Archive for September 2017
Teacher's Diary: Kenapa Orang “Normal” Tidak Bisa Tertib?
Gamabar ini menunjukkan cara penggunaan eskalator yang benar. Sisi kiri untuk pengguna yang ingin tetap berdiri dan sisi kanan dibiarkan kosong untuk pengguna yang ingin menggunakan eskalator sambil berjalan. (Photo credit: Japan Times) |
Siang tadi, di sela-sela jam istirahat mengajar, ada percakapan kecil dari salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus di tempat saya mengajar. Mahasiswa ini merupakan salah satu mahasiswa dengan autisme high function. Atau dengan bahasa lain, mahasiswa ini sudah memiliki kemandirian yang sangat baik.
“Yaaa,
saya lagi kesal aja, Bu. Soalnya orang-orangnya gak tertib. Saya yang
ABK (Anak Berkebutuhuan Khusus) aja ngeliatnya malu.” begitu salah
satu kalimat ungkapan perasaannya yang saya dengar dan masih terngiang di telinga saya.
Hal ini
terjadi sebab saat di perjalanan menuju kampus, Muri, inisialnya,
mengalami hal yang membuatnya kurang nyaman di stasiun Tanah Abang. Di stasiun ini, Muri harus transit
kereta sebelum sampai di kampus. Menurut ceritanya, kondisi kereta
memang penuh dan perilaku orang-orang yang tidak tertib membuat
traffic penumpang kereta menjadi semakin kacau.
Belum lagi
saat dirinya harus melewati eskalator di jembatan penyeberangan
stasiun. Dalam ceritanya, Muri juga menyatakan kekesalannya kepada
orang-orang “normal” yang tidak mau berjalan dengan tertib di
eskalator, yang mana semestinya sisi kiri eskalator digunakan untuk
pengguna yang ingin tetap berdiri dan sisi kanan untuk pengguna yang
ingin berjalan. Dampaknya, kekacauan traffic penumpang di stasiun
ini membuat Muri terlambat masuk kelas. Padahal pagi itu Muri harus menghadiri perkuliahan di kelas reguler,
bergabung dengan mahasiswa reguler di kampus utama di semester ketiganya.
“Saya
ngeliatnya mereka gak tertib banget. Kenapa harus desak-desakan,
padahal kalau orang-orang yang 'normal' itu tertib kondisinya jadi
tidak akan sekacau tadi. Yaa, saya yang ABK aja ngeliatinnya malu, Bu.”
***
Tersentil.
Itu yang saya rasakan saat mendengar cerita Muri siang tadi.
Betapa
tenyata orang-orang “normal” terkadang dapat terlihat tidak cukup mampu
untuk tertib dan mengkondusifkan kondisi. Dan bagi mereka, semua itu
sama sekali tidak normal dan tidak seharusnya terjadi.
Mungkin
ada benarnya yang disampaikan Muri, jika saja orang-orang “normal”
itu mau sedikit tertib dan sedikit mematuhi peraturan –salah
satunya dengan menggunakan eskalator sesuai prosedurnya,
sebanyak apapun penumpang kereta, niscaya kekacauan traffic penumpang
di stasiun bisa lebih mudah dihindari. Bahkan besar kemungkinan
ketika orang-orang “normal” ini bersikap “normal”, tertib,
dan mematuhi peraturan yang sederhana, mungkin hal besar bisa ikut
diperbaiki.
Ini hanya
sedikit refleksi yang biasa saya terima dari murid-murid saya. Yang
menurut saya, nilai refleksi yang mereka berikan kepada saya melalui
kejujuran dan ketulusan mereka, jauh lebih berharga daripada apa yang
sudah saya lakukan kepada mereka.
Memang, rigiditas atau kekakuan rutinitas dan pikiran, yang salah satunya adalah strict dan patuh terhadap peraturan adalah salah satu ciri keautistikan. Tetapi jika kita, para orang-orang “normal”, mau menengok sedikit kepada diri kita masing-masing, memang terkadang kita sediri yang sering menyusahkan diri dengan membentrokkan diri pada kenormalan itu sendiri. Sebagai contohnya adalah pengalaman yang didapatkan Muri pagi tadi, ketika dirinya malu melihat orang-orang “normal” yang tidak tertib.
Meskipun begitu, ada banyak juga individu dengan autisme yang tidak mampu memahami dan mengikuti peraturan, sehingga membutuhkan tindakan khusus seperti terapi perilaku untuk bisa memahami aturan sederhana. So, jika orang-orang "normal" merasa nyaman untuk tidak tertib dan menaati peraturan, mungkinkah orang-orang "normal" tersebut memerlukan tindakan khusus berupa terapi perilaku? :D
***
“Terus
bagaimana kira-kira solusinya, Muri?” tanya salah satu staff yang
sejak tadi menyimak cerita yang disampaikan Muri.
“Kayaknya
saya akan naik kereta yang jadwalnya lebih pagi untuk menghindari traffic
penumpang, Bu. Atau mungkin bisa lewat tangga manual yang lebih lebar daripada
eskalator. Yaaa, karena masih lebih wajar melihat orang-orang berdesakan di
tangga manual daripada di eskalator,” Muri menjawab dengan gayanya yang kritis.
@fatinahmunir
| Jakarta, 28 September 2017
My Hijab Story: What Do You Think When You Look at Me?
What do you think when you look at me?
Apa yang Anda pikirkan ketika Anda melihat saya? Apa yang orang-orang pikirkan ketika melihat saya? Pertanyaan ini terlintas begitu saja di pikiran saya selama beberapa pekan ini, setelah saya melewati sebuah pengalaman yang tidak pernah saya duga sebelumnya terkait penampilan saya, especially the way I wear my hijab.
Beberapa
pekan lalu, saat saya tiba di tempat saya mengajar, saya langsung
menuju pantry untuk membuat secangkir kopi sebagai mood booster pagi
hari sebelum mengajar. Di sana saya bertemu dengan seorang staff dari
divisi lain, yang baru beberapa hari pindah ke ruangan di gedung dan
lantai yang sama dengan saya.
Sebelumnya saat bertemu atau
berpapasan, kami hanya saling senyum sapa dan hampir tidak pernah
mengobrol. Pagi itulah, saat belum banyak staff, pengajar, dan
students yang datang, kami mengobrol singkat karena sebuah pertanyaan
yang beliau sampai kepada saya.
“Mbak,
sorry, memangnya di sini boleh pakai hijab syar’i?” tanya mbak
tersebut dengan intonasi suara yang menunjukkan kehati-hatian.
Senyum
adalah respon pertama saya saat itu. “Sepertinya boleh, Mbak. Tapi
saya belum tahu pastinya ya, karena sejauh ini saya belum pernah
membaca peraturan tentang hijab,” jawab saya dan berlanjut pada
perbincangan tentang hijab selama beberapa menit sambil menikmati
minuman kami masing-masing.
Sebagai
informasi, tempat saya bekerja saat ini merupakan sebuah kampus
komunikasi bertaraf internasional dengan staff, pengajar, dan
students yang dituntut bekerja dan penampilan berstandart
international juga. Oleh karena itu, sudah pasti kebanyakan di antara
kami, terutama pengajar dan tim management selalu berpenampilan
elegan dengan fashion berkelas.
Belum lagi lingkungan yang tercipta
sudah sangat plural, kental akan pengaruh western culture, dan
didominasi oleh nonmuslim. Maka tidak heran di beberapa minggu
pertama saya mengajar, ada beragam respon yang saya terima terkait
penampilan saya. Mulai dari tatapan students reguler yang membuat
saya canggung, hingga respon staff dan pengajar lain yang mengira saya
adalah tamu, bukan pengajar. Semua ini terjadi karena satu hal; hijab
lebar yang saya kenakan.
Memang di
tempat saya bekerja terdapat pengajar, staff, dan team management
muslimah yang mengenakan hijab. Tetapi hijab yang digunakan biasanya
hijab dengan berbagai model yang menunjang fashion mereka. Maka saya
dan hijab lebar saya menjadi hal yang paling menonjol di antara
lingkungan kampus modern ini. Bahkan bisa dibilang, saya
adalah satu-satunya muslimah dengan hijab lebar di antara pengajar
yang ada.
“Saya
sebenarnya pengin banget pakai hijab syar'i saat kerja, Mbak. Tapi
saya takut dan lebih mencari aman. Terus waktu tahu mbak pakai hijab
syar'i dan tetap kerja di sini, saya jadi sedikit lebih lega meskipun
belum berani pakai di sini.” Ucap beliau di sela perbincangan pagi
kami.
Mbak ini
sempat sedikit bercerita bahwa kesehariannya memang menggunakan hijab
syar'i, meskipun baru dimulai dan masih belajar. Tetapi beliau tidak
berani mengenakan hijab syar'i di tempat kami bekerja, mengingat
lingkungan dan budaya kampus yang sangat kebaratan, juga beliau takut ditegur
atau dilarang oleh team management.
Memang
benar, menggunakan hijab syar'i menjadi hal sangat baru di tengah
lingkungan saya mengajar. Tapi
sejujurnya, saat diterima sebagai pengajar, saya sama sekali tidak
tahu bahwa lingkungan yang akan saya masuki akan seperti ini. Bagian
positifnya, saat pertama kali ke tempat kerja untuk wawancara, saya
dengan santainya berpenampilan seperti biasa dengan rok dan hijab
lebar. Saya sangat bersyukur atas ketidaktahun ini. :)
Saat
briefing sebelum akivitas belajar mengajar semester baru dimulai,
salah satu staff akademik pernah berpesan kepada para pengajar baru
yang perempuan, termasuk saya, untuk tidak mengenakan rok selama
mengajar. Imbauan untuk tidak mengenakan rok ini memang sangat bisa
diterima alasannya, karena demi keselamatan kerja pengajar selama menangani
students –mengingat saya mengajar di bagian Autism Centre yang mana
mengajar students dengan autism. Tapi saat itu saya mencoba meminta
izin kepada kepala akademik untuk tetap mengenakan rok selama
mengajar dan alhamdulillah beliau mengizinkan.
Di balik
mempertahankan penampilan saya apa adanya, sebenarnya ini adalah
salah satu bentuk kepercayaan saya pada tempat saya mengajar. Saya
percaya bahwa kampus bertaraf internasional pasti akan menilai
pengajarnya dari performance dan profesionalitas kerja, bukan dari
penampilan atau hijab yang dikenakan. Apalagi ini berkaitan dengan
hak saya dalam menjalankan perintah agama.
Selain
kecanggungan pada respon beberapa students reguler, pengajar, dan
staff di beberapa minggu pertama mengajar, ada juga beberapa moment
melegakan yang sangat saya syukuri berkat hijab lebar yang saya
gunakan di lingkungan kerja yang minoritas muslim ini. Salah satunya
adalah ketika beberapa staff nonmuslim bertanya, mengapa saya
mengenakan hijab yang panjang dan lebar sedangkan yang lainnya tidak.
Biasanya saya hanya akan menjawab bahwa inilah cara berhijab yang
membuat saya senang, nyaman, dan aman. Tetapi setiap kali saya
menanggapi demikian, pasti ada jawaban tambahan dari staff muslimah
lainnya.
“Hijab
yang dipakai Miss Lisfah itu cara pakai hijab yang benar, Miss. Yang
saya pakai sekarang ini, yang pendek-pendek ini nih yang belum
benar,” jawab salah satu staff muslimah yang juga berhijab.
Jawaban seperti ini adalah salah satu kesyukuran
lain yang saya terima dari hijab lebar yang saya gunakan.
Alhamdulillah, sejak saat itu hampir tidak ada staff nonmuslim yang
menanyakan hijab lebar yang saya gunakan. Tetapi justru mereka balik
bertanya kepada staff muslimah lainnya, kapan akan berhijab dengan
cara yang benar sesuai ajaran Islam. :D
Di
tempat lainnya, di sebuah klub bahasa Inggris yang baru saya geluti
beberapa bulan ini pun saya menerima respon yang kurang lebih sama
seperti minggu-minggu pertama saya di tempat mengajar. Di klub yang
terdiri dari mahasiswa dan pekerja dengan beragam latar belakang ini,
sebelumnya memang tidak ada yang berhijab lebar, sehingga kedatangan
saya menjadi hal baru dan menarik perhatian.
Ada satu
komentar tentang diri saya dari salah seorang teman di klub yang tidak
pernah saya duga. Komentar ini membuat saya merenung dan menjadi
alasan saya untuk membuat tulisan ini. Ini terjadi beberapa pekan
lalu, saat saya mengajak salah seorang teman saya datang ke pertemuan
rutin klub selepas bekerja. Saat itu, saya mengenalkan teman saya
kepada salah satu anggota klub yang cukup sering berbincang dengan
saya.
“She
is an expert at Japanese. Dia jago banget bahasa Jepang-nya loh!,” kata saya
sambil mengacungkan dua jempol, sebelum saya asik dengan komik online
dan membiarkan mereka berbincang di dekat saya.
Hanya
butuh beberapa menit ternyata kedua teman saya sudah berbicara banyak
sekali, terdengar mereka saling berbincang tentang diri
masing-masing. Kemudian saya mendengar mereka menyebut nama saya dan
saya mencoba mendengarkan meskipun tidak terlibat dalam obrolan
mereka.
“Yeach,
she often askes me to join in her community or a community she
involved like this English club,” kata teman saya.
“I
wonder about her. I was amazed when I saw her at the first time in
this class. Can you imagine a hijaber, woman in a big hijab speaks in
English fluently? Even she spoke to the point, and her once speech
about happiness was very good. She's clever!,” kata teman klub
bahasa Inggris saya kepada teman yang baru saya ajak bergabung ke
klub. Yang sejujurnya, pujiannya agak berlebihan. I'm not really that
good at English :(
“Yeach,
she is,” jawab teman saya singkat dan padat. Kemudian mereka
semakin asik membicarakan saya, yang mendengarkan langsung pembicaraan
mereka dengan sangat jelas dari jarak tidak lebih dari duapuluh
sentimeter. Bahkan mereka baru berhenti membicarakan saya ketika
conductor (pemateri kelas) datang. Fiuh! -_-”
Saya bersama students saat sedang melakukan field trip ke Museum Nasional |
***
Dari pengalaman di atas, saya menemukan beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran bagi diri saya pribadi dan mungkin bisa diambil hikmahnya oleh muslimah lain yang membaca tulisan ini. Juga sejak dua hal di atas terjadi, sedikit banyak saya bisa mengetahui tentang pandangan orang lain terhadap saya, khususnya sebagai muslimah berhijab lebar.
Beberapa
tahun belakangan, sejak peristiwa 9/11 (nine-eleven), islamphobia
merebak ke negara-negara minoritas muslim atau kadang muncul dalam
tingkat ringan di sekitar kita yang mayoritas muslim. Hal ini tampak ketika perpektif
kebanyakan orang, nonmuslim dan kadang muslim itu sendiri, yang merasa takut dan curiga pada keberadaan
muslim yang berpenampilan berbeda. Atau contoh khususnya merasa takut dan curiga pada keberadaan muslimah berhijab lebar seperti saya.
Akan tetapi, dari sudut pandang lain saya melihat islamphobia justru
berputar arah. Islamphobia bukannya dimiliki oleh nonmuslim,
melainkan dimiliki oleh muslim itu sendiri.
Maksudnya
adalah jika isalamphobia pada umumnya berupa rasa takut dan
kekhawatiran nonmuslim atas keberadaan muslim, maka kini telah tampak
rasa takut dan khawatir itu malah dimiliki seorang muslim
dengan jenggot yang terawat atau seorang muslimah dengan hijab
lebarnya di tengah lingkungan nonmuslim. Contoh riilnya adalah ketika
seorang muslimah takut dipecat dari tempat kerja atau takut dijauhi
teman-temannya karena hijab lebar yang digunakan.
Rasa takut
pada pengucilan atau penolakan karena hijab lebar yang digunakan ini niscaya akan tetap ada ketika kita, muslimah, masih memiliki keraguan
dalam hati meskipun hanya setitik. Akan tetapi, ketika keyakinan
dalam hati sudah begitu dalam dan teguh, niscaya ketakutan pada
pengucilan dan penolakan akan luluh dengan sendirinya. Justru bisa menjadi pemantik semangat untuk terus berkarya dengan hijab lebar yang digunakan, tanpa peduli anggapan orang lain tentang hijab yang digunakan.
Cara
setiap muslimah bersikap juga perlu menjadi perhatian. Sebab sikap muslimah kepada lingkungan yang dikhawatirkan tidak
menerimanya akan mempengaruhi penilaian orang-orang di
lingkungan tersebut. Sebagaimana Islam mengajarkan untuk berbuat baik
kepada siapa saja, termasuk kepada yang berbuat buruk kepada diri
kita sekalipun, maka menjalin hubungan baik kepada siapa saja dan di mana
saja bukan sekadar untuk mendapatkan penerimaan diri. Lebih jauh
lagi, semoga bisa mengubah penilaian lingkungan kita kepada Islam itu
sendiri.
“No matter what happens in life, be nice to people. Being nice to people is a peacful way to live, and a beautiful legacy to leave behind.”(Marc and Angel)
Tiga tahun lalu saat saya diminta berbicara tentang pendidikan anak di Indonesia Morning Show, Net.TV |
Di sisi lain, komentar yang disampaikan teman klub bahasa Inggris
saya hingga saat ini terus berputar di kepala. Saya memikirkan
kalimat yang dikatakannya selama beberapa minggu belakangan ini, sebagai
perenungan atas diri saya, khususnya sebagai seorang muslimah yang
berhijab lebar.
Can you
imagine a hijaber, woman in a big hijab speaks in English fluently?
Even she spoke to the point, and her once speech about happiness was
very good. She's clever!
Kebayang gak sih seorang hijaber, cewek
pakai hijab gede ngomong bahasa Inggrisnya lancar gitu? Malahan dia
kalau ngomong to the point dan pidatonya tentang kebahagiaan itu
bagus banget. Cerdas deh!
Kebayang
gak sih...? Entah, bagi saya ekspresi yang disampaikan dalam
komentar ini tidak semata-mata pujian. Jauh di dalam kalimatnya
tersimpan makna yang patut direnungkan, yang mungkin bisa
menjadi pelajaran untuk banyak muslimah, lagi-lagi khususnya saya.
Komentar ini, bagi saya, seperti menunjukkan bahwa muslimah berhijab lebar yang mampu berbahasa asing dengan baik adalah hal yang tidak lazim atau jarang terjadi. Bisa jadi dikarenakan perspektif orang kebanyakan adalah setiap yang berpenampilann sesuai tuntunan agamanya adalah orang yang hanya akan tertarik pada hal-hal keakhiratan dan agama. Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa muslimah yang berjilbab lebar adalah orang-orang yang hanya peduli dengan ilmu agama, hanya ingin bergaul dalam lingkup keislaman dan mengesampingkan keilmuan dunia.
Komentar ini, bagi saya, seperti menunjukkan bahwa muslimah berhijab lebar yang mampu berbahasa asing dengan baik adalah hal yang tidak lazim atau jarang terjadi. Bisa jadi dikarenakan perspektif orang kebanyakan adalah setiap yang berpenampilann sesuai tuntunan agamanya adalah orang yang hanya akan tertarik pada hal-hal keakhiratan dan agama. Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa muslimah yang berjilbab lebar adalah orang-orang yang hanya peduli dengan ilmu agama, hanya ingin bergaul dalam lingkup keislaman dan mengesampingkan keilmuan dunia.
Kebayang
gak sih...? Mungkin ini adalah komentar jujur dari yang
mengungkapkannya. Karena mungkin selama ini muslimah berhijab lebar yang
senang belajar dan bergabung dalam klub keilmuan selain ilmu agama
adalah spesies yang langka. Dampaknya, ketika ada satu saja muslimah
yang berusaha aktif di majelis ilmu yang tidak berhubungan dengan
ilmu agama, hal ini menjadi sesuatu yang wah dan tidak lazim. Padahal
jika saja kita, para muslimah, mau sedikit bersabar menelisik jejak
para sahabat wanita Rasulullah saw., maka akan kita dapati begitu
banyak sahabat wanita yang tidak hanya kaya akan ilmu agama tetapi
juga memiliki banyak ilmu dunia bahkan menjadi ahli di bidangnya.
Sebut saja
Khadijah binti Khuwailid, wanita pengusaha kaya raya yang dikenal
karena bijaksana, cerdas, dan pandai menjaga kesuciannya. Istri
pertama Rasulullah saw. menjadi wanita yang dimuliakan di sukunya, karena ilmunya dalam berdagang dan membelanjakan hartanya di jalan
Allah swt. Belum lagi Aisyah binti as-Shidiq yang dikenal sebagai
wanita berperingai kecil, lincah, dan memiliki ketegasan di balik
kelembutan dan kemanjaan sikapnya. Beliaulah wanita yang dimuliakan
karena kekuatan hapalannnya, dan kecerdasannya dalam berbagai ilmu.
Selain itu, beliau juga dikenal sebagai wanita yang sangat pandai
berbahasa atau dalam hal linguistik.
Di sisi
lain, ada as-Syifa' binti Abdullah, seorang dokter muslimah sekaligus
terapis yang dimuliakan di zaman Rasulullah. Bahkan sebagai rasa
hormat, Rasulullah saw. memberikannya sebuah rumah untuk dijadikan
tempat orang-orang berobat dan menuntut ilmu kepadanya. Lain lagi
dengan Ummu Hakim binti Harits, muslimah yang masuk Islam di akhir
dakwah Rasulullah saw. dan turut serta dalam peperangan Islam melawan
Romawi. Beliaulah muslimah yang dengan kegigihannya memperjuangkan
Islam dan berhasil membunuh tujuh orang kafir di medan perang
meskipun di saat bersamaan suaminya menjemput kesyahidan.
Mbak Dewi, muslimah intelektual, bersama suami dan anaknya. Mereka adalah keluarga kecil yang sangat menginspirasi saya. |
Secara
pribadi, saya juga mempunyai dua sosok muslimah masa kini yang saya
kagumi. Pertama adalah Mbak Dewi Nur Aisyah, seorang muslimah,
berhijab lebar, ibu satu anak, sekaligus calon doktor di University
College London. Beliau adalah seorang blogger yang tulisan-tulisannya
ikut memberi suntikan motivasi bagi saya, untuk menuntut ilmu setinggi
mungkin. Kendati harus mendidik anak pertamanya di London, Mbak Dewi
dan suaminya yang juga seorang calon doktor mampu mengukir prestasi
hingga tingkat internasional. Keduanya bergantian memperoleh
penghargaan di berbagai negara atas penelitian dan jurnal yang
dibuat, terlebih lagi Mbak Dewi selalu menjadi satu-satunya muslimah
berhijab lebar yang berdiri di antara cendikiawan lainnya.
Sosok
lainnya adalah Mbak Ferihana, seorang muslimah, bercadar, dan juga seorang
istri yang berprofesi sebagai dokter kecantikan di Jogjakarta. Mbak
Ferihana juga memiliki klinik yang membebas biayakan
pasien miskin tanpa memandang agama dan ras. Klinik
beliau tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa, termasuk salah
satunya di Depok, Jawa Barat.
Sosok dr. Ferihana saat sedang memeriksa seorang pasien dhuafa. |
Nama-nama
di atas hanya sebagian dari muslimah mulia yang Allah swt. Muliakan
karena ilmunya, yang bisa menjadi teladan bagi setiap muslimah.
Keberadan mereka setidaknya bisa menjadi pengingat bagi muslimah
lainnya, terutama saya, bahwa Allah swt. dan Rasulullah tidak pernah
membatasi wanita untuk hanya belajar dan mengajarkan ilmu agama atau
alquran. Akan tetapi, muslimah juga diperbolehkan untuk ikut menekuni
ilmu keduniaan, bahkan beberapa pendapat ulama yang saya baca
dikatakan bahwa menjadi baik jika muslimah bisa menjadi ahli dalam
bidang yang ditekuninya dan bisa membawa kemaslahatan bagi umat.
Menuntut
ilmu, memperkaya ilmu dunia sebagaimana muslimah-muslimah mulia di
atas merupakan salah satu hal yang sangat dianjurkan oleh Allah swt.
dan Rasulullah saw. Terlebih lagi mencintai ilmu pengetahuan adalah
sifat yang dimuliakan dalam Islam, termasuk juga mengembangkan ilmu sebagaimana
ulama-ulama terdahulu seperti al-Kindi, Ibnu Sina, dan banyak lainnya
juga menjadi ahli dalam ilmu agama dan pengetahuan dunia di masa
Kegelapan Eropa, ketika Islam menguasai lebih dari dua pertiga dunia.
Namun
demikian, kemulian muslimah atas ilmunya bukanlah untuk menjadi
pesaing para lelaki di luar sana. Kemulian ilmu yang dimiliki
muslimah adalah bekal yang akan diturunkan kepada anak-anaknya.
Kemuliaan ilmu yang dimiliki muslimah, seperti halnya yang dimiliki
Khadijah binti Khawailid untuk membela suaminya, ilmu Aisyah binti
as-Shidiq untuk memurnikan ajaran suaminya, dan ilmu serta keberanian
Ummu Hakim binti Harits untuk menebus kesyahidan suaminya.
Dari
banyak muslimah yang dimuliakan karena ilmunya di atas, apabila
setiap kita, para muslimah, mampu meneladani salah satu saja dari
mereka, niscaya keberadaan muslimah yang berhijab lebar, berilmu, dan
aktif dalam perkumpulan ilmu tidak akan menjadi hal yang langka lagi.
Niscaya nama-nama cendikiawan dunia pun akan diisi oleh
muslimah-muslimah, yang mencintai ilmu karena kecintaannya kepada
Allah swt. Semoga kita, para muslimah terutama yang membaca tulisan
ini, termasuk dalam golongan muslimah yang terkenal di langit karena
ilmunya yang bermanfaat dan membawa kemaslahatan, dan mampu memuliakan
orang tua, suami, dan anak keturunan kita kelak. Amin.
“Barang siapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memberikan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menaungkan sayap-sayapnya karena senang kepada yang menuntut ilmu”(HR. Tirmizi)
@fatinahmunir | 5 September 2017
Notes:
Judul tulisan ini diambil dari video Dalia Mogahed dalam the best
talk and performance of TED Conference 2016 di sini.Hari Raya Cinta
Bismillahirrahmanirrahim
“...Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu,...”
(Allah
swt. dalam QS. Al-Maidah: 3)
Tiga
hari lalu, tepat 10 Dzulhijjah 1438 H, menjadi salah satu hari raya
bagi setiap muslim di dunia, termasuk saya. Berbeda dengan hari raya
Idul Fitri yang penuh dengan euforia dengan berbagai makanan ringan,
kue, pakaian, dan pernak pernik serba baru di rumah, hari raya Idul
Adha cenderung disambut dengan cara yang lebih sederhana. Meskipun
demikian, di kampung orang tua saya, Madura, Idul Adha biasanya
disambut lebih meriah daripada Idul Fitri. Ini juga ternyata berlaku
di negara-negara Timur Tengah, lebih khususnya Tanah Haram –I got
this information several years ago from my friend who lives there.
Di Timur
Tengah, suasana hari raya Idul Fitri akan terasa hingga ziarah antar
satu keluarga ke keluarga yang lainnya usai. Setelah itu, biasanya
selepas zuhur, hari raya Idul Fitri berjalan seperti hari-hari biasa.
Tetapi berbeda pada hari raya Idul Adha, takbir terus berkumandang sejak
malam hari raya hingga hari tasyrik, tiga hari setelah hari raya.
Setiap orang berbondong-bondong di jalanan, di lapangan, dan di
masjid-masjid. Belum lagi di Mekkah dan Madinah yang semakin
diramaikan oleh muslim dari berbagai negara yang tengah menunaikan
haji.
Kemeriahan
hari raya Idul Adha ini pastinya berhubungan dengan sejarah yang ada
di baliknya. Jika menilik lagi kepada kisah para anbiya, mulai dari
pembangunan ka'bah, masa kenabian Ibrahim as., sejarah perjuangan
Rasulullah saw. membuka kembali Mekkah (untuk kebebasan muslimin
berhaji sesuai tuntunan Nabi Ibrahim as.), hingga pada sejarah haji
pertama dan terakhir Rasulullah, setelah haji dihukumkan sebagai rukun
Islam. Kita pasti akan menemukan di mana Idul Adha sejatinya telah
termaktub dalam alquran sebagai hari besar yang menjadi titik
kesempurnaan pada Islam. Hal ini disebut pula dalam berbagai
literatur yang ditulis para salafus shaleh.
Karena hal
di ataslah setiap kali mendekati hari raya Idul Adha, ada dua hal
yang tertanam dalam benak saya; kemuliaan cinta keluarga Nabi Ibrahim
as. pada Allah swt. dan jerih payah Rasulullah saw. memperjuangkan
Mekkah agar kembali dibuka untuk umat Islam dari segala penjuru
dunia. Kemudian, saya biasanya akan membuka kembali buku-buku yang
berkisah tentang Nabi Ibrahim as. dan juga Rasulullah saw., hingga
setiap lembar kisah yang saya baca seolah membawa diri ini
berwisata melihat khazanah dan perjuangan Islam terdahulu. Sebagai
dampaknya, setidaknya dapat saya rasakan Idul Adha adalah keharuan
yang meluap-luap dalam dada saya. Sedikit demi sedikit saya merasakan
Idul Adha sebagai hari besar perayaan cinta kepada Allah swt.,
sebagai satu-satunya Pencipta dan tujuan kehidupan manusia.
Pada
hari-hari menjelang dan sesudah Idul Adha ini, yang saya rasakan
tidak kurang dari sebuah melankoli dan berbagai rasa yang menjejal di
dada. Sedih yang saya rasa, karena kecintaan saya pada Allah belumlah
sebesar yang dimiliki dua lelaki mulia yang selalu saya kagumi.
Bangga yang saya rasa, adalah ketika kesyukuran saya hanturkan sebab
Allah swt. takdirkan saya mengimani kedua lelaki mulia ini. Semoga
hidayah-Nya terlimpahkan kepada kita. Rindu yang saya rasa yakni
ketika hati kecil saya sungguh ingin ikut hadir dalam kehidupan kedua
lelaki mulia ini, menemani perjuangan beliau atau setidaknya berharap
kerinduan ini bisa tercurah pada keduanya di surga kelak. Semua rasa
itu menjadi satu dalam beberapa hari ini bahkan hingga saya membuat
tulisan ini, hati saya masih tetap bergemuruh.
***
Seperti
apa gemuruh rasa pada Idul Adha ini ada? Adalah apabila tiap lembar
sirah yang saya baca membawa saya berlari pada ribuan tahun lalu,
mengingatkan saya pada titik awal Nabi Ibrahim memperjuangkan Kakbah
hingga dapat ditawafi dan menjadi arah temu sujud setiap muslim
kepada Allah swt.
Saat itu
adalah masa di mana Nabi Ibrahim as. mendakwahkan ketauhidan kepada
kaumnya sendirian, benar-benar menjadi satu-satunya orang yang
memperjuangkan agama Allah saw. Ketika itu, Nabi Ibrahim as.
berpura-pura sakit demi menghindari upacara kemusyrikan kaumnya. Lalu
beliau menghancurkan berhala yang ditegakkan di sekitar Kakbah. Dan beliau mengatakan kebohongan pada kaumnya, bahwa berhala yang paling besarlah
yang telah menghancurkan berhala yang lain. Hingga kemudian
perjuangan awal Nabi Ibrahim as. ini berujung pada perapian yang
membakar dirinya, meskipun pada akhirnya kobaran api pun mendingin
ketika menyentuh kulit beliau.
Di situlah
gemuruh dalam dada yang saya rasakan mewakili kebanggaan
berlipat-lipat kepada Nabi Ibrahim as. bersama rasa terima kasih yang
tidak ternilai.
Sekumpulan
rasa itu kembali berwujud keharuan sekaligus rasa malu saya pada diri
sendiri ketika jemari saya menelusuri lembaran-lembaran yang berisi
bagian lain dari kehidupan Nabi Ibrahim as. Adalah ketika Hajar telah
melahirkan Nabi Ismail as. dan kecemburuan membuat Sarah meminta
kepada Nabi Ibrahim as. untuk membawa pergi Hajar. Maka saat itu,
dengan petunjuk Allah swt., Nabi Ibrahim as. membawa Hajar ke sebuah
lembah kering tak berpohon tak berair. Di sanalah Nabi Ibrahim as.
juga menerima titah Allah swt. untuk meninggalkan Hajar dan Nabi
Ismail as. yang masih berusia beberapa hari dalam keadaan tanpa
perbekalan.
Ternyata,
ketakwaan Hajar melebihi kesedihannya ditinggalkan sang suami, Nabi
Ibrahim as. Maka ketika Nabi Ibrahim as. tidak memberikan penjelasan
apapun akan kepergiannya, Hajar yakin itu tidak lain adalah perintah
Allah swt. dan dirinya meminta Nabi Ibrahim as. pergi dengan segenap
kepasrahan.
Di
sinilah, ketika Hajar mencari seteguk air untuk Nabi Ismail as. yang
masih bayi, beliau berlari antara bukit Safa dan Marwah berkali-kali.
Kendati kondisi jelas menunjukkan bahwa tidak akan ada sumber air di
sana, tetapi Hajar terus saja berlari dengan segenap ketakwaan dan
kepasrahan bahwa Allah swt. pasti akan menolongnya. Ketika itulah
dirinya mendapati air yang berlimpah dari kaki Nabi Ismail as. yang
masih bayi menendang-nendangkan ke tanah. Dan hingga kini air itu
menjadi menjadi sumber air yang tidak pernah ada habisnya meskipun
muslim dari belahan dunia telah meminumnya; zamzam namanya yang
berarti berlimpah.
Tatkala
Ismail as. telah tumbuh dewasa, Nabi Ibrahim as. mendapatkan mimpi
yang berulang kali hadir dalam tidurnya. Dengan segenap keyakinannya,
Nabi Ibrahim as. percaya bahwa mimpinya adalah petunjuk dari Allah
swt. Tetapi sayangnya, dalam mimpi tersebut Nabi Ibrahim as.
diharuskan menyembelih putra semata wayangnya dari Hajar.
Namun
ketakwaan Ismail as. mengalahkan rasa takutnya untuk disembelih.
Diserahkannya dirinya kepada sang ayah demi ketaatannya kepada
perintah Allah swt. Maka ketika Nabi Ismail telah berbaring dengan
wajah ditutupi kain putih (beberapa sumber menyebutkan wajah Nabi
Ismail as. ditutupi daun lebar), tepat ketika sebilah pisah besar
siap melukai lehernya itulah Allah swt. menggantikan dirinya dengan
seekor kambing dan dirinya selamat dari penyembelihan.
Pada
ketakwaan keluarga inilah semestinya rasa malu itu muncul, terutama
pada diri saya. Ketika sebuah keluarga, suami, istri, dan anak
mengedepankan perintah Allah swt. dan mengesampingkan segala
kemasukakalan dan perasaan, di sanalah buah dari ketakwaan yang tak
bertepi ini tak lain adalah kemulian dari Allah swt. dengan
menjadikan peristiwa yang terjadi pada keluarga Nabi Ibrahim sebagai
rangkaian ibadah haji dan hari raya Idul Adha. Bahkan lebih jauh
lagi, yang semestinya membuat iri adalah Pengakuan Allah swt. yang
menjadikan keluarga ini sebagai keluarga yang disayangi-Nya, keluarga
khalilullah.
Di sisi
lain, setelah tugas kenabian Ibrahim as. selesai dan berganti kepada
nabi terakhir, di sanalah Rasulullah saw. mengambil perannya untuk
kembali memurnikan rukun haji berdasarkan tuntunan Nabi Ibrahim as.
Maka pada tahun 10 Hijriah, saat itulah pertama kalinya Rasulullah
saw. berhaji setelah hijrah –meskipun sebelum berhijrah beliau
sudah beberapa kali menunaikan haji. Saat Rasulullah saw. menunaikan
haji di tahun itulah berarti kewajiban haji kepada setiap muslim yang
mampu telah genap empat tahun sejak perintah tersebut diturunkan pada
tahun 6 Hijriah.
Dan pada
tahun itu, 10 Hijriah, adalah tahun di mana lebih dari 100.000 muslim
dari berbagai penjuru negeri berbondong-bondong menunaikan haji demi
satu kesempatan berhaji bersama Rasulullah saw. Tetapi sayangnya, di
haji pertama Rasulullah saw. setelah hijrah tersebut sekaligus
merupakan haji terakhir Rasulullah atau Haji Wada' sebelum akhirnya
Rasulullah saw. berpulang di tahun hijriah berikutnya.
Sungguh
kepergian Rasulullah saw. terlah dibaca oleh Abu Bakr as-Shidiq
ketika Rasulullah saw. menyampaikan wahyu yang baru diterimanya
selepas wukuf di Arafah. Sesaat setelah mendengar wahyu yang
Rasulullah saw. sampaikan, Abu Bakr as-Shidiq menangis tersedu hingga
Umar ibn Khattab menegurnya.
“.....Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu, …..” kata Rasulullah saw. kepada seluruh jemaah haji di
Arafah.
“Bukankah
itu kabar gembira atas kesempurnaan keislaman kita?” tanya Umar ibn
Khattab kepada Abu Bakr as-Shidiq.
“Bukankah
pada setiap hal yang sempurna pasti akan ada yang berkurang?” dalam
sedunya Abu Bakr as-Shidiq menjawab dengan isyarat bahwa firasatnya
menyatakan bahwa tak lama lagi Rasulullah saw. akan berpulang.
Pada ahli
hadits menyatakan bahwa wahyu yang Rasulullah saw. sampaikan pada 9
Dzulhijjah 10 H lalu adalah benar sebuah isyarat kepulangan
Rasulullah saw. Akan tetapi di balik itu semua, para ahli hadist dan
ulama menyepakati bahwa salah satu makna yang ada di balik wahyu ini
adalah Idul Adha sebagai hari besar umat Islam sekaligus hari Jumat
sebagai hari raya umat Islam –sebab wahyu ini diturunkan pada hari
Jumat.
Jauh
dibalik haji pertama dan terakhir Rasulullah saw. ada banyak
perjuangan Rasulullah saw. dan para sahabat untuk mendapatkan kembali
Mekkah hingga setiap muslim bebas memasuki Mekkah dan berhaji di
dalamnya. Kemudian Allah swt. melalui Rasulullah saw. mengharamkan
Tanah Haram dimasuki kaum musyrikin.
***
Melalui serangkaian kisah dan sejarah
inilah saya pribadi belajar bagaimana menerjemahkan Idul Adha dengan
cinta. Bahwa ada lapis-lapis cinta berbuah takwa dari keluarga Nabi
Ibrahim as. khalilullah yang menjadikan peristiwa-peristiwa dalam
keluarga beliau sebagai rangkaian yang harus dilakukan dalam ibadah
haji dan menjadi hari raya umat muslim. Di balik sejarah Idul Adha
inilah, Nabi Ibrahim as. menunjukkan sebenar-benarnya cinta yang
sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami taat. Yang menjadi bukti
bahwa ketika kepatuhan berakar cinta ini ditanamkan, maka kemuliaan
adalah satu-satunya balasan yang layak dari Allah swt.
Melalui serangkaian kisah dan sejarah dakwah
Rasulullah saw. saya belajar bagaimana kecintaan dan ketaatan
sesungguhnya pasti menyisahkan rindu pada temu. Ketika Rasulullah
saw. murung di setiap shalatnya yang menghadap Masjidil Aqsha dan
senyum di wajah mulianya terkembang setelah Allah swt. mengabarkan
perpindahan kiblat menjadi ke arah Kakbah, Mekkah al-Mukarramah, kota
kelahiran beliau dan awal perjuangan Islam dimulai.
Pada saat itu bagi Rasulullah saw. dan para
sahabat yang bertahun-tahun dilarang memasuki Mekkah, menunaikan
umrah ataupun haji ke Baitullah sebagai pelampiasan rindu yang
teramat dalam pada Allah swt. Hal inilah yang sejatinya menjadi
pengantar setiap pemilik hati yang menginjakkan kakinya di Masjidil
Haram, hati dengan kerinduan yang mendalam demi beribadah dengan
tuntunan Nabi Ibrahim as. dan Rasulullah saw. dan berharap bisa
mendapat rahmat-Nya agar kelak bisa dipertemukan dengan keduanya di
surga.
Di balik sejarah peradaban Islam sejak masa Nabi
Ibrahim as. hingga Nabi Muhammad saw. inilah Idul Adha telah
benar-benar disiapkan Allah swt. sebagai hari besar untuk merayakan
cinta. Yakni sebuah kecintaan kepada-Nya yang dititipkan hikmahnya
pada kisah-kisah dua lelaki mulia yang namanya selalu disebut dalam
shalat kita, muslim.
Semoga kita menjadi termasuk muslim yang
menghargai sejarah Islam sehingga kita mampu merasakan keimanan yang
dimiliki para nabi, rasul, dan ulama terdahulu. Sehingga tidak ada
hal lain yang dapat kita rasakan dari kisah-kisah mereka kecuali
setiap hari adalah peribadahan atas nama cinta kepada-Nya, manisnya
iman, kenikmatan berislam, dan semangat mendakwahkan Islam di
berbagai lini kehidupan; dalam pendidikan, kesehatan, dan bisnis, dan
pemerintahan.
“Orang yang beruntung adalah orang yang
mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami orang lain.”
Yakni tentang sebuah ketakwaan tanpa tapi yang
telah diteladani Nabi Ibrahiim as., Hajar, dan Nabi Ismail as. yang
senantiasa mengedepankan perintah Allah swt., yang ketakutan dan
kecemasan ketiganya mampu mengalahkan kepatuhannya kepada Allah swt.
Yakni tentang sebuah perjuangan yang Rasulullah saw. dan para sahabat
lewati melalui Fathul Mekkah, perjanjian Hudaibuyah, hingga Haji
Perpisahan Rasulullah saw. bersama para sahabat dan ratusan ribu
muslim menjadi pertanda keberhasilan dakwah beliau selama puluhan
tahun. Hingga hari-hari dalam merayakan Idul Adha adalah hari-hari
merayakan cinta kepada-Nya.
Betapa ini adalah sejarah yang semestinya menjadi
pengikat antar hati muslim agar tetap mengingat perjuangan para Nabi
dan Rasulullah saw. demi terwujudnya Islam yang sempurna seperti
sekarang. Di sisi lain, seperti yang dinasihati para ulama terdahulu,
mendengarkan atau membaca kisah orang-orang saleh, termasuk pada
nabi, merupakan salah satu cara untuk menguatkan keimanan melalui
hikmah yang ada di dalamnya.
@fatinahmunir | Jakarta, 4 September 2017