Archive for October 2011

Memanusiakan Manusia

“Ooh, berarti kamu sering ketemu anak yang gak normal ya?”“Yang ngajar anak-anak idiot ya?”“Murid kamu anak-anak yang ileran dong? Yang gak bisa ngapa-ngapain itu ya.”  

Tiga kalimat di atas hanyalah segelintir kalimat yang sering saya dengar ketika ada yang menanyakan kegiatan saya akhir-akhir ini. Memang sudah tiga bulan lebih saya dengan sengaja berkecimpung di dunia anal luar biasa. Yakni dunia yang secara awan dikenal sebagai dunia anak-anak yang tidak normal, idiot, ileran, buang air di tempat, dan sederet identifikasi negative lainnya.

Kalau boleh jujur, saya sangat jengkel kalau ada merespon istilah anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan hal-hal yang serba kekurangan. Kalau boleh bersikap jutek, pasti saya langsung mengatakan, “Memangnya kamu normal?” Nah, dalam catatan kali ini saya akan sedikit sharing mengenai makna dunia yang baru saya temui ini, yang menurut masyarakat awan identik dengan anak-anak yang cacat dan berkelainan fisik atau mental.

Memang, sebelum masuk ke dunia formal anak berkebutuhan khusus (ABK), saya sudah terbiasa dengan ABK. Di rumah saya terdapat dua orang ABK; kakak kedua saya yang menderita kretin, serta keponakan saya yang seorang pernyandang autistik dan ADHD (hiperaktif). Tapi, apakah kita harus serumah dulu dengan ABK, baru kita mau dan bisa memahami hakikat keberadaan mereka. Jawabannya: tidak. Justru pemahaman ini bisa dengan mudah kita dapatkan seandainya kita mau mengubah paradigma kita tentang mereka.

***

Kita semua sama. Itulah hal yang pertama kali saya tanamkan dalam pikiran saya, sehingga ketia bertemu dengan ABK saya menganggap mereka sama dengan saya, sama juga dengan kalian. Dan bukankah dalam Islam sudah jelas bahwa semua manusia sama. Bahkan, penyetaraan derajat manusia lebih ditekankan hingga di hadapan Allah. Dan hanya ketakwaan manusialah yang menjadi pembedanya. Jadi, untuk apa kita merasa berkelebihan dari mereka?

Dengan nalar seperti inilah saya belajar bagaimana “memanusiakan manusia” sesuai hakikatnya, bahwa manusia diciptakan Allah untuk beribadah dan yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya hanyalah ketakwaannya.

Hal ini juga yang mengantarkan saya pada inti salah satu ayat al-Quran (saya lupa surat apa dan ayat berapa) yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan.

Bertolak pada semboyan Indonesia yang terukir dalam pita yang digenggam garuda, Bhineka Tunggal Ika, Prof. Dr. Muljono Abdurrahman, dosen yang perawakan dan kecerdasannya mengingatkan saya kepada almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, mengatakan bahwa nilai memanusiakan manusia berada pada semboyan ini. “Berbeda tetapi tetap satu”, memiliki makna bahwa apapun perbedaan yang ada di antara manusia, mengajak kita untuk tetap bersatu menuju satu titik kesamaan yakni Tuhan. Selaras dengan tujuan diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah.

Memanusiakan manusia, menjadikan mereka, ABK, sama dengan kita. Bahwa mereka tetap manusia, sama seperti kita. Bahwa kekurangan mereka bukan untuk dikasihani. Bagi saya yang melankolis kronis, merekalah tempat kubelajar banyak hal. Memahami setiap individu yang berbeda dan istimewa dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

Selamat memanusiakan manusia. Semoga kita bisa belajar memandang sesuatu dari sisi lain, dari sudut mata sesama manusia, sesama makhluk Tuhan yang punya keterbatasan.



Oleh: Lisfatul Fatinah Munir


Tanah Merah,
Sabtu pagi 15 Oktober 2011
15 October 2011
Posted by Lisfatul Fatinah

Panji: Potret Naufal yang Lain

Pertama kali aku melihatnya di depan Masjid Nurul Irfan di kampusku, ketika aku hendak shalat dhuha. Tubuhnya tinggi, nyaris sama dengan rata-rata tubuh mahasiswa tingkat pertama di kampus ini. Kalau tidak salah, sudah ada kumis tipir di antara hidung dan bibir atasnya. Seingatku, dulu ia mengenakan kaos merah lengan pendek dengan celana jeans yang sudah usang. Dari jauh sudah nampak bahwa dia berbeda dari yang lainnya.

Awalnya, aku kira dia mahasiswa, sama sepertiku dan yang lainnya. Tapi ketika aku memerhatikannya lebih lekat lagi dari kejauhan, jelas dia bukan mahasiswa ataupun siswa yang masih bersekolah di Labschool UNJ (sekolah elite binaan UNJ).

Siangnya, ketika aku ingin shalat zuhur di masjid yang sama, lagi-lagi aku melihatnya. Masih dengan pakaian tadi pagi, tapi pakaiannya terlihat lebih kotor. Wajahnya juga semakin kusam, tertutup debu jalanan.
Saat berjalan mendekati masjid, aku melihat dia sedang tertawa dengan seorang senior berjilbab panjang.

Keesokan harinya, di waktu dhuha, aku juga melihat dia. Kali ini bukan di depan masjid, melainkan di depan gedung fakultasku. Dan kali ini aku melihatnya lebih dekat. Karena penasaran, aku bertanya-tanya kepada yang lain tentang sosok itu. Panji, itu namanya yang aku tahu dari seorang teman. Menurut cerita temanku, panji adalah seorang individu berkebutuhan khusus (IBK). Entahlah dia grahita (kemampuan intelektual di bawah rata-rata) atau autis.

Panji, sosoknya mengingatkanku pada Naufal, keponakanku yang juga seorang berkebutuhan khusus.  Bukan berlandaskan rasa iba  sehingga aku ingin sekali mengenalnya dan menjadi "teman"-nya di sini, sama sekali bukan. Melihat sosoknya, aku seakan dekan dengan keponakanku sendiri, seakan Naufal pun ada di sana. Ya, melihat Panji seakan melihat Naufal dalam potret berbeda.

Ingin sekali bisa berdekatan dengan Panji. Mengenal sosok Panji sedekat aku mengenal keponakanku. Karena aku biasa berkomunikasi dengan pribadi seperti itu, maka aku berani ada di dekatnya. Ya, itu yang aku katakan ketika beberapa teman enggan mendekati Panji.

(... bersambung)


Oleh: Lisfatul Fatinah Munir
10 October 2011
Posted by Lisfatul Fatinah

Semua Bermula dari Rumah

Aku percaya bahwa semua kisah bermuara pada sebilik bangunan yang menjadi tempat berlindung kita, yang bernama rumah. Sama dengan cerita kalian, ceritaku juga bermula dari rumah bernuansa merah jambu dengan teras hijau teduh.

Rumah. Satu bangunan inilah yang seharusnya kalian kunjungi jika ingin mengetahui apa yang menjadi alasan dari semua hal yang aku putuskan, termasuk perihal kepindahanku dari Farmasi UIN Jakarta ke Pedidikan Khusus (Special Education) UNJ. Rumah. Di sana kalian akan menemukan jawabannya.

Di dalam bangunan yang cukup luas ini aku hidup sebagai anak terakhir. Di dalam rumah ini aku hidup dengan kedua orang tuaku, kakak pertamaku, kakak keduaku, juga dengan keponakanku. Sekilas, keadaan rumahku memang tak berbeda dengan rumah-rumah lainnya. Sebuah rumah yang diisi oleh sebuah keluarga yang “tenang”.

Di dalam rumah yang tak banyak diisi oleh pernak-pernik ini, aku menemukan apa yang seharusnya aku putuskan setahun yang lalu, mejadi mahasiswa Pendidikan Khusus di universitas negeri di negeri ini. Melihat kondisi kakak keduaku dan juga keponakanku yang merupakan individu berkebutuhan khusus, sepertinya inilah jawaban dari kebingunganku selama setahun kuliah di Farmasi.

Sulastri, kakak keduaku, seorang kretin (kerdil). Di usianya yang menginjak 27 tahun, kakakku memiliki tubuh hanya setinggi pinggu orang dewasa. Cara berbicaranya juga belum jelas. Sikapnya pun masih seperti anak-anak, suka bermain boneka, masak-masakan, dan mainan-mainan yang dimainkan anak kecil.

Keponakanku, anak dari kakak pertamaku, Naufal nama panggilnya. Naufal, cucu pertama kedua orang tuaku adalah seorang penyandang autistik dan hiperaktif. Sejak berusia dua tahun, tanda-tanda autistic mulai muncul di dirinya. Naufal tidak menunjukkan perkembangan motoriknya di usia yang seharusnya dia sudah bisa berbicara dan berjalan. Hingga di usianya yang kesebelas tahunpun dia tidak bisa berbicara selayaknya anak yang lain.

Dimulai dengan tekad untuk mendedikasikan diriku kepada dunia yang sudah kukenal sejak kecil, “Dunia Luar Biasa”, aku memutuskan untuk keluar dari Farmasi UIN Jakarta dan memilih melanjutkan studiku di Pedidikan Khusus UNJ. Memang awalnya berat, ketika aku harus rela meruntuhkan segala cita-cita yang kubangun; menjadi apoteker dan memiliki klinik pribadi. Tapi demi hidupku yang lalu dan yang akan datang, aku kuatkan langkah ini untuk terus menembus keegoisan yang pernah aku miliki.

“Tidak ada yang sulit ketika segalanya dimulai dengan tekad yang kuat dan niat yang lurus.”

Meski harus meninggalkan dunia ilmiah dan ke-IPA-an yang sudah aku cintai selama duduk di bangku SMA, aku ikhlaskan diriku untuk mereka yang berkebutuhan khusus. Sebelum resmi menjadi seorang pendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) aku harus sudah bisa menjalankan proyek pribadiku: mengajarkan keponakanku dan mendidiknya agar bisa hidup mandiri selayaknya anak normal pada umumnya.

Dan untuk menyeimbangkan keadaan sekarang dengan yang akan datang, aku merenovasi target masa depanku. Jika dulu aku bertekad ingin membangun apotek dan klinik, kini aku bertekad “Aku harus membangun yayasan pendidikan khusus yang menampung ABK yang tidak mampu, serta membangun badan training dan penyuluhan untuk daerah-daerah terpencil yang di dalamnya terdapat ABK yang diperlakukan tidak sebagaimana mestinya (dipasung atau dikandang). Aku juga ingin menjadi duta Indonesia untuk internasional sebagai duta Pendidikan Khusus.”

Semoga Allah menguatkan langkahku untuk mencapai segala cita-citaku.

Semua bermula dari rumah, maka kukuatkan tekad ini dari rumah. Dari langkah pertamaku meninggalkan teras hijau, semoga Allah memudahkan dan menguatkan jalanku. Amin.


~Lisfatul Fainah Munir
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -