidikan Luar Biasa (BEMJ PLB) dan Pers Dakwak Kampus (PDK). Sejak tahun
pertama perkuliahan aku menjadi bagian dari tim redaksi PDK. Di tahun kedua
perkuliahan, aku dipercaya menjadi Ketua BEMJ PLB. Tidak hanya itu, di tahun
pertama aku mendirikan sebuah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan
untuk anak-anak yang bekerja di jalanan
yang kini berkembang cukup pesat. Selama di UNJ pun aku dinobatkan
menjadi delegasi kampus untuk pertemuan pemuda Indonesia di beberapa daerah.
Berkat inilah aku bisa menyambangi banyak kota di Indonesia mulai dari pulau
Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan.
Sejak semester dua hingga semester empat aku bekerja
sebagai penulis lepas dan reporter freelance
di dua majalah sekaligus sambil sesekali mengirim cerita fiksi ke majalah
online. Pada semester lima hingga tujuh aku memilih bekerja sebagai guru pendamping
anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Alhamdulillah, semua aku
lakukan dengan lancar berkat doa dari emak bapak dan semua ini untuk mereka
pula.
Meskipun ada beberapa hal yang belum bisa aku penuhi, tapi
aku bersyukur setidaknya banyak hal yang sudah aku lakukan untuk “membayar”
hutang satu tahunku di Farmasi kepada emak bapak. Ya, meski sebanyak apapun hal
yang sudah aku lakukan tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan emak
bapak kepadaku.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 11
April 2015
The Teacher's Journey (3): I'm Promise!
Beberapa hari selepas terakhir kali pembicaraan dengan
emak bapak terkait keinginanku untuk pindah kuliah. Emak yang sedang memasak
bersamaku memulai pembicaraan itu lagi.
“Kamu mau pindah ke mana memangnya?” tanya emak.
“Ke UNJ aja kayaknya. Jadi guru aja,” jawabku sambil asik
memotong sayur.
“Guru apa?”
“Guru buat anak-anak kayak Naufal kayaknya,” jawabku
santai sambil menyebut nama keponakanku yang menyandang autisme.
“Beneran? Gimana ih kamu. Dulu disuruh jadi guru
Matematika atau Fisika aja kamu nggak mau. Sekarang masa mau jadi guru
anak-anak autis. Kan gak banyak sekolahan yang butuh,” ibu protes atas
keputusanku.
Aku mengangguk, mengiyakan dengan mantap. Memang sih dulu
emak bapak sempat memberikan saran kepadaku untuk melanjutkan sekolah ke Keperawatan
di Rumah Sakit Bhakti Husada atau kuliah di bidang Pendidikan Matematika atau
Fisika. Emak bapak tahu persis kemampuan akademikku, memang. Tapi aku tidak
berminat di kedua profesi itu. Untuk menadi perawat di instansi swasta, aku
tahu betul semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun emak bilang
kalau biaya di awal akan dibantu oleh Tante Bali –ibu Putu, ibu dari temanku
yang menjadi dokter di rumah sakit tersebut, aku tetap harus memikirkan biaya
selama tiga tahun aku sekolah di sana. Belum lagi biaya kost dan praktik di
beberapa rumah sakit tiap bulannya.
Aku pikir, bukan pilihan yang tepat untuk kondisi
perekonomian keluarga kami yang bisa dibilang kecil. Untuk menjadi guru pun aku
tidak tertari saat itu. Aku berpikir jika menjadi guru, kelak aktivitasku akan
sangat menoton. Mengajar di kelas dengan meja dan bangku berjejer serta seragam
coklat dan biru tua yang sangat membosankan. Aku tidak bisa beraktivitas secara
monoton. Aku selalu mencari aktivitas yang dinamis dan berubah-ubah untuk
mengatasi moody yang kumiliki.
Tapi entah bagaimana jadinya, berselang satu tahun, aku
malah memutuskan menjadi guru yang tidak biasa. Menjadi guru pendidikan khusus
untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
***
Setelah pembicaraan panjang di dapur, keesokan harinya
Abah Surip datang ke rumah. Emak, bapak, kakak-kakaku, termasuk aku berkumpul
di ruang depan. Abah Surip sebagai
anggota keluarga terbesar memulai pembicaraan yang menurutku agak menegangkan.
“Mau pindah kuliah, Lis?” tanya abah.
Aku menjawab sambil
menunduk. Lalu menjawab lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang disusulnya.
Hingga tiba saatnya pembicaraan tentang jurusan perkuliahan yang hendak
kuambil.
“Kamu yakin?” pertanyaan itu muncul lagi. Kini dari Abah
Surip.
Aku mengiyakan penuh keyakinan. Kujelaskan semua
kemungkinan yang akan kuhadapi jika aku meneruskan kuliah di Farmasi, juga
segala rencana yang akan aku lakukan jika aku diizinkan pindah kuliah. Kadang
di sela-sela obrolan ini aku menangis, karena merasa cita-citaku terlalu tinggi dibandingkan kondisi keluarga kami yang
sangat biasa-biasa saja.
“Kalau memang mau pindah, nanti belajarnya harus lebih
giat. Mulai sekarang ikutin apa kata hati Lis sendiri. Jangan dengerin orang
yang nyuruh Lis buat ngerjain B kalau Lis sendiri mantap ngelakuin A. Jangan
sia-siain perjuangan orang tua. Belajar yang bener,” nasihat Abah Surip.
Jika Abah Surip sudah berkata demikian, itu pertanda
beliau sudah mengizinkan. Artinya, emak dan bapak pun mengizinkan.
Beruntung izin sudah kukantongin sebelum pendaftaran
ujian masuk universitas ditutup. Akhirnya aku bisa memilih apa yang aku mau.
Aku langsung mempersiapkan diri untuk mendaftar kuliah di jurusan yang aku
inginkan. Aku mengikuti Ujian Masuk Bersama tahun 2011 dengan memilih beberapa
jurusan yang sedari dulu aku inginkan. Aku memilih Ilmu Biologi, Bahasa dan
Sastra Indonesia, Pendidikan Biologi, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
dan pastinya Pendidikan Luar Biasa (Pendidikan Khusus) yang semuanya di UNJ.
Aku berjanji kepada diriku sendiri, terutama kepada emak
bapak, jika aku diterima di Pendidikan Luar Biasa UNJ, aku akan menyelesaikan
pendidikan hanya tiga setengah tahun, aku akan mendapatkan beasiswa hingga
lulus kuliah, aku juga berjanji akan menjadi mahasiswa berprestasi di kampus,
termasuk akan mencoba melakukan apapun mengikuti kata hatiku dan bertanggung
jawab atasnya, dan aku berjanji akan mendapatkan beasiswa untuk lanjut kuliah
hingga aku menjadi seorang dosen di bidangku.
Aku berjanji semua itu akan aku lakukan demi emak dan
bapak yang sudah senantiasa memercayaiku.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 11
April 2015
The Teacher's Journey (2): Let Me Go, Pak, Mak!
“Boleh gak Lis pindah kuliah, Mak, Pak?”
Itu pertanyaan yang sudah kusiapkan saat pulang ke rumah
di akhir pekan. Saat itu emak dan bapak sedang duduk di ruang depan selepas
shalat maghrib. Keduanya masih menggunakan perlengkapan ibadah. Emak masih
menggunakan mukena dan bapak mesih menggunakan sarung dengan peci yang melekat
di kepala.
“Hah? Kenapa? Gak kuat pelajarannya?” tanya emak setengah
khawatir.
“Enggak juga sih. Tapi ngerasa kayak bukan jalannya. Lis
ngejalaninnya setengah hati,” jawabku jujur.
“Jangan main-main, Nak!” bapak mengingatkan.
Tidak. Aku jelas tidak main-main. Ini keputusan yang
bulat setelah beberapa minggu aku mambaca artikel di blog tersebut. Saat itu
emak dan bapak terus mengorek alasan apa yang membuatku ingin pindah kuliah.
Emak dan bapak hanya mendengarkan, tidak banyak bertanya apa-apa lagi.
Selain karena merasa menjalankan dengan terpaksa, alasan
lain yang aku utarakan adalah tentang biaya. Memang aku mendapatkan beasiswa
selama kuliah di Farmasi, tapi bukan beasiswa full. Emak dan bapak masih harus
mengeluarkan uang iuran lebih dari 20 juta rupiah saat mendaftar kuliah.
Selebihnya, uang bulananku bebas dari tanggungan emak bapak. Tapi sayangnya,
uang beasiswa hanya cukup untuk kebutuhan pokok kuliah seperti membeli buku dan beberapa alat praktikum. Itu
pun kadang alat praktikum harus kubeli dengan uang dari beasiswa lain yang kuterima.
Uang yang rutin emak berikan selalu aku tabung atau kadang aku pakai untuk
keperluan sehari-hari jika mendesak.
Karena masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi dan
lebih sering mendadak harus dipenuhi untuk perkuliahan, tanpa sepengetahuan
emak bapak, aku berjualan selama kuliah. Setiap pagi aku bangun jam lima subuh.
Mandi, shalat, lalu belajar sebentar. Pukul enam tepat aku pergi ke salah satu
warung makan Jawa yang ada di dekat asrama untuk mengambil nasi yang akan aku
jual di asrama dari pintu ke pintu. Begitu saja aktivitasku setiap pagi
mengelilingi asrama putri berlantai empat untuk menjajahkan nasi uduk atau nasi
kuning.
Sering juga di sela jam istirahat kuliah siang, aku
kembali ke asrama untuk menjual gorengan dan kacang hijau. Hal ini kadang aku
lakukan di sore hari setelah pulang kuliah. Bahkan aku juga menjual buku
kuliah. Buku-buku itu aku peroleh dari salah seorang pemilik toko buku di
Thamrin City. Aku mengambil buku-buku tersebut dengan harga murah yang khusus diberikan
kepada pembeli yang akan menjual bukunya lagi.
Yang aku pikirkan selanjutnya adalah bagaimana nanti jika
aku harus melanjutkan pendidikan ke jenjang profesi untuk memperoleh gelar apoteker?
Saat itu yang aku tahu jarang ada beasiswa untuk sekolah profesi. Dan saat itu,
saat aku masih semester pertama, biaya untuk sekolah profesi dua kali lipat
dari biaya kuliah Farmasi. Lantas berapa biaya yang aku butuhkan untuk sekolah
profesi jika aku lulus nanti?
Aku berpikir, bagaimana nasibku nanti. Emak dan bapak
hanya seorang pedagang kecil. Uang puluhan juta yang emak keluarkan adalah
tabungan emak selama bertahun-tahun. Paling lama lima tahun lagi aku akan
sekolah profesi, terkumpulkah uang sebanyak dua kali lipat dari sekarang itu sedangkan
emak dan bapak menghidupi tiga anak yang belum bekerja dan satu keponakanku?
Demi memperoleh izin dari emak bapak, aku menceritakan
semua rahasiaku tersebut. Mulai dari beasiswa lain yang kuterima untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari hingga tentang usahaku mengumpulkan uang tambahan dengan
berjualan selama di asrama.
“Terus satu tahun ini sia-sia?” kata emak. Matanya
menatapku dalam-dalam. Aku hendak menangis melihatnya.
“Nggak, Mak. Nggak sia-sia. Di sana Lis belajar banyak.
Lis ketemu banyak teman. Lis belajar nulis yang sekarang pun Lis sambil kerja
dengan menulis. Nggak sia-sia, Mak. Ini memang salah Lis yang gak bisa nentuin
keinginan Lis sendiri. Tapi setahun di Farmasi benar-benar gak sia-sia kok,”
jawabku dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu yakin mau
pindah?” tanya bapak.
Aku mengangguk mantap. Kembali meyakinkan emak dan bapak.
Aku sudah merancang rencana apa saja yang akan aku lakukan jika emak bapak
mengizinkanku melakukan apa yang kumau. Termasuk rencana yang kini sedang aku
jalankan.
“Bapak ngomong dulu sama Abah Surip,” kata bapak
mengakhiri percakapan malam itu. Emak diam, mengikuti kehendak bapak.
Malam itu bapak keluar rumah. Pergi ke rumah Abah Surip,
kakak iparnya yang tertua, untuk berdiskusi dan meminta saran atas apa yang
belakangan ini sampaikan.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 11
April 2015
The Teacher's Journey (1): Aku Farmasis dan Belum Guru
Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku bisa menjadi
seorang sarjana, terlebih lagi menjadi seorang sarjana pendidikan. Bahkan tak
terbersit sedikitpun dalam pikiranku untuk menjadi seorang guru.
Empat setengah tahun lalu saat duduk di bangku SMA, aku
selalu mengimpikan menjadi seorang insinyur pertambangan. Bekerja di perusahaan
minyak terbesar di Indonesia, bekerja berpindah tempat dari satu daerah ke
daerah lainnya. Tapi saat aku menceritakan impianku, emak dan bapak menolak
dengan sangat halus.
“Kamu perempuan. Kamu yakin mengidamkan masa depan
seperti itu?” kata emak bapak suatu hari lalu.
Aku hanya diam. Tidak menjawab. Hanya memikirkan
jawaban itu dan menanyakannya kembali
kepada diriku sendiri.
“Kamu mau ambil jurusan apa?” tanya salah seorang guruku
di SMA.
“Teknik Metalurgi, Pak. Tapi saya juga mau ambil Sastra
Indonesia. Mungkin akan ambil ujian IPC,” jawabku mengikuti kata hatiku.
Jawaban itu selalu kuutarakan pada siapapun yang bertanya
hendak kemana aku setelah lulus SMA. Respon yang kuterima semuanya sama. “
Sayang sekali nilaimu sudah tinggi tapi kamu memilih jurusan seperti itu. Buat apa
masuk jurusan yang passing grade-nya rendah dan tidak sesuai dengan jurusanmu
di SMA?”
Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab. Aku hanya berpikir
itulah yang kumau. Aku tahu apa yang aku mau, maka aku akan melakukannya selama
emak dan bapak merestui. Sayangnya, emak dan bapak hanya mengiyakan.
Menyerahkan segala keputusan kepadaku dan menyuruhku meminta saran dari
guru-guru.
Aku seperti kehilangan arah ketika emak bapak memintaku
berkonsultasi kepada guru-guru. Meskipun aku menginginkan Teknik Metalurgi dan
Sastra Indonesia sesuai passion-ku, guru-guru tidak mengacuhkannya. Yang mereka
tahu aku adalah siswi dengan nilai yang yang
nyaris selalu sempurna, terutama di urutan pelajaran Bahasa, Seni, Fisika,
Kimia, Biologi, dan Matematika. Mereka ingin aku masuk ke bidang bergengsi yang
berhubungan dengan IPA. Guru Biologi menyarankanku masuk Kedokteran. Guru Kimia
menyarankanku masuk Farmasi. Guru Fisika menyarankanku masuk ke ilmu Fisika
murni dan mengambil Fisika Klinik. Sedangkan Guru Bahasa dan Seni mendukungku
untuk masuk ke jurusan apapun. Ya, mereka menyadari bahwa guru-guru sains
sangat menginginkan aku tetap bergelut di bidang sains.
Di detik-detik terakhir pendaftaran PMDK aku mendaftar ke
Farmasi di dua universitas. Di dua universitas bergengsi di sekitar Jakarta ini
Farmasi menjadi jurusan tersulit setelah Kedokteran. Tapi bagaimana pun saat
itu aku merasa tidak cukup sepenuh hati untuk menjadi bagian dari Farmasi. Lagi
pula, meksipun nilaiku cukup tinggi, aku yakin masih banyak sekali orang dengan
nilai yang jauh lebih tinggi daripadaku. Aku tidak yakin bisa bersaing dengan
banyak orang yang menginginkan Farmasi.
Alhamdulillah,
di tengah keraguan dan ketidakpercayaan diriku, aku diterima di salah satu
universitas tersebut, ditambah lagi dengan beasiswa yang aku terima di tahun
pertama ini. Aku merasa sangat beruntung, tapi entah mengapa aku tidak cukup
puas dan lega dnegan semua yang aku terima.
Aku menjalani perkuliah seperti mahasiswa lainnya.
Tinggal di asrama, mengikuti aktivitas kuliah hingga sore. Kemudian mengikuti
kelas Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Kelas Qur’an di asrama khusus mahasiswa
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan hingga pukul 10 malam. Begitu kami
lakukan setiap harinya kecuali hari Sabtu dan Minggu. Meskipun jadwal kuliah
dan asrama padat, aku lebih sering memilih pulang ke rumah dengan jarak tempuh
dua jam.
Sudah hampir dua semester aku di Farmasi dengan nilai
yang nyaris sempurna. Tapi tidak ada kebahagiaan yang lapang di hatiku. Entah
karena apa. Aku tidak bisa menduga-duganya.
***
Dua bulan menjelang libur semester. Saat itu aku sedang blog walking. Membaca secara random
blog-blog yang berkunjung ke blog-ku –blog khusus tulisan tentang kefarmasian.
Tetiba aku masuk ke dalam sebuah artikel yang bertajuk Anak Tunalaras. Who are they? Aku penasaran dengan
judulnya. Klik. Maka aku sudah meluncur ke dalam blog tersebut.
Aku tenggelam dalam isi artikel tersebut. Sesekali
mengerutkan kening dan tersentak sambil bertanya pada diri sendiri. Anak-anak
yang menggunakan narkoba? Anak-anak yang melanggar hukum? Anak-anak nakal yang
mempunyai pistol untuk membunuh temannya sendiri? Memangnya ada ya anak yang
seperti ini? Di Indonesia? Aku pikir itu hanya ada di Amerika seperti yang
kutonton di film-film. Ternyata, ya anak seperti itu ada di Indonesia.
Merekalah yang disebut anak tunalaras.
Aku penasaran dengan artikel lainnya. Hingga dalam satu
hari penuh, aku habisnya untuk membaca artikel-artikel tentang anak di dalam
blog tersebut. Semua itu membuatku tercengang miris dan kagum secara bersamaan.
Saat itu juga aku merasakan seperti melihat dunia baru yang membuatku jauh
lebih hidup.
Di akhir peseluncuranku di blog tersebut, aku mencari
tahu siapa orang menulis artikel tersebut. Ternyata penulisnya adalah seorang
yang berhubungan dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Profesinya sebagai
psikolog yang bekerjasama dengan guru-guru anak berkebutuhan khusus. Saat itu
entah dari mana lagi asalnya tetiba sesuatu muncul di benakku. Lalu aku berseru
“Aku ingin menjadi guru anak berkebuhutan khusus”.
© Lisfatul Fatinah
Munir
Orchid House, 10
April 2015
Hai 2 April!: Light It Up Blue!
Semua bermula dari sebuah ruang
dokter spesialis syaraf. Dua belas tahun lalu untuk pertama kalinya aku melihat
begitu banyak kabel terpasang di kepala seorang balita. Kabel-kabel itu
terhubung ke sebuah layar yang menampakkan berbagai garis yang membentuk
gelombang. Dari balik kaca ruangan yang memisakanku dengan dokter dan balita
tersebut, kulihat dua wajah berbeda yang menunggu dengan cemas di dekatku.
Keduanya juga turut memerhatikan dokter bekerja untuk balita yang berbaring di
atas tempat tidur. Terutama untuk kedua wajah yang menunggu di dekatku.
Dua wajah itu
adalah Ong, kakak pertamaku, dan suaminya. Balita yang berbaring di balik pintu
kaca dengan berbagai kabel yang menempel di kepala itu adalah keponakan
pertamaku yang baru berusia dua tahun.
Dua belas
tahun lalu, untuk pertama kalinya aku mendengar istilah itu. Sebuah istilah
yang tidak hanya mengubah hidup Ong, tetapi juga mengubah kehidupan keluarga
kami. Dan selanjutnya berperan mengubah kehidupanku.
Autis. Itulah
yang disebut dokter untuk mewakili kondisi keponakanku yang perkembangannya
tidak sama seperti anak pada umumnya. Sebuah istilah asing di telinga keluarga
kami yang awam dan kampungan. Tapi bagaimanapun, kondisi ini sudah diprediksi.
Jauh sebelum keponakanku dilahirkan.
Dua tahun
sebelum memasuki ruang dokter spesialis syaraf ini, saat Ong sedang mengandung
delapan bulan, dokter sudah memprediksi akan ada kelainan pada anak yang akan
dilahirkannya. Semua itu karena saat itu Ong sedang sakit typus dengan suhu
tubuh yang terus meningkat hingga rambutnya rontok. Kondisi kandungan Ong
memang masih kuat, tapi kemungkinan buruk dengan melahirkan anak yang berbeda
dengan anak pada umumnya tetap ada.
Muhammad
Naufal Maulana. Begitulah nama yang diberikan kepada anak yang dilahirkan Ong
pada 6 Juli 2000 lalu. Bayi yang sehat, dengan berat dan tinggi badan yang
lebih dari normal. Tak ada yang kurang saat melihat Naufal datang ke dunia ini.
Wajahnya tampan dan fisiknya tumbuh dengan baik.
Namun semua
keganjalan muncul ketika Naufal beranjak satu tahun. Tak ada perkembangan yang
berarti dari Naufal kecil. Tak ada perkebangan verbal, pun itu sebuah ekolalia,
pengulangan atau meniru ucapan. Tak ada juga perkembangan motorik yang berarti.
Naufal kecil belum menunjukkan perkembangan bahwa dirinya hendak berjalan. Maka
kami sekeluarga mengira, mungkin inilah kelainan yang dimaksud dokter saat Naufal
masih dalam kandungan. Sebab itu saat menginjak usia dua tahun, Naufal dibawa
ke dokter syaraf dan hingga sekarang usianya menginjak angka lima belas untuk
menerima penanganan medis. Selama itu pula kami mengalami banyak perubahan
dalam hidup.
Sejak ada
Naufal, selalu banyak mata yang menatap kami dengan aneh. Masa-masa dikucilkan
pun sempat kami rasakan. Tatapan merendahkan, kasihan, dan iba juga pernah kami
terima. Hingga kadang amarah kami memuncak untuk mejawab semua itu dengan
berkata, “Ada yang salahkah jika dia berbeda?!”
Keberadaan
Naufal juga mengubah hidupku. Bisa dibilang keberadaannyalah yang
mengantarkanku menjadi seperti sekarang. Menjadi seorang guru pendidikan khusus
anak dengan autisme. Selain sebagai bentuk pengabdian atas apa yang sudah Tuhan
hadirkan dalam kehidupanku, aku berpikir anak dengan autisme memiliki dunia
yang jauh lebih luas daripada dunia yang aku lihat dan dengar selama ini dari
kacamata sebagai “manusia normal”.
Maka saat aku
memasuki dunianya, aku melihat banyak hal menjadi sangat memukau. Bahkan
hal-hal kecil yang kadang dianggap sepele sekalipun. Seperti Naufal yang selalu
terpukau setiap kali melihat beraneka ragam poster rokok. Sejak kecil hingga
Naufal memiliki ketertarikan lebih pada poster-poster rokok. Oleh sebab itu di
rumah terdapat banyak poster rokok dan beberapa spanduk rokok yang ditempel di
kamarnya. Bahkan di rumah kami terdapat beberapa kardus bungkus bekas rokok
yang Naufal kumpulkan dari jalanan sekitar rumah.
Kini Naufal
tumbuh seperti remaja pada umumnya. Dia suka bertemu dengan banyak orang,
selalu menyapa siapapun yang dikenalnya. Naufal juga sudah menunjukkan
masa-masa pubernya sejak menginjak usia belasan tahun. Dia rutin meminta
disediakan parfum, minyak rambut, hingga sabun pembersih wajah. Naufal juga
selalu memilih pakaiannya sendiri, bahkan kadang meminta sendiri untuk diajak
ke pasar untuk sekadar membeli sebuah kaos yang pernah dilihat dan dia
menyukainya. Naufal yang menyukai musik pun belakangan minta dibelikan gitar
dan selalu bilang mau bermain gitar dan aku bermain biola bersamanya. Beberapa
pekan ini Naufal juga meminta dibelikan motor agar bisa sama seperti
teman-temannya yang tidak menyandang autisme.
Yang paling membanggakan dari Naufal adalah dia mempunyai hati yang lembut. Dia selalu ikut menangis jika melihat orang lain menangis. Naufal mudah menangis jika mendengarkan lagu-lagu sedih. Jika Naufal melihat seorang pengamen ataupun orang yang fisiknya kurang lengkap dan pengemis, Naufal selalu meminta uang kepada Ong, ibunya, untuk diberikan kepada pengamen atau pengemis tersebut. Jika Ong tidak memberikan uang, Naufal akan terus meminta uang kepada siapapun yang dikenalnya agar dia bisa memberikan uang kepada pengamen dan pengemis yang dilihatnya.
Yang paling membanggakan dari Naufal adalah dia mempunyai hati yang lembut. Dia selalu ikut menangis jika melihat orang lain menangis. Naufal mudah menangis jika mendengarkan lagu-lagu sedih. Jika Naufal melihat seorang pengamen ataupun orang yang fisiknya kurang lengkap dan pengemis, Naufal selalu meminta uang kepada Ong, ibunya, untuk diberikan kepada pengamen atau pengemis tersebut. Jika Ong tidak memberikan uang, Naufal akan terus meminta uang kepada siapapun yang dikenalnya agar dia bisa memberikan uang kepada pengamen dan pengemis yang dilihatnya.
Bersama Naufal dalam setiap kesempatan. Dia jauh lebih tinggi daripada aku dan selalu merangkulku setiap kali berjalan bersisian dengannya |
Aku bersyukur
Naufal bisa tumbuh di lingkungan yang perlahan menerimanya dengan baik. Bahkan
bisa dibilang kemampuan sosial Naufal sangat baik dibandingkan anak dengan
autisme lainnya.
Tak ada yang
harus dipertahankan selama bersama Naufal selain kesabaran. Maka di sinilah aku
menemukan betapa beruntungnya kami memiliki Naufal yang mengajarkan kami arti
kesabaran dan keikhlasan.
Jika dulu
dosenku berkata, butuh jiwa yang ikhlas dan sabar dengan kadar yang tinggi
untuk menjadi guru anak-anak berkebutuhan khusus. Maka aku pikir butuh
kelapagan dada saat hidup bersama anak dengan autisme agar segalanya berjalan
dengan mudah dan justru bisa menatap anugerah di tengah keberbedaan yang lebih
sering disebut musibah.
Bila banyak
orang berkata betapa hebatnya orang-orang yang mau menjadi guru untuk anak-anak dengan autisme,
maka jauh lebih hebat mereka, para orang tua yang Tuhan titipkan anak-anak
dengan autisme dalam rumah mereka. Mulialah mereka para orang tua yang menerima,
merawat, dan mendidik anak-anaknya yang
menyandang autisme. Mulialah mereka yang Tuhan pilih untuk menjadi
bagian dari kehidupan anak dengan autisme. Mulialah mereka hingga Tuhan
menjadikannya orang tua yang selalu ikhlas dalam mendidik anak-anak dengan
autisme dan bersabar menerima berbagai cemoohan atasnya.
Anak dengan
autisme memang berbeda, tapi keberadaannya bukan untuk dibedakan. Mereka juga
manusia seperti kita. Ketika mereka sedikit berbeda dengan kita, apalah
sulitnya membantu mereka mengenal bagaimana menjadi “manusia normal” seperti
kita. Ketika mereka sedikit berbeda dengan kita, bukan berarti mereka bisa
dijadikan sebagai bahan ejekan, olok-olok, dan lelucon bagi kita yang merasa
sebagai “manusia normal”. Ketika mereka sedikit berbeda dari kita bukan berarti
Tuhan gagal Menciptakan mereka, melainkan
mereka adalah satu dari sekian cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa kondisi
kita saat ini patut disyukuri.
Mari beri
ruang untuk mereka, anak-anak dengan autisme yang ada di sekitar kita. Kenalkan
kepada mereka bagaimana hidup menjadi “manusia normal” –jika memang kita
menganggap yang normal adalah yang lebih baik. Mari terima mereka,
anak-anak dengan autisme di sekitar kita sebagaimana anak-anak lain pada
umumnya. Karena mereka tetap manusia, maka perlakukanlah mereka seperti
manusia.
Selamat hari
anak autisme sedunia!
Selamat
harimu, Naufal sayang!
© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 2 April 2015
(*) Notes:
Light It Up Blue adalah frase yang digunakan untuk
memperingati hari autisme sedunia. Blue atau biru yang memiliki banyak spectrum
warna mewakili kondisi anak dengan autisme yang memiliki banyak spektrum
kondisi dan setaip anak dengan autisme yang satu tidak sama kondisinya dengan anak
dengan autisme lainnya. Light It Up Blue disuarakan di hari autisme sedunia
dengan sambil menunjukkan keberadaan anak dengan autisme kepada dunia agar
dibisa diterima seperti anak pada umumnya. Di hari autisme sedunia ini setiap
orang yang memperingati dianjurkan menggunakan pakaian berwarna biru untuk
mewakili keberadaan anak dengan autisme.
Trip Teach and Shared: Cibuyutan Asonde Kurete, Arigatou!
Pukul
5.00 WIB. Mataku terbuka selepas beristirahat semalaman. Yang lainnya masih
tidur dan sepertinya Bu Rani juga masih tidur. Aku mengenakan kacamata yang
kuletakkan di kayu yang ada di belakangku semalam, sebelum tidur. Aku
membangunkan Klara dan mengajaknya keluar menuju rumah Abah, satu-satunya rumah
yang ditumpangi teman-teman wanita yang memiliki fasilitas kamar mandi. Aku dan
Klara bergantian mengambil wudhu dan shalat di rumah Abah.
Pagi
ini seharusnya pukul 6.00 WIB acara sudah dimulai, tetapi anak-anak belum
datang juga. Hingga Pak Mista dan Nengsri harus beberapa kali memberikan
pengumuman lewat megaphone beberapa kali.
Sambil
menunggu anak-anak, aku merapikan beberapa perlengkapan untuk outbond pagi ini
di ruang guru lalu menikmati matahari yang beranjak naik dan menunjukkan
keindahannya dari Timur, tepat dari depan sekolah. Saat sedang berdiri
memperhatikan matahari yang terbit, dari kejauhan terlihat dua anak kecil
berjalan bersisian menapaki tangga tanah menuju sekolah. Itu Rohni dan
temannya.
Malam
sebelumnya aku memang meminta izin kepada ibu Rohni bahwa kami akan mengajak
Rohni bermain dan belajar di sekolah sejak pagi. Oleh karena itu Rohni datang
bersama temannya untuk ikut bermain dan belajar bersama kami.
Saat
masuk ke dalam gerbang sekolah, Rohni memberi salam dan berteriak kegiragan.
Satu per satu teman-temanku yang ada di selasar sekolah disalimi. Kadang Rohni
mencium tangan teman-teman sambil tertawa. Pagi itu Rohni mendekati Klara dan
meminta difoto seperti sebelumnya. Pun itu pintanya kepada teman-teman lain
yang sednag memegang kamera. Alhasil, seluruh teman-teman tertawa melihat
tingkah polah Rohni yang lucu.
Waktu
beralih dari pukul 6.30 WIB menuju pukul 7.00 WIB. Anak-anak sudah mulai
berdatangan bersama gelas dan sendok yang dibawanya. Kak Sari dan Mas Wadi
tampak membantu anak-anak mengumpulkan gelas dan sendok yang nanti akan kami
pakai untuk makan bubur kacang ijo bersama. Klara juga tampak sigap membariskan
anak-anak di depan sekolah untuk olahraga pagi. Tak berbeda dengan anaknya, Pak
Madinah, ayah Klara, bersiap memimpin senam dan beberapa perlombaan pagi ini.
Yang
dimaksud Yudith adalah Rohni. Baiklah, akhirnya aku menemani Rohni sepanjang
pagi ini. Sampai saat anak-anak bermain post to post saat outbond pun aku tetap
bersama Rohni. Bolak balik melempar bola. Lari-lariaan. Bahkan bermain
badut-badutan dengan balon di dalam baju untuk menggendutkan perut. Hingga
Rohni ‘melupakan’ aku saat Kak Tiwi datang dan bermain bersamanya.
Pukul
9.00 WIB satu per satu ibu-ibu yang ada di Cibuyutan ini datang untuk mengikuti
penyuluhan kesehatan, bertepatan saat aku malah asik main lompat tali bersama
Farah di tengah kesenggagan waktu. Buruknya lagi, ruangan untuk penyuluhan
belum siap. Alhasil Farah, Kak Tiwi, Vany, dan aku terburu-buru memindahkan
meja-meja ke ruangan lain dan Mas Wadi yang akan memberikan penyuluhan langsung
meninggalkan kelompok anak-anak untuk segera berganti pakaian.
Di
waktu yang sama, Kak Tiwi, Yudith, dan Mas Awan menyiapkan bingkisan untuk
anak-anak dan Vany menemani anak-anak dengan cerita-ceritanya. Lalu tetiba aku
dipanggil untuk masuk ke ruangan. Ceritanya aku diminta mendongeng di depan
anak-anak. Aaarrggghh, dag dig dug. Ini pertama kalinya aku mendongeng di depan
anak-anak, setelah selama ini mendongeng di depan cermin :D
Meskipun
suaraku masih serak-serak becek, aku usahakan mendongeng untuk anak-anak. Dan
di sinilah aku merasakan bagaimana menyenangkannya menjadi seorang pendongeng
kala melihat perubahan wajah anak-anak yang awalnya tempak bosan, letih, dan
tidak fokus berubah menjadi wajah dengan mata membelalak lebar dan berbinar.
Oooh, aku seperti terbang. Melayang di antara binar mata mereka. Meskipun aku
merasa kurang maksimal saat mendongeng, tapi aku senang dan ingin semakin
belajar mendongeng ^^
Well,
mendongeng selesai, tapi suasana sunyi senyap. Selain karena anak-anak, Pak
Mista dan Pak Idris sedari tadi menyimak, di dalam ruangan yang hanya ada
Yudith dan Mbak Aby, ternyata yang lain sedang berkerumun di selasar sekolah.
Ada
apaan sih? Aku penasaran dan langsung menghampiri teman-teman yang sedang
berkumpul. Ternyata Mas Wadi sedang buka praktik. Eh, maksudnya sedang mengenalkan
akupuntur kepada teman-teman. Menarik, kupikir. Sebab ini pertama kalinya aku
melihat praktik akupuntur secara langsung, mungkin juga pertama kalinya untuk
teman-teman yang lainnya.
Singkat
cerita, sambil melihat Mas Wadi mengakupuntur Pak Madinah, Inta, Vany, dan Mbak
Nina, acara anak-anak sedang ditutup oleh Yudith, Mas Awan, Kak Tiwi, dan Mbak
Aby. Setelah itu kami berfoto bersama anak-anak dan Pak Mista juga Pak Idris.
Di
sinilah detik-detik perpisahan mulai terasa. Suasana mulai membiru, apalagi
saat anak-anak bersalaman satu per satu. Ketika hampir seluruh anak pulang,
tetiba ada seorang anak yang menarik bajuku. Saat aku menunduk, ternyata itu
Intan. Dia tersenyum kepadaku dan langsung memelukku erat-erat. Aku berlutut
agar bisa sejajar dengannya. Lalu membalas pelukannya. Duuuh, gak boleh nangis,
Lis! Aku mengingatkan diriku sendiri.
“Intaaan.
Makasih yaa sudah mau main sama kakak. Kakak akan kangen sama kamu. Jadi pintar
dan solehah ya!” ucapku sambil menatap matanya.
Intan
mengangguk. Masih dengan senyuman manisnya dan matanya yang bulat berbinar.
Lalu dia berlari kecil meninggalkanku yang masih berlutut di atas rumput. A,
aku benar-benar kangen dia. Kangen semangat anak kecil ini saat di dalam kelas.
Kangen dengan keberaniannya, meskipun postur tubuhnya lebih kecil daripada yang
lainnya. Sayangnya, aku tidak sempat berfoto berdua dengannya. Semoga Tuhan
mempertemukan kita lagi, Intan sayang! :)
Selepas
acara, kami bersiap untuk pulang. Merapikan dan membersihkan ruang sekolah.
Membersihkan badan dan packing untuk kepulangan. Lalu sesekali di antara kami
meluangkan waktu untuk berbincang santai dengan Pak Mista dan Pak Idris –karena
sibuk dengan acara bersama anak-anak kami, termasuk aku, malah jarang
berbincang santai dengan Pak Mista maupun Pak Idris terkait kondisi sekolah.
Pulang! :(
Pukul
13.00 WIB. Kami harus berpamitan kepada Pak Mista dan
Pak Idris. Aku bersyukur bisa kembali ke Cibuyutan untuk kedua kalinya. Senang
bisa berbaur dengan anak-anak, mengingat saat kedatangan pertama kali dulu aku
ada di bagian orang tua dan perbaikan mushalah desa.
Yang paling aku syukuri adalah aku masih punya
kesempatan kembali ke Cibuyutan selepas sidang tugas akhir. Rasanya semua penat
selama penelitian langsung hilang ketika berada di tempat ini. Lalu di
Cibuyutan inilah semuanya berubah. Kepenatan menjadi kesenangan.
Kebisingan menjadi kesunyian. Keluh
kesah menjadi syukur yang tak hingga.
Gara-Gara
Lisfah Pelupa >,<
Kami berjalan kaki dari Cibuyutan menuju Tanjung
Sari. Berbeda dengan keberangkatan yang membutuhkan waktu 4 jam dengan barang
bawaan yang banyak, kini kami hanya membutuhkan waktu satu hingga dua jam menuju
Tanjung Sari. Kami beristirahat sejenak di mushalah tempat kami bermalam sambil
menunggu ashar tiba dan shalat ashar di sini.
Saat turun, entah kenapa kepalaku sangat sakit,
bahkan sakitnya sudah terasa sejak berpamitan dengan keluarga tempat kami
tinggal di Cibuyutan. Kepalaku semakin sakit ketika panas menyengat menembus
kulit kepala. Oleh sebab itu aku mengenakan payung selama perjalanan turun.
Hingga tiba di mushalah pun sakit kepalaku masih terasa. Bersyukur sekali ada
Mbak Nina yang mau memijat kepalaku dan membuat perlahan sakitnya hilang. O,
thank you my dear, Mbak Nina :*
Pukul 16.00 WIB. Kami semua masuk ke dalam tronton
dengan bekal bakso tusuk, es teh manis, dan sekantung rambutan pemberian Bu
Apang. 15 menit sudah tronton kami berjalan, tetiba terdengar suara dari bagian
belakang tronton.
“Kunci sekolahan ada di mana?” kata suara itu
Aku yang berusaha tidur dan masih mendengar
percakapan teman-teman langsung tersontak. Terkejut.
“Astaghfirullah! Kunci masih di aku. Di tempat
pensil,” kataku dengan wajah terkejut sekaligus mau menangis.
“Kak Lis. Lu lupaan banget sih!” kata Klara.
“Karena gue lupaan itu, Ra, makanya itu kunci dari
kemaren setiap habis dikasih Kak Ihsan langsung gue taruh di tempat pensil.
Biar gak lupa atau ilang. Ya Allah, ini malah kebawa. Gimana dong?” aku
menjelaskan masih dengan raut wajah tidak jelas.
“Tempat pensilnya di mana, Tin?” tanya Kak Sari yang
duduk di depanku.
“Di tas. Gak tau tasnya sebelah mana. Tadi tas itu
dibawain Mas Awan,”
Well. Semuanya turun dari tronton. Aku panik dan
merasa sangat bersalah. Huhft! Ceroboh banget sih, Lis! Kesal! Aku kesal pada
diriku sendiri! >,<
“Gak apa-apa Lis. Mas Awal naik ojek balik ke
Tanjung Sari buat ngasih kuncinya,” kata Yudith menenangkanku.
Akhirnya, kami menghabiskan waktu satu jam di luar
tronton sambil menunggu Mas Awal kembali. Beberapa di antara kami duduk-duduk
di warung terdekat sambil makan dan berbincang. Beberapa ada yang memilih tetap
di dalam tronton sambil berbincang panjang. Aku memilih duduk di dekat tronton
bersama Rahma, Minka, Mbak Pupun, Putu, dan Mas Wadi mengobrol banyak hal,
termasuk tentang Makassar. Aaah, aku ingin ke Makassar!
Yang paling unik adalah perbincangan di dalam
tronton yang terdengar sangat heboh. Ternyata, Mbak Aby dan Nengsri adalah
teman lama yang pernah kenal dan bermain bersama semasa kecil mereka. Maka
jadilah saat mereka tahu hubungan mereka sudah terjalin sejak bertahun-tahun
lalu dan mereka baru menyadari, terdengar suara jeritan dan teriakan yang
sangat heboh dari dalam tronton. Memang perempuan di mana-mana sama, selalu
heboh dengan teriakan kesenangannya.
Well, Mas Awal tiba. Waktunya melanjutkan perjalanan
ke Jakarta. Kami semua naik ke tronton dan kembali ke posisi masing-masing.
Selama perjalanan pulang ini, entah bagaimana ceritanya tetiba Mas Wadi kembali
mengakupuntur dan kali ini pasiennya adalah aku. Hihihi. Lalu dilanjutkan
dengan sesi sharing tentang diet. Alamak, seperti seminar saja perjalanan
pulang ini :D
Tapi lambat laun suasana kembali sunyi. Sat satu
dari kami memejamkan mata, mengistirahatkan diri sejenak sebelum tiba di tempat
tinggal masing-masing.
Cibuyutan, Sayonara! Asonde Kurete. Arigatou!
Di Cibuyutan, semuanya menjadi terlihat berbeda.
Bayangan sekolah yang terdapat banyak guru tua dan guru muda hanya tampak
sebagai bangunan sederhana dengan dua guru rendah hati. Kehidupan yang penuh
dengan kenyamanan berubah seketika menjadi kesederhanaan yang menuntut kami
menerima keadaan lalu tersenyum kepada satu dua warga sekitar. Hiruk pikuk
perbincangan dan bunyi handaphone pertanda chat masuk pun menghilang berganti
dengan percakapan lisan, saling tatap, dan tertawa berhadapan –hal yang cukup
jarang dilakukan di Ibu Kota.
Yang terindah bagiku adalah di sini, di Cibuyutan
yang sederhana nan bersahaja, ketiadaan sinyal yang memutuskan hubungan kami
dengan dunia luar justru menguatkan sinyal kami kepada Tuhan. Semuanya terasa
tentram dan terasa semakin dengan Tuhan. Ah, entah harus menulis apa lagi
tentang Cibuyutan. Yang terasa hanya ketraman, kelembutan, dan kesejukan dalam
hati. Semoga suatu hari bisa kembali.
Kepada teman-teman Trip Teach and Shared, terima
kasih atas semuanya. Terima kasih atas kebersamaannya sebelum, selama, dan
sepulang dari Cibuyutan. Aku senang sekali bisa mengenal orang-orang hebat dan
baik seperti kalian. Terima kasih untuk Yudith yang sudah mau bersusah-susah
mengurus agenda ini. You’re the wonder women! Terima kasih Klara, sahabat terimut
yang sudah mau ditodong untuk ikut dan membantu di acara, semoga perjalanan
selama TTS ini bisa menginspirasi untuk SM3T. Terima kasih
Farah, Rahma, Minka, Vany, Kak Sari, Mbak Pupun, dan Mbak Aby yang sudah banyak membantuku di
acara. Terima kasih banyak buat Nengsri dan Inta yang sudha mengajar ibu-ibu
membaca dan menulis. Terima kasih untuk pasukan dapur yang selalu sedia
menyiapkan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kelaparan), hehehe, Mbak Nina, Yolla,
dan Komandan Tiwi. Terima kasih untuk Mas Awal, Babeh, dan Dhika yang sudah
membantu menyiapkan banyak perlengkapan, meskipun origami tidak dibawa. Terima
kasih Mas Wadi atas ilmu akupunturnya, akupuntur gratisnya dan penyuluhan
mendadaknya di trontron, semua itu hal baru yang sangat menarik, Mas! Terima
kasih Mas Awan yang sudah mengabadikan setiap momen selama perjalanan ini,
kapan-kapan harus ikut lagi ya! Terima kasih untuk Pak Madinah yang sudah memberi
banyak ilmu lewat ceritanya.
Untuk
Kak Ihsan, Kak Solihun, Pak Mista, Pak Idris yang sudah menerima kami dengan
begitu banyak kekurangan di sana sini. Untuk anak-anak Cibuyutan yang
menginspirasi, asunder kurete, arigatou! Terima kasih sudah bermain bersama
kami! Akan ada rindu yang kembali berkerumun untuk mengantarkan kami ke sini
lagi. Suatu hari nanti.
Terima kasih Tuhan atas kesempatan berharga nan
indah ini! Aku beruntung bisa melihat lebih banyak. Bersyukur lebih banyak.
Terima kasih! :’)
© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 1 April 2015
Happy April, Happy Autism
Month!
01 April 2015
Posted by Fatinah Munir
Trip Teach and Shared: Selamat Datang Ibu Bapak!
Pagi, Tanjung
Sari!
Matahari masih malu-malu saat mata kami terbuka untuk
memulai hari di tempat baru. Satu satu di antara kami memulai hari dengan ibadah,
beberapa mandi dan beberapa tidak. Yang tidak mandi itu salah satunya adalah
aku. Hihihi.
Sejak pukul
5.30 WIB istri Pak Apang, warga yang rumahnya berhadapan dengan TK, sudah
menyiapkan sebaskom nasi goreng lengkap dengan telur matasapi dan kecap di meja
depan rumahnya. Kami memang memesan sarapan kepada beliau, karena dengan barang
bawaan yang banyak dan jarak yang jauh,kami tidak mungkin hanya memakan roti
atau sereal.
Melihat
teman-teman masih sibuk mengantre di toilet, aku berpikir mungkin pukul 6.00
WIB kami baru bisa makan bersama. Sehingga setidaknya paling lambat pukul 7.00
WIB kami sudah bisa mulai naik. Tapi nyata tidak. Hiks. Setengah jam berlalu,
teman-teman masih ada yang mengantre di kamar mandi. Beberapa teman-teman
lelaki juga tampak masih tidur di dalam mushalah. Ah, telat telat telat!
Pikiranku tetap tertuju pada itinerary yang sudah kususun dan mungkin karena
tidak tenang memikirkan acara ini, aku tidak bernafsu makan.
Pukul 7.00
WIB, akhirnya seluruh teman sudah selesai makan. Kami semua masuk ke dalam
mushalah untuk membagi barang bawaan yang begitu banyak sekaligus repacking bawaan kami masing-masing. Di
luar dugaanku, ternyata untuk mengatur barang bawaan yang banyak ini
membutuhkan waktu yang tidak sebentar :( maka habis sudah satu jam di dalam
mushalah untuk repacking seluruh
barang bawaan tim.
Lewat dari
pukul 8.00 WIB, kami selesai repacking.
Kami saling bertukar tas, sesuai dengan kemampuan fisik kami. Saat itu aku
memilih membawa tas Kak Tiwi yang berisi banyak logistik dan tasku yang jauh
lebih kecil dibawa olehnya.
Kami keluar mushalah. Sambil menunggu yang
lainnya keluar, aku duduk di depan mushalah. Beberapa saat kemudian Mas Wadi
keluar dari mushalah dan duduk di sampingku, berjarak kurang lebih tiga puluh
senti.
“Lisfah.
Ngomong!” ucap Yudith yang berdiri di depanku sambil memberi kode dengan
matanya.
“Hah?” aku
melirik ke kanan dan melihat sosok Mas Wadi. “Takut, Dith. Gimana ya
ngomongnya. Gak enak ih. Um, nanti aja deh, jangan pas ada banyak orang.”
“Oh yaudah.”
Yudith mengiyakan. Duuuh, betapa tidak sopannya aku dan Yudith saat itu
membicarakan orang di depan orangnya langsung. Saat itu aku bertanya-tanya
apakah Mas Wadi memahami pembicaraan kami atau tidak. Semoga tidak ya. Hehehe.
***
Yudith
menginstruksikan semuanya untuk berkumpul di depan mushalah. Setelah berdoa,
kami berjalan ke Timur. Melangkahkan kaki setapak demi setapak untuk bertemu
anak-anak Cibuyutan! :)
Pembuka
perjalanan kami menuju Cibuyutan berupa jalanan bebatuan pipih yang menurun.
Lima ratus meter kurang lebih jaraknya. Kami masih bergerombol di awal
perjalanan ini.
Aku memegang
buku kecil dan membaca ulang itinerary
yang tertulis di dalamnya. Seharusnya sebelum berangkat tadi aku mem-briefing teman-teman terkait tugas
masing-masing saat tiba di Cibuyutan. Tapi karena waktu yang ada telah habis
untuk repacking, maka sambil berjalan
aku menghampiri satu per satu orang yang akan kumintai bantuan selama acara.
Saat aku berbincang dengan Minka tentang apa saja yang akan kami lakukan,
tetiba Yudith menghampiri.
“Lisfah,
udah ngomong?” tanya Yudith mengagetkanku yang sedang asik ngobrol.
“Eh iya!”
mataku mencari sosok yang sedang kami maksud. Ternyata Mas Wadi sedang berjalan
di depan bersama Babeh, tepatnya di bagian paling depan yang berjarak cukup
jauh dariku. “Yuk samperin! Tapi ngomongnya kalau dia lagi sendirian ya, Dith.”
Aku dan
Yudith berjalan lebih cepat, mengejar langkah yang lainnya untuk menyusul Mas
Wadi dan Babeh. Saat sudah nyaris berjalan di paling depan, kami memperlambat
langkah. Menunggu Babeh berjalan terpisah dengan Mas Wadi.
“Mas Wadi, ada yang mau ngomong,” kata Yudith to
the point.
“Hehg?” aku
terkejut mendengar betapa Yudith berbicara tanpa basa-basi. “Um, iya, Mas.
Tentang penyuluhan, mau minta maaf.”
“Hah? Ya?
Oh, itu. Kenapa? Gak bawa ya? Gak apa-apa kok. Santai aja,” jawaban Mas Wadi
lebih mengejutkanku. Kok Mas Wadi tahu? Jangan-jangan Mas Wadi paham saat tadi
aku dan Yudith ngobrol di depannya. Duh malu!
“Hehehe,
iya. Maafin ya, Mas. Gak enak banget sama Mas Wadi,” aku memasang wajah melas.
“Iya, iya,
gak apa-apa,” Mas Wadi menegaskan.
“Makasih ya,
Mas!” aku dan Yudith menyahut hampir berbarengan. Sebenarnya aku sedikit
bingung.
Tanpa kami
sadari, hampir 500 meter kami berjalan dan kami tiba di sebuah pertigaan yang
arah kirinya membawa kami ke Cibuyutan. Saat yang lain meneruskan perjalanan,
aku memilih duduk saja bersama Rahma, Minka, dan Kak Sari. Aku menunggu yang
lainnya, terutama teman-teman yang lelaki. Aku ingin bertukar tas, karena aku merasa
tidak kuat membawa tas Kak Tiwi yang penuh dengan logistik.
“Mas, mau
tukeran tas dong!” aku berseru padaMas Awal yang muncul pertama kali.
“Oh, tuker?
Sama siapa?” tanya Mas Awal. Bersamaan dengan itu Mas Wadi muncul.
“Mas Wadi,
aku boleh tukeran tasnya? Ini berat banget. Gak kuat,” pintaku.
“Tuker? Oh.
Boleh boleh,” Mas Wadi menghampiriku yang duduk di tangga sebuah bangunan. Kami
bertukar tas dibantu Mas Awal.
“Ini
enteng!” aku berseru spontan saat tas Mbak Aby yang dibawa Mas Wadi berpindah
ke pundakku.
“Luar biasa!
Yang seperti ini enteng!” kata Mas Wadi dan Mas Awal senada.
“Bukan gitu,
Mas. Maksudnya ini lebih enteng daripada tas yang aku bawa sebelumnya,” aku
meralat ucapanku.
Setelah bertukar
tas, aku dan yang lainnya meneruskan perjalanan. Hingga kami bertemu dengan yang lainnya pada sebuah jembatan yang berdekatan dengan warung kecil. Beberapa
teman yang sudah tiba lebih awal tampak sedang menikmati pemandangan berupa
hamparan sawah yang menghijau, bebatuan besar yang membentuk formasi
mengagumkan di sungai yang ada di bawah jembatan. Aku meletakkan tas di kursi
bamboo yang ada di depan warung dan bergabung dengan yang lainnya untuk
berfoto. Yang lainnya tampak ada yang duduk-duduk saja, ada yang menyanntap
camilan di warung seperti yang dilakukan Pak Madinah, bahkan Mbak Nina
menyempatkan diri untuk turun ke sungai dan duduk di atas batu yang paling
besar.
Kurang lebih
sepuluh menit kami berhenti, kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Sebuah bukit
tampak jauh di depan kami, kata Kak Solihun, Cibuyutan ada di balik bukit itu.
Aku benar-benar lupa dengan jalur dan seberapa jauh kami harus berjalan. Entah
mungkin karena tiga tahun lalu aku sibuk menikmati pemandangan dan tidak
memperhatikan jauhnya jarak yang kutempuh.
Hamparan
sawah, barisan pepohonan, semak-semak, satu dua wanita dan lelaki tua yang
berpapasan, hingga sapi-sapi dengan gemerincing lonceng yang tergantung di
leher menjadi pemandangan kami selama perjalanan. Di tengah perjalanan ini aku
kembali bertukar tas dengan Mas Awan mulai merasa sangat lelah. Apalagi
matahari kian merangkak ke tengan langit, menunjukkan sinarnya yang menyengat
tubuh.
Nyaris pukul
11.00 WIB, aku menghentikan langkah. Bergabung bersama beberapa teman yang sudah
lebih dahulu beristirahat di antara rerumputan dan semak-semak. Kami memutuskan
berkumpul di tempat ini, karena menurut Kak Solihun, Cibuyutan sudah dekat.
Kurang lebih 10 menit lagi, katanya menambahkan.
Di tempat
pemberhentian ini kami saling melempar canda, ejekan, dan tawa bersama. Membaur
dengan sendirinya di tengah lelah yang menggelantung di pundak. Beberapa di
antara kami memang sudah saling kenal, tapi banyak juga yang baru kami kenal di
perjalanan ini, tapi semua itu tidak menghalangi kami untuk bisa berbaur.
Misalnya saja Mbak Nina yang datang dari Cilegon. Kepolosannya membuat kami
tertawa hingga sakit perut. Apalagi saat Mbak Nina mempraktikkan cara membuka
buah kecapi dengan gigi. Kepribadiannya yang apa adanya selalu membuatku
tertarik untuk menyimak setiap ucapannya. Hehehe :D
Cukup lama
kami sudah beristirahat, sekitar setengah jam kalau tidak salah. Kami
memutuskan melanjutkan perjalanan. Sebagian mempercepat langkah agar semakin
lekas sampai. Aku berjalan agak lambat karena kepala yang pusing dan perut yang
kurang nyaman. Mungkin karena tadi pagi aku belum sarapan.
Selamat Datang
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak!
Lima belas
menit sejak kami meninggalkan tempat beristirahat tadi, tampak sebuah bangunan
merah muda dengan jejeran rumah-rumah kayu di kejauhannya.
“Sampai!
Kita sampai! Alhamdulillah!” aku berseru kencang. Semakin dekat aku ke banguan
merah muda itu, semakin tampak beberapa teman sudah duduk asik melepas lelah
setelah terbakar matahari selama perjalanan.
“Alhamdulillah!”
yang lainnya menyusul berseru.
Di dalam
salah satu ruangan bangunan sekolah terlihat Kak Ihsan, seniorku yang
mencetuskan ide membina Desa Cibuyutan. Ada juga Pak Mista, sesepuh Cibuyutan
yang wajahnya sudah kukenal tiga tahun lalu. Lalu ada Pak Idris, kepala sekolah
sekaligus guru di sekolah Cibuyutan.
Saat
mendengar Pak Mista mengucapkan ‘ibu-ibu dan bapak-bapak’, keningku berkerut.
Ingin mengintrupsi bahwa kami belum menikah dan rata-rata masih berstatus
mahasiswa. Tapi Kak Ihsan yang melihat ekspresi wajahku langsung tersenyum dan
mengarahkan telapak tangannya kepadaku seolah tahu apa yang ingin aku lakukan dan
dia menghentikannya sebelum aku memulai. Maka, aku diam dan hanya mendengarkan
Pak Mista dan Pak Idris berbicara bergantian.
“Jadi,
teman-teman, usia seperti kita ini kalau di sini sudah jadi ibu-ibu dan
bapak-bapak. Makanya Pak Mista dan Pak Idris memanggilkan kita ibu-ibu dan
bapak-bapak, bukan kakak-kakak. Iya kan ya, Pak?” Kak Ihsan menjelaskan tanpa
dipinta. Aku hanya cengar-cengir malu atas apa yang sudah aku pikirkan
sebelumya. Kulihat Pak Mista dan Pak Idris mengangguk, mengiyakan apa yang
diucapkan Kak Ihsan.
“Anak-anak
mulai jam 1 siang ya, Lis. Sekarang dibagi-bagi aja tugasnya,” kata Kak Ihsan
sebelum aku mem-briefing teman-teman.
Aku hanya mengangguk. Bukan karena aku paham, tapi karena hanya mengiyakan di
tengah kebingunganku.
Briefing dilakukan dengan sangat
singkat. Semuanya merapikan barang bawaan dan pindah ke rumah warga yang akan
kami tumpangi. Kami terbagi ke dalam empat rumah dengan tiga rumah untuk wanita
dan satu rumah untuk lelaki.
Sejujurnya
saat itu aku benar-benar panik, bingung harus memulai dari mana. Semua itu
karena jadwal kami yang molor. Aku menjadwalkan pukul 13.00 WIB untuk Teaching Class, sedangkan realitanya di
jam itu kami baru mau mulai. Aku memilih beristirahat sebentar di rumah Bu
Rani, ibu beranak dua yang kami tumpangi rumahnya. Bersama Klara, aku membuat jadwal acara yang
baru hingga sore nanti serta mematangkan konsep outbond yang rencananya akan dilakukan sore selepas ashar.
Setelah
cukup tenang dan letih sudah berkurang, aku dan Klara memilih kembali ke sekolah
dan mempersiapkan acara di rumah guru. Dari ruang sebelah terdengar suara
anak-anak bernyanyi dibimbing Kak Ihsan. Mereka terdengar sangat kompak. Satu
dua celotehan dari mereka yang sangat menggemaskan, membuatku sedikit relaks.
Setelah
shalat Zuhur dan baru saja kembali berkutat dengan perlengkapan acara, tetiba
Kak Ihsan masuk ke dalam ruangan.
“Mau dimulai
kapan, Lis? Ini udah jam 1 loh! Anak-anak udah siap dari tadi. Teman-temannya
yang di acara diarahin dong buat segera mulai,” ucapan Kak Ihsan menyerbuku.
Aku terdiam
beberapa saat hingga akhirnya aku hanya menyahut, “Hehg? Hu’um. Iya, Kak.”
Mukaku
tertekuk saat itu, bingung harus melakukan apa. Sejak tadi kembali lagi ke
sekolah, teman-teman masih banyak yang belum datang. Melihat ketegasan Kak
Ihsan dalam waktu dan kekurangsiapan diriku, saat itu rasanya aku ingin
menangis saja. Tapi aku pikir menangis pun tidak ada gunanya dna tidak akan
memperbaikin keadaan.
Aku keluar,
mencari beberapa teman yang aku butuhkan untuk mengisi acara. Beruntungnya Vany
yang tadi saat aku kembali ke sekolah masih tidur-tiduran, kini tampak sudah
berdiri di ruangan. Aku langsung memintanya untuk masuk ke dalam ruangan dan
membuka acara dengan perkenalan. Yang kuingat, saat itu Vany ditemani Mas Awal,
Dhika, dan Mas Awan.
Satu satu
teman yang lain muncul. Aku meminta beberapa teman yang bertugas menjadi
pendamping kelompok anak-anak untuk stand by di depan kelas. Sedangkan aku
melanjutkan menyiapkan perlengkapan outbond.
Aku terus
berkutat dengan persiapan acara di dalam ruang guru ditemani beberapa teman
yang memang sedang tidak melakukan apapun. Di luar ruangan terdengar suara
Klara yang sedang memandu game anak-anak. Sebenarnya aku mau bergabung, ikut
bermain dengan anak-anak. Tapi itu mustahil. Hiks. Sedihnyaaa T_T
Akhirnya aku
tetap berkutat dengan persiapan perlengkapan acara dibantu Kak Sari, Babeh, Dhika
dan Vany yang merapikan bingkisan untuk anak-anak. Di luar, suasana sudah
berubah. Anak-anak sudah terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil didampingi
kakak-kakaknya. Mereka sibuk menentukan nama kelompok dan membuat yel-yel. Oh,
serunyaaaa tapi tetap saja aku tidak bisa gabung. Huhuhu T_T
Teaching Class pn tiba. Kelas 5 dan 6 dipegang Mas Wadi yang hendak mengajarkan keterampilan dokter kecil. Kelas 3 dan 4 dipengang oleh Mbak Aby dan Vany yang akan mengajarkan Bahasa Inggris. Aku dan Farah mengajar menggambar di kelas 1 dan 2.
Di kelasku
dan Farah, ada 11 anak dengan 5 anak kelas 2 dan 6 anak kelas 1. Semuanya duduk
rapi sambil menunjukkan wajah-wajah polos mereka yang selalu menggemaskan. Dengan
sebuah kapur di tangan, aku menulis namaku besar-besar di papan tulis untuk
memperkenalkan diri.
Kemudian,
dilanjutkan dengan mengajak anak-anak berimajinasi dengan coretan-coretan yang
kubuat di papan tulis dan membuat ikan-ikan dari coretan-coretan tersebut.
Wajah anak-anak tampak sangat antusias untuk menemukan gambar ikan di balik
coretan jelek yang kubuat. Bahkan beberapa teman yang menyaksikkan aku mengajar
pun ikut mencari gambar ikan dalam coretan yang kubuat.
Yang paling
membuatku senang adalah saat setiap anak berebut maju untuk menggambar ikan di
dalam coreta yang kubuat. Beberapa malah harus digendong untuk meraih gambar
ikan yang terletak di bagian atas papan tulis. Bagi seorang guru, manalah lagi
yang lebih menyenangkan hati jika bukan saat melihat anak-anaknya belajar
seperti tidak merasa belajar, belajar dengan tertawa, antusias, dan
menyenangkan. Di sini, aku merasakan benar-benar menjadi guru dibandingkan
sebelumnya :)
Ada satu
anak yang paling menonjol di kelasku dan Farah. Namanya Intan, gadis kecil
dengan rambut lurus sepundak. Setiap kali ditantang untuk maju ke depan, Intan
selalu mengacungkan tangan lebih cepat dari teman-temannya. Bahkan sesekali
dirinya langsung maju ke depan. Sayangnya, Intan tampak seperti anak yang tidak
terbiasa berbicara. Saat maju ke depan tanpa diintruksi, Intan langsung
mengambil kapur di tanganku tanpa izin. Bahkan saat berganti aktivitas
menjiplak bebek dengan tangan, Intan langsung menarik spidol yang ada di tangan
Farah.
Saat itu
Klara yang mengamati kami mengajar langsung memberi kode kepadaku untuk melihat
ke arah Intan. Melihat Intan mengambil spidol yang ada di tangan Farah tanpa
izin, aku mengambil spidol itu kembali sambil berkata, “Tidak langsung diambil
ya, Sayang. Coba bilang ‘kakak, aku mau pinjam spidolnya ya’.”
Intan
mengulang apa yang sudah kucontohkan. Dia kembali berkumpul dengan anak-anak
yang lainnya, melanjutkan menjiplak bebek dengan kedua tangannya yang belepotan
dengan cat dan memberi gambar pada karyanya menggunakan spidol yang baru saja
dipinjamnya dari Farah.
***
Selesai Teaching Class, giliran ibu-ibu belajar membaca dan menulis bersama Inta dan Nengsri. Anak-anak kembali
bergabung menjadi kelompok besar, bermain bersama kakak-kakak pendampingnya dan
juga Vany tentunya.
Yang
lainnya, termasuk aku mempersiapkan makan sore bersama. Seharusnya ini adalah
makan siang, tapi karena kami tiba telat di Cibuyutan, jadilah ini makan sore.
Maka sejak tiba di Cibuyutan kami belum mengisi perut, tapi lapar menjadi
hilang begitu saja saat pikiran hanya tertuju pada acara.
Waktu berlaju
menuju pukul 15.30 WIB sore saat kami hendak makan. Seharusnya kami sedang
siap-siap untuk memulai outbond tapi
ini kami malah baru akan makan. Lalu kapan outbond
dimulai? tanyaku pada diri sendiri. Maka 15 menit kemudian, aku bilang ke Klara
untuk memberitahukan ke anak-anak untuk berkumpyl kembali pukul 16.30 WIB untuk outbond.
Jam tangan
Mbak Pupun menunjukkan pukul 16.15 WIB, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan
anak-anak. Aku berbicara pada Yudith, meminta sarannya apakah outbond tetap
diadakan sore itu juga atau tidak. Yudith bilang kalau outbond dilakukan besok
saja, apalagi langit sudah mulai gelap. Well, akhirnya aku kembali ke rumah,
mengambil senter dan siap-siap ke menuju salah satu rumah yang ingin aku kunjungi.
Anak Setan
“Kak Ihsan
gak apa-apa nganterin” tanyaku padanya yang sedang mengecek sekolah dan hendak
mengunci seluruh ruangan.
“Gak
apa-apa. Kita ke rumahnya aja. Biasanya saya lihat anaknya main sih,” jawab Kak
Ihsan.
“Oh gitu.
Okay!” kataku sambil membuntuti Kak Ihsan.
Aku mengajak
Yudith dan Klara ke rumah yang hendak aku sambangi. Sebuah rumah yang cukup
besar dibandingkan rumah-rumah lainnya yang berada di bawah sekolah. Bagian
depan rumah tersebut dijadikan warung dengan sebuah meja dan bangku panjang
yang bisa diduduki tiga orang.
“Assalamualaikum.
Ibu, ini ada ibu guru dari Jakarta mau
ketemu,” Kak Ihsan memberi salam kepada seorang ibu yang sedang di dalam
warung.
Saat itu
pula ibu tersebut keluar warung, lalu seorang bapak muncul dari samping rumah. Keduanya
menjabat tangan kami. Kak Ihsan mengulang maksud kami menggunakan bahasa Sunda.
Lalu suami istri di depan kami mengatakan anak yang kami cari sedang pergi
bermain di atas, bersama beberapa anak lainnya. Aku, Klara, dan Yudith diantar
Kak Ihsan mencari anak yang ingin kami temui.
Rohni
namanya. Seorang anak yang tiga tahun lalu kutemui di Cibuyutan ini. Dulu, pada sore hari setelah aku dan
yang lainnya selesai mengerjakan tugas di desa ini, tetiba seorang teman
menghampiriku dengan tergesa-gesa.
“Kak Lis! Kak
Lis!” katanya sambil berlari masuk ke rumah yang kami tumpangi bersama, -sama
seperti Klara, temanku yang satu ini pun memanggilku kakak meskipun kami satu
angkatan dan aku lebih suka langsung dipanggil nama.
“Kenapa,
Nuy?” tanyaku yang saat itu sedang berbincang dengan teman lainnya.
“Aku kan
dapat tugas ngedata warga. Di sana itu pas tadi ngedata ada anak DS,” jawabnya
dengan napas tersenggal.
“Kamu yakin
dia DS? Liat langsung anaknya?” aku terkejut dan mengklarifikasi lagi pesannya.
“Bener, Kak!
Aku liat sendiri. Ayo aku antar sekarang!” Nuy menarik tanganku.
Aku menolak
ajakan Nuy. Bukan karena tidak mau, tapi karena sore itu sampai malam nanti aku
masih mempunyai tugas di mushalah desa. Akhirnya aku hanya mendengarkan cerita
Nuy tentang anak DS yang ditemuinya.
DS adalah
singkatan dari Down Syndrome, salah satu syndrome pada anak yang menyebabkan
kondisi fisik anak tersebut berbeda dengan yang lainnya bahkan sangat mudah
dikenali oleh orang awam sekalipun, dominan kasus anak DS disertai dengan IQ di
bawah rata-rata yang menyebabkan anak mengalami mental retarded. DS kadang disebut Mongolia Syndrome atau Sindrome
Kembar Sedunia karena wajah anak DS menyerupai orang Mongol dan wajah anak DS
di seluruh dunia ini nyaris serupa. Lidah anak DS lebih pendek dan lebih tebal
dari lidah manusia pada umumnya. Jemari anak DS juga pendek-pendek dengan
telapak tangan yang kasar.
Sedikit yang
aku tahu, DS disebabkan kelebihan kromosom pada anak yang konon hal ini
bersifat genetik. Selebihnya aku kurang tahu, sebab sebagai guru pendidikan
khusus aku tidak dituntut untuk mengetahui secara detail tentang penyebab
kelainan pada anak, aku fokus pada perkembangan anak. Termasuk saat bertemu
Rohni, tujuanku kali ini ingin bermain dengannya, melihat perkembangannya, dan
berbincang banyak hal dengan orang tua Rohni tentang masa depan Rohni ke depan.
Beberapa
menit kami berkeliling di sekitar rumah rumah Rohni, mencari keberadaannya.
Beberapa anak yang kami temui bilang kalau Rohni ada di atas, di rumah salah seorang
warga. Saat memasuki pekarangan umah warga yang dimaksud, aku melihat sesosok
anak lelaki yang sedang bermain dengan dua anak perempuan. Itu Rohni, kataku
senang.
“Punten, Bu.
Ada Rohni?” tanya Kak Ihsan pada salah satu wanita paruh baya yang sedang duduk
di bangku yang ada di depan rumah.
“Rohni? Itu
Rohni! Niiii, dicari ibu bapak guru itu!” teriak wanita lain yang ada di
pekarangan.
Mendengar teriakan
itu, Rohni berlari ke arah kami smabil berteriak, “Aaaaaaaaah!”
Klara dan
Yudith yang ada di sampingku langsung tertawa, aku membungkuk sambil
membentangkan tangan. Rohni memeluk, meski hanya memeluk pinggangku. Lalu
bergantian memeluk yang lainnya.
“Salim, Ni,
salim!” seru ibu-ibu yang ada di dekat kami.
Kami
mengucapkan salam berbarengan, Rohni menjawab salam dengan speech yang lucu dan
mencium satu satu tangan kami. Kami semua tertawa. Aku mengacak-acak rambutnya
yang tipis.
“Rohni, ini
ibu guru dari Jakarta mau maen sama Rohni!” kata Kak Ihsan dari kejauhan. Dia
tetap berdiri di tempatnya sejak kami memasuki pekarangan rumah ini.
“Bu Gulu!
Aaaaaaaah!” kata Rohni sambil menunjuk kami dan tertawa. Lalu matanya beralih
ke sebuah kantung yang kubawa. Tangannya menunjuk kantung tersebut dan bertanya
denganku menggunakan ekspresinya.
“Ini kado
buat Rohni. Buat belajar,” kataku sambil membuka kantung plastik yang di dalamnya terdapat
hadiah yang sengaja kusiapkan untuknya.
“Ka…, Kaaa!”
katanya.
“Tidak.
Tidak. Dibukanya tidak sekarang. Kita ke rumah Rohni dulu ya, baru buka kadonya,”
Klara mengambil alih. Yudith hanya menyaksikan kami. Mungkin Yudith sedikit
bingung harus bersikap seperti apa pada Rohni, karena Rohni terlihat berbeda
dengan anak lainnya.
Rohni
sendiri bukannya mendengarkan ucapan Klara malah menunjuk benda lain yang
sedang dipegang Klara. “Ape. Apeeee!” katanya.
“Hape? Kamu
mau lihat hape? Untuk apa?” tanya Klara dengan ekpresi yang sedikit dilebih-lebihkan.
“ Toooo!”
kata Rohni sambil melompat.
“Oooh. Mau
foto? Yuk Yuk kita foto bareng. Ibu yang fotoin ya!” Klara menyahut dan mulai
mengambil posisi untuk memfoto kami. Aku, Yudith, Rohni, dan seorang anak lainnya.
Kemudian kami bergantian berfoto. Kak Ihsan masih berdiri di tempatnya, melihat
kami yang bercengkrama dengan Rohni.
Klara dan
Yudith membujuk Rohni untuk pulang ke rumahnya. Kata mereka, di rumah kita akan
membuka kado dan berfoto lagi. Oleh karena itu Rohni mau pulang, malah sangat
senang ^_^
Saat tiba di
rumahnya, Rohni kembali menunjuk kantung yang kubawa. Dia meminta kado itu
segera dibuka. Maka dengan bantuan Kak Ihsan dan ibunya, Rohni membuka kadonya.
Isinya hanya sedikit perlengkapan belajar untuk melatih motorik Rohni berupa
beberapa buku mewarnai yang berisi cerita, beberapa puzzle dan krayon.
“Ini ibu
guru dari Jakarta, Bu. Mereka ngajar anak-anak kayak Rohni di Jakarta. Mau maen
sama Rohni terus mau ngobrol sama ibu katanya.” kurang lebih begitu kata Kak
Ihsan menggunakan bahasa Sunda kepada ibu saat Rohni sangat antusias
membolak-balik buku mewarnai.
“Oooh, ya
Allah. Makasih, Bu,” jawab ibu Rohni dengan nada yang takzim.
Pembicaraan
sore ini mengingatkan aku pada pertemuan kami tiga tahun lalu. Dulu saat
pertama kali berbincang dengan ibu Rohni, bagaimana beliau menyebut Rohni saat
aku bertanya tentang kondisi perkembangan Rohni? Roh Kolot. Anak Setan. Itu
sebutan orang-orang, termasuk keluarganya kepada Rohni. Kala itu, sontak aku
dan teman-teman terkejut. Miris dan hampir
ikut menangis saat ibu Rohni mengucapkan ‘Anak Setan’ dengan mata
berkaca-kaca.
Ketika itu
juga aku dan teman-teman bilang pada beliau bahwa Rohni bukan Roh Kolot, Anak
Setan, atau Anak Kutukan seperti yang disebut oleh warga. Kami bilang bahwa
kami mengajar anak-anak seperti Rohni di Jakarta. Ada banyak anak-anak yang
seperti Rohni di Jakarta, bahkan di seluruh dunia.
“Ibu masih
ingat saya? Saya pernah ke sini dulu. Waktu
pertama kali mahasiwa UNJ datang ke sini,” kataku mengingatkan
kedatanganku beberapa tahun lalu.
Aku
berbincang sedikit dengan ibu Rohni dibantu Kak Ihsan yang menjelaskan ulang
menggunakan bahasa Sunda kepada beliau. Klara dan Yudith, bermain bersama Rohni
dengan krayon dan buku mewarnai baru miliknya. Rohni telihat sangat antusias
mewarnai. Saat Klara meminta Rohni menggunakan krayon dengan warna tertentu,
Rohni menolak dan mengambil seluruh krayonnya. Dia ingin memilih warna sendiri.
Hahaha.
Sore kian
beranjak hingga langit menjadi gelap. Kak Ihsan mengajak kami pamit.
“Rohni, ibu
guru pulang yaaa!” kataku, disusul Klara dan Yudith, “Iya, nanti kita main lagi
ya!”
Setelah
mendengarkan kami pamit, air wajah Rohni berubah drastis. Dia langsung
merangkak ke arahku, langsung duduk di pangkuanku sambil menunduk.
“Duuh,
ngambek nih ngambek,” Kak Ihsan meledek.
“Ooh,
ngambek. Hahaha,” aku, Yudith dan Klara tertawa.
“Eh,
Rohniii. Ibu pulang dulu ya. Nanti malam sama besok ibu guru ke sini lagi,”
kataku membujuk Rohni. Ketika dibilang begitu, Rohni merosot dari pangkuanku.
Menunduk dengan mulut memonyong.
Klara
memanggil Rohni. “Rohni…” Disusul Yudith yang ikut membujuk, “Rohni, ibu guru
pulang ya. Besok main lagi.”
Rohni
memalingkan wajah saat Yudith dan Klara menyentuhnya. Uuuuuh, anak ini ngambek
ternyata. Hehehe. Kami akhirnya membujuk bahwa setelah shalat maghrib kami akan
kembali ke sini untuk bermain bersamanya. Akhirnya Rohni membolehkan kami
pulang.
“Peluk dulu
dong!” kataku sebelum kembali ke sekolah.
Satu satu di
antara kami berpelukan dengan Rohni. Dia mencium tangan kami sambil berseru, “Aikuuuuuuum!”
kami semua menjawab kompak, “Wa’alaikumussalaaaaam!” sambil melambaikan tangan
:)
Night of The
Crybaby
Selepas
shalat Isya, aku dan Nengsri kembali ke rumah Rohni. Mala mini aku berniat
untuk berbincang banyak dnegan ibu Rohni terkait Rohni selama tiga tahun
belakangan ini. Aku mengajak Nengsri sebagai translator pembicaraan kami.
Hehehe.
Sepulangnya
dari rumah Rohni, aku dan Nengsri bergabung dengan yang lainnya yang sudah
berkumpul di selasar sekolah. Yeeaaach! Dinner is coming! Makanan kami
memang hanya dengan lauk seadanya tapi rasanya
enak! :P
Sehabis
makan, kami membentuk lingkaran untuk evaluasi acara hari ini dan membahas apa
yang kami lakukan besok. Tapi anehnya Kak Tiwi minta evaluasi di belakang,
padahal setahuku di mana-mana eveluasi lebih dulu baru membahas acara
selanjutnya. Tapi ya sudahlah, terserah saja, begitu pikirku.
Sebagai
orang yang wara-wiri di acara, aku kebagian berbicara paling akhir. Aku
menjelaskan apa saja kekurangan acara selama satu hari ini dan meminta maaf
atas kekurangan acara juga kesalahan yang telah aku lakukan. Tapi tiba-tiba aku
dikejutkan dengan Kak Tiwi yang mengatakan bahwa outbond tadi sore dibatalkan karena aku sibuk sendiri dan tidak mau
meminta tolong kepada yang lain. Belum lagi yang lain mengiyakan. Ditambah Mbak
Aby, Vany, dan Mbak Nina berkata kalau sore tadi ada 20 anak yang datang untuk
mengikuti acara. Tapi karena aku, Klara, dan Yudith tidak ada di lokasi,
anak-anak dipulangkan.
Setelah itu,
yang lainnya ikut berbicara. Dan aku merasa sangat bersalah. Memang tadi sore
saat berjalan ke arah Rohni, aku melihat anak-anak berkumpul dengan pakaian
yang rapi di belakang sekolah, di dalam pagar tempat panel surya berjajar. Tapi yang kulihat hanya
beberapaa anak, tidak sampai 20, bahkan 10 anak pun tidak.
Aku mencoba
menjelaskan pada semuanya bahwa aku pikir lebih baik outbond di-cancel saja.
Bukan untuk ditiadakan, hanya diundur sampai besok pagi. Lagi pula sebelumnya
aku sudah berdiskusi dengan Yudith yang bertanggung jawab atas acara ini. Tapi
yang lainnya terus berkata bahwa ada 20 anak yang berkumpul di lapangan dan
akhirnya dibubarkan karena aku tidak ada di lokasi.
Aku meminta
maaf atas kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kalau anak-anak datang. Aku
juga minta maaf karena tadi sore sudah pergi tanpa pamit kepada yang lain. Tapi
sepertinya teman-teman tidak menerima alasanku. Aku pun melempar pandangan ke
Klara yang duduk di depanku. Jujur saat itu aku bingung dan ingin menangis.
Klara tidak tahu apa-apa, tadi sorepun aku yang mengajak Klara ke rumah Rohni.
Jadi kalaupun mau dibilang salah, ini memang salahku.
“Hancur! Hancur
acaranya!” suara tinggi Mas Awal mengejutkanku. Aku sempat melihat tangannya
berayun ke lantai, seperti hendak memukul lantai.
Mendengar
Mas Awal berkata demikian, aku tidak bisa menahan airmataku. Tangisku pecah,
merasa sangat bersalah sekaligus takut. Saat itu yang ada dipikiranku adalah
betapa kasarnya Mas Awal berteriak seperti itu kepadaku, apalagi di hadapan
teman-teman. Aku benar-benar terkejut dan tak bisa menahan tangis. Nengsri yang
duduk di sampingku memelukku. Aku sedikit tenang, tapi masih takut dan sangat
sedih.
Aku semakin berdebar
saat Pak Madinah, ayah Klara, ikut berbicara. Jangan merasa terdusut! Begitu
kata Pak Madinah. Aku menggeleng dengan airmata tetap mengalir. Tidak, aku
menangis bukan karena merasa tersudut, ucapku dalam hati. Kita belajar tanggung
jawab, kata Pak Madinah kepadaku. Aku malah semakin menangis. Aku jadi semakin
merasa bersalah. Hiks. Tolong maafkan, maafkan Lis dong T_T
Pak Madinah
terus sanja berbicara, aku tidak mendengar jelas ucapannya karena aku masih
terus menangis karena kesalahanku. Lalu tiba-tiba semua bertepuk tangan sambil
berteriak, “Selamat ulang tahuuuuun!” Dan semuanya tertawa.
Nyebelin!
Seruku dalam hati. Aku ingin berhenti menangis saat itu, tapi tidak bisa T_T
“Maaf ya,
Lisfah, kita gak nyediain apa-apa!” kata Yudith. Aku hanya mengangguk sambil
mengusap airmata.
“Mau tau gak
siapa yang ngasih tau ulang tahun kamu?” tanya Kak Tiwi.
“Nggak.
Nggak mau!” serbuku. Aku tidak pernah mempublikasikan tanggal lahirku, di sosial
media pun aku selalu memprivasi tanggal lahir. Orang yang tahu tanggal lahirku
pasti orang yang pernah melihat KTP-ku dan itu pasti salah satu di antara
mereka yang pernah naik gunung denganku.
Okay, malam
itu berakhir dengan tawa teman-teman dan kedua mataku yang sembab. Ada satu
yang membuatku kesal. Klara! Selama evaluasi wajahya begitu panik dan terlihat
sangat melas. Mungkin persis seperti wajahku yang panik.
“Muka melas
lu tadi bikin kesel banget sih, Ra! Ternyata lu sekongkolan! Huh!” kataku
sambil mencubit pinggangnya. Klara hanya tertawa.
Pukul 22.00
WIB. Cibuyutan gelap. Panel surya sudah dinyalakan sejak Maghrib tadi dan kini mengalirkan
listrik ke rumah-rumah untuk sekadar memberi penerangan dengan satu dua buah
lampu. Saatnya kami beristirahat untuk kembali bermain bersama anak-anak di
keesokan hari.
Terima kasih
atas kejutan yang menyebalkan tapi sangat berkesan. Terima kasih atas doanya,
teman-teman :)
Bersambung…,
©
Lisfatul Fatinah Munir
Tanah
Merah, 19 Maret 2015
19 March 2015
Posted by Fatinah Munir