Archive for March 2012

Pentingnya Memahami Anak Berbakat

Sama seperti anak normal pada umumnya, anak berbakat juga memerlukan perhatian untuk perkembangannya. Kesalahan pandangan masyarakat terhadap anak berbakat berdasarkan artikel ini adalah anak berbakat dianggap tidak perlu bimbingan karena sudah memiliki keistimewaan melebihi anak normal pada umumnya. Padahal, anak berbakat sama seperti anak berkebutuhan khusus lainnya yang memerlukan pelayanan pendidikan kebutuhan khusus sesuai dengan keberbakatannya.

Untuk memahami anak berbakat, ada baiknya seorang calon pendidik anak kebutuhan khusus memahami terlebih dahulu definisi anak berbakat. Salah satu definisi yang ada dalam artikel ini misalnya, berdasarkan hasil Seminar Nasional “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat” yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Kreativitas pada tanggal 12-14 November 1981 lalu dikatakan bahwa anak berbakat adalah adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diindentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak-anak berbakat tersebut memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi dan/atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun untuk pengembangan diri sendiri.

Berdasarkan definisi di atas, hal yang pertama kali harus dilakukan oleh seorang pendidik adalah mengidentifikasi prestasi dan keunggulan anak yang diduga anak berbakat. Dan menurut  NAGC atau National Association for Gifted Children di Amerika Serikat, untuk mengetahui apakah seorang anak berbakat atau  tidak diperlukan persyaratan yang sangan komferhensif. Dalam tahap ini diperlukan beragam pengukuran (test) menggunakan alat ukur yang valid dan pengumpulan informasi dari berbagai sumber (orang tua, guru, teman sebaya) untuk proses asesmen.

Ketatnya tahapan yang harus dilewati untuk mengidentifikasi seorang anak berbakat atau tidak berdasarkan NAGC mengindikasikan bahwa keberkatan anak tidak hanya diukur dari tingkat prestasi dan keunggulan anak. Hal ini dikarenakananak berbakat berbeda dengan anak pandai yang normal pada umumnya. Seorang anak yang berbakat adalah mereka yang sudah memiliki keberbakatan alami dan bawaan sejak lahir yang masih membutuhkan asahan dan  bimbingan dari orang tua serta pendidikan khusus dari guru anak-anak berkebutuhan khusus.

Masih mengacu pada pengertian anak berbakat yang disepakati dalam Seminar Nasional “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat” apabila masyarakat sudah mampu mengenali siapa saja anak yang masuk dalam kategori anak berbakat, maka anak-anak berbakat ini dapat memperoleh pelayan pendidikan yang layak berdasarkan keberbakatannya. Sehingga, keberbakatan yang mereka miliki dapat dikembangkan dengan positif. Dan anak-anak berbakat tersebut dapat berkontribusi nyata atas kemajuan negara berdasarkan keberbakatanya masing-masing.

Misinterpretasi masyarakat terhadap anak berbakat tak jarang juga memberikan masalah kepada pribadi anak berbakat baik dari lingkungan keluarga maupun sekolah. Karena anak berbakat tidak cukup mudah dikenali, lebih sering lingkungan dan keluarga lalai menyediakan pelayanan yang kondusif untuk menyeimbangi kebutuhan pertumbuhannya. Misalnya, seorang anak yang gemar berdiskusi dan kritis dalam menilai bisa jadi anak ini memiliki keberbakatan dalam kemampuan verbalnya. Hanya saja keluarga dan lingkungannya tidak menyadari keberbakatannya sehingga anak menjadi terkesan egois, sombong, dan suka melawan.

Masalah kedua yang ada pada anak berbakat berdasarkan artikel ini adalah mereka memiliki masalah dengan perkembangan emosi. Seorang anak berberbakat memang cenderung kritis dan berpikir melampaui kemampuan anak sebayanya. Sehingga, anak berbakat lebih terlihat dewasa dalam berpikir. Akan tetapi, anak berbakat tetaplah anak-anak yang memiliki emosi yang sama dengan anak sebayanya yang normal pada umumnya.

Karena anak berbakat memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan lebih berpikir dewasa dibandingkan dengan anak sebayanya, tak jarang anak berbakat memiliki hubungan yang kurang baik dengan teman sebayanya. Hal ini menimbulkan persepsi dan labeling terhadap anak berbakat bahwa anak berbakat adalah anak yang perfeksionis dan “sok tua”.

Kemampuan berpikir anak berbakat yang konsepsional dan abstrak bukan hanya membuat masalah bagi anak berbakat, melainkan juga bagi orang tua dan pendidiknya. Untuk itu, langkah yang perlu dilakukan adalah dengan menjadikan posisi guru sebagai sosok inspiratif dan motivator bagi anak. Sehingga anak dapat merasakan ketenangan dalam mencapai perkembangan intelejensinya dan dapat lebih mengontrol diri dengan kemampuannya yang melebihi anak normal pada umumnya. Dengan pemahaman yang tepat terhadap anak berbakat ini kita juga dapat sangat membantu mereka untuk menghilangkan rasa tertekan karena pembedaan perilaku masyarakat terhadap mereka.

Permasalahan terakhir yang ada dalam diri anak berbakat menurut artikel ini adalah kelemahan khusus yang mengiringi keberbakatan anak. Misalnya, seorang anak berbakat memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memahami suatu hal hanya dengan melihat gambar atau skema, tapi anak ini memiliki kelemahan dalam auditorinya. Sehingga anak ini tidak dapat belajar dan tidak menyukai proses pembelajaran dengan banyak bercerita atau pengulangan-pengulangan dengan dikte. Namun menurut pandangan saya, seluruh anak pada dasarnya memang memiliki tipe yang berbeda dalam perkembangan sensorinya. Anak dengan kemampuan intelejensi normal sekalipun memiliki kecenderungan pada salah satu sensori yang membantu mereka dalam proses pembelajaran.

Dalam contoh di atas anak mungkin memiliki keunggulan dalam visualnya, sehingga anak memiliki gaya belajar yang visual atau lebih nyaman belajar hanya dengan melihat gambar-gambar dan grafik. Hal ini sudah pasti berbeda dengan anak yang memiliki gaya belajar auditori yang lebih menyukai gaya belajar dengan bercerita, pun itu dengan anak bergaya belajar kinestetik yang lebih menyukai proses pembelajaran dengan banyak bergerak atau pengaplikasian langsung terhadap objek.

Dari seluruh pemaparan dan analisis artikel ini dapa disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat yang tepattentang anak berbakat sangat membantu perkembangannya. Ketika anak berbakat tidak mendapatkan perhatian dan pendidikan kebutuhan khusus yang tepat, anak justru akan menjadi underachiever (anak dnegan prestasi rendah). Dan lebih jauh lagim anak bahkan bisa bersikap keras, tidak terkontrol dan menjadi pribadi yang membahayakan diri dan orang lain. Dengan begini, lingkungan terutama keluarga dan guru harus mengakomodasikan kebutuhan anak berbakat dengan tepat. Sehingga, keberbakatan anak dapat dilayani dan didampingi dengan baik.

Lebih luas lagi, ketika masyarakat sudah dapat mengenal dan memahami siapa dan bagaimana seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kebutuhan khusus kepada anak berbakat,  anak berbakat akan mejadi orang-orang yang dapat memberikan banyak kontribusi positif bagi negara.


12 March 2012
Posted by Lisfatul Fatinah

Perspektif Pendidikan Tunarungu Bag. 5 (Perkembangan Bahasa)


     Setiap anak dengan pendengaran normal pada umumnya pasti mengalami fase pemerolehan bahasa dalam hidupnya. Masa pemerolehan bahasa ini berlangsung pada usia 0-2 tahun. Fase atau proses pemerolehan bahasa tersebut dapat diperoleh anak melalui empat tahapan berikut.

  1. Tahap mendengar bahasa. Yakni tahap di mana anak baru mampu mendengarkan suara-suara di sekitarnya.
  2. Tahap meniru bahasa. Yakni tahap di mana anak sudah mampu menirukan satu atau dua kata yang diberitahukan oleh lingkungannya. Anak memperoleh tahap ini ketika dia sudah pada masa mulai berbicara dengan satu atau dua kata yang serangkai.
  3. Tahap mengingat bahasa. Yakni tahap di mana anak sudah mampu meniru dan mengingat kata yang diucapkannya.
  4. Tahap mempresepsikan bahasa. Yakni tahap di mana anak tidak hanya mampu meniru dan mengingat, tapi anak juga sudah mulai bisa mengartikan kata yang didengarnya. 

Berbeda dengan anak dengar, anak tunarungu tidak melalui empat tahapan tersebut dan mengalami perkembangan bahasa yang berbeda dari anak dengar. Perbedaan tersebut dijelaskan oleh Myklebust dalam table di bawah ini:

Anak Dengar
Anak Tunarungu
Pengalaman (Situasi Bersama)
Mengenal bahasa batin (inner language) dan hubungan antar lambang pendengaran dengan pengalaman sehari-hari
Mengenal bahasa batin (inner language) dan hubungan antar lambang pengelihatan dengan pengalaman sehari-hari
Bahasa reseptif auditori (mendengar)
Bahasa reseptif visual (membaca ujaran atau isyarat)
Bahasa ekspresif auditori (bicara)
Bahasa ekspresif kinestetik (bicara)
Bahasa reseptif (membaca)
Bahasa ekspresif visual (menulis)
Perilaku bahasa verbal (sesuai dengan anak dengar)


Penjelasan Tabel:
  1. Pada tahap pertama, pengenalan bahasa anak dengan pendengaran normal dan anak tunarungu memiliki pengalaman berbahasa melalui situasi. Maksudnya, pada tahap ini anak dikenalkan dengan lingkungan oleh ibu dengan pendekatan yang sama (pendekatan seorang ibu yang mendidik anaknya).
  2. Pada tahap kedua, anak dengan pendengaran normal mengembangkan bahasa melalui bahasa batin hubungan antara lambang pendengaran dan pengalaman sehari-hari. Yakni dengan mengartikan lingkungan dan apa yang di dengarnya. Sedangkan anak tunarungu mengembangkan bahasanya melalui bahasa batin hubungan antara lambing pengelihatan dan pengalaman sehari-hari. Jadi, anak tunarungu hanya mampu mengartikan apa yang terjadi di sekitarnya melalui indra pengelihatannya. Pada tahapan ini, perkembangan bahasa anak tunarungu sangat bergantung pada lingkungan yang membinanya. Untuk mencapai perkembangan yang maksimal, biasanya guru menggunakan metode maternal reflektif (metode bahasa ibu).
  3. Pada tahap ketiga, anak dengan pendengaran normal akan mulai memasuki tahap Bahasa Reseptif Auditori (mendengarkan ujaran dan bahasa dengan perkembangan yang baru). Sedangkan pada anak tunarungu tahap ini merupakan tahap Bahasa Reseptif Visual (membaca ujaran dan isyarat). Pada tahap ini anak tunarungu dikembangkan untuk dapat berbahasa dengan isyarat.
  4. Pada tahap keempat, anak dengan pendengaran normal memasuki tahap Bahasa Ekspresif Auditori. Yakni tahap di mana anak sudah mulai bisa mengekspresikan apa yang didengarnya dan mengerti apa yang di dengarnya. Sedangkan pada tahap ini anak tunarungu memasuki tahap Bahasa Ekspresif Kinestetik, yakni tahap di mana anak mulai memahami dan berbahasa dengan gerakan atau gerak tubuh.
  5. Pada tahap kelima, anak dengan pendengaran normal dan anak tunarungu sama-sama memasuki tahap Bahasa Represif. Pada tahap ini anak dikembangkan lagi untuk dapat membaca.
  6. Pada tahap keenam, anak dengan pendengaran normal dan anak tunarungu sama-sama ada pada tahap Bahasa Ekspresif Visual. Yakni tahap di mana anak dikembangkan lagi untuk dapat menuliskan apa yang dilihatnya.
  7.  Tahap terakhir, tahap Perilaku Bahasa Verbal yang sesuai dengan anak dengan pendengaran normal. Pada tahap ini anak dengar maupun tunarungu berada pada perkembangan berperilaku dengan bahasa verbal.
Sekalipun pada tahapan di atas terdapat beberapa tahapan di mana anak dengan pendengaran normal dan anak tunarungu ada di posisi yang sama, pada kondisi nyatanya keduanya tetap harus di bedakan secara penganganan dan perkembangannya. Misalnya, pada tahap anak dikembangkan untuk dapat membaca. Kemampuan membaca anak tunarungu dan anak dengar dalam usia yang sama pastilah berbeda. Karena anak tunarungu membutuhkan waktu yang cukup banyak hanya untuk mengenal satu kata bahkan satu kalimat saja.
09 March 2012
Posted by Lisfatul Fatinah

Perspektif Pendidikan Tunarungu Bag. 4 (Pendekatan Pembelajaran)

Pendekatan Dalam Pembelajaran Anak Tunarungu

Dalam proses pembelajaran anak tunarungu, dapat dilakukan dua bentuk pendekatan. Yakni, pendekatan komunikasi dan pendekatan pembelajaran bahasa.

Pendekatan Komunikasi
Pembelajaran  dengan pendekatan komunikasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan cara verbal, nonverbal, dan gabungan dari verbal-nonverbal.

Verbal.  Yakni pembelajaran dengan menggunakan oral atau lisan, tulisan, dan membaca ujaran. Pendekatan ini lebih mengarah kepada mengajak anak berkomunikasi dengan bahasa seperti kesepakatan yang dimiliki oleh anak dengar. Pada pendekatan komunikasi verbal, guru dituntut untuk dapat menggunakan gerak bibir dengan baik agar komunikasi dengan anak tunarungu berjalan dengan baik.

Nonverbal. Yakni pendekatan dengan menggunakan gesture (gerak tubuh), mimik (ekspresi wajah), dan isyarat. Pendekatan komunikasi cara ini lebih mengutamakan bagaimana anak mengerti atau dapat memahami bahasa melalui gerakan atau tindakan ril. Pada pendekatan komunikasi nonverbal isyarat dibagi dua bagian, yaitu isyarat baku; berkomunikasi menggunakan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI), dan isyarat alamiah (Bahasa Isyarat).

Campuran. Pendekatan komunikasi cara ini adalah pendekatan yang menggabungkan cara verbal dan nonverbal. Sehingga, apabila pembelajaran menggunakan cara ini, guru dapat mengucapkan atau melisankan bahasa sambil melakukan gerak tubuh atau melakukan isyarat (baik baku maupun alamiah).

Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Pendekatan pembelajaran dengan bahasa biasa disebut Language Across the Curricullum (Kurikulum Anak Tunarungu Berbasis Bahasa). Pendekatan dengan cara ini menguatamakan proses pembelajaran ilmu umum kepada anak tunarungu sambil mempelajari bahasa dan kosa kata baru.

Melalui pendekatan bahasa anak tunarungu dapat memelajari ipa, ips, sejarah, dan pelajaran lainnya secara bersamaan dari suatu percakapan. Misalnya, dalam sebuah kelas guru mengajak anak tunarungu untuk mambicarakan sebuah kecelakaan. Dari pembicaraan atau “obrolan” guru dengan anak tunarungu inilah guru dapat menyampaikan nilai-nilai ilmu ipa, ips, sejarah, dan ilmu lainnya yang dikamuflase agar tampak seperti percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Pendekatan pembelajaran bahasa dibagi dalam tiga metode, yakni metode formal (dengan konstruksional/sturuktural), metode okasional (dengan meniru ucapan/imitatif), dan metode maternal reflektif (berdasarkan bagaimana cara ibu mengenalkan bahasa pada anak tunarungu atau lebih dikenal dengan metode bahasa ibu). Metode maternal reflektif sebenarnya merupakan bentuk dari pendekatan komunikasi campuran verbal dan nonverbal.
Posted by Lisfatul Fatinah

Perspektif Pendidikan Tunarungu Bag. 3 (Permasalah ATR)

Analisis permasalah anak tunarungu sebagai landasan pengembangan kurikulum

  1. Akibat ketunarunguannya anak tunarungu tidak mengalami masa pemerolehan bahasa (pada usia < 2 tahun)
  2. Akibat tidak mengalami masa pemerolehan bahasa, anak tunarungu tidak dapat berkembang bahasanya.
  3. Akibat miskin bahasa, anak tunarungu mengalami masalah dalam komunikasi dalam pendidikannya.
  4. Akibat ketunarunguannya, anak tunarungu tertinggal dalam segala aspek kehidupan.

Ketika seorang anak sudah divonis sebagai anak penyandang tunarungu, bagaimana mengatasi berbagai permasalahan yang timmbul akibat ketunarunguannya?

Seorang tokoh tunarungu bernama Ludwig Wetgenstein mengatakan, “Batas bahasaku adalah batas duniaku.” Luwig berkata demikian karena keterbatasan komunikasi yang dimiliki anak tunarungu memang membatasi kehidupan mereka. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan ketunarunguan adalah dengan memberikan keterampilan berkomunikasi dan berbahasa.
Posted by Lisfatul Fatinah

Perspektif Pendidikan Tunarungu Bag. 2 (Karakteristik)

Anak tunarungu memiliki beberapa dampak negatif dari ketunarunguannya. Dampak-dampak negatif yang nantinya menjadi karakteristik anak tunarungu ini adalah:

  1. Miskin kosakata: karena tidak memiliki kesepakatan komunikasi seperti anak normal pada umumnya, anak tunarungu menjadi miskin kosakata.
  2.  Terganggu berbicaranya: kemampuan pendengaran anak tunarungu yang tidak seperti anak normal pada umumnya menyebabkan anak tunarungu tidak dapat mengenal kata dan memiliki gangguan dalam berbicara.
  3.  Dalam berbahasa dipengaruhi emotional atau visual order: anak tunarungu lebih memaksimalkan kemampuan pengelihatannya dalam berkomunikasi, sehingga tak heran jika anak tunarungu cenderung memerhatikan.
  4. Cenderung pemata: anak tunarungu lebih mengandalkan kemampuan pengelihatannya untuk memahami lawan bicaranya. Biasanya anak tuarungu lebih memerhatikan gerak bibir lawan bicaranya dalam berkomunikasi.
  5. Bahasa merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang konkret: dalam berbahasa dan berkomunikasi dengan anak tunarungu diutamakan hal-hal konkret, sehingga komunikasi dapat dipraktikan dan dijelaskan dengan benda nyata. Jadi, anak tunarungu cenderung sulit diajak berkomunikasi tentang hal-hal abstrak di luar logika yang tidak ada contoh nyatanya seperti tentang Tuhan, malaikat, surga, dan neraka.
  6. Egosentris anak tuanrungu lebih besar dibandingkan dengan anak dengar: karena kurang memnguasai kosakata dan kesepakatan bahasa, anak tunarungu cenderung tidak memahami apa yang terjadi dengan sekitanya. Hal inilah yang membuat anak tunarungu miliki tingkat keegoisan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan pendengaran normal pada umumnya.
  7. Impulsif: karena tidak menguasai bahasa sebagaimana anak normal pada umumnya, anak tunarungu cenderung impulsif (bertindak tanpa peduli dampaknya).
  8.  Kaku (rigidity): anak tunarungu cenderung pendiam dan terkesan kaku. Padahal, hal ini dikarenakan ketidakmampuan anak tunarungu dalam berkomunikasi, sekalipun anak tunarungu ini sudah diajarkan berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau gerak bibir.
  9. Sifat lekas marah dan mudah tersinggung: dampak atau karakteristik ini masih berhubungan dengan dampak-dampak di atas. Anak tunarungu menjadi lekas marah (temperamental) dan mudah tersinggung karena mereka kurang menguasai komunikasi dan kesepakatan bahasa sebagaimana anak dengan pendengaran normal pada umumnya.
  10. Polos: anak tunarungu kurang mampu menjaga perasaan dan rahasianya. Jadi, apa yang dirasakan oleh anak tunarungu (sekalipun itu hal yang sangat privasi) biasanya dengan polosnya diungkapkan pada lawan bicaranya.
  11. Sering berada dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa: karekteristik terakhir ini hampir mirip dengan “kaku (rigidity)”. Karena memiliki keterbatasan bahasa, anak tunarungu lebih sering tidak mengerti keadaan sekitarnya, sehingga terkesan cuek.
Posted by Lisfatul Fatinah

Perspektif Anak Berbakat Bag. 2 (Istilah-istilah Anak Berbakat)

Istilah-istilah yang sering digunakan untuk anak berbakat adalah sebagai berikut:

  1. Supernormal: istilah untuk anak yang memiliki kecerdasan tinggi (IQ 110-200)
  2. Klasifikasi berdasarkan tingkah IQ: berdasarkan tingkatan IQ-nya anak berbakat dibagi menjadi superior (IQ 110-125), gifted (IQ 125-140), dan genius (IQ 140-200)
  3. Menurut William Stern, IQ adalah indeks daripada derajat intelejensi seseorang.
Menurut James Page, IQ adalah kecerdasan seseorang yang diperoleh dengan membagi umur mental dengan umur kronologi individu. Jadi, IQ menunjukkan tingkat kecerdasan seseorang pada rata-rata usianya.
  1. Gifted dan Talented
Gifted adalah anak yang mempunyai kemampuan  intelekstual tinggi. Anak gifted memiliki kemampuan berpikir dengan ditandai IQ yang tinggi (140) dan adanya kecakapan khusus yang menonjol pada satu bidang tertentu. Bidang ini tergantung pada bakat bawaan masing-masing anak (intelektual atau akademik). Dan, setiap anak memiliki bakat bawaan yang berbeda.
Talented adalah anak yang menonjolkan kecakapan khusus yang bidangnya berbeda dengan anak lain. Anak talented hanya memiliki kemahiran pada satu bidang saja dan hanya di bidang nonakademik, seperti music, olahraga, melukis, drama, dan lain-lain.
Posted by Lisfatul Fatinah

Perspektif Anak Berbakat Bag. 1 (Pendidikan Anak Berbakat)

Pentingnya Pendidikan Kebutuhan Khusus untuk Anak Berbakat
Anak berbakat masuk ke dalam lingkup pendidikan kebutuhan khusus karena anak berbakat memiliki penyimpangan melebihi anak normal pada umumnya. Sehingga, anak berbakat juga memiliki hak untuk mendapatkan layanan kekhususan dalam pendidikannya untuk bisa menumbuhkembangkan keberbakatannya. Namun, banyak orang beranggapan bahwa anak berbakat tidak memerlukan pendidikan khusus yang sesuai dengan keberbakatannya. Padahal jika anak berbakat diberikan kesempatan dan pelayanan pendidikan kebutuhan khusus yang sesuai, mereka akan memberi sumbangan yang bermakna kepada masyarakat dalam berbagai bidang. Dan, nantinya keberadaan anak berbakat juga dapat memberi peran positif pada kemajuan negara.

Melalui pendidikan kebutuhan khusus yang tepat, anak berbakat dapat diberikan kesempatan yang sama seperti anak normal pada umumnya untuk mengembangkan potensinya. Selain itu, anak berbakat juga dapat mengoptimalkan keberbakatannya dengan pendidikan yang interaktif dan dapat merangsang kemampuan bawaannya. Pendidikan yang tepat juga sangat memungkinkan untuk mencegah penyimpangan perilaku sosial anak berbakat yang belum terpenuhi kepenuhannya.

Jika masyarakat tetap beranggapan bahwa anak berbakat tidak memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, perkembangan anak berbakat akan terhambat dan tidak dapat maju lebih cepat untuk memperoleh materi pengajarang yang sesuai dengan keberbakatannya. Hal inilah yang memungkinkan anak berbakat dapat menjadi underachiever (anak berprestasi rendah).

Untuk melayani pendidikan kebutuhan khusus anak berbakat, kita juga harus memahami bahwa anak berbakat merasa minat dan gagasan mereka sering berbeda dengan teman sebayanya. Hal ini menyebabkan anak berbakat merasa dirinya terisolasi dan membentuk konsep diri yang negatif, seperti men-judge diri sebagai anak yang kurang pergaulan, tidak memiliki teman, dan lain-lain. Padahal, karena keberbakatannyalah anak berbakat cenderung memiliki pemikiran dan sikap yang sangat berbeda dengan anak normal pada umumnya. Selain itu, hal ini juga dikarenakan usia mental anak berbakat lebih tinggi dibandingkan usia kronologisnya. Kendati demikian, bagaimanapun juga anak berbakat tetap seorang anak yang memiliki kebutuhan emosional sosial seorang anak.

Karena ketidakpahaman lingkungan terhadap kebutuhan anak berbakat, penelitian membuktikan bahwa lebih dari separuh anak berbakat yang berprestasi jauh di bawah kemampuannya, termasuk underachiever. Jadi, tidak benar jika anak berbakat akan dapat mencapai prestasi tinggi dengan sendirinya dan tidak memerlukan perhatian dan pelayanan pendidikan khusus.

Berdasarkan penjelasan di atas, jika kebutuhan anak berbakat dirancang dengan matang sesuai kebutuhannya, anak berbakat dapat menunjukkan peningkatan yang nyata dalam berprestasi. Sehingga, dapat tumbuh rasa kompetisi dan harga diri yang tinggi pada diri anak berbakat. Dan dengan rancangan pembelajaran yang khusus, anak berbakat dapat belajar untuk bekerja lebih efisien, mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan baik, mampu melihat solusi dari berbagai sudut pandang. Di samping itu, anak berbakat juga dapat menggunakan pengetahuannya sebagai latar belakang untuk belajar tanpa batas atau sesuai dengan kemampuannya yang melampaui anak normal pada umumnya.

Anak Berbakat dan Inklusi
Dalam kelas inklusi, perbedaan perlakuan yang diberikan guru kepada anak berbakat yang ada dalam kelas sebaiknya dilakukan dengan komunikasi yang baik dan jelas. Dengan demikian, anak normal yang pada umumnya mampu menerima dan memahami keadaan teman lainnya yang berbakat.
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -