Archive for April 2013
Sekuntum Mawar yang Senantiasa Mekar; Ustaz Jefri al-Buchori*
Bismillahirrahmanirrahim
Ada rahasia dari deretan peristiwa yang tersandiwara di atas dunia
Bahwa kadang hal kecil yang tak sengaja kita lakukan bisa membawa
perubahan besar pada hidup kita
(Lisfatul Fatinah Munir)
Maha suci Allah yang senantiasa Merangkai skenario tak
terduga. Tiada daya dan upaya untuk menghindar dari ketetapan-Nya, kecuali atas
Rahmat-Nya. Dan sesungguhnya, tiada yang kekal di dunia kecuali kefanaan itu
sendiri.
Seperti biasanya, setiap hari baru adalah hadiah baru dengan
kejutan-kejutan baru dari Allah SWT, demikian pula kemarin, hari ini, dan esok.
Kejutan demi kejutan berkelindan satu per satu, membawa hati setiap manusia berpetualang
dari satu perasaan ke perasaan lainnya.
Kemarin, 26 April 2013Allah juga kirimkan hadiah baru buat
saya dan buat seluruh umat muslim di dunia, juga semoga buat pendudukan
langit-Nya; seorang da’i kondang Indonesia telah selesai menunaikan tugasnya. Kemarinlah
saatnya beliau berpulang ke kampung abadi, ke taman Ilahi Robbi, surga yang hakiki.
Beliaulah da’i yang cukup mempengaruhi hidup saya, terlebih di masa-masa kritis saya sebagai remaja. Beliaulah yang menjadi inspirasi saya untuk terus mengenal Islam lebih dalam.
Ustaz Jefri
al-Buchori, beliaulah da’i muda yang telah habis masa abdinya di dunia. Kepulangan
beliau membuat saya terpukul dengan arti yang sebenar-benarnya. Kepulangan
beliau memutarkan kembali kisah kehidupan saya. Kepulangan beliau mengantarkan
saya pada titik-titik air mata yang tumpah di setiap shalat saya.
Sesedih itukah saya karena kepulangan beliau? Apa yang telah
beliau lakukan untuk hidup saya hingga saya merelakan air mata ini mengalir
untuknya?
Tulisan ini saya dedikasikan untuk mengenang Sekuntum Mawar yang akan selalu mekar. Tulisan ini akan menjadi jawaban dari teman-teman yang kemarin
terheran-heran melihat saya menangisi kepulangan beliau. Semoga tulisan ini
bisa menginspirasi dan bermanfaat untuk teman-teman semua.
***
Dulu sekali, saat usia saya masih di bawah duabelas, saya
termasuk anak yang tomboy dan nakal. Meskipun dikenal sebagai juara kelas, saya sering mengajak teman-teman saya bolos sekolah. Saya sering mengunci teman-teman saya di kamar mandi dan sering juga bertengkar dengan anak laki-laki kalau saya tidak diterima bermain dengan kelompok mereka.
Saat itu saya kelas VI SD dan saya sudah memutuskan menggunakan jilbab. Kendati sudah berjilbab, saya tetap memilih kegiatan-kegiatan yang identik dengan petualangan. Saat masuk ke MTs, saya malah memilih ekstrakulikuler Pramuka Inti dengan segudang aktivitas di lapangan yang panas dan alam yang menantang. Saat itu saya belum mengenal apa itu kegiatan-kegiatan keislaman seperti Rohis, apalagi mentoring.
Saat itu saya kelas VI SD dan saya sudah memutuskan menggunakan jilbab. Kendati sudah berjilbab, saya tetap memilih kegiatan-kegiatan yang identik dengan petualangan. Saat masuk ke MTs, saya malah memilih ekstrakulikuler Pramuka Inti dengan segudang aktivitas di lapangan yang panas dan alam yang menantang. Saat itu saya belum mengenal apa itu kegiatan-kegiatan keislaman seperti Rohis, apalagi mentoring.
Ramadhan di tahun pertama saya di MTs, dengan izin Allah, saya
menyaksikan seorang da’i yang membaca ayat al-Qur’an di salah satu stasiun televisi.
Alunan ayat-ayat suci itu membuat saya terpana, menggetarkan hati saya, dan
seketika itu juga saya mengakui dengan seruan “al-Qur’an itu indah ya!”. Di
sinilah pertama kalinya saya mengenal sebuah nama Ustaz Jefri al-Buchori. Beliaulah da’i di televisi yang saya dengar suaranya melantunkan ayat al-Qur’an hingga tergugah hati saya.
Ya, mulanya saya hanya mengagumi murotal al-Qur’an Ustaz
Jefri atau yang akrab dipanggil Uje. Saya selalu menyempatkan diri mendengarkan
ceramahnya demi mendengarkan suara indah beliau saat melantunkan ayat suci. Lambat
laun saya tidak lagi menantikan suara merdu beliau, tetapi saya juga mulai menantikan
ceramah-ceramah beliau yang begitu menggebu-gebu di stasiun televisi manapun. Setiap
ceramah beliau yang menyangkut keremajaan selalu saya mencatat dan saya memahami
benar-benar, hingga setiap ada perbincangan di kelas saya selalu bilang, “Kata Uje …,”. Sejak saat itulah, teman-teman MTs saya mengenal saya sebagai fans
berat Uje.
Semakin hari, saya semakin mengagumi sosok beliau yang
begitu menggebu-gebu saat memberi tausiyah. Kekaguman ini kian memuncak ketika
saya tahu bahwa sebelum menjadi seorang da’i, beliau adalah seorang yang
begajulan, urakan, pemabuk, pemakai narkoba, dan pernah masuk penjara. Latar belakang beliau yang seperti itu mengantarkan saya pada pemahaman seorang remaja “Oh, orang nakal juga bisa jadi sholeh ya?”, dan juga mengantarkan
saya pada satu keoptimisan “Gue juga harus
berubah!”.
Sejak itu, saya mulai melirik kegiatan kerohanian di MTs,
seperti Rohis, dan jadilah saya seorang bocah perempuan tomboy anggota Pramuka Inti
sekaligus anggota Rohis. Saya masih ingat betul ketika pertama kali masuk
Rohis, saya duduk bersenderan di pojok mushalah dengan posisi duduk seperti di
warteg sambil mendengarkan materi dari salah satu Kakak Pembina Rohis (Rohis di
MTs saya berjalan setiap Sabtu dan setiap Sabtu kami memakai seragam Pramuka
berupa baju pramuka dan celana pramuka bagi siswa maupun siswi, jadi
memungkinkan siswi duduk seperti lelaki).
Kendati saat itu saya masih “urakan”, cara berjalan dan duduk saya masih sembarangan dan pemahaman Islam saya masih sebatas di pelajaran-pelajaran anak madrasah, saya tetap meneruskan kegiatan di Rohis dan Pramuka Inti yang jelas kontras perbedaannya. Dua tahun pertama di MTs, saya mengikuti qosidah, nasyid, dan kaligrafi, sekaligus mengikuti camping rutinan, tali temali, sandi Morse, dan baris berbaris.
Kendati saat itu saya masih “urakan”, cara berjalan dan duduk saya masih sembarangan dan pemahaman Islam saya masih sebatas di pelajaran-pelajaran anak madrasah, saya tetap meneruskan kegiatan di Rohis dan Pramuka Inti yang jelas kontras perbedaannya. Dua tahun pertama di MTs, saya mengikuti qosidah, nasyid, dan kaligrafi, sekaligus mengikuti camping rutinan, tali temali, sandi Morse, dan baris berbaris.
Setengah semester berlalu. Kini saya menginjak semester II
di kelas VII MTs. Saat itu Maret 2005, Kak Hulai, Pembina Rohis Putri di MTs,
mengajak saya dan teman-teman Rohis untuk datang ke Book Fair di Senayan.
Singkat cerita, saya pergi ke Book Fair bersama teman-teman rohis. Tidak ada
buku spesifik yang ingin saya beli di Book Fair, karena tahun itu adalah kali
pertama saya ke Book Fair.
Saat sedang melihat-lihat kumpulan cerpen remaja Asma Nadia,
salah seorang teman rohis saya menarik lengan saya sambil berkata, “Di sana ada
buku Uje, Lis!” Mendengar berita itu, saya langsung bertanya di mana buku itu.
Ketika kami tiba di rak yang terdapat buku Uje, buku tersebut sedang dipegang
seorang Mbak-Mbak yang kelihatannya juga tertarik membeli buku tersebut.
Sayangnya, buku yang dipegang Mbak-Mbak itu adalah
satu-satunya buku Uje yang tersisa di rak buku. Ketika itu juga saya spontan berkata,
“Mbak itu punya saya!”. Saya masih ingat ekspresi Mbak-Mbak yang memegang buku Uje seakan bilang, “Siapa lo?” tetapi untungnya teman saya yang badannya lebih
besar dari saya langsung membela saya. “Saya dulu, Mbak, yang lihat buku itu.
Saya sudah mau beli buat teman saya ini,” kata teman saya sambil menarik buku
tersebut. Sempat terjadi aksi saling rebut untuk satu buku Uje yang tersisa.
Tapi, Alhamdulillah, buku itu
akhirnya menjadi milik saya. ;)
Sekuntum Mawar untuk
Remaja, begitulah judul buku Uje yang saya “rebut” dari orang lain. Buku
beliau menjadi buku keislaman yang pertama kali saya baca dengan semangat
membara. Buku saku berkonteks Islami tersebut memuat tausiyah-tausiyah ala Ustaz
Gaul untuk remaja seusia saya saat itu. Di dalamnya saya mengerti banyak hal
tentang remaja dari kaca mata Islam, seperti pacaran, anak gaul, anak funky,
prestasi, valentine, sampai pada euphoria kelulusan, tahun baru, dan bolamania.
Deretan kata yang mengalir dari tulisan beliau benar-benar
menjadi Sekuntum Mawar untuk jiwa remaja saya yang haus pada madu-madu ilmu. Saya juga mulai memburu buku-buku Uje yang lainnya. Senandung Cinta untuk Remaja dan Ada Apa dengan Wanita?, masuk dalam buku-buku keislaman yang pertama saya punya. Tiap lembar tulisan beliau selalu saya baca berulang-ulang.
Jika sudah selesai membaca sampai tuntas, saya akan membacanya sekali lagi
sambil sesekali saya refleksikan pada kehidupan saya.
Begitulah perlahan-lahan dari tulisan beliau, kehidupan saya
berubah. Saya semakin semangat belajar agama. Saya semakin semangat mengikuti
Rohis, hingga saya mengenal sebuah jalan bernama “mentoring” dan semuanya
perlahan-lahan kehidupan saya semakin bermekaran bersama semangat menuntut ilmu
agama yang semakin merekah.
Ya, begitulah. Bermula dari kekaguman saya pada suara beliau
saat membaca al-Qur’an, saya mulai mendengarkan ceramah-ceramah beliau. Lalu Allah
SWT Membuka pintu hidayah-Nya, mengantarkan saya pada sebuah semangat untuk
terus dan terus mengenal Islam. Di tengah semangat ini, Allah antarkan saya
pada lorong-lorong terang keislaman yang bermuara pada sebuah taman ilmu
bernama “mentoring”. Di dalamnya, saya temukan kedamaian Islam, saya
implementasikan apa-apa yang saya tahu dari ceramah dan buku-buku beliau, saya dalami
kekaguman saya pada suara beliau dengan mulai belajar murotal al-Qur’an, dan
sejak kenaikan kelas VIII MTs saya mencoba berjilbab seperti yang diajarkan
Islam yakni jilbab yang tebal dan panjang.
Demikianlah Uje, Sang Ustaz Gaul, yang telah menjadi pemantik
dari cahaya kehidupan saya. Beliau datang begitu saja, memberikan ceramah pada
setiap orang, dari tua hingga muda. Dan, siapa sangka saya yang dulu urakan, tomboy,
dan nakal bisa menemukan pintu hidayah melalui suara indah dan ceramah beliau.
Begitulah kira-kira sekilas kisah saya yang menjadi alasan
mengapa saat mendengar kabar kepulangan beliau saya rela menangis di pundak
teman saya sampai mata saya bengkak.
***
Sampai saat ini, perjalanan hidup beliau semakin meyakinkan saya pada janji-janji Allah SWT, bahwa menjadi manusia yang lebih baik adalah sangat mungkin, bahkan jika kita berangkat dari titik kejahiliyaan terdasar sekalipun.
Melalui gaya ceramah beliau yang katanya “gaul” dan “membara”
saya belajar menyampaikan Islam tidak hanya bisa dengan kata-kata Langit, bahwa Islam dapat disampaikan dengan bahasa umat yang menjadi sasaran dakwah kita. Melalui
pola ceramah beliau saya belajar bahwa dakwah datang bukan hanya untuk kalangan
tua, bapak-bapak atau ibu-ibu majelis taklim, melainkan pemuda, orang-orang
yang masih awam, para begajulan, dan para sampah masyarakat juga layak
merasakan kedamaian Islam melalui pola dakwah yang damai.
Setidaknya, begitulah secara tidak langsung Allah SWT
menjadikan sosok beliau sebagai perantara antara kehidupan saya yang dulu
dengan kehidupan saya yang sekarang; saya yang masih terus belajar memahami
ajaran Allah dan Rasulullah yang penuh kedamaian, saya yang terseok-seok dalam
usaha perbaikan diri di setiap hari, saya yang terseok-seok mengamalkan ajaran
Allah dan Rasulullah, dan saya yang sampai saat ini memiliki tekad menyampaikan
Islam kepada kalangan-kalangan tak terjamah seperti anak jalanan, PSK, dan
anak-anak di penjara.
Di tengah kedukaan atas kepergiaan beliau, ada satu semangat
yang saya peroleh. Ketika kemarin saya “mengadu” kepada salah satu sahabat saya
di MTs yang tahu persis seberapa kagumnya saya pada beliau. Kemarin saya
berkata, “Ega, Uje meninggal. Lis belum sempat ketemu.” Teman saya menjawab, “Insya
Allah ketemu di surga, Lis,” lalu air mata ini kembali mengalir, mengamini :’)
Hari ini, saya pergi ke Istiqlal, masjid tempat
dishalatkannya jenazah beliau. Saat memasuki Istiqlal, yang ada dibenak saya adalah
keramaian masjid ini saat jenazah beliau disalatkan. Saya membayangkan ada di
antara ribuan jemaah yang menyalati beliau, mengatarkan beliau dengan
sebaik-baiknya penghormatan berupa doa.
Dalam doa saya setelah salat zuhur di antara jemaah Istiqlal, saya merasakan keramaian yang begitu nyata di sekeliling saya. Ada sebuah keramaian yang membuat saya merasakan bahwa saya benar-benar ada di antara ribuan jemaah yang menyalatkan beliau, mengantarkan doa-doa terbaik untuk beliau. Entah keramaian itu nyata atau tidak, suasana Istiqlal selepas salat zuhur menggiring air mata ini keluar dari kantungnya dan mengantarkan barisan-barisan doa untuk beliau di alam sana.
Saya percaya, bukan hanya saya Si Urakan yang menemukan
jalan-Nya berkat perjalanan dakwah Ustad Jefri. Masih banyak Si Urakan lainnya
di luar sana yang insya Allah menjadi jauh lebih baik, bahkan lebih baik
daripada saya.
Teruntuk Ustaz yang telah menginspirasi saya untuk menjadi
pribadi lebih dan lebih baik lagi, terima kasih atas kisah hidup Ustaz yang membuka
mata dan hati saya. Tiada sebaik-baiknya balasan bagi Ustaz yang telah menjadi
jalan perubahan positif dalam titik kritis masa remaja saya selain doa-doa
terbaik saya. Semoga Allah melapangkan dan menyinari kubur Ustaz. Semoga Allah
Memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Semoga Ustaz tetap menjadi Sekuntum Mawar yang senantiasa mekar di taman surga-Nya. Semoga kelak saya bertemu Ustaz di surga-Nya. Amin.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘aafinii wa fu’anhu :’)
Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan tabahan dan
kelapangan hati. Amin.
(*)Tulisan ini telah dipublikasikan di annida-online.com
Serpihan Cinta Luar Biasa dari SLB C Cipaganti
Bismillahirrahmanirrahim
"Menjadi guru pendidikan khusus, bukan sekadar menjadikan anak mengerti
apa yang kita ajarkan. Menjadi guru pendidikan khusus adalah belajar bersikap
adil pada ciptaan Allah SWT, memanusiakan manusia yang katanya tak sempurna,
memanusiakan manusia yang katanya tak seharusnya dilahirkan ke dunia."
(Lisfatul Fatinah
Munir)
Kurang lebih, begitulah yang saya pahami selama berkunjung
ke SLB C Cipaganti, Bandung, pada semester lalu. Mulanya, kunjungan ini adalah
salah satu tugas saya sebagai mahasiswi semester III Pendidikan Luar Biasa UNJ.
Tapi, rasanya sebuah tugas takan berarti apa-apa jika hanya sebagai penuntasan
matakuliah tanpa ada yang diserap di otak hingga hati kita. Oleh karena
itu, dalam perjalanan menuju SLB C
Cipaganti ini saya tekadkan, bahwa harus ada pemahaman baru dan energi baru
dalam diri dan hati saya untuk terus mengabdikan diri pada pendidikan
Indonesia, khususnya untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Mengapa SLB C Cipaganti
Bandung?
Ada banyak SLB di
Jakarta mulai dari yang berkualitas standar hingga di atas rata-rata. Lantas,
mengapa saya dan teman-teman memilih SLB C Cipaganti yang letaknya cukup jauh
dari Ibu Kota, yakni di Bandung, Jawa Barat?
Dipilihnya SLB C
Cipaganti sebagai SLB yang kami kunjungi karena SLB C Cipaganti merupakan SLB
yang pertama kali didirikan di Indonesia. SLB C Cipaganti Bandung merupakan SLB
peninggalan kolonial Belada yang berdiri pada tanggal 29 Mei 1927 yang
didirikan oleh Dr. A. Kits Van Heijningeen, beliau adalah orang Belanda degan
Warga Negara Jerman. Nama awal sekolah ini adalah Folker School yaitu salah
satu sekolah untuk anak buta yang bernama Blinden
Institut dan sekolah anak bisu-tuli dengan nama Dotstemmen Institut. Kemudian barulah
SLB ini diperuntukkan untuk anak tuagrahita yang mereka sebut sebagai anak
cacat mental. Tahun 1927-1952 sekolah ini hanya khusus untuk orang Belanda
saja, anak pribumi dilarang untuk bersekolah disini, baru pada tahun 1953
sekolah ini dibuka untuk umum, dan warga negara Indonesia boleh bersekolah
disini.
Pada awalnya
sekolah ini bertempat di Tamansari No. 62 Bandung, dan berada di bawah naungan
PPLB. Sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Rakyat Latihan Luar Biasa
(SRLLB). Hal ini dikarenakan sekolah dipakai untuk praktek siswa-siswa Sekolah
Guru Pendidikan Luar Biasa Bandung. Pada saat itu, 1954, SLB ini dikepalai
seorang Belanda bernama Van Vught. Sekolah ini banyak mengalami perubahan dari
waktu ke waktu dan akhirnya sekolah ini menjadi Sekolah Luar Biasa (SLB) C
dibawah naungan Yayasan Pendidikan Luar Biasa (YPLB).
Kurang lebih demikianlah mengapa saya dan
teman-teman memilih berkunjung ke SLB C Cipaganti. Selain karena SLB C
Cipaganti merupakan SLB pertama di Indonesia, kami juga ingin mengetahui lebih
jauh lagi apakah sistem pendidikan di SLB C Cipaganti ini telah cukup baik
hingga dapat diadaptasi di SLB-SLB yang ada di Jakarta.
Menengok
Tiap Sudut SLB C Cipaganti
Berkeliling SLB C Cipaganti, tidak berarti
berkeliling melihat bilik-bilik kelas yang berderet dan membosankan. Di SLB C
Cipaganti, terdapat banyak ruangan keterampilan untuk anak, meskipun kondisinya
cukup sederhana. Setiap kelas yang kami kunjungi rata-rata berisi 1-2 dengan
jumlah murid 5-7 orang.
Ada satu kelas yang membuat saya terkesan.
Kelas ini, kalau tidak saya, setara dengan kelas-kelas di Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD). Saat saya memasuki ruangan, anak-anak di dalamnya berlarian dan
mulai menarik saya serta beberapa teman yang bersama saya.
Saya tertarik dengan salah seorang anak
perempuan di dalam kelas dengan rambut dikuncir kuda dan sepatunya yang
terlepas. Saya lupa siapa nama anak ini. Ketika saya melihatnya dan tersenyum,
dia langsung menghampiri saya dan menarik tangan saya untuk masuk ke area
bermain. Saya mengikuti anak itu, lalu saya duduk di atas karpet warna-warni.
Anak itu terus melihat saya hingga saya
membuka dialog. “Hai, nama kamu siapa?” tanya saya sambil tersenyum dan
membelai rambut panjangnya. Anak ini hanya tersenyum, tidak menjawab.
Lalu, mata anak ini mengarah kepada poket
yang saya bawa. Di dalam poket tersebut ada kamera. Melihat anak itu sangat
tertarik dengan poket yang saya bawa, saya langsung mengeluarkan isinya dan
menjelaskan, “Ini kamera, bisa buat foto-foto. Kamu mau difoto?”
Mendengar penjelasan saya anak ini tertawa
dan melompat, lalu mengangguk seakan memahami pertanyaan saya. Kemudian saya
mengambil foto anak ini beberapa kali.
Ciuman
Tak Terduga :)
Saat saya sudah asik bersama anak
berkuncir kuda ini, tiba-tiba seorang anak perempuan penyandnag Down Syndrome
yang –kalau tidak salah– namanya Putri. Dia memberikan sebuah benda yang daya
tidak tahu benda apa itu. Karena bingung saya bertanya, “Ini untuk Kakak?”
Putri menjawab dengan mengangguk. Lalu saya bertanya lagi, “Benda apa ini?” Putri
tidak menjawab apa-apa, dia hanya tertawa malu-malu.
Karena saya masih bingung dengan benda yang diberikan Putri, saya sempat memerhatikan benda itu sekitar 10 detik.
Saat saya hendak bertanya lagi pada Putri, tiba-tiba Putri mencium pipi saya.
Terkejut! Saya nyaris melompat, tapi saya langsung terkekeh dan tersenyum
ketika Putri langsung berlari meninggalkan saya setelah dia mencium pipi saya
:)
Rizal dan Sembilan
Jahitan di Tangan
Di ruangan kelas lainnya, seorang guru memperkenalkan satu nama
kepada saya dan teman-teman. Nama anak yang disebutkan adalah Rizal, seorang
disabilitas intelektual yang selalu impulsif. Pertama kali masuk ke SPLB C
Cipaganti, Rizal tidak mau masuk. Di luar kelas Rizal justru sering memanjat
pohon, memetik segala sesuatu yang ada di pohon, lalu menimpukkan yang dia
petik kepada siapa saja yang ada di bawahnya.
Di SPLB C Cipaganti, Rizal dikenal sebagai murid yang sangat
sering memecahkan kaca. Emosinya sering meledak dengan atau tanpa pemicu. Jika
tanpa pemicu, Rizal hanya berdiam diri sendirian. Lalu, tiba-tiba anak ini
meninju kaca yang ada di dekatnya hingga pecah. Sedangkan jika disertai pemicu,
biasanya dipicu oleh temannya yang menjahili dan Rizal tidak senang.
Rizal sempat beberapa kali dibawa ke rumah sakit karena
kebiasaannya memecahkan dan menonjok kaca. Bahkan, pernah juga tangan Rizal
dijahit sebanyak sembilan jahitan karena dia menonjok kaca kelas.
Untuk kasus ini, guru memberikan penanganan dengan mengobservasi terlebih dahulu emosional Rizal. Setelah itu, hal-hal yang diduga merupakan pemicu emosional dan impulsif Rizal harus segera dihindari.
Ruangan
Pemanusiaan
Keluar dari ruangan di atas, saya melanjutkan ke ruangan
selanjutnya yang tidak jauh berbeda dengan ruang kelas SLB pada umumnya. Di
ujung koridor, masih di wilayah ruangan kelas, terdapat satu ruangan yang lebih
besar dan lebih ramai. Saya melangkah ke sana dengan feeling “saya sedang
melangkah ke ruangan kejutan”.
Surprise! Pemandangan pertama yang menyambut saya dan
teman-teman ada sekitar sepuluh murid SLB dengan usia rata-rata di atas 17
tahun yang sedang duduk di bangku membentuk lingkaran. Di antara sepuluh murid
tersebut, ada langsung menyambut kami dengan senyuman, menghampiri kami untuk
bersalaman, ada yang takut dan menjerit, bahkan ada yang tidak acuh sambil
melakukan aktivitasnya sendiri, yakni memainkan air liurnya yang membanjiri dua
buah meja di depannya.
Di sisi lain ruangan tersebut terdapat sekumpulan murid,
yang sepertiya bukan murid dewasa yang fisiknya lebih mirip orang tua
dibandingkan remaja. Empat orang murid dewasa ini duduk berbaris sambil
berkutat dengan sekumpulan bola-bola warna-warni yang diamplasnya hingga
bersih. Saya piker, keempat murid ini sudah berusia melebihi paruh baya,
melihat kulit mereka yang kendur, suara mereka yang berat, dan uban yang muncul
di antara rambut hitam mereka.
Untuk kesekian kalinya, saya mengedarkan pandangan ke
sekeliling ruangan ini. Ruangan terakhir ini benar-benar berbeda dari yang
lainnya. Saya menyebut ruangan ini sebagai Ruang Pemanusiaan, karena di dalam
ruangan ini murid-murid SLB C Cipaganti diasah menjadi manusia.
Umumnya, Ruang Pemanusiaan ini disebut Ruang Keterampilan.
Di dalamnya terdapat beraneka aktivitas keterampilan, seperti menjahit,
menyulam, mengamplas, dan membuat sandal
dari limbah karet.
Menurut salah seorang guru yang berjaga di Ruang Pemanusiaan
ini, ruangan ini diperuntukkan kepada murid yang sudah lulus sekolah tetapi
tidak dibawa pulang. Di ruangan ini, murid-murid ini diajarkan aneka keterampilan
seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
Dari sekian banyak murid yang ada di dalam ruangan tersebut,
saya tiba-tiba tertarik pada dua sosok tua yang menurut saya memiliki karakter
paling menonjol. Dua murid tua tersebut bernama Hasni dan Edy. (Maaf, karena
murid-murid ini menyandang disabilitas intelektual dan selalu merasakan diri
mereka adalah bagian dari murid, mereka tidak pernah menyebut diri mereka “Ibu”,
“Bapak”, “Mbak”, atau “Mas”. Selain itu, keterbatasan inteletual mereka
menjadikan mereka bersikap seperti anak-anak di usia yang sudah sangat dewasa)
Hasni, Si Penjaga Bel
Sekolah
Nama murid tua ini adalah Hasni. Beliau sudah tinggal di
asrama SLB C Cipaganti sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Hasni
kini bertugas sebagai penjaga bel. Tugas ini bukanlah tugas yang diberikan oleh
guru SPLB C Cipaganti, melainkan tugas yang “dipilih sendiri”.
Hasni memang suka sekali menjaga bel. Menurut informasi yang
diberikan kepala SPLB C Cipaganti, Hasni memang individu yang memiliki ikatan
emosional dengan lonceng di SPLB C Cipaganti. Kendati Hasni tidak tahu aturan
jam, Hasni selalu memukul lonceng tepat waktu setiap hari, setiap jam masuk
sekolah, pergantian jam pelajaran, dan jam pulang. Biasanya 10-15 menit sebelum
lonceng dibunyikan, Hasni sudah duduk rapi di dekat lonceng tersebut. Jika ada
orang lain yang hendak memukul lonceng, Hasni akan bersikap impulsif dan marah.
Untak menghadapi emosi dan tingkah laku Hasni yang berbeda
ini, pihak sekolah akhirnya mempertahankan bel lonceng ini dan tidak beralih ke
bel elektronik. Selain itu, tugas membunyikan lonceng sepenuhnya dipercayakan
kepada Hasni.
Edy, “Murid Tua” yang
Kurang Perhatian
Edy, yang berkepala setengah botak, terlihat dari belakang sedang berbicara dengan temannya |
Edy adalah murid yang sudah lulus dari SLB C Cipaganti, tapi
masih menetap di asrama. Edy yang
berasal dari Jakarta, kini berusia 45 tahu. Orangtuanya cukup mampu, tapi
kurang memerhatikannya. Hampir kurang
lebih tiga bulan sampai observasi ini dilakukan, Edy mempunyai kebiasaan
tingkah laku yang menyimpang, yaitu mencuri. Benda-benda yang dicuri Edy
berbagai macam, mulai dari pensil, pulpen, buku, sandal jepit, baju, hingga
makanan.
Berdasarkan analisis guru SLB C Cipaganti, Edy melalukan
penyimpangan tingkah laku ini karena kurangnya perhatian orangtua akan
kebutuhan Edy. Individu hambatan intelektual seperti Edy hanya tahu bahwa
dirinya perlu pensi, pulpen, dan buku untuk belajar, perlu makanan untuk
bertahan hidup, dan perlu sandal untuk keluar ruangan. Sehingga, jika kebutuhan
itu tidak dimiliki, dia akan mengambil benda yang di dekatnya tanpa tahu bahwa
itu punya orang lain dan tanpa mengetetahui bahwa dia mencuri.
Untuk mengatasi kasus ini, guru memberikan pemahaman dasar
kepada Edy bahwa benda-benda yang diambilnya bukanlah miliknya, melainkan mlik
orang lain. Selain itu, guru kerap memberikan punishment atau hukuman.
Hukumannya adalah jika Edy mencuri satu barang, maka Edy harus melakukan
sesuatu, seperti mengamplas benda yang kasar, dan lain sebagainya.
Serpihan Cinta yang
Berhamburan
Selalu ada hadiah baru yang Allah berikan di setiap
terjaganya matahari dan selalu ada kejut kejutan baru yang Allah berikan di
setiap kesempatan bersama anak-anak berkebutuhan khusus, pun itu ketika saya di
SLB C Cipaganti.
Kejutan demi kejutan datang mulai dari langkah pertama di pintu
gerbang hingga di langkah-langkah berat menuju pulang. Murid canti berkuncir
kuda, Putri, Rizal, Hasni, dan Edy, hanya sehitungan jari dari sekian banyak
kejutan yang saya dapatkan di SLB C Cipaganti. Dan lagi-lagi, saya selalu
diingatkan akan dua hal dalam dunia yang luar biasa ini; kasih sayang dan
ketulusan.
Semua guru pasti harus memiliki modal kasih sayang kepada
murid-muridnya. Tetapi untuk menjadi guru anak-anak spesial, butuh kadar kasih
sayang yang spesial pula, yakni kadar luar biasa besarnya. Tak sekadar mengejar
ketuntasan SK, menjadi jadi guru dari anak-anak berkebutuhan khusus berarti
menjadi makhluk Allah SWT yang senantiasa menyayangi ciptaan-Nya apa adanya
dengan kasih sayang yang tidak sekadar ada. Butuh kadar luar biasa besar agar
tekad untuk menjadi guru anak-anak berkebutuhan ini tetap berjalan dalam
koridor-Nya.
Dan tak sekadar kasih sayang dengan kadar besar, pastinya.
Masih ada satu hal yang juga diperlukan jauh lebih besar kadarnya, yaitu
ketulusan –karena memang keikhlasan tidak bisa diukur oleh manusia. Ketulusan
yang tak kalah luar biasa besar kadarnya juga harus senantiasa mengiringi
langkah kami, saya dan teman-teman calon guru anak-anak berkebutuhan khusus.
Tak hanya guru yang hendak memiliki ketulusan luar biasa ini, orang tua juga
memerlukannya. Teramat sangat membutuhkannya.
Ketika ketulusan yang sejatinya harus ada malah menghilang,
akhirnya maka tak akan jauh berbeda dengan yang dialami Si Murid Tua, Edy, yang
ditelantarkan dan lambat tapi pasti tumbuh menjadi murid yang berusaha bertahan
hidup menurut caranya sendiri.
Jika saja ketulusan itu sudah ada sejak “hadiah istimewa”
ini datang, niscaya tidak aka nada kasus seperti yang terjadi pada Edy, ataupu
yang lebih buruk lagi. Lantas apakah kita harus saling menyalahkan? TIDAK.
Tidak ada satu pihakpun yang harus disalahkan, yang ada hanya pihak-pihak yang
harus diingatkan akan ketulusan yang terkikis atau mungkin hilang. Saling
memberikan pemahaman atas keberterimaan yang berkurang atau mungkin hilang.
Masih banyak lagi serpihan cinta yang berhamburan di setiap
derap langkah menuju pengabdian pada pendidikan Indonesia, terutama pendidikan
khusus. Semoga kenangan dalam mengunjungi SLB C Cipaganti ini menjadi pemantik
yang tak pernah habisnya untuk menyalakan sumbu semangat dalam mengabdikan diri
pada pendidikan khusus. Amin :)
Beginilah Politik (Pengalaman Menjadi Ketua KPU)
Pada kesempatan kali ini saya ingin bernostalgia dengan kenangan saya di saat saya masih jadi "bocah ingusan" di kampus. Ini salah satu tulisan lama saya tentang pengalaman saya di dunia politik kampus. Mau tahu bagaimana serunya di politik kampus? Ini salah satu pengalaman saya saat menjabat sebagai Ketua KPU Jurusan PLB UNJ periode 2011 untuk memilih jajaran pemimpin yang menjabat pada periode 2012-2013. Check it out, Guys! ^_*
Siapa
yang tidak kenal politik? Banyak yang mengatakan bahwa politik itu sesuatu yang
kotor dan tempat rawan untuk mengetes keimanan seseorang. Entahlah, saya belum
memahaminya selama saya tidak turun langsung dalam dunia itu. Tapi, yang saya
tahu politik yang seharusnya adalah bersiasat untuk memperoleh kekuasaan untuk
menyejahterakan banyak orang, bukan sekelompok orang.
Nah,
membahas politik ini, pasti banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor,
isinya orang-orang bermuka dua, dan banyak lagi label negatif lainnya. Ya, saya
juga pernah beranggapan begitu, bahkan saya sempat bertekad untuk sama sekali
tidak ingin bersentuhan dengan politik. Sampai-sampai setiap teman mengajak
berdiskusi tentang politik, yang saya lakukan hanya menyimak dan senyum-senyum
sendiri sambil mengomentari dalam hati. Akan tetapi, siapa yang menyangka bahwa
beberapa bulan lalu ternyata saya dengan sengaja menyeburkan diri ke dalam
ranah politik. Dan saya, bukan lagi berperan sebagai pendengar yang
senyum-senyum sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari tokoh utama
bergeraknya politik. Dari pengalaman inilah sedikit demi sedikit saya mulai
menyadari betapa perlunya kita menengok sedikit sisitem politik di sekitar
kita, terutama bagi kamu yang merasa berhati bersih.
Setiap bulan November-Desember, di kampus selalu saya ada Pemilu Ketua BEM (Badan Eksekutif
Mahasiswa) mulai dari tingkat jurusan hingga universitas. Sama seperti sistem
Pemilu yang ada di Indonesia, semuanya berjalan dengan demokratis dan dimotori
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Seperti yang saya sampaikan di awal, ini adalah pengalaman saya saat menjabat sebagai Ketua KPU 2011. Kurang
lebih dua bulan sebelum Pemilu berjalan, kabar tentang pembentukan KPU 2011
sudah berdatangan lengkap dengan selentingan cerita tentang KPU tahun
sebelumnya. Mulai dari suka duka menjadi anggota apalagi ketua KPU, hingga
gejolak konflik yang ada antara KPU dengan orang-orang non-KPU.
Entah
kenapa, meskipun lebih sering mendengar cerita tentang tidak enaknya menjadi
anggota atau ketua KPU, justru saya sangat tertarik untuk menjadi bagian dari
KPU. Bahkan, dalam buku agenda hitam yang saya punya, saya sudah menulis
“Menjadi Ketua KPU” sebagai salah target yang akan saya capai pada 2011
lalu.
This is time to make my dream come true! Sebelum Pemilu, pendaftaran menjadi
anggota KPU pun dibuka. Bismillah, semoga bisa menjadikan
pemilu tahun ini jauh dari tangan-tangan nakal! Meski sedang tidak ada di
kampus, dengan bantuan seorang teman, saya mengisi pendaftaran anggota KPU dan
merekomendasikan diri sebagai ketua KPU.
Seleksi
untuk menjadi ketua KPU pun saya jalani, mulai dari wawancara, studi kasus,
hingga pemungutan suara untuk pemilihan ketua KPU. Syukur Alhamdulillah, teman-teman
memercayakan posisi ketua KPU kepada saya. Dengan hati masih penuh gejolak
(karena takut salah mengambil keputusan), saya mulai merangkul teman-teman saya
untuk turut berkontribusi dalam mengurus pemilu.
Belum
satu jam saya resmi menjadi ketua KPU, saya sudah merasakan perubahan drastis
dari sekitar saya. Tiba-tiba berbagai sms masuk menyatakan selamat dengan doa
agar “selamat”, ada juga yang mengucapkan selamat dan ucapan semangat agar saya
tidak “kaget” ke depannya. Dan yang membuat saya paling terkejut, banyak mata
yang mulai memandang saya dengan cara yang berbeda. Bahkan, sempat saya mendengar
langsung seorang senior membicarakan saya dengan suara berbisik sambil
memerhatikan saya dari ujung kepala hingga ujung kaki saya. Gila! Angker bener
ini posisi saya, hehe, begitu respon spontan saya dalam menanggapi perubahan
situasi di sekitar saya.
Menjadi
ketua KPU, ternyata memang cukup menyita waktu, tenaga, dan pikiran saya.
Hampir setiap hari saya harus bolak-balik gedung tempat saya kulaih ke Majelis
Tinggi Mahasiswa (MTM), yang jaraknya lumayan jauh, untuk mengikuti perkembangan
administratif pemilu hingga tingkat universitas. Lebih dari itu, saya bahkan
harus meninggalkan perkuliahan selama seharian untuk mengikuti serangkaian
seminar kepemiluan bersama beberapa orang anggota DPR dan Ketua KPU Pilkada DKI
Jakarta. “Pembolosan” ini saya lakukan demi pencerdasan bagi diri saya sendiri,
agar saya mengerti secara gamblang apa dan bagaimana seharusnya KPU yang
independen itu, juga agar saya tahu sebatas mana kekuasaan saya sebagai ketua
KPU yang dituntut tetap independen meski di bawah naungan Lembaga Legislatif. Masya Allah! Ini konsekuensinya, saya harus bisa!
Begitulah saya berkata berulang-ulang kepada diri saya sendiri.
Seluruh
rangkaian acara pemilu pun berjalan, mulai dari pendaftaran calon ketua hingga
pencoblosan dan perhitungan suara. Kurang lebih satu setengan bulan saya dan
rekan-rekan yang turun ke dalam KPU menjalankan amanah, dan semuanya berjalan
bukan tanpa rintangan. Subhanallah,
begitu banyak “serangan” yang saya dan rekan-rekan KPU dapatkan. Dari
pengalaman inilah saya mengerti siapa saja orang yang benar-benar bersih dan
siapa yang bermuka dua. Banyak sekali cerita lucu (saya katakan lucu karena
sikap beberapa pihak yang menekan saya justru membuat saya menertawakan mereka
karena sikap angkuh yang kekanak-kanakannya), menyebalkan, dan bahkan beberapa
hal yang membuat saya menangis semalaman.
Pertama,
mulai dari pencalonan ketua KPU. Seorang senior menceritakan kepada saya bahwa
satu dari dua calon ketua KPU yang bersaing dengan saya merupakan “orang
suruhan” senior lain yang tidak menginginkan saya menjadi ketua KPU. Oke, no problem. Saya cuma mau fokus dengan target saya, menjadi Ketua KPU.
Kedua,
hampir setiap hari handphone saya dipenuhi oleh sms-sms tidak jelas
dari orang-orang yang kurang kerjaan. Setiap bangun tidur, pasti ada saja sms
dengan isi omelan, teguran, bahkan kata-kata yang menjatuhkan dari senior. Dan
sms-sms ini tidak 2-3 sms perhari, bahkan bisa belasan. Pilihan aman yang saya
ambil menghadapi ini biasanya berpura-pura tidak menerima sms semacam ini :P
Hehe, tapi memang dasar sepertinya mereka mau banget saya tanggapi, kalau tidak
saya balas pasti sms berulang-ulang. Sampai saya hapal, semua sms pasti
diakhiri dengan kalimat, “Jangan kurang ajar kamu! Saya bisa adukan kamu ke
Legislatif!” Duh, terserah deh ya, Jeung! :P
Ketiga,
sikap teman-teman sekelas saya juga jadi berubah. Seperti yang sudah saya
katakan di depan, di masa ini semua topeng terbuka. Tanpa saya kulik-kulik,
satu per satu dari mereka membuka identitas mereka sendiri. Mulai dari mereka
yang condong kepada mahasiswa pergerakan, golongan kanan (mahasiswa aktivis dakwah),
hingga teman sekelas yang golongan kiri yang dengan terang-terangan di hadapan
saya menyatakan ketidaksukaannya kepada saya yang secara dzohir-nya berjilbab
panjang dan identik dengan dakwah. Hasilnya, terbukanya satu per satu identitas
teman-teman saya juga berdampak pada kinerja KPU.
Memang,
dari awal menjadi ketua KPU saya sudah menegaskan kepada rekan-rekan saya
di KPU untuk lebih baik keluar dari KPU sekarang juga daripada di kemudian hari
ketahuan membawa “hiden mission”. Bahkan, peringatan ini saya ulang-ulang
selama beberapa minggu pertama setiap sebelum memulai rapat.
Ya, di
sini saya benar-benar frontal dan bisa dibilang galak. Tapi ini saya
lakukan untuk menghindari kecurangan yang sering terjadi di tahun-tahun
sebelumnya. Dan, hasilnya ternyata mujarab. Satu per satu wajah-wajah yang
sudah saya “tandai” sebagai orang yang saya curigai sebagai “suruhan”
mengundurkan diri dan mengakui “asal usul” keberadaan mereka di KPU di hadapan
seluruh rekan-rekan KPU. Biarlah, yang penting mereka mau mengakui dan
(mungkin) menyadari bahwa misi tersembuyi yang mereka bawa adalah tindakan yang
salah.
Keempat,
satu ketidaknyamanan yang teramat sangat ketika saya harus berhadapan dengan
“penguasa” yang bersiasat menggagalkan KPU. Seorang “penguasa” dengan nyamannya
memanipulasi kondisi demi menggagalkan seorang kandidat (yang menurut saya
cukup kuat). Sebelum mengetahui siapa sebenarnya “penguasa” ini, saya masih
bisa bersenda gurau dan berbincang dengannya. Tapi setelah mengetahui sikap
aslinya di ranah politik, hal yang saya lakukan hanya beristighfar dan menangis
di hadapan seorang rekan KPU sekaligus sahabat saya sejak tsanawiyah. Entah,
dari sini saya menyadari betapa kecerdasan dan posisi terhormat seseorang belum tentu digunakan
dalam hal yang baik.Na’uudzubillah.
Kelima,
mungkin ini puncak dari terforsirnya tenaga dan pikiran saya. Di tengah
perjalanan menjadi ketua KPU, saya sakit gejalan tipus dan diharuskan beristirahat
total selama 14 hari. Tapi karena memang badung, saya masih memaksakan diri
untuk ke kampus dan hanya beristirahat di rumah selama 10 hari (nambeng!)
:D
Dan,
kini tugas saya sebagai ketua KPU selesai sudah. Dengan berbagai konflik,
mispersepsi, dan pressure yang saya terima, ada banyak sekali pelajaran yang
tidak bisa saya dapatkan di luar KPU. Dan, menjadi ketua KPU sungguh pengalaman
yang tak tergantikan. Meski masih dalam lingkup universitas, tapi saya bisa
menerka-nerka seperti apa kiranya politik yang sesungguhnya di negeri ini. Toh,
bukankah banyak yang bilang bahwa kampus adalah miniatur negara. Bahwa gejolak
yang ada di kampus, sudah atau akan terjadi juga di dalam negara.
Tapi,
sedih rasanya jika memang politik adalah seperti yang sudah saya alami. Di lingkup
kampus yang “tidak seberapa” amanahnya,
mereka sampai hati bisa melakukan hal-hal buruj seperti mengirim seseorang
untuk membawa hiden mission dalam KPU. Atau sikap antar golongan yang saling
tuding, menyalahkan, dan menyatakan bahwa si A, si B, bertindak curang tanpa
bukti logis. Na’uudzubillah!
Yang
membuat saya lebih sedih lagi, yang berperan di sini adalah mahasiswa,
pemuda-pemudi berlabelkan kaum intelektual dan agen perubahan. Perlu ada "pencerdasan iman" di sini, saya pikir. Di mana kecerdasan tidak melulu sampai
pada wawasan yang luas dan kemampuan mengomentari segala kebijakan penguasa, melainkan
juga dibutuhkan kecerdasan hati untuk mengontrol ke mana kecerdasan otak akan
diarahkan. Ke posisi baik atau buruk.
Dan, ini
berbicara tentang politik. Yang menurut Aritoteles dalam buku Nichomachen Ethics, politik adalah puncak dari segala ilmu. Karena
peran utama politik adalah menyelenggarakan kehidupan bernegara dengan tujuan
untuk menciptakan tujuan yang baik bagi individu dan masyarakat. Semua ilmu,
oleh karenanya melayani kepentingan politik dengan tujuannya yang begitu mulia.
Ya,
begitu memang seharusnya, politik memiliki tujuan mulia untuk individu dan
masyarakat, sebagaimana Ibu Wanda Hamidah katakan dalam Konferensi Wanita
Indonesia yang saya hadiri akhir tahun 2011 lalu. Beliau menyatakan bahwa politik yang sesungguhnya seperti yang diajarkan
Islam. Yakni bersiasat mencapai kekuasaan untuk menciptakan kebaikan bagi
seluruh kalangan masyarakat, tanpa pandang ras, suku, bahkan agama, ingat
tujuan utama politik itu kesejehteraan seluruh (Bu Wanda mengulanginya lagi)
seluruh kalangan.
Dan, sikap
orang-orang yang meneror dan menekan satu pihak untuk menaikkan pihak lain yang
saya rasakan saat menjabat menjadi Ketua KPU merupakan contoh yang jauh dari ketegori
seharusnya sebagai mahasiswa. Aneh, kenapa tidak malu dengan label
mahasiswanya. Duh, tak terbayang bagaimana jadinya jika sikap ini terbawa
hingga ke jenjang politik yang lebih tinggi lagi.
Setelah
dipikir-pikir, memang benar begini adanya politik. Di ranah yang sempit saja
memang sudah tercium kekotorannya dan kentara sekali isinya disominasi oleh orang-orang
yang mengutamakan kekuasaan tanpa diiringi tekad bertanggung jawab kepada apa
yang dikuasainya.
“Kita tahu politik itu kotor dan diisi oleh banyak
orang kotor, jadi kalau ada di antara kita yang merasa bersih masuklah ke dalam
politik dan bersihkan semua kotoran itu!”
(Wanda Hamidah dalam Konferensi Wanita Indonesia 2011)
Semoga
pengalaman ini bisa menjadi bekal untuk pandangan hidup kita selanjutnya :)
Terimakasih
juga untuk teman-teman yang sudah membaca tulisan yang lebih mirip curhatan ini
:)
Membangun Sikap Inklusif dan Antidiskriminasi Melalui Penerbitan Majalah dan Situs Online Diffa
Tulisan saya kali ini merupakan resume dari seminar yang pernah saya ikuti satu tahun lalu, 29 Maret 2012. Seminar ini diadakan Majalah Diffa di Auditorium Daksinapati Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Seminar yang dihadiri mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UNJ ini diisi oleh tiga narasumber, yakni Dr. Asep Supena (Dosen PLB UNJ), Nestro Rico Tambunan (Pendiri Majalah Diffa), dan Kang Jaka (pengandang disabilitas pengelihatan). Berikut ini hasil resume yang sempat saya catat. Semoga bermanfaat ^_*
Pemaparan tentang Inklusif
Menurut penjelasan Dr. Asep
Supena, secara sederhana inklusif mencakup tiga hal. Yakni, melawan eksklusif,
kebersamaan, dan tidak membedakan. Maksudnya, inklusif merupakan kebersamaaan
dalam hidup yang kita sebagai manusia diperlakukan dan memperlakukan segalanya
dengan adil, di mana perbedaan yang terletak di antara satu sama lainnya tidak
untuk dibeda-bedakan.
Jika kita perhatikan lebih dalam
lagi, yang membatasi seorang disabilitas untuk tidak dapat melakukan apapun
bukanlah keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini lebih disebabkan lingkungan
yang membatasi, tidak mendukung, dan menyugestikan hal-hal yang negatif.
Penjelasan di atas secara lebih
luas menyatakan bahwa inklusif seharusnya tidak hanya terjadi dalam pendidikan,
tapi juga terjadi pada segala aspek kehidupan seperti lapangan pekerjaan, media
informasi dan komunikasi, transportasi, dan banyak fasilitas lainnya. Apabila
seluruh aspek ini sudah inklusif, niscaya para penyandang disabilitas tidak
akan memiliki kendala yang berarti dengan dari keterbatasan yang dimiliknya.
Kesalahan Tindakan kepada Disabilitas
Kendati berbagai hal dan
berabagai pihak sudah meguasahakan inklusivitas dalam berbagai aspek, masih
tetap saja ada hal negatif yang salah ditindaki. Misalnya, berbagai kalangan
berbondong-bondong untuk membantu para penyandang disabilitas dengan memberikan
uang dalam konteks amal. Padahal, “kesusksesan” yang dimiliki pengandang
disabilitas bukanlah karena banyaknya bantuan yang datang, melainkan dukungan
dan peluang yang diberikan lingkungannya.
Konsep “Normal” dan Inklusif
Berdasarkan penjelasan Nestrto
Rico, pengadaan konsep “normal” dan “tidak normal” adalah pernyataan kemampuan
atau ketidakmampuan anak dalam situasi dan kondisi tertentu yang harus didukung
dengan cara yang sesuai dengan kemampuan dan ketidakmampuannya. Dengan
demikian, penginklusivan dalam segala aspek kehidupan dapat terealisasi dengan
sendirinya. (nir)
Siapa Itu Anak Autis?*
Sejak 1943, istilah autis dikenalkan oleh Leo
Kaanner. Hingga kini, istilah dan segala aspek yang bersangkutan dengan autis
telah menarik banyak perhatian dari banyak kalangan profesional, seperti
psikolog, psikiater, neurolog, dan tentu saja ortopedagog.
Sementara itu, seiring dengan banyaknya
perhatian yang tertunpah pada permasalahan anak autis, angka kejadian
terlahirnya anak autis di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam pendahuluannya pada buku Autism is Treatable, Dr. Kresno Mulyadi,
Sp.Kj., motivator keluarga berkebutuhan khusus, menyatakan bahwa kini angka
kelahiran anak autis di Indonesia mencapai 1 kasus dari 165 kelahiran.
Di balik meningkatnya angka kelahiran anak
autis masih banyak masyrakat, bahkan keluarga yang memiliki anak autis yang
belum memahami siapa sebenarnya anak autis dan bagaimana cara berinteraksi
dengan anak autis. Selain itu, tidak sedikit keluarga merasa kesulitan berinteraksi dengan anak autis.
Dengan Dunianya
Sendiri
Secara harfiah kata
autis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘aut’ yang
berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan
orientasi, arah, atau suatu keadaan. Berdasarkan pengertian ini Reber (1985)
dalam Trevarthen (1998) menyatakan bahwa
autis dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik
dengan dirinya sendiri. Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis
gagal bertindak dengan minat dengan orang lain, tetapi juga kehilangan beberapa
penonjolan perilaku mereka.
DSM-IV
Berbeda
dengan pengertian di atas, APA (American Psychiatric Association)
menetapkan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah seorang anak dapat
dikatakan sebagai anak autis. Kriteria tersebut dikenal dengan nama Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV). Berdasarkan
criteria DSM-IV, seorang anak dapat dikatakan mendang autis apabila:
1.
Memiliki minimal dua kriteria gangguan dalam interaksi sosial:
a.
Rendahnya kemamppuan berinteraksi
sosial melalui komunikasi nonverbal seperti kontak mata, ekspresi muka, dan
gerak tubuh.
b.
Tidak mampu berinteraksi sosial
dengan kelompok sebayanya.
c.
Tidak memiliki keinginan untuk
berbagi kesenangan, prestasi, perasaanya atau keingintahuannya dengan anak
lain.
d.
Kurang mampu melakukan hubungan
timbal balik dalam hubungan sosial dan emosional.
2.
Memiliki minimal dua kriteria
gangguan komunikasi:
a.
Terlambat atau tidakadanya
perkembangan kemampuan berbicara dan tidak ada usaha untuk mengimbangi
komunikasi dengan cara lain, seperti isyarat atau gerak tubuh.
b.
Jika bisa berbicara, kemampuan
berbicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi.
c.
Sering menggunakan bahasa yang
“aneh” dan berulang-ulang.
d.
Kurang mampu bermain dengan
permainan variatif, meniru, imajinatif, atau spontan.
3.
Memiliki minimal satu kriteria
tingkah laku dan pola yang sering diulang-ulang dalam kegiatannya.
a.
Rasa tertarik yang abnormal dari
segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang khas atau terbatas.
Misalnya, mengulang-ulang sebuah adegan dari video secara terus menerus,
berjalan tanpa henti membentuk lingkaran, dan lain-lain.
b.
Memiliki kebiasaan rutinitas yang
sering kali tidak bermakna apa-apa bagi orang lain.
c.
Memiliki rasa ketertarikan pada
suatu bagian saja dari benda.
d.
Sering melakukan gerakan-gerakan
tertentu yang khas dan berulang-ulang.
Dari
tiga kategori kriteria di atas, seorang anak dapat dikatakan autis apabila
memiliki jumlah akumulatif minimal enam kriteria.
Gejala di atas akan tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan apabila anak mengalami
autis infantile (autis sejak kandungan), gejala di atas sudah ada sejak bayi.
Autis
juga merupakan suatu konsekuensi dari perbedaan perkembangan otak yang kompleks
yang mempengaruhi banyak fungsi otak, seperti persepsi, intending, imajinasi,
dan perasaan. Dengan kata lain, autis dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan
dalam penalaran sistematis.
Dalam
suatu analisis mikrososiologikal tentang logika pemikiran anak autis dan
interaksinya dengan orang lain, Durig (1996) dalam Trevarthen
(1998) menyatakan bahwa anak autis memiliki kekurangan dalam membuat
penalaran, misalnya penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus menuju
kesimpulan umum atau sebaliknya.
Autism Spectrum Disorder
Anak
yang dideteksi memiliki gangguan autis tidak semuanya memiliki gejala yang sama. Jika
anak autis diibaratkan warna biru, maka warna biru itu bisa beragam spektrumnya
mulai dari biru muda hingga bitu tua. Dengan kata lain, setiap anak autis
memiliki kekhasannya masing-masing, dengan masing-masing gelaja yang unik dan
tidak pernah sama persis antar satu anak autis dengan anak autis lainnya.
Perbedaan yang ada
antar anak autis ini biasanya menandakan perbedaan tingkat gangguan yang ada
pada anak. Untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat ganguan anak autis, maka
muncullah istilah Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autis.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa anak autis adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan
otak yang kompleks dan signifikan (akan tetap seperti itu jika tidak ditangani)
yang mempengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku,
semua gelaja autis ini terjadi sebelum usia tiga tahun berdasarkan gejala ada
di DSM-IV. (nir)
(*) Tulisan ini pernah dimuat di kartunet.com
Ciptono, Menginspirasi Indonesia bersama Anak Berkebutuhan Khusus*
Banyak orang
yang mengandalkan rasa belas kasih untuk menunjukkan kepeduliannya pada Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Berbeda dengan langkah yang diambil kebanyakan
kalangan, profile muslim yang satu ini bergerak tak sebatas pada modal belas
kasihan, melainkan pada kesadaran bahwa ABK juga memiliki hak yang sama dengan
anak pada umumnya. Melalui kariernya, kini profil muslim yang satu ini fokus
berdedikasi untuk mengangkat ABK di mata masyarakat.
Adalah Ciptono,
seorang guru yang sangat mencintai dunia pendidikan berkebutuhan khusus dan
menjadikan dunianya sebagai ladang dedikasi dan manfaat untuk masyarakat. Pria
berusia 49 tahun ini sukses menginspirasi Indonesia melalui langkah kecilnya pada
pekerjaannya, yakni sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus atau guru SLB.
Kisah hidup pria
yang biasa dipanggil Pak Cip oleh rekan-rekannya ini sejalan dengan salah satu
firman Allah swt. yang tertera dalam surat at-Taubah ayat 105 yang berbunyi, “Dan
katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan’.”
Dari Garasi
hingga Sekolah 3 Hektar
Dokumentasi pribadi di SLB N Semarang |
Berangkat dari
sebuah tekad dan keinginannya untuk bertotalitas dalam mengabdikan diri pada
anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono memulai perjuangannya dari sebuah garasi
di rumahnya di Semarang. Di garasi inilah segala perjuangan dan kesuksesan
dimulai. Garasi di rumahnya digunakannya untuk membuka kelas belajar bagi
anak-anak berkebutuhan khusus. Tiga tahun lalu, garasi yang digunakannya untuk
mengajar masih dalam proses pengembangan untuk menjadi tempat yang layak
sebagai tempat belajar.
Di tahun yang
sama, Ciptono menerima undangan untuk menjadi bintang tamu di salah satu
stasiun televisi suasta yang mengekspose kegigihan Ciptono dalam mengajar.
Sejak saat itu, bala bantuan berdatangan, mulai dari perorangan hingga
pemerintah Jawa Tengah.
Saat ini, tempat
belajar yang semula hanya berupa garasi sudah berubah menjadi sebuah sekolah
seluas 3 hektar yang bernama SLB Negeri Semarang. SLB itu kini dilengkapi
dengan berbagai macam fasilitas kependidikan hingga terapi untuk anak-anak
berkebutuhan khusus. Tak hanya itu, SLB Negeri Semarang kini menjadi SLB
percontohan bagi SLB-SLB yang ada di Indonesia berkat kegigihan Ciptono dan
rekan-rekan dalam membangunnya.
Guru SLB adalah
Pilihan Terbaik Allah
Guru yang dulu
memiliki cita-cita menjadi dokter ini mendapatkan banyak inspirasi pada dua
kali kegagalannya dalam tes masuk kedokteran. Di usahanya yang ketiga kali,
Ciptono memutuskan memasuki dunia anak berkebutuhan khusus dan mulai membuka
mata dan hatinya atas kehendak Allah swt. “Allah tidak pernah memberikan apa
yang kita inginkan, tapi Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kita, “
tukas Ciptono dengan tegas.
Ciptono meyakini
bahwa Allah berkehendak dirinya menjadi guru SLB. Dengan kemauan yang keras,
dedikasi yang tinggi, akhirnya Ciptono bisa menjadi guru SLB dan dipercaya
menjadi kepala sekolah SLB N Semarang sejak 20006-sekarang. Hingga kini Ciptono
telah memegang sejumlah penghargaan karena dedikasinya bersama anak-anak
berkebutuhan khusus, mulai dari penghargaan nasional hingga internasional.
Bagi Ciptono
yang kini menghabiskan waktunya untuk menjadi seorang motivator, anak
berkebutuhan khusus bukanlah produk yang gagal, karena Allah tidak pernah
gagal. “Mereka tidak perlu dikasihani, tetapi perlu diberikan kesempatan. Tugas
mereka adalah memberikan inspirasi kepada yang lainnya,” ujar Ciptono.
Di satu
kesempatan Ciptono pernah mengatakan alasannya mengapa ia memiliki untuk
berkecimpung dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Saat diwawancarai di SLB N
Semarang, pria kelahiran Semarang ini mengatakan
bahwa anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih menjadi yang
termarjinalkan, sehingga belum menadapatkan perhatian yang luar biasa. Oleh
karena itu, Ciptono mencurahkan hidupnya khusus untuk anak-anak berkebutuhan
khusus.
Melahirkan
Anak-Anak yang Menginspirasi
Sudah banyak
anak-anak berkebutuhan khusus di bawah asuhan Ciptono yang tumbuh menjadi sosok
yang menginspirasi dan mengagumkan. Salah satunya adalah seorang gadis
disabilitas rungu (memiliki keterbatasan dalam pendengaran) bernama Eva yang
berhasil meraih juara 3 dalam lomba modeling se-Indonesia.
Posisi juara 3
yang diraih Eva memiliki kisah tersendiri. Berdasarkan pemaparan Ciptono,
jilbab yang dikenakan Eva menjadikannya menduduki juara 3. Akan tetapi meskipun
meraih juara 3 karena alasan jilbabnya, Eva tidak pernah menyesal dan justru
berkata, “Saya lebih bangga mempertahankan jilbab saya daripada mendapatkan
juara pertama tapi harus melepas jilbab.”
Indonesia
Menginspirasi
Sejak dikenal
masyarakat luas, Ciptono kini menggeluti aktivitas baru sebagai pembicara dan
motivator di sejumlah tempat di Indonesia. Sekarang Ciptono mendiri Indonesia
Menginspirasi, sebuah lembaga yang digunakannya sebagai tempat yang
menginspirasi banyak orang di Indonesia. Melalui anak-anak didiknya, Ciptono
mencoba menginspirasi banyak kalangan di negeri ini, mulai dari para guru,
orang tua anak berkebutuhan khusus, hingga para pejabat dan pengusaha.
berangkat dari
keprihatinan pada publik yang semberaut lahirlah Indonesia Menginspirasi ini.
Dengan mengajak anak berkebutuhan khusus yang berprestasi sejak 2009, Indonesia
Menginspirasi telah mendapatkan apresiasi dan bantuan financial dari mahasiswa
hingga pemerintah.
Kesibukan
Ciptono di luar sekolah tidak lantas membuatnya melupakan amanahnya sebagai
kepala sekolah. “Kuncinya koordinasi, kebersamaan, dan komunikasi dengan semua
rekan dan guru yang ada di SLB Negeri Semarang ini,” Ciptono menjelaskan
bagaimana caranya mengatur waktu.
“Setiap dasarnya
anak adalah unik. Karena keunikannya itulah maka anak itu berbeda-beda.
Anak-anak itu semuanya cerdas di bidangnya masing-masing. Sekecil apapun
potensinya, harus kita hargai dengan mendidik mereka sebagaimana anak pada
umumnya,” papar Ciptono sebagai pesan penutupnya.
(*) Tulisan ini pernah dimuat di muzakki.com