Archive for April 2013

Sekuntum Mawar yang Senantiasa Mekar; Ustaz Jefri al-Buchori*


Bismillahirrahmanirrahim

Ada rahasia dari deretan peristiwa yang tersandiwara di atas dunia
Bahwa kadang hal kecil yang tak sengaja kita lakukan bisa membawa perubahan besar pada hidup kita
(Lisfatul Fatinah Munir)

Maha suci Allah yang senantiasa Merangkai skenario tak terduga. Tiada daya dan upaya untuk menghindar dari ketetapan-Nya, kecuali atas Rahmat-Nya. Dan sesungguhnya, tiada yang kekal di dunia kecuali kefanaan itu sendiri.

Seperti biasanya, setiap hari baru adalah hadiah baru dengan kejutan-kejutan baru dari Allah SWT, demikian pula kemarin, hari ini, dan esok. Kejutan demi kejutan berkelindan satu per satu, membawa hati setiap manusia berpetualang dari satu perasaan ke perasaan lainnya.

Kemarin, 26 April 2013Allah juga kirimkan hadiah baru buat saya dan buat seluruh umat muslim di dunia, juga semoga buat pendudukan langit-Nya; seorang da’i kondang Indonesia telah selesai menunaikan tugasnya. Kemarinlah saatnya beliau berpulang ke kampung abadi, ke taman Ilahi Robbi, surga yang hakiki.

Beliaulah da’i yang cukup mempengaruhi hidup saya, terlebih di masa-masa kritis saya sebagai remaja. Beliaulah yang menjadi inspirasi saya untuk terus mengenal Islam lebih dalam.

Ustaz Jefri al-Buchori, beliaulah da’i muda yang telah habis masa abdinya di dunia. Kepulangan beliau membuat saya terpukul dengan arti yang sebenar-benarnya. Kepulangan beliau memutarkan kembali kisah kehidupan saya. Kepulangan beliau mengantarkan saya pada titik-titik air mata yang tumpah di setiap shalat saya.

Sesedih itukah saya karena kepulangan beliau? Apa yang telah beliau lakukan untuk hidup saya hingga saya merelakan air mata ini mengalir untuknya?

Tulisan ini saya dedikasikan untuk mengenang Sekuntum Mawar yang akan selalu mekar. Tulisan ini akan menjadi jawaban dari teman-teman yang kemarin terheran-heran melihat saya menangisi kepulangan beliau. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi dan bermanfaat untuk teman-teman semua.

***

Dulu sekali, saat usia saya masih di bawah duabelas, saya termasuk anak yang tomboy dan nakal. Meskipun dikenal sebagai juara kelas, saya sering mengajak teman-teman saya bolos sekolah. Saya sering mengunci teman-teman saya di kamar mandi dan sering juga bertengkar dengan anak laki-laki kalau saya tidak diterima bermain dengan kelompok mereka.

Saat itu saya kelas VI SD dan saya sudah memutuskan menggunakan jilbab. Kendati sudah berjilbab, saya tetap memilih kegiatan-kegiatan yang identik dengan petualangan. Saat masuk ke MTs, saya malah memilih ekstrakulikuler Pramuka Inti dengan segudang aktivitas di lapangan yang panas dan alam yang menantang. Saat itu saya belum mengenal apa itu kegiatan-kegiatan keislaman seperti Rohis, apalagi mentoring.

Ramadhan di tahun pertama saya di MTs, dengan izin Allah, saya menyaksikan seorang da’i yang membaca ayat al-Qur’an di salah satu stasiun televisi. Alunan ayat-ayat suci itu membuat saya terpana, menggetarkan hati saya, dan seketika itu juga saya mengakui dengan seruan “al-Qur’an itu indah ya!”. Di sinilah pertama kalinya saya mengenal sebuah nama Ustaz Jefri al-Buchori. Beliaulah da’i di televisi yang saya dengar suaranya melantunkan ayat al-Qur’an hingga tergugah hati saya.

Ya, mulanya saya hanya mengagumi murotal al-Qur’an Ustaz Jefri atau yang akrab dipanggil Uje. Saya selalu menyempatkan diri mendengarkan ceramahnya demi mendengarkan suara indah beliau saat melantunkan ayat suci. Lambat laun saya tidak lagi menantikan suara merdu beliau, tetapi saya juga mulai menantikan ceramah-ceramah beliau yang begitu menggebu-gebu di stasiun televisi manapun. Setiap ceramah beliau yang menyangkut keremajaan selalu saya mencatat dan saya memahami benar-benar, hingga setiap ada perbincangan di kelas saya selalu bilang, “Kata Uje …,”. Sejak saat itulah, teman-teman MTs saya mengenal saya sebagai fans berat Uje.

Semakin hari, saya semakin mengagumi sosok beliau yang begitu menggebu-gebu saat memberi tausiyah. Kekaguman ini kian memuncak ketika saya tahu bahwa sebelum menjadi seorang da’i, beliau adalah seorang yang begajulan, urakan, pemabuk, pemakai narkoba, dan pernah masuk penjara. Latar belakang beliau yang seperti itu mengantarkan saya pada pemahaman seorang remaja “Oh, orang nakal juga bisa jadi sholeh ya?”, dan juga mengantarkan saya pada satu keoptimisan “Gue juga harus berubah!”.

Sejak itu, saya mulai melirik kegiatan kerohanian di MTs, seperti Rohis, dan jadilah saya seorang bocah perempuan tomboy anggota Pramuka Inti sekaligus anggota Rohis. Saya masih ingat betul ketika pertama kali masuk Rohis, saya duduk bersenderan di pojok mushalah dengan posisi duduk seperti di warteg sambil mendengarkan materi dari salah satu Kakak Pembina Rohis (Rohis di MTs saya berjalan setiap Sabtu dan setiap Sabtu kami memakai seragam Pramuka berupa baju pramuka dan celana pramuka bagi siswa maupun siswi, jadi memungkinkan siswi duduk seperti lelaki).

Kendati saat itu saya masih “urakan”, cara berjalan dan duduk saya masih sembarangan dan pemahaman Islam saya masih sebatas di pelajaran-pelajaran anak madrasah, saya tetap meneruskan kegiatan di Rohis dan Pramuka Inti  yang jelas kontras perbedaannya. Dua tahun pertama di MTs, saya mengikuti qosidah, nasyid, dan kaligrafi, sekaligus mengikuti camping rutinan, tali temali, sandi Morse, dan baris berbaris.

Setengah semester berlalu. Kini saya menginjak semester II di kelas VII MTs. Saat itu Maret 2005, Kak Hulai, Pembina Rohis Putri di MTs, mengajak saya dan teman-teman Rohis untuk datang ke Book Fair di Senayan. Singkat cerita, saya pergi ke Book Fair bersama teman-teman rohis. Tidak ada buku spesifik yang ingin saya beli di Book Fair, karena tahun itu adalah kali pertama saya ke Book Fair.

Saat sedang melihat-lihat kumpulan cerpen remaja Asma Nadia, salah seorang teman rohis saya menarik lengan saya sambil berkata, “Di sana ada buku Uje, Lis!” Mendengar berita itu, saya langsung bertanya di mana buku itu. Ketika kami tiba di rak yang terdapat buku Uje, buku tersebut sedang dipegang seorang Mbak-Mbak yang kelihatannya juga tertarik membeli buku tersebut.

Sayangnya, buku yang dipegang Mbak-Mbak itu adalah satu-satunya buku Uje yang tersisa di rak buku. Ketika itu juga saya spontan berkata, “Mbak itu punya saya!”. Saya masih ingat ekspresi Mbak-Mbak yang memegang buku Uje seakan bilang, “Siapa lo?” tetapi untungnya teman saya yang badannya lebih besar dari saya langsung membela saya. “Saya dulu, Mbak, yang lihat buku itu. Saya sudah mau beli buat teman saya ini,” kata teman saya sambil menarik buku tersebut. Sempat terjadi aksi saling rebut untuk satu buku Uje yang tersisa. Tapi, Alhamdulillah, buku itu akhirnya menjadi milik saya. ;)

Sekuntum Mawar untuk Remaja, begitulah judul buku Uje yang saya “rebut” dari orang lain. Buku beliau menjadi buku keislaman yang pertama kali saya baca dengan semangat membara. Buku saku berkonteks Islami tersebut memuat tausiyah-tausiyah ala Ustaz Gaul untuk remaja seusia saya saat itu. Di dalamnya saya mengerti banyak hal tentang remaja dari kaca mata Islam, seperti pacaran, anak gaul, anak funky, prestasi, valentine, sampai pada euphoria kelulusan, tahun baru, dan bolamania.

Deretan kata yang mengalir dari tulisan beliau benar-benar menjadi Sekuntum Mawar untuk jiwa remaja saya yang haus pada madu-madu ilmu. Saya juga mulai memburu buku-buku Uje yang lainnya. Senandung Cinta untuk Remaja dan Ada Apa dengan Wanita?, masuk dalam buku-buku keislaman yang pertama saya punya. Tiap lembar tulisan beliau selalu saya baca berulang-ulang. Jika sudah selesai membaca sampai tuntas, saya akan membacanya sekali lagi sambil sesekali saya refleksikan pada kehidupan saya.

Begitulah perlahan-lahan dari tulisan beliau, kehidupan saya berubah. Saya semakin semangat belajar agama. Saya semakin semangat mengikuti Rohis, hingga saya mengenal sebuah jalan bernama “mentoring” dan semuanya perlahan-lahan kehidupan saya semakin bermekaran bersama semangat menuntut ilmu agama yang semakin merekah.

Ya, begitulah. Bermula dari kekaguman saya pada suara beliau saat membaca al-Qur’an, saya mulai mendengarkan ceramah-ceramah beliau. Lalu Allah SWT Membuka pintu hidayah-Nya, mengantarkan saya pada sebuah semangat untuk terus dan terus mengenal Islam. Di tengah semangat ini, Allah antarkan saya pada lorong-lorong terang keislaman yang bermuara pada sebuah taman ilmu bernama “mentoring”. Di dalamnya, saya temukan kedamaian Islam, saya implementasikan apa-apa yang saya tahu dari ceramah dan buku-buku beliau, saya dalami kekaguman saya pada suara beliau dengan mulai belajar murotal al-Qur’an, dan sejak kenaikan kelas VIII MTs saya mencoba berjilbab seperti yang diajarkan Islam yakni jilbab yang tebal dan panjang.

Demikianlah Uje, Sang Ustaz Gaul, yang telah menjadi pemantik dari cahaya kehidupan saya. Beliau datang begitu saja, memberikan ceramah pada setiap orang, dari tua hingga muda. Dan, siapa sangka saya yang dulu urakan, tomboy, dan nakal bisa menemukan pintu hidayah melalui suara indah dan ceramah beliau.

Begitulah kira-kira sekilas kisah saya yang menjadi alasan mengapa saat mendengar kabar kepulangan beliau saya rela menangis di pundak teman saya sampai mata saya bengkak.

***

Sampai saat ini, perjalanan hidup beliau semakin meyakinkan saya pada janji-janji Allah SWT, bahwa menjadi manusia yang lebih baik adalah sangat mungkin, bahkan jika kita berangkat dari titik kejahiliyaan terdasar sekalipun.

Melalui gaya ceramah beliau yang katanya “gaul” dan “membara” saya belajar menyampaikan Islam tidak hanya bisa dengan kata-kata Langit, bahwa Islam dapat disampaikan dengan bahasa umat yang menjadi sasaran dakwah kita. Melalui pola ceramah beliau saya belajar bahwa dakwah datang bukan hanya untuk kalangan tua, bapak-bapak atau ibu-ibu majelis taklim, melainkan pemuda, orang-orang yang masih awam, para begajulan, dan para sampah masyarakat juga layak merasakan kedamaian Islam melalui pola dakwah yang damai.

Setidaknya, begitulah secara tidak langsung Allah SWT menjadikan sosok beliau sebagai perantara antara kehidupan saya yang dulu dengan kehidupan saya yang sekarang; saya yang masih terus belajar memahami ajaran Allah dan Rasulullah yang penuh kedamaian, saya yang terseok-seok dalam usaha perbaikan diri di setiap hari, saya yang terseok-seok mengamalkan ajaran Allah dan Rasulullah, dan saya yang sampai saat ini memiliki tekad menyampaikan Islam kepada kalangan-kalangan tak terjamah seperti anak jalanan, PSK, dan anak-anak di penjara.

Di tengah kedukaan atas kepergiaan beliau, ada satu semangat yang saya peroleh. Ketika kemarin saya “mengadu” kepada salah satu sahabat saya di MTs yang tahu persis seberapa kagumnya saya pada beliau. Kemarin saya berkata, “Ega, Uje meninggal. Lis belum sempat ketemu.” Teman saya menjawab, “Insya Allah ketemu di surga, Lis,” lalu air mata ini kembali mengalir, mengamini :’)

Hari ini, saya pergi ke Istiqlal, masjid tempat dishalatkannya jenazah beliau. Saat memasuki Istiqlal, yang ada dibenak saya adalah keramaian masjid ini saat jenazah beliau disalatkan. Saya membayangkan ada di antara ribuan jemaah yang menyalati beliau, mengatarkan beliau dengan sebaik-baiknya penghormatan berupa doa.

Dalam doa saya setelah salat zuhur di antara jemaah Istiqlal, saya merasakan keramaian yang begitu nyata di sekeliling saya. Ada sebuah keramaian yang membuat saya merasakan bahwa saya benar-benar ada di antara ribuan jemaah yang menyalatkan beliau, mengantarkan doa-doa terbaik untuk beliau. Entah keramaian itu nyata atau tidak, suasana Istiqlal selepas salat zuhur menggiring air mata ini keluar dari kantungnya dan mengantarkan barisan-barisan doa untuk beliau di alam sana.

Saya percaya, bukan hanya saya Si Urakan yang menemukan jalan-Nya berkat perjalanan dakwah Ustad Jefri. Masih banyak Si Urakan lainnya di luar sana yang insya Allah menjadi jauh lebih baik, bahkan lebih baik daripada saya.

Teruntuk Ustaz yang telah menginspirasi saya untuk menjadi pribadi lebih dan lebih baik lagi, terima kasih atas kisah hidup Ustaz yang membuka mata dan hati saya. Tiada sebaik-baiknya balasan bagi Ustaz yang telah menjadi jalan perubahan positif dalam titik kritis masa remaja saya selain doa-doa terbaik saya. Semoga Allah melapangkan dan menyinari kubur Ustaz. Semoga Allah Memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Semoga Ustaz tetap menjadi Sekuntum Mawar yang senantiasa mekar di taman surga-Nya. Semoga kelak saya bertemu Ustaz di surga-Nya. Amin.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘aafinii wa fu’anhu :’)
Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan tabahan dan kelapangan hati. Amin.

(*)Tulisan ini telah dipublikasikan di annida-online.com
27 April 2013
Posted by Fatinah Munir

Serpihan Cinta Luar Biasa dari SLB C Cipaganti


Bismillahirrahmanirrahim

"Menjadi guru pendidikan khusus, bukan sekadar menjadikan anak mengerti apa yang kita ajarkan. Menjadi guru pendidikan khusus adalah belajar bersikap adil pada ciptaan Allah SWT, memanusiakan manusia yang katanya tak sempurna, memanusiakan manusia yang katanya tak seharusnya dilahirkan ke dunia."
(Lisfatul Fatinah Munir)

Kurang lebih, begitulah yang saya pahami selama berkunjung ke SLB C Cipaganti, Bandung, pada semester lalu. Mulanya, kunjungan ini adalah salah satu tugas saya sebagai mahasiswi semester III Pendidikan Luar Biasa UNJ. Tapi, rasanya sebuah tugas takan berarti apa-apa jika hanya sebagai penuntasan matakuliah tanpa ada yang diserap di otak hingga hati kita. Oleh karena itu,  dalam perjalanan menuju SLB C Cipaganti ini saya tekadkan, bahwa harus ada pemahaman baru dan energi baru dalam diri dan hati saya untuk terus mengabdikan diri pada pendidikan Indonesia, khususnya untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Mengapa SLB C Cipaganti Bandung?

Ada banyak SLB di Jakarta mulai dari yang berkualitas standar hingga di atas rata-rata. Lantas, mengapa saya dan teman-teman memilih SLB C Cipaganti yang letaknya cukup jauh dari Ibu Kota, yakni di Bandung, Jawa Barat?

Dipilihnya SLB C Cipaganti sebagai SLB yang kami kunjungi karena SLB C Cipaganti merupakan SLB yang pertama kali didirikan di Indonesia. SLB C Cipaganti Bandung merupakan SLB peninggalan kolonial Belada yang berdiri pada tanggal 29 Mei 1927 yang didirikan oleh Dr. A. Kits Van Heijningeen, beliau adalah orang Belanda degan Warga Negara Jerman. Nama awal sekolah ini adalah Folker School yaitu salah satu sekolah untuk anak buta yang bernama Blinden Institut dan sekolah anak  bisu-tuli dengan nama Dotstemmen Institut. Kemudian barulah SLB ini diperuntukkan untuk anak tuagrahita yang mereka sebut sebagai anak cacat mental. Tahun 1927-1952 sekolah ini hanya khusus untuk orang Belanda saja, anak pribumi dilarang untuk bersekolah disini, baru pada tahun 1953 sekolah ini dibuka untuk umum, dan warga negara Indonesia boleh bersekolah disini.

Pada awalnya sekolah ini bertempat di Tamansari No. 62 Bandung, dan berada di bawah naungan PPLB. Sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Rakyat Latihan Luar Biasa (SRLLB). Hal ini dikarenakan sekolah dipakai untuk praktek siswa-siswa Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Bandung. Pada saat itu, 1954, SLB ini dikepalai seorang Belanda bernama Van Vught. Sekolah ini banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan akhirnya sekolah ini menjadi Sekolah Luar Biasa (SLB) C dibawah naungan Yayasan Pendidikan Luar Biasa (YPLB).

Kurang lebih demikianlah mengapa saya dan teman-teman memilih berkunjung ke SLB C Cipaganti. Selain karena SLB C Cipaganti merupakan SLB pertama di Indonesia, kami juga ingin mengetahui lebih jauh lagi apakah sistem pendidikan di SLB C Cipaganti ini telah cukup baik hingga dapat diadaptasi di SLB-SLB yang ada di Jakarta.

Menengok Tiap Sudut SLB C Cipaganti

Berkeliling SLB C Cipaganti, tidak berarti berkeliling melihat bilik-bilik kelas yang berderet dan membosankan. Di SLB C Cipaganti, terdapat banyak ruangan keterampilan untuk anak, meskipun kondisinya cukup sederhana. Setiap kelas yang kami kunjungi rata-rata berisi 1-2 dengan jumlah murid 5-7 orang.

Ada satu kelas yang membuat saya terkesan. Kelas ini, kalau tidak saya, setara dengan kelas-kelas di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Saat saya memasuki ruangan, anak-anak di dalamnya berlarian dan mulai menarik saya serta beberapa teman yang bersama saya.

Saya tertarik dengan salah seorang anak perempuan di dalam kelas dengan rambut dikuncir kuda dan sepatunya yang terlepas. Saya lupa siapa nama anak ini. Ketika saya melihatnya dan tersenyum, dia langsung menghampiri saya dan menarik tangan saya untuk masuk ke area bermain. Saya mengikuti anak itu, lalu saya duduk di atas karpet warna-warni.

Anak itu terus melihat saya hingga saya membuka dialog. “Hai, nama kamu siapa?” tanya saya sambil tersenyum dan membelai rambut panjangnya. Anak ini hanya tersenyum, tidak menjawab.

Lalu, mata anak ini mengarah kepada poket yang saya bawa. Di dalam poket tersebut ada kamera. Melihat anak itu sangat tertarik dengan poket yang saya bawa, saya langsung mengeluarkan isinya dan menjelaskan, “Ini kamera, bisa buat foto-foto. Kamu mau difoto?”

Mendengar penjelasan saya anak ini tertawa dan melompat, lalu mengangguk seakan memahami pertanyaan saya. Kemudian saya mengambil foto anak ini beberapa kali.

Ciuman Tak Terduga :)

Saat saya sudah asik bersama anak berkuncir kuda ini, tiba-tiba seorang anak perempuan penyandnag Down Syndrome yang –kalau tidak salah– namanya Putri. Dia memberikan sebuah benda yang daya tidak tahu benda apa itu. Karena bingung saya bertanya, “Ini untuk Kakak?” Putri menjawab dengan mengangguk. Lalu saya bertanya lagi, “Benda apa ini?” Putri tidak menjawab apa-apa, dia hanya tertawa malu-malu.

Karena saya masih bingung dengan benda yang diberikan Putri, saya sempat memerhatikan benda itu sekitar 10 detik. Saat saya hendak bertanya lagi pada Putri, tiba-tiba Putri mencium pipi saya. Terkejut! Saya nyaris melompat, tapi saya langsung terkekeh dan tersenyum ketika Putri langsung berlari meninggalkan saya setelah dia mencium pipi saya :)
  
Rizal dan Sembilan Jahitan di Tangan

Di ruangan kelas lainnya, seorang guru memperkenalkan satu nama kepada saya dan teman-teman. Nama anak yang disebutkan adalah Rizal, seorang disabilitas intelektual yang selalu impulsif. Pertama kali masuk ke SPLB C Cipaganti, Rizal tidak mau masuk. Di luar kelas Rizal justru sering memanjat pohon, memetik segala sesuatu yang ada di pohon, lalu menimpukkan yang dia petik kepada siapa saja yang ada di bawahnya.

Di SPLB C Cipaganti, Rizal dikenal sebagai murid yang sangat sering memecahkan kaca. Emosinya sering meledak dengan atau tanpa pemicu. Jika tanpa pemicu, Rizal hanya berdiam diri sendirian. Lalu, tiba-tiba anak ini meninju kaca yang ada di dekatnya hingga pecah. Sedangkan jika disertai pemicu, biasanya dipicu oleh temannya yang menjahili dan Rizal tidak senang.

Rizal sempat beberapa kali dibawa ke rumah sakit karena kebiasaannya memecahkan dan menonjok kaca. Bahkan, pernah juga tangan Rizal dijahit sebanyak sembilan jahitan karena dia menonjok kaca kelas.

Untuk kasus ini, guru memberikan penanganan dengan mengobservasi terlebih dahulu emosional Rizal. Setelah itu, hal-hal yang diduga merupakan pemicu emosional dan impulsif Rizal harus segera dihindari.

Ruangan Pemanusiaan

Keluar dari ruangan di atas, saya melanjutkan ke ruangan selanjutnya yang tidak jauh berbeda dengan ruang kelas SLB pada umumnya. Di ujung koridor, masih di wilayah ruangan kelas, terdapat satu ruangan yang lebih besar dan lebih ramai. Saya melangkah ke sana dengan feeling “saya sedang melangkah ke ruangan kejutan”.

Surprise! Pemandangan pertama yang menyambut saya dan teman-teman ada sekitar sepuluh murid SLB dengan usia rata-rata di atas 17 tahun yang sedang duduk di bangku membentuk lingkaran. Di antara sepuluh murid tersebut, ada langsung menyambut kami dengan senyuman, menghampiri kami untuk bersalaman, ada yang takut dan menjerit, bahkan ada yang tidak acuh sambil melakukan aktivitasnya sendiri, yakni memainkan air liurnya yang membanjiri dua buah meja di depannya.

Di sisi lain ruangan tersebut terdapat sekumpulan murid, yang sepertiya bukan murid dewasa yang fisiknya lebih mirip orang tua dibandingkan remaja. Empat orang murid dewasa ini duduk berbaris sambil berkutat dengan sekumpulan bola-bola warna-warni yang diamplasnya hingga bersih. Saya piker, keempat murid ini sudah berusia melebihi paruh baya, melihat kulit mereka yang kendur, suara mereka yang berat, dan uban yang muncul di antara rambut hitam mereka.

Untuk kesekian kalinya, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan ini. Ruangan terakhir ini benar-benar berbeda dari yang lainnya. Saya menyebut ruangan ini sebagai Ruang Pemanusiaan, karena di dalam ruangan ini murid-murid SLB C Cipaganti diasah menjadi manusia.

Umumnya, Ruang Pemanusiaan ini disebut Ruang Keterampilan. Di dalamnya terdapat beraneka aktivitas keterampilan, seperti menjahit, menyulam, mengamplas, dan  membuat sandal dari limbah karet.

Menurut salah seorang guru yang berjaga di Ruang Pemanusiaan ini, ruangan ini diperuntukkan kepada murid yang sudah lulus sekolah tetapi tidak dibawa pulang. Di ruangan ini, murid-murid ini diajarkan aneka keterampilan seperti yang saya sebutkan sebelumnya.

Dari sekian banyak murid yang ada di dalam ruangan tersebut, saya tiba-tiba tertarik pada dua sosok tua yang menurut saya memiliki karakter paling menonjol. Dua murid tua tersebut bernama Hasni dan Edy. (Maaf, karena murid-murid ini menyandang disabilitas intelektual dan selalu merasakan diri mereka adalah bagian dari murid, mereka tidak pernah menyebut diri mereka “Ibu”, “Bapak”, “Mbak”, atau “Mas”. Selain itu, keterbatasan inteletual mereka menjadikan mereka bersikap seperti anak-anak di usia yang sudah sangat dewasa)

Hasni, Si Penjaga Bel Sekolah

Nama murid tua ini adalah Hasni. Beliau sudah tinggal di asrama SLB C Cipaganti sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Hasni kini bertugas sebagai penjaga bel. Tugas ini bukanlah tugas yang diberikan oleh guru SPLB C Cipaganti, melainkan tugas yang “dipilih sendiri”.

Hasni memang suka sekali menjaga bel. Menurut informasi yang diberikan kepala SPLB C Cipaganti, Hasni memang individu yang memiliki ikatan emosional dengan lonceng di SPLB C Cipaganti. Kendati Hasni tidak tahu aturan jam, Hasni selalu memukul lonceng tepat waktu setiap hari, setiap jam masuk sekolah, pergantian jam pelajaran, dan jam pulang. Biasanya 10-15 menit sebelum lonceng dibunyikan, Hasni sudah duduk rapi di dekat lonceng tersebut. Jika ada orang lain yang hendak memukul lonceng, Hasni akan bersikap impulsif dan marah.

Untak menghadapi emosi dan tingkah laku Hasni yang berbeda ini, pihak sekolah akhirnya mempertahankan bel lonceng ini dan tidak beralih ke bel elektronik. Selain itu, tugas membunyikan lonceng sepenuhnya dipercayakan kepada Hasni.

Edy, “Murid Tua” yang Kurang Perhatian

Edy, yang berkepala setengah botak,
terlihat dari belakang sedang berbicara dengan temannya
Edy adalah murid yang sudah lulus dari SLB C Cipaganti, tapi masih menetap di asrama. Edy  yang berasal dari Jakarta, kini berusia 45 tahu. Orangtuanya cukup mampu, tapi kurang memerhatikannya.  Hampir kurang lebih tiga bulan sampai observasi ini dilakukan, Edy mempunyai kebiasaan tingkah laku yang menyimpang, yaitu mencuri. Benda-benda yang dicuri Edy berbagai macam, mulai dari pensil, pulpen, buku, sandal jepit, baju, hingga makanan.

Berdasarkan analisis guru SLB C Cipaganti, Edy melalukan penyimpangan tingkah laku ini karena kurangnya perhatian orangtua akan kebutuhan Edy. Individu hambatan intelektual seperti Edy hanya tahu bahwa dirinya perlu pensi, pulpen, dan buku untuk belajar, perlu makanan untuk bertahan hidup, dan perlu sandal untuk keluar ruangan. Sehingga, jika kebutuhan itu tidak dimiliki, dia akan mengambil benda yang di dekatnya tanpa tahu bahwa itu punya orang lain dan tanpa mengetetahui bahwa dia mencuri.

Untuk mengatasi kasus ini, guru memberikan pemahaman dasar kepada Edy bahwa benda-benda yang diambilnya bukanlah miliknya, melainkan mlik orang lain. Selain itu, guru kerap memberikan punishment atau hukuman. Hukumannya adalah jika Edy mencuri satu barang, maka Edy harus melakukan sesuatu, seperti mengamplas benda yang kasar, dan lain sebagainya.

Serpihan Cinta yang Berhamburan

Selalu ada hadiah baru yang Allah berikan di setiap terjaganya matahari dan selalu ada kejut kejutan baru yang Allah berikan di setiap kesempatan bersama anak-anak berkebutuhan khusus, pun itu ketika saya di SLB C Cipaganti.

Kejutan demi kejutan datang mulai dari langkah pertama di pintu gerbang hingga di langkah-langkah berat menuju pulang. Murid canti berkuncir kuda, Putri, Rizal, Hasni, dan Edy, hanya sehitungan jari dari sekian banyak kejutan yang saya dapatkan di SLB C Cipaganti. Dan lagi-lagi, saya selalu diingatkan akan dua hal dalam dunia yang luar biasa ini; kasih sayang dan ketulusan.

Semua guru pasti harus memiliki modal kasih sayang kepada murid-muridnya. Tetapi untuk menjadi guru anak-anak spesial, butuh kadar kasih sayang yang spesial pula, yakni kadar luar biasa besarnya. Tak sekadar mengejar ketuntasan SK, menjadi jadi guru dari anak-anak berkebutuhan khusus berarti menjadi makhluk Allah SWT yang senantiasa menyayangi ciptaan-Nya apa adanya dengan kasih sayang yang tidak sekadar ada. Butuh kadar luar biasa besar agar tekad untuk menjadi guru anak-anak berkebutuhan ini tetap berjalan dalam koridor-Nya.

Dan tak sekadar kasih sayang dengan kadar besar, pastinya. Masih ada satu hal yang juga diperlukan jauh lebih besar kadarnya, yaitu ketulusan –karena memang keikhlasan tidak bisa diukur oleh manusia. Ketulusan yang tak kalah luar biasa besar kadarnya juga harus senantiasa mengiringi langkah kami, saya dan teman-teman calon guru anak-anak berkebutuhan khusus. Tak hanya guru yang hendak memiliki ketulusan luar biasa ini, orang tua juga memerlukannya. Teramat sangat membutuhkannya.

Ketika ketulusan yang sejatinya harus ada malah menghilang, akhirnya maka tak akan jauh berbeda dengan yang dialami Si Murid Tua, Edy, yang ditelantarkan dan lambat tapi pasti tumbuh menjadi murid yang berusaha bertahan hidup menurut caranya sendiri.

Jika saja ketulusan itu sudah ada sejak “hadiah istimewa” ini datang, niscaya tidak aka nada kasus seperti yang terjadi pada Edy, ataupu yang lebih buruk lagi. Lantas apakah kita harus saling menyalahkan? TIDAK. Tidak ada satu pihakpun yang harus disalahkan, yang ada hanya pihak-pihak yang harus diingatkan akan ketulusan yang terkikis atau mungkin hilang. Saling memberikan pemahaman atas keberterimaan yang berkurang atau mungkin hilang.

Masih banyak lagi serpihan cinta yang berhamburan di setiap derap langkah menuju pengabdian pada pendidikan Indonesia, terutama pendidikan khusus. Semoga kenangan dalam mengunjungi SLB C Cipaganti ini menjadi pemantik yang tak pernah habisnya untuk menyalakan sumbu semangat dalam mengabdikan diri pada pendidikan khusus. Amin :)
23 April 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

Beginilah Politik (Pengalaman Menjadi Ketua KPU)




Pada kesempatan kali ini saya ingin bernostalgia dengan kenangan saya di saat saya masih jadi "bocah ingusan" di kampus. Ini salah satu tulisan lama saya tentang pengalaman saya di dunia politik kampus. Mau tahu bagaimana serunya di politik kampus? Ini salah satu pengalaman saya saat menjabat sebagai Ketua KPU Jurusan PLB UNJ periode 2011 untuk memilih jajaran pemimpin yang menjabat pada periode 2012-2013. Check it out, Guys! ^_*

Siapa yang tidak kenal politik? Banyak yang mengatakan bahwa politik itu sesuatu yang kotor dan tempat rawan untuk mengetes keimanan seseorang. Entahlah, saya belum memahaminya selama saya tidak turun langsung dalam dunia itu. Tapi, yang saya tahu politik yang seharusnya adalah bersiasat untuk memperoleh kekuasaan untuk menyejahterakan banyak orang, bukan sekelompok orang.


Nah, membahas politik ini, pasti banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor, isinya orang-orang bermuka dua, dan banyak lagi label negatif lainnya. Ya, saya juga pernah beranggapan begitu, bahkan saya sempat bertekad untuk sama sekali tidak ingin bersentuhan dengan politik. Sampai-sampai setiap teman mengajak berdiskusi tentang politik, yang saya lakukan hanya menyimak dan senyum-senyum sendiri sambil mengomentari dalam hati. Akan tetapi, siapa yang menyangka bahwa beberapa bulan lalu ternyata saya dengan sengaja menyeburkan diri ke dalam ranah politik. Dan saya, bukan lagi berperan sebagai pendengar yang senyum-senyum sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari tokoh utama bergeraknya politik. Dari pengalaman inilah sedikit demi sedikit saya mulai menyadari betapa perlunya kita menengok sedikit sisitem politik di sekitar kita, terutama bagi kamu yang merasa berhati bersih.

Setiap bulan November-Desember, di kampus selalu saya ada Pemilu Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) mulai dari tingkat jurusan hingga universitas. Sama seperti sistem Pemilu yang ada di Indonesia, semuanya berjalan dengan demokratis dan dimotori oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Seperti yang saya sampaikan di awal, ini adalah pengalaman saya saat menjabat sebagai Ketua KPU 2011. Kurang lebih dua bulan sebelum Pemilu berjalan, kabar tentang pembentukan KPU 2011 sudah berdatangan lengkap dengan selentingan cerita tentang KPU tahun sebelumnya. Mulai dari suka duka menjadi anggota apalagi ketua KPU, hingga gejolak konflik yang ada antara KPU dengan orang-orang non-KPU.

Entah kenapa, meskipun lebih sering mendengar cerita tentang tidak enaknya menjadi anggota atau ketua KPU, justru saya sangat tertarik untuk menjadi bagian dari KPU. Bahkan, dalam buku agenda hitam yang saya punya, saya sudah menulis “Menjadi Ketua KPU” sebagai salah target yang akan saya capai  pada 2011 lalu.

This is time to make my dream come true! Sebelum Pemilu, pendaftaran menjadi anggota KPU pun dibuka. Bismillah, semoga bisa menjadikan pemilu tahun ini jauh dari tangan-tangan nakal! Meski sedang tidak ada di kampus, dengan bantuan seorang teman, saya mengisi pendaftaran anggota KPU dan merekomendasikan diri sebagai ketua KPU.

Seleksi untuk menjadi ketua KPU pun saya jalani, mulai dari wawancara, studi kasus, hingga pemungutan suara untuk pemilihan ketua KPU. Syukur Alhamdulillah, teman-teman memercayakan posisi ketua KPU kepada saya. Dengan hati masih penuh gejolak (karena takut salah mengambil keputusan), saya mulai merangkul teman-teman saya untuk turut berkontribusi dalam mengurus pemilu.

Belum satu jam saya resmi menjadi ketua KPU, saya sudah merasakan perubahan drastis dari sekitar saya. Tiba-tiba berbagai sms masuk menyatakan selamat dengan doa agar “selamat”, ada juga yang mengucapkan selamat dan ucapan semangat agar saya tidak “kaget” ke depannya. Dan yang membuat saya paling terkejut, banyak mata yang mulai memandang saya dengan cara yang berbeda. Bahkan, sempat saya mendengar langsung seorang senior membicarakan saya dengan suara berbisik sambil memerhatikan saya dari ujung kepala hingga ujung kaki saya. Gila! Angker bener ini posisi saya, hehe, begitu respon spontan saya dalam menanggapi perubahan situasi di sekitar saya.

Menjadi ketua KPU, ternyata memang cukup menyita waktu, tenaga, dan pikiran saya. Hampir setiap hari saya harus bolak-balik gedung tempat saya kulaih ke Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM), yang jaraknya lumayan jauh, untuk mengikuti perkembangan administratif pemilu hingga tingkat universitas. Lebih dari itu, saya bahkan harus meninggalkan perkuliahan selama seharian untuk mengikuti serangkaian seminar kepemiluan bersama beberapa orang anggota DPR dan Ketua KPU Pilkada DKI Jakarta. “Pembolosan” ini saya lakukan demi pencerdasan bagi diri saya sendiri, agar saya mengerti secara gamblang apa dan bagaimana seharusnya KPU yang independen itu, juga agar saya tahu sebatas mana kekuasaan saya sebagai ketua KPU yang dituntut tetap independen meski di bawah naungan Lembaga Legislatif. Masya Allah! Ini konsekuensinya, saya harus bisa! Begitulah saya berkata berulang-ulang kepada diri saya sendiri.

Seluruh rangkaian acara pemilu pun berjalan, mulai dari pendaftaran calon ketua hingga pencoblosan dan perhitungan suara. Kurang lebih satu setengan bulan saya dan rekan-rekan yang turun ke dalam KPU menjalankan amanah, dan semuanya berjalan bukan tanpa rintangan. Subhanallah, begitu banyak “serangan” yang saya dan rekan-rekan KPU dapatkan. Dari pengalaman inilah saya mengerti siapa saja orang yang benar-benar bersih dan siapa yang bermuka dua. Banyak sekali cerita lucu (saya katakan lucu karena sikap beberapa pihak yang menekan saya justru membuat saya menertawakan mereka karena sikap angkuh yang kekanak-kanakannya), menyebalkan, dan bahkan beberapa hal yang membuat saya menangis semalaman.

Pertama, mulai dari pencalonan ketua KPU. Seorang senior menceritakan kepada saya bahwa satu dari dua calon ketua KPU yang bersaing dengan saya merupakan “orang suruhan” senior lain yang tidak menginginkan saya menjadi ketua KPU. Oke, no problem. Saya cuma mau fokus dengan target saya, menjadi Ketua KPU.

Kedua, hampir setiap hari handphone saya dipenuhi oleh sms-sms tidak jelas dari orang-orang yang kurang kerjaan. Setiap bangun tidur, pasti ada saja sms dengan isi omelan, teguran, bahkan kata-kata yang menjatuhkan dari senior. Dan sms-sms ini tidak 2-3 sms perhari, bahkan bisa belasan. Pilihan aman yang saya ambil menghadapi ini biasanya berpura-pura tidak menerima sms semacam ini :P Hehe, tapi memang dasar sepertinya mereka mau banget saya tanggapi, kalau tidak saya balas pasti sms berulang-ulang. Sampai saya hapal, semua sms pasti diakhiri dengan kalimat, “Jangan kurang ajar kamu! Saya bisa adukan kamu ke Legislatif!” Duh, terserah deh ya, Jeung! :P

Ketiga, sikap teman-teman sekelas saya juga jadi berubah. Seperti yang sudah saya katakan di depan, di masa ini semua topeng terbuka. Tanpa saya kulik-kulik, satu per satu dari mereka membuka identitas mereka sendiri. Mulai dari mereka yang condong kepada mahasiswa pergerakan, golongan kanan (mahasiswa aktivis dakwah), hingga teman sekelas yang golongan kiri yang dengan terang-terangan di hadapan saya menyatakan ketidaksukaannya kepada saya yang secara dzohir-nya berjilbab panjang dan identik dengan dakwah. Hasilnya, terbukanya satu per satu identitas teman-teman saya juga berdampak pada kinerja KPU.

Memang, dari awal menjadi ketua KPU saya sudah menegaskan kepada rekan-rekan saya di KPU untuk lebih baik keluar dari KPU sekarang juga daripada di kemudian hari ketahuan membawa “hiden mission”. Bahkan, peringatan ini saya ulang-ulang selama beberapa minggu pertama setiap sebelum memulai rapat.

Ya, di sini saya benar-benar frontal dan bisa dibilang galak. Tapi ini saya lakukan untuk menghindari kecurangan yang sering terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Dan, hasilnya ternyata mujarab. Satu per satu wajah-wajah yang sudah saya “tandai” sebagai orang yang saya curigai sebagai “suruhan” mengundurkan diri dan mengakui “asal usul” keberadaan mereka di KPU di hadapan seluruh rekan-rekan KPU. Biarlah, yang penting mereka mau mengakui dan (mungkin) menyadari bahwa misi tersembuyi yang mereka bawa adalah tindakan yang salah.

Keempat, satu ketidaknyamanan yang teramat sangat ketika saya harus berhadapan dengan “penguasa” yang bersiasat menggagalkan KPU. Seorang “penguasa” dengan nyamannya memanipulasi kondisi demi menggagalkan seorang kandidat (yang menurut saya cukup kuat). Sebelum mengetahui siapa sebenarnya “penguasa” ini, saya masih bisa bersenda gurau dan berbincang dengannya. Tapi setelah mengetahui sikap aslinya di ranah politik, hal yang saya lakukan hanya beristighfar dan menangis di hadapan seorang rekan KPU sekaligus sahabat saya sejak tsanawiyah. Entah, dari sini saya menyadari betapa kecerdasan dan posisi terhormat seseorang belum tentu digunakan dalam hal yang baik.Na’uudzubillah.

Kelima, mungkin ini puncak dari terforsirnya tenaga dan pikiran saya. Di tengah perjalanan menjadi ketua KPU, saya sakit gejalan tipus dan diharuskan beristirahat total selama 14 hari. Tapi karena memang badung, saya masih memaksakan diri untuk ke kampus dan hanya beristirahat di rumah selama 10 hari (nambeng!) :D

Dan, kini tugas saya sebagai ketua KPU selesai sudah. Dengan berbagai konflik, mispersepsi, dan pressure yang saya terima, ada banyak sekali pelajaran yang tidak bisa saya dapatkan di luar KPU. Dan, menjadi ketua KPU sungguh pengalaman yang tak tergantikan. Meski masih dalam lingkup universitas, tapi saya bisa menerka-nerka seperti apa kiranya politik yang sesungguhnya di negeri ini. Toh, bukankah banyak yang bilang bahwa kampus adalah miniatur negara. Bahwa gejolak yang ada di kampus, sudah atau akan terjadi juga di dalam negara.

Tapi, sedih rasanya jika memang politik adalah seperti yang sudah saya alami. Di lingkup kampus yang “tidak seberapa” amanahnya, mereka sampai hati bisa melakukan hal-hal buruj seperti mengirim seseorang untuk membawa hiden mission dalam KPU. Atau sikap antar golongan yang saling tuding, menyalahkan, dan menyatakan bahwa si A, si B, bertindak curang tanpa bukti logis. Na’uudzubillah!

Yang membuat saya lebih sedih lagi, yang berperan di sini adalah mahasiswa, pemuda-pemudi berlabelkan kaum intelektual dan agen perubahan. Perlu ada "pencerdasan iman" di sini, saya pikir. Di mana kecerdasan tidak melulu sampai pada wawasan yang luas dan kemampuan mengomentari segala kebijakan penguasa, melainkan juga dibutuhkan kecerdasan hati untuk mengontrol ke mana kecerdasan otak akan diarahkan. Ke posisi baik atau buruk.

Dan, ini berbicara tentang politik. Yang menurut Aritoteles dalam buku Nichomachen Ethics, politik adalah puncak dari segala ilmu. Karena peran utama politik adalah menyelenggarakan kehidupan bernegara dengan tujuan untuk menciptakan tujuan yang baik bagi individu dan masyarakat. Semua ilmu, oleh karenanya melayani kepentingan politik dengan tujuannya yang begitu mulia.

Ya, begitu memang seharusnya, politik memiliki tujuan mulia untuk individu dan masyarakat, sebagaimana Ibu Wanda Hamidah katakan dalam Konferensi Wanita Indonesia yang saya hadiri akhir tahun 2011 lalu. Beliau menyatakan bahwa politik yang sesungguhnya seperti yang diajarkan Islam. Yakni bersiasat mencapai kekuasaan untuk menciptakan kebaikan bagi seluruh kalangan masyarakat, tanpa pandang ras, suku, bahkan agama, ingat tujuan utama politik itu kesejehteraan seluruh (Bu Wanda mengulanginya lagi) seluruh kalangan.

Dan, sikap orang-orang yang meneror dan menekan satu pihak untuk menaikkan pihak lain yang saya rasakan saat menjabat menjadi Ketua KPU merupakan contoh yang jauh dari ketegori seharusnya sebagai mahasiswa. Aneh, kenapa tidak malu dengan label mahasiswanya. Duh, tak terbayang bagaimana jadinya jika sikap ini terbawa hingga ke jenjang politik yang lebih tinggi lagi.

Setelah dipikir-pikir, memang benar begini adanya politik. Di ranah yang sempit saja memang sudah tercium kekotorannya dan kentara sekali isinya disominasi oleh orang-orang yang mengutamakan kekuasaan tanpa diiringi tekad bertanggung jawab kepada apa yang dikuasainya. 


Kita tahu politik itu kotor dan diisi oleh banyak orang kotor, jadi kalau ada di antara kita yang merasa bersih masuklah ke dalam politik dan bersihkan semua kotoran itu!”
(Wanda Hamidah dalam Konferensi Wanita Indonesia 2011)

Semoga pengalaman ini bisa menjadi bekal untuk pandangan hidup kita selanjutnya :)
Terimakasih juga untuk teman-teman yang sudah membaca tulisan yang lebih mirip curhatan ini :)
Posted by Lisfatul Fatinah

Membangun Sikap Inklusif dan Antidiskriminasi Melalui Penerbitan Majalah dan Situs Online Diffa


Tulisan saya kali ini merupakan resume dari seminar yang pernah saya ikuti satu tahun lalu, 29 Maret 2012. Seminar ini diadakan Majalah Diffa di Auditorium Daksinapati Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Seminar yang dihadiri mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UNJ ini diisi oleh tiga narasumber, yakni Dr. Asep Supena (Dosen PLB UNJ),  Nestro Rico Tambunan (Pendiri Majalah Diffa), dan Kang Jaka (pengandang disabilitas pengelihatan). Berikut ini hasil resume yang sempat saya catat. Semoga bermanfaat ^_*

Pemaparan tentang Inklusif

Menurut penjelasan Dr. Asep Supena, secara sederhana inklusif mencakup tiga hal. Yakni, melawan eksklusif, kebersamaan, dan tidak membedakan. Maksudnya, inklusif merupakan kebersamaaan dalam hidup yang kita sebagai manusia diperlakukan dan memperlakukan segalanya dengan adil, di mana perbedaan yang terletak di antara satu sama lainnya tidak untuk dibeda-bedakan.

Jika kita perhatikan lebih dalam lagi, yang membatasi seorang disabilitas untuk tidak dapat melakukan apapun bukanlah keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini lebih disebabkan lingkungan yang membatasi, tidak mendukung, dan menyugestikan hal-hal yang negatif.

Penjelasan di atas secara lebih luas menyatakan bahwa inklusif seharusnya tidak hanya terjadi dalam pendidikan, tapi juga terjadi pada segala aspek kehidupan seperti lapangan pekerjaan, media informasi dan komunikasi, transportasi, dan banyak fasilitas lainnya. Apabila seluruh aspek ini sudah inklusif, niscaya para penyandang disabilitas tidak akan memiliki kendala yang berarti dengan dari keterbatasan yang dimiliknya.

Kesalahan Tindakan kepada Disabilitas

Kendati berbagai hal dan berabagai pihak sudah meguasahakan inklusivitas dalam berbagai aspek, masih tetap saja ada hal negatif yang salah ditindaki. Misalnya, berbagai kalangan berbondong-bondong untuk membantu para penyandang disabilitas dengan memberikan uang dalam konteks amal. Padahal, “kesusksesan” yang dimiliki pengandang disabilitas bukanlah karena banyaknya bantuan yang datang, melainkan dukungan dan peluang yang diberikan lingkungannya.

Konsep “Normal” dan Inklusif

Berdasarkan penjelasan Nestrto Rico, pengadaan konsep “normal” dan “tidak normal” adalah pernyataan kemampuan atau ketidakmampuan anak dalam situasi dan kondisi tertentu yang harus didukung dengan cara yang sesuai dengan kemampuan dan ketidakmampuannya. Dengan demikian, penginklusivan dalam segala aspek kehidupan dapat terealisasi dengan sendirinya. (nir)
05 April 2013
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Siapa Itu Anak Autis?*



Sejak 1943, istilah autis dikenalkan oleh Leo Kaanner. Hingga kini, istilah dan segala aspek yang bersangkutan dengan autis telah menarik banyak perhatian dari banyak kalangan profesional, seperti psikolog, psikiater, neurolog, dan tentu saja ortopedagog.

Sementara itu, seiring dengan banyaknya perhatian yang tertunpah pada permasalahan anak autis, angka kejadian terlahirnya anak autis di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam pendahuluannya pada buku Autism is Treatable, Dr. Kresno Mulyadi, Sp.Kj., motivator keluarga berkebutuhan khusus, menyatakan bahwa kini angka kelahiran anak autis di Indonesia mencapai 1 kasus dari 165 kelahiran.

Di balik meningkatnya angka kelahiran anak autis masih banyak masyrakat, bahkan keluarga yang memiliki anak autis yang belum memahami siapa sebenarnya anak autis dan bagaimana cara berinteraksi dengan anak autis. Selain itu, tidak sedikit keluarga merasa kesulitan berinteraksi dengan anak autis.

Dengan Dunianya Sendiri

Secara harfiah kata autis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘aut’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan orientasi, arah, atau suatu keadaan. Berdasarkan pengertian ini Reber (1985) dalam Trevarthen  (1998) menyatakan bahwa autis dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri. Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat dengan orang lain, tetapi juga kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka.

DSM-IV

Berbeda dengan pengertian di atas, APA (American Psychiatric Association) menetapkan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah seorang anak dapat dikatakan sebagai anak autis. Kriteria tersebut dikenal dengan nama Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV). Berdasarkan criteria DSM-IV, seorang anak dapat dikatakan mendang autis apabila:

1.       Memiliki minimal dua kriteria gangguan dalam interaksi sosial:
a.       Rendahnya kemamppuan berinteraksi sosial melalui komunikasi nonverbal seperti kontak mata, ekspresi muka, dan gerak tubuh.
b.      Tidak mampu berinteraksi sosial dengan kelompok sebayanya.
c.       Tidak memiliki keinginan untuk berbagi kesenangan, prestasi, perasaanya atau keingintahuannya dengan anak lain.
d.      Kurang mampu melakukan hubungan timbal balik dalam hubungan sosial dan emosional.
2.       Memiliki minimal dua kriteria gangguan komunikasi:
a.       Terlambat atau tidakadanya perkembangan kemampuan berbicara dan tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain, seperti isyarat atau gerak tubuh.
b.      Jika bisa berbicara, kemampuan berbicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi.
c.       Sering menggunakan bahasa yang “aneh” dan berulang-ulang.
d.      Kurang mampu bermain dengan permainan variatif, meniru, imajinatif, atau spontan.
3.       Memiliki minimal satu kriteria tingkah laku dan pola yang sering diulang-ulang dalam kegiatannya.
a.       Rasa tertarik yang abnormal dari segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang khas atau terbatas. Misalnya, mengulang-ulang sebuah adegan dari video secara terus menerus, berjalan tanpa henti membentuk lingkaran, dan lain-lain.
b.      Memiliki kebiasaan rutinitas yang sering kali tidak bermakna apa-apa bagi orang lain.
c.       Memiliki rasa ketertarikan pada suatu bagian saja dari benda.
d.      Sering melakukan gerakan-gerakan tertentu yang khas dan berulang-ulang.

Dari tiga kategori kriteria di atas, seorang anak dapat dikatakan autis apabila memiliki jumlah akumulatif minimal enam kriteria. Gejala di atas akan tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan apabila anak mengalami autis infantile (autis sejak kandungan), gejala di atas sudah ada sejak bayi.

Autis juga merupakan suatu konsekuensi dari perbedaan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi otak, seperti persepsi, intending, imajinasi, dan perasaan. Dengan kata lain, autis dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan dalam penalaran sistematis.

Dalam suatu analisis mikrososiologikal tentang logika pemikiran anak autis dan interaksinya dengan orang lain, Durig (1996) dalam Trevarthen  (1998) menyatakan bahwa anak autis memiliki kekurangan dalam membuat penalaran, misalnya penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus menuju kesimpulan umum atau sebaliknya.

Autism Spectrum Disorder

Anak yang dideteksi memiliki gangguan autis tidak semuanya memiliki gejala yang sama. Jika anak autis diibaratkan warna biru, maka warna biru itu bisa beragam spektrumnya mulai dari biru muda hingga bitu tua. Dengan kata lain, setiap anak autis memiliki kekhasannya masing-masing, dengan masing-masing gelaja yang unik dan tidak pernah sama persis antar satu anak autis dengan anak autis lainnya.

Perbedaan yang ada antar anak autis ini biasanya menandakan perbedaan tingkat gangguan yang ada pada anak. Untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat ganguan anak autis, maka muncullah istilah Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autis.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak autis adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan otak yang kompleks dan signifikan (akan tetap seperti itu jika tidak ditangani) yang mempengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku, semua gelaja autis ini terjadi sebelum usia tiga tahun berdasarkan gejala ada di DSM-IV. (nir)

(*) Tulisan ini pernah dimuat di kartunet.com
02 April 2013
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Ciptono, Menginspirasi Indonesia bersama Anak Berkebutuhan Khusus*


Banyak orang yang mengandalkan rasa belas kasih untuk menunjukkan kepeduliannya pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Berbeda dengan langkah yang diambil kebanyakan kalangan, profile muslim yang satu ini bergerak tak sebatas pada modal belas kasihan, melainkan pada kesadaran bahwa ABK juga memiliki hak yang sama dengan anak pada umumnya. Melalui kariernya, kini profil muslim yang satu ini fokus berdedikasi untuk mengangkat ABK di mata masyarakat.

Adalah Ciptono, seorang guru yang sangat mencintai dunia pendidikan berkebutuhan khusus dan menjadikan dunianya sebagai ladang dedikasi dan manfaat untuk masyarakat. Pria berusia 49 tahun ini sukses menginspirasi Indonesia melalui langkah kecilnya pada pekerjaannya, yakni sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus atau guru SLB.

Kisah hidup pria yang biasa dipanggil Pak Cip oleh rekan-rekannya ini sejalan dengan salah satu firman Allah swt. yang tertera dalam surat at-Taubah ayat 105 yang berbunyi, “Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’.”

Dari Garasi hingga Sekolah 3 Hektar
Dokumentasi pribadi di SLB N Semarang

Berangkat dari sebuah tekad dan keinginannya untuk bertotalitas dalam mengabdikan diri pada anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono memulai perjuangannya dari sebuah garasi di rumahnya di Semarang. Di garasi inilah segala perjuangan dan kesuksesan dimulai. Garasi di rumahnya digunakannya untuk membuka kelas belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tiga tahun lalu, garasi yang digunakannya untuk mengajar masih dalam proses pengembangan untuk menjadi tempat yang layak sebagai tempat belajar.

Di tahun yang sama, Ciptono menerima undangan untuk menjadi bintang tamu di salah satu stasiun televisi suasta yang mengekspose kegigihan Ciptono dalam mengajar. Sejak saat itu, bala bantuan berdatangan, mulai dari perorangan hingga pemerintah Jawa Tengah.

Saat ini, tempat belajar yang semula hanya berupa garasi sudah berubah menjadi sebuah sekolah seluas 3 hektar yang bernama SLB Negeri Semarang. SLB itu kini dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas kependidikan hingga terapi untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Tak hanya itu, SLB Negeri Semarang kini menjadi SLB percontohan bagi SLB-SLB yang ada di Indonesia berkat kegigihan Ciptono dan rekan-rekan dalam membangunnya.

Guru SLB adalah Pilihan Terbaik Allah

Guru yang dulu memiliki cita-cita menjadi dokter ini mendapatkan banyak inspirasi pada dua kali kegagalannya dalam tes masuk kedokteran. Di usahanya yang ketiga kali, Ciptono memutuskan memasuki dunia anak berkebutuhan khusus dan mulai membuka mata dan hatinya atas kehendak Allah swt. “Allah tidak pernah memberikan apa yang kita inginkan, tapi Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kita, “ tukas Ciptono dengan tegas.

Ciptono meyakini bahwa Allah berkehendak dirinya menjadi guru SLB. Dengan kemauan yang keras, dedikasi yang tinggi, akhirnya Ciptono bisa menjadi guru SLB dan dipercaya menjadi kepala sekolah SLB N Semarang sejak 20006-sekarang. Hingga kini Ciptono telah memegang sejumlah penghargaan karena dedikasinya bersama anak-anak berkebutuhan khusus, mulai dari penghargaan nasional hingga internasional.

Bagi Ciptono yang kini menghabiskan waktunya untuk menjadi seorang motivator, anak berkebutuhan khusus bukanlah produk yang gagal, karena Allah tidak pernah gagal. “Mereka tidak perlu dikasihani, tetapi perlu diberikan kesempatan. Tugas mereka adalah memberikan inspirasi kepada yang lainnya,” ujar Ciptono.

Di satu kesempatan Ciptono pernah mengatakan alasannya mengapa ia memiliki untuk berkecimpung dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Saat diwawancarai di SLB N Semarang, pria kelahiran Semarang ini  mengatakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih menjadi yang termarjinalkan, sehingga belum menadapatkan perhatian yang luar biasa. Oleh karena itu, Ciptono mencurahkan hidupnya khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Melahirkan Anak-Anak yang Menginspirasi

Sudah banyak anak-anak berkebutuhan khusus di bawah asuhan Ciptono yang tumbuh menjadi sosok yang menginspirasi dan mengagumkan. Salah satunya adalah seorang gadis disabilitas rungu (memiliki keterbatasan dalam pendengaran) bernama Eva yang berhasil meraih juara 3 dalam lomba modeling se-Indonesia.

Posisi juara 3 yang diraih Eva memiliki kisah tersendiri. Berdasarkan pemaparan Ciptono, jilbab yang dikenakan Eva menjadikannya menduduki juara 3. Akan tetapi meskipun meraih juara 3 karena alasan jilbabnya, Eva tidak pernah menyesal dan justru berkata, “Saya lebih bangga mempertahankan jilbab saya daripada mendapatkan juara pertama tapi harus melepas jilbab.”

Indonesia Menginspirasi

Sejak dikenal masyarakat luas, Ciptono kini menggeluti aktivitas baru sebagai pembicara dan motivator di sejumlah tempat di Indonesia. Sekarang Ciptono mendiri Indonesia Menginspirasi, sebuah lembaga yang digunakannya sebagai tempat yang menginspirasi banyak orang di Indonesia. Melalui anak-anak didiknya, Ciptono mencoba menginspirasi banyak kalangan di negeri ini, mulai dari para guru, orang tua anak berkebutuhan khusus, hingga para pejabat dan pengusaha.

berangkat dari keprihatinan pada publik yang semberaut lahirlah Indonesia Menginspirasi ini. Dengan mengajak anak berkebutuhan khusus yang berprestasi sejak 2009, Indonesia Menginspirasi telah mendapatkan apresiasi dan bantuan financial dari mahasiswa hingga pemerintah.

Kesibukan Ciptono di luar sekolah tidak lantas membuatnya melupakan amanahnya sebagai kepala sekolah. “Kuncinya koordinasi, kebersamaan, dan komunikasi dengan semua rekan dan guru yang ada di SLB Negeri Semarang ini,” Ciptono menjelaskan bagaimana caranya mengatur waktu.

“Setiap dasarnya anak adalah unik. Karena keunikannya itulah maka anak itu berbeda-beda. Anak-anak itu semuanya cerdas di bidangnya masing-masing. Sekecil apapun potensinya, harus kita hargai dengan mendidik mereka sebagaimana anak pada umumnya,” papar Ciptono sebagai pesan penutupnya.

(*) Tulisan ini pernah dimuat di muzakki.com
01 April 2013
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -