Archive for August 2017

Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka




Tuan Garuda bertengger lesu di tempatnya, di posisi tertinggi dalam setiap dinding putih. Atau di dada kiri setiap pribumi. Tua. Itulah nasib Tuan Garuda saat ini. Sepertinya ia tak lagi pantas dipanggil tuan karena cahaya bulu-bulunya yang memudar. Atau mungkinkah karena huruf “n” yang diasungnya kini menggelinding dan hancur terinjak tuan-tuan lain, yang juga menginjak-injak nilai-nilai negeri ini? Entahlah, padahal usia Tuan Garuda tak setua rupanya. Jika dalam lembar sejarah Tuan Garuda dikatakan terlahir 11 Februari 1950 silam, itu berarti usianya belum menginjak enampuluh.

Akhir-akhir ini Tuan Garuda sering sekali mendesah.

“Ah…,” begitu desahnya berulang setiap tuan-tuan tak berhati melakon lagi di tanah tempatnya dijunjung tinggi. Kentara sekali perbedaan rupa Tuan Garuda yang dulu dan sekarang. Tuan Garuda seperti seorang kakek yang banyak pikiran dengan wajah layu dan bulu-bulu yang mulai kelabu.

Dulu, saat tanahnya masih subur karena pupuk jujur, Tuan Garuda selalu tampak gagah. Kini ketika Tuan Garuda berkaca pada jendela gelap yang ada di depannya, ia hampir lupa bahwa dulu ia sempat bahagia. “Siapakah aku sekarang ini?” tanyanya pada diri sendiri. Tuan Garuda semakin menampakkan murungnya yang bergelantung di paruhnya yang kini tumpul.


Masih lekat dalam benak Tuan Garuda keagungan masa mudanya saat namanya diteriakkan bersama seruan pribumi yang menggetarkan langit penjajah, mengusir orang-orang asing yang seenaknya mengambil hasil. Saat itu kepalanya tegak memancarkan pesona pada hijaunya semesta, pada panji-panji pejuang bersurban. Lehernya kokoh menopang bulu-bulu emas yang berkilauan. Dadanya gagah mengusung bangga perisai tanah air tercinta. Cakarnya menggenggam kuat pita suci bersemboyankan kesatuan negeri.

Tapi kini, kepalanya tak lagi tegak menghadap kanan. Tuan Garuda seakan dehidrasi, lemas tanpa daya. Tuan Garuda menundukkan kepalanya seakan menopang malu pada dunia.  Tuan Garuda malu pada para pendahulu yang memperjuangkan bangsa yang mungkin ikut menyaksikkan penerus-penerusnya menjajakan harga diri negeri dengan harga yang tak tinggi sama sekali. Tuan Garuda malu melihat pemuda-pemuda yang sibuk beradu pikir tanpa saling bekerjasama membangun pikir. Tuan Garuda malu melihat pemuda-pemudi yang sibuk saling menyalahkan atas penguasa asing tanpa bermawas diri dan tak pernah mempelajari sejarah negerinya sendiri.

Duka dan malunya Tuan Garuda tidaklah sendiri. Di sudut lain dalam ruangan ruangan yang sama, ada sosok lain yang merasakan hal serupa. Sosok yang menemaninya sejak ia masih muda hingga keduanya sama-sama renta.


***
Semilir angin senja menari dengan centilnya di antara pepohonan tanah air yang tak lagi rindang. Genit. Tiupannya gemulai. Penuh kehalusan. Dengan kelembutannya yang disengaja, angin senja membuyarkan lamunan Tuan Garuda. Angin senja terkikik, tertawa ala remaja, menyisakan kesejukan pada Tuan Garuda. Lalu pergi setelah membelai lembut Nyonya Sang Saka yang tertidur nyenyak di ruang putih dan lembab.

“Uhuk, uhuk!” Nyonya Sang Saka terbatuk dan menggigil sesaat.

Nyonya Sang Saka menggeliat di tiang kayunya. Ruangan yang penuh dengan kesunyian itu tak mampu membuatnya berkibar dengan ketegaran yang mengakar pada tiang tempatnya berpijar.

Tujuhpuluh dua tahun silam, dari dua tangan Ibunda Fatmawati, Nyonya Sang Saka lahir dan menjadi nyonya tanah air. Sama seperti Tuan Garuda, keduanya lahir di tengah gemuruh kebebasan dari penjajahan. Keduanya dijunjung bersama kebahagiaan pribumi. Tuan Garuda dan Nyonya  Sang Saka memang ditakdirkan berjumpa dalam riuh ricuh kemenangan, kebebasam dan kekhitmatan syukur pada Tuhan.

Merah dan putih adalah kecantikan sempurna yang dimiliki Nyonya Sang Saka. Kain sutra yang menjadi tubuhnya, membuat Nyonya Sang Saka semakin terlihat megah namun tetap bersahaja. Dalam merah dan putih, tubuh dan jiwa Nyonya Sang Saka melebur dalam keberanian yang suci. Sempurna, itulah sosok Nyonya Sang Saka di tanah Bhineka.

Mungkin hanya Nyonya Sang Saka satu-satunya nyonya yang mampu melawan teriknya matahari di bumi khatulistiwa dengan penuh keanggunan. Kala itulah Nyonya Sang Saka berkibar di tengah tanah merdeka, bersinar di tengah hari yang panas namun menyejukkan.

Semasa mudanya, sepanjang hari Nyonya Sang Saka hanya menari di udara. Nyonya Sang Saka tak mengenal siang dan malam. Nyonya Sang Saka hanya ingin menarikan kibaran di sepanjang hidupnya. “Ini untuk tanah air yang melahirkanku,” serunya sesekali ketika sedang menembus batas kenikmatan tariannya.

Tapi itu semua adalah sosok Nyonya Sang Saka yang dulu. Jauh sebelum mentari di bumi khatulistiwa mengganas. Jauh sebelum keberanian suci yang dimilikinya direnggut tuan-tuan bertangan hitam.

Kenyataannya, nasib Nyonya Sang Saka tidak lebih baik dari Tuan Garuda. Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka sama-sama tumbuh dari keringat para pejuang negeri lalu kini tenggelam dalam airmata pribumi.

Saat masih muda dan merah putihnya masih segar di mata, Nyonya Sang Saka belum mengerti tentang kehidupan yang sebenarnya. Ia kira, ia dapat menari selamanya. Berdansa dengan angin yang telah berkelana dari Aceh hingga Papua, diiringi dedaunan yang cemburu padanya. Nyonya Sang Saka tak pernah mengira, bahwa matahari tak selamanya mau menyaksikan tariannya.

Tubuh Nyonya Sang Saka semakin lusuh. Merah darahnya kini berubah menjadi warna senja. Putih tulangnya kini semakin kusam dan buram. Nyonya Sang Saka semakin renta.

“Sedihkah yang selama ini kau rasakan, Nyonya?” Tuan Garuda membuka suaranya.

“Hanya pernah, Tuan. Tidak untuk selamanya.”

“Tapi, apakah kau tidak merasakan sedih yang mendalam hingga kau merasa bahwa kau akan sedih untuk selamanya?”

“Aku tidak pernah mengharapkannya.”

“Ya, akupun begitu. Tapi tangan Tuhan merangkainya dengan berbeda.”

Nyonya Sang Saka tersenyum tipis di balik balutan tubuhnya. “Tuhan memang menentukan. Tapi kita masih punya satu senjata, Tuan. Mungkin Tuan lupa.”

“Masih adakah yang dapat diharapkan?”

“Pilihan.”

“Ketentuan-Nya bukanlah pilihan, Nyonya.”

“Memang ketentuan-Nya bukan pilihan. Tapi Dia memberikan kita pilihan untuk menindaki ketentuan-Nya, Tuan. Aku dan Tuan masih memiliki pilihan untuk dapat menyerah pada ketentuan-Nya atau menerjangnya.”

“Cukuplah berfilosofi Nyonya Tua! Ini tentang negeri yang melahirkan kita, yang pernah bahagia dan kita pun pernah merasakannya.”

“Aku mengerti  maksudmu, Tuan yang tetap gagah. Lalu, apa yang sebenarnya kau rasakan? Kesedihan mendalam yang membuatmu merasa akan berada dalam ruang kelam selamanya?”

“Ah…, tidakkah kau merasa, Nyonya, bahwa tanah air telah kehilangan sinarnya meski kini banyak terlihat kemegahan di mana-mana? Aku seperti hidup di tengah arus kedustaan, Nyonya. Dusta yang sangat dusta. Tanah air dipercantik hingga terlihat bergemerlap dari luar sana. Tapi di dalamnya, banyak coreng dan penindasan. Tuan-tuan pemangku amanah seakan tak pernah punya agama. Mereka seperti tak punya Tuhan yang akan mengadili dirinya. Tidakkah kau merasakannya?” Suara Tuan Garuda bergetar, geram, cakarnya tiba-tiba menegang seperti ingin mencengkeram.

“Tuan, ingatkah kau bahwa aku adalah pasanganmu? Kita terlahir di tangan yang sama. Tangan pejuang negeri padi yang kekar akan pengorbanan. Mungkinkah Tuan melupakannya sehingga Tuan menanyakannya kepadaku? Tak berbeda denganmu. Akupun sakit, Tuan. Sakitku sakit sepi. Sakit yang tak dapat kubagi.”

“Aku tempat berbagi padamu, Nyonya.” Tuan Garuda menyela.

“Ya…, tapi tak akan mudah Tuan mengerti sakitnya Nyonya Muda yang pernah jatuh cinta pada ketulusan perjuangan yang pernah dijunjung tinggi di negeri ini. Tak akan mudah Tuan mengerti bahwa nyanyian tanah air telah menarik hati Nyonya Merah Putih ini. Tuan, aku telah mencintai tanah air ini jauh sebelum tanah air mempertemukan kita. Jauh ketika tuan-tuan Majapahit menguasai negeri ini sebelum para asing datang untuk melukai. Semakin aku memendam cinta ini, semakin menjadi gemuruh yang terjadi dalam dadaku. Aku mencintai tanah air  yang melahirkanku hingga saat ini. Meski ia telah melupakan arti kehadiranku yang sesungguhnya kini.” Nyonya Sang Saka merapatkan tubuhnya pada tiang coklat termpatnya terikat.

Nyonya Sang Saka memang telah jatuh cinta pada tanah air yang melahirkannya. Bukan atas nama cinta antara ibunda dan anak yang ia punya, melainkan cinta sebagaimana dua makhluk disatukan untuk melahirkan keindahan lainnya di dunia.

Nyonya Sang Saka juga mencintai Tuan Garuda, tapi tak sebesar cintanya pada tanah air Bhineka. Hingga suatu masa, cinta Nyonya Sang Saka menyakiti dirinya. Tanah air melupakan Nyonya Sang Saka —juga Tuan Garuda. Tanah air lupa arti keanggunan Nyonya Sang Saka. Tanah air tak lagi melihat tarian Nyonya Sang Saka dengan khitmat. Cinta Nyonya Sang Saka pada tanah air mendarahkan darah yang melekat pada tubuhnya, merenggut paksa kesucian yang menjadi bagian dari keanggunannya.

“Tanah air melupakan keberartianku. Tanah air melupakan semboyan dalam cengkramanmu. Aku sakit, sesakit mata yang tercungkil paksa, Tuan.”

Tuan Garuda merangkul Nyonya Sang Saka.

“Kita memang tak dapat berbuat apa-apa, Tuan. Bahkan pada pilihan kita sekalipun. Haruskah kuungkapkan ini padamu yang bernasib sama denganku? Bukan karena aku tak peduli masa lalu kita yang sempat cerah. Aku masih mengingatnya. Bahkan di setiap pejamanku. Rekaman masa lalu itu terulang nyata dalam benakku, Tuan. Aku merindukan tarianku yang sesungguhnya kutujukan pada tanah air tercinta. Aku merindukan nyanyi mereka yang penuh dengan makna, serta kebanggaan pribumi kepada kita, kepada tanah air yang melahirkan kita.”


“Ya, Nyonya. Pribumi lupa pada dua wujud kebesaran tanah airnya. Tanah air pun lupa pada pita putih yang pernah mereka buat aku mencengkeramnya hingga kini,” Tuan Garuda menunduk, memandang semboyan yang dicengkeramnya sejak puluhan tahun silam
“Sesungguhnya aku takut, Tuan”

Tuan Garuda merapatkan rangkulannya.

“Aku takut saat menyaksikan pribumi terpecah belah. Aku ngilu saat melihat tuan-tuan pemimpin tanah air mulai memutarbalikkan fitrah. Perih, Tuan, saat dalam tarianku, aku melihat banyak pribumi yang dijajah oleh saudara sendiri.” Nyonya Sang Saka menitikkan airmatanya, satu-satu.

“Menangislah, Nyonya. Mungkin airmatamu bisa menyuburkan kejujuran dalam tanah air ini. Atau jika aku masih mampu, akan kukepakkan sayapku di angkasa nusantara, agar kekejian tanah air dapat terhempas ke dimensi neraka.”

“Aku tak ingin ini terjadi selamanya, Tuan. Tak sanggup aku membayangkan kelangsungan nasib kita. Aku tak pernah menginginkan kesedihan. Terlebih di atas tanah air ini.” kata Nyonya Sang Saka sedih.

“Aku pun begitu, Nyonya. Berdoalah! Semoga tanah air sembuh dari sakit yang tak dirasakannya. Semoga tuan-tuan yang mengaku pemimpin tanah air ini menyadari bahwa mereka memiliki tanggungan di hadapan Tuhannya. Semoga pribumi kembali mengalirkan semboyan yang kucengkram dalam deras nadi mereka. Berdoalah, Nyonya! Semoga kita bisa kembali dihayati. Biar mereka, pribumi yang masih berhati, yang menjalankan tugasnya sebagai makhluk Tuhan yang sesungguhnya, yang memimpin muka bumi ini dengan penuh cinta dan tanggung jawab kepada tanah air yang melahirkan kita, kepada Tuhan yang Menciptakan kita.”

Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka berpelukan, saling menguatkan.

Dengan satu sayapnya, Tuan Garuda memperbaiki posisi perisai yang hampir lepas dari dadanya. Tuan Garuda mengeratkan pita di cakarnya. Lalu ia mengepakkan sayapnya, menghadap kanan, melihat matahari dari balik jendela dengan mata tajam.

Nyonya Sang Saka mengurung dukanya. Entah kemana ia membuang kunci kesedihan itu. Kini ia menari dalam ruang putih yang tak berpenghuni tanpa disaksikan matahari.

Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka memang mempunyai kisah yang sama. Hingga akhir kisahnya, mereka sudah ditakdirkan bersama. Kini mereka menanti kisah mereka yang selanjutnya. Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka menunggu tuan-tuan berhati yang mau mengembalikan fitrah tanah air yang dicintainya.

“Semoga tanah air ini adil, makmur, dan sentosa. Semoga kibaranku di seluruh pantai tanah air tetap dipuja dengan rasa. Semoga!”

Nyonya Sang Saka menari bersama airmatanya yang menetes, satu-satu.


***

@fatinahmunir
Kamis, 17 Agustus 2017
Semoga Allah SWT limpahkan Rahmat-Nya kepada Indonesia
17 August 2017
Posted by Fatinah Munir
Tag :

Berbakti Semasa Hidupnya dan Setelah Wafatnya



Bismillahirrahmanirrahim

Tulisan ini merupakan catatan dari sebuah kajian yang saya hadiri beberapa hari lalu di salah satu masjid yang ada di Jakarta Pusat dengan judul kajian yang sama dengan judul tulisan ini. Kajian ini disampaikan oleh Ustaz Bendri Jaisyurrahman, salah satu ustaz favourite saya dalam hal parenting islam dan pernikahan. Sebelum saya menuliskan apa yang saya dapatkan dari kajian ini, saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan ataupun isi. Saya mohon koreksi kepada pembaca melalui kolom komentar yang ada di bawah tulisan ini :)

Berbicara tentang berbakti kepada orang tua, tentunya semua ini adalah harapan besar orang tua kepada anak-anaknya dan menjadi cita-cita bagi setiap anak kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi banyak di antara kita dan juga saya tentunya yang sebatas memahami bahwa berbakti kepada orang tua adalah salah satu kewajiban sebagai seorang anak. Ternyata itu salah sekali bukan! Berbakti kepada orang tua bukanlah kewajiban sebagai seorang anak, melainkan itu adalah kewajiban sebagai seorang hamba Allah SWT.

Berbakti kepada Kedua Orang Tua dan Ketauhidan

Berbakti kepada kedua orang tua adalah bagian dari ilmu tauhid, bahkan dikatakan bahwa baiknya agama seseorang, ketauhidan seseorang, tergantung kepada bagaimana sikapnya kepada kedua orang tua. Dalam QS. Luqman, yang di dalamnya terdapat dasar-dasar parenting Islam disebutkan bagaimana berbakti kepada kedua orang tua menjadi hal yang harus dilakukan setelah kita memahami ketauhidan.

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman 12-14)

Tiga ayat di atas menggambarkan sebagian dari nilai-nilai parenting islam dalam QS Luqman, yang mana setelah bersyukur kepada Allah SWT dan mengesakan Allah SWT (tidak menyekutukan Allah SWT), setiap anak diharuskan berbakti kepada orang tua. Di sinilah berbakti kepada kedua orang tua dalam tekstual disebutkan berbuat baik dan bersyukur kepada keduanya diposisikan setelah ketauhidan. Oleh sebab itu dikatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah wujud ketauhidan kita kepada Allah SWT.

Hal ini juga sejalan dengan salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi kurang lebih, “Ridha Allah SWT tergantung kepada ridha kedua orang tua”. Berdasarkan firman Allah dan sabda Rasulullah ini, apabila ada seorang muslim yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya maka semestinya aqidah agamanya harus dipertanyakan.

Tapi bagaimana jika kedua orang tua kita tidak pernah mengajarkan kebaikan kepada kita dan melakukan hal yang dilarang oleh Allah SWT? Jawabannya adalah tetaplah berbuat baik kepada kedua orang tua.

Banyak kasus anak yang tidak ingin atau enggan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan alasan perbuatan buruk yang diterimanya dari orang tua. Hal ini sama saja seperti ungkapan “saya mau membalas dendam saya kepada kedua orang tua”. Kesalahan dalam pemikiran “balas dendam” ini adalah di mana berbuat baik kepada kedua orang tua dianggap sebagai membalas jasa kedua orang tua. Padahal berbuat baik kepada kedua orang tua bukanlah proses membalas jasa-jasa orang tua kepada kita, anak-anaknya, berbuat baik kepada kedua orang tua adalah perihal bagaimana kita mentauhidkan Allah SWT.

Di dalam al-Qur’an, berbuat baik kepada kedua orang tua disebut menggunakan kata “ihsan” bukan “khairan”. Ketika suatu kebaikan disebutkan menggunakan kata ihsan, itu artinya kebaikan tersebut harus dilakukan terus menerus dengan dasar muqorabatullah (selalu merasa dilihat oleh Allah). Oleh sebab itu, berbuat baik kepada orang tua bukan sebatas bagaimana anak berinteraksi dengan keduanya, tetapi ketika anak jauh dari orang tua  dan tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan kedua orang tuanya juga merupakan bagian dari berbakti kepada kedua orang tua.

Bagaimana menjaga kehormatan dan kemulian orang tua saat jauh dari keduanya? Hal ini dicontohkan mulai dari hal yang paling sederhana seperti tidak mendumel saat melakukan perintah orang tua. Lebih jauh lagi adalah kita sebagai anak harus tetap  menutupi aib kedua orang tua meskipun hal itu adalah benar.

Perlu kita sadari bahwa kedua orang tua kita bukanlah malaikat yang memiliki kesempurnaan. Keduanya pasti memiliki kekurangan sebagaimana kita juga anaknya. Oleh sebab  itu pasti akan ada orang tua yang memiliki karakter yang tidak diharapkan oleh anak-anaknya dan berbagai karakter orang tua inilah yang menjadi karunia bagi anak, sehingga anak patut mensyukurinya.

Sebagaimana di  awal dikatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan wujud ketauhidan kita kepada Allah, maka beragam karakter orang tua merupakan ujian tauhid bagi setiap anak  demi mendapatkan pintu surga yang seluas-luasnya selagi masih di dunia. Ketika ujian tauhid ini datang pilihan kita sebagai anak hanya dua; mempertahankan pintu surga itu untuk kita atau melepaskannya untuk selama-lamanya. Apabila seorang anak memilih mempertahankan pintu surganya dengan tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, niscaya pahala dalam ujian tauhid ini  akan berlipat-lipat nilainya. Setidaknya dua di antaranya adalah pahala mengikuti perintah Allah SWT untuk birul walidain dan pahala berbuat baik kepada orang-orang terdekat.

Terdapat sebuah kisah pada zaman Nabi Musa as. Saat itu Nabi Musa as. mendapatkan kabar dari Allah bahwa akan ada seorang pemuda yang bertetangga dengannya. Nabi Musa as. penasaran bagaimana pemuda ini bisa bertetangga dengannya nanti surga, sedangkan dirinya tidak pernah mengenal pemuda ini.  Alkisah, Nabi Musa as. mendatangi pemuda ini berdasarkan petunjuk Allah dan bertamu ke rumahnya. Saat menyambut Nabi Musa as., tidak ada yang istimewa dari pemuda ini. Justru pemuda ini sering pamit ke belakang meninggalkan Nabi Musa as. sendirian. Lantas Nabi Musa as. mengintip apa yang dilakukan pemuda tersebut yang ternyata pemuda ini rela meninggalkan Nabi Musa as. bertamu untuk memberi makan dua ekor babi dengan begitu telaten.

Ketika pemuda itu  kembali, Nabi Musa as. menegurnya karena telah tega meninggalkan Nabi Musa as. yang bertamu hanya demi memberi makan dua ekor babi. Saat itu juga pemuda ini menangis dan memohon maaf kepada Nabi Musa as. sambil menceritakan bahwa kedua babi yang dia beri makan adalah kedua orang tuanya yang telah dikutuk oleh Alah SWT karena kedurhakaan keduanya kepada Allah SWT. Saat itulah Nabi Musa as. mengerti mengapa pemuda yang ada di depannya bisa menjadi tetangganya di surga kelak.

Di sinilah kisah ini menunjukkan kepada kita betapa Allah SWT memuliakan siapa saja yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya meskipun keduanya telah mendurhakai Allah SWT atau dibenci Allah SWT hingga dikutuk menjadi dua ekor babi. Melalui kisah ini pula kita belajar bagaimana berbakti kepada kedua orang tua  bisa dilakukan kapan saja melalui hal apa saja seperti yang dilakukan pemuda dalam kisah ini yang memberi  makan dua ekor babi dengan kelembutannya. Dari sini pula kita bisa mencontoh, sesalah apapun kedua orang tua tetaplah berlemah lembut kepada keduanya. Meskipun ingin menasihati, sebaiknya tetap menggunakan kata-kata yang lembut dan memulainya dengan panggilan yang baik kepada kedua orang tua.

Kisah lainnya datang dari keluarga taqwa, sebuah keluarga yang sangat saya cintai dan berharap bisa meneladani ketaqwaan keluarga ini. Inilah kisah keluarga Nabi Ibrahim as., keluarga yang senantiasa menunjukkan kecintaannya kepada Allah SWT tanpa tapi.

Nabi Ibrahim as. dalam beberapa kitab kisah nabi dikisahkan adalah sosok bapak yang jarang sekali bertemu dengan anak-anak dan keluarganya karena perjalanan dakwahnya. Saat Siti Hajar hendak melahirkan Ismail, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as. membawa Siti Hajar ke lebah tandus yang kini kita kenal sebagai kota Mekkah al-Mukarramah. Saat itulah Nabi Ismail as. dilahirkan di padang tandus tak berkehidupan. Kemudian setelah sekian tahun lamanya, barulah Nabi Ibrahim as. kembali menjumpai Siti Hajar dan Nabi Ismail as. bersama dengan perintah Allah SWT untuk menyembeli Nabi Ismail as. yang baru ditemuinya. 

Saat itu, dengan ketaatan kepada Allah SWT dan bapaknya, Nabi Ismail as. bersedia disembelih dengan jawaban yaa aba tif’al maa tu-maruu, wahai bapakku kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu. Tetapi setelahnya terselip jawabannya satajiduniii insya Allah minas shaabiriin, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Beberapa ahli tafsir menyatakan bahwa kalimat pertama Nabi Ismail as. mengartikan ketaatannya kepada Allah SWT dan bapanya. Tetapi kalimat kedua yang diucapkannya mengartikan betapa sebenarnya Nabi Ismail as. takut menjalankannya dan dirinya terus berusaha dan berdoa di tengah ketaatan dan rasa takutnya.

Pada bagian kehidupan lainnya antara Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. dikisahkan Nabi Ibrahim as. ingin menjumpai Nabi Ismail as. yang telah menikah. Saat itu Nabi Ibrahim as. hanya berjumpa dengan seorang wanita yang tak lain adalah menantunya yang belum mengenal rupa dirinya. Nabi Ibrahim as. pun bertanya tentang sikap suami wanita tersebut tanpa menyebut bahwa dirinya adalah bapak dari suaminya atau mertua darinya. Wanita itupun menceritakan keluh kesahnya akan sikap Nabi Ismail as., hingga saat Nabi Ibrahim hendak pulang dan tidak berjumpa dengan anaknya, Nabi Ibrahim as. berpesan kepada wanita tersebut, menantunya, “Jika suamimu datang, katakalah bahwa seorang lelaki tua mencarinya dan sampaikan pesanku kepadanya untuk segera mengganti palang pintunya.”

Pesan Nabi Ibrahim as. pun disampaikan kepada Nabi Ismail as. Wanita itu terkejut ketika mengetahui  bahwa lelaki yang diajaknya berbicara tetang keburukan suaminya adalah mertuanya sendiri. Dan yang  dimaksudn  dengan “mengganti palang pintu” dalam pesan yang disampaikannya adalah sebuah perintah untuk menceraikannya.

Hikmah dalam kisah ini adalah Nabi Ismail as. yang jarang bertemu dengan bapaknya mampu membaca pesan tersembunyi yang disampaikan Nabi Ibrahim as. Di sinilah kita sebagai anak juga diharapkan bisa membaca beberapa pesan atau nasihat tersirat yang disampaikan kedua orang tua kita. Selanjutnya adalah ketaatan kepada kedua orang tua yang dilakukan Nabi Ismail as. saat hendak disembeli ataupun saat diperintah untuk menceraikan istrinya betul-betul langsung dilakukan saat itu juga setelah mendengar perintah. Di  sinilah Nabi Ismail as. meneladani kita akan ketaatan kepada kedua orang tua tanpa ditunda seperti halnya ketaatan kita kepada Allah SWT. Terakhir adalah tauladan tentang ikatan antara anak dan orang tua yang begitu kuat meskipun keduanya jarang bertemu. Apakah yang menguatkan ikatan mereka meskipun jarang adanya pertemuan? Adalah ketaatan keduanya kepada Allah SWT yang menjadikan hubungan mereka kuat, tidak hanya sebatas pertemuan fisik melainkan pula pertemuan hati.

Seperti itulah beberapa kisah yang bisa menjadi teladan bagi setiap muslim tentang berbuat baik kepada kedua orang tua. Mulai dari menaati keduanya tanpa tapi selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW hingga menumbuhkan ikatan batin antar anak dan orang tua melalui ketaatan kepada agama.

Pada bagian al-Qur’an yang lain, tepatnya pada QS. al-Isra’ disebutkan pula perintah berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah mengesakan Allah SWT. Di tambahkan dalam surat tersebut perintah Allah SWT untuk berlemah lembut dalam berbuat berbuat dan berkata kepada kedua orang tua dengan tidak sekali-kali berkata “ah” pada keduanya.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. an rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. al-Isra’ 23-24)

Kata “Uff” yang berarti “ah” dalam ayat ini oleh beberapa ahli bahasa diartikan apabila ada debu di atas batu dan ketika kita mengeluarkan suara dekat batu tersebut maka debu yang ada di atasnya berterbangan, maka hal itu sudah disebut “Uff”. Maka sekecil apapun gerutu yang keluar dari mulut kita, hal itu sudah disebut “Uff”.

Jika melakukan “Uff” atau “ah” saja sudah dilarang dalam al-Qu’an, maka membantah dan berselisih pendapat dengan kedua orang tua dengan saling berdebat adalah yang seharusnya dijauhi oleh setiap anak sebagai wujud ketauhidan dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Bahkan dalam sebuah hadits di tegaskan (saya lupa bunyi haditsnya), bahwa apabila seseorang membentak orang tua maka ribuan malaikat melaknat dirinya. Na’udzubullahi mindzalik.

Bagaimana bakti kita kepada kedua orang tua setelah menikah? Mungkin itu yang akan menjadi pertanyaan bagi sebagian anak yang sudah tumbuh menjadi dewasa, siap menikah atau bahkan sudah menikah. Dalam hal ini dikisahkan kisah nyata Ustaz Bendri ketika ibu mertuanya, ibu dari istrinya, tinggal di rumah beliau dan sedang sakit. Saat itu istri Ustaz Bendri fokus mengurus ibunya yang sedang sakit sehingga Ustaz Bendri sendiri terkadang tidak terurus. Saat itu, di puncak kecemburuan seorang suami, Ustaz Bendri membentak istrinya sambil berkata,"Titipkan ibumu ke panti jompo!"

Sontak istri Ustaz Bendri menangis dan mencium tangan beliau sambil berkata, "Ada banyak pintu surga yang Allah SWT sediakan untuk kita. Ada pintu untuk orang-orang yang berpuasa, tapi saya jarang berpuasa sunnah. Ada pintu untuk orang-orang yang gemar bertahajjud, tapi saya jarang sekali salat tahajjud karena terlalu lelah mengurus rumah dan juga ibu. Ada juga pintu surga untuk orang-orang yang gemar bersedekah, tapi kamu tahu kalau saya bukanlah ahli sedekah. Lalu pintu surga mana yang saya punya? Saya berharap dengan merawat ibu di masa tuanya, saat beliau sakit seperti ini bisa menjadi salah satu pintu surga yang saya punya. Apakah kamu mau mengambil pintu surga itu dari saya?"

Ustaz Bendri tersentak mendengarkan jawaban istrinya. Beliau pun meminta maaf kepada istrinya yang sedang mencoba berbakti kepada ibunya. "Maafkan saya yang egois. Saya rodhoi kamu merawat ibumu dengan sebaik-baiknya, supaya menjadi pintu surga buatmu kelak. Semoga ridho yang berikan kepadamu ini bisa menjadi sebab saya menemanimu di surga kelak," jawab Ustaz Bendri meridhai istrinya merawat ibunya.

Kisah di atas nyata di alami Ustaz Bendri dan sungguh menyesakkan dada para jamaah yang hadir, termasuk saya. Dari kisah ini tentu kita bisa mengambil hikmahnya bahwa meskipun seteah menikah istri harus taat kepada suami, tetapi suami juga harus tetap mendukung istrinya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tuanya tanpa menghilangkan baktinya kepada suami. Demikian pula meskipun suami tetap menjadi milik ibunya meskipun telah berkeluarga, istri semestinya tidak mencemburui bakti suami kepada ibunya. Lebih baik lagi jika seorang istri berterima kasih kepada ibu dari suaminya karena dirinya diperkenankan menikahi anaknya. Demikianlah suami istri harus tetap saling mendukung pasangannya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tua dan juga mertua demi terciptanya sebuah hubungan yang senantiasa dalam kebaikan. Dalam istilah saya pribadi, beginilah semestinya pernikahan menjadi sebuah projek kebaikan, yang mana suami istri saling mendukung dan saling menciptakan jalan kebaikan untuk keduanya.

Beranjak ke bagian akhir tausiyah yang diberikan oleh Ustaz Bendri, terdapat banyak lagi amal baik yang bisa kita lakukan sebagai bakti kepada kedua orang tua semasa hidup dan selepas wafatnya selain contoh-contoh di atas. Di antaranya adalah dengan tidak banyak menuntut kepada kedua orang tua, banyak memberi kepada kedua orang tua meskipun keduanya hidup berkecukupan, selalu menyambung doa untuk kebaikan keduanya, selalu berusaha menunaikan hajat-hajat dan amanah-amanahnya, tetap berbuat baik dan menyambung kekerabatan dengan orang-orang terdekat kedua orang tua kita, terakhir jangan lupa untuk  selalu meminta kemulian dan ampunan Allah SWT untuk  kedua orang tua.

Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, diceritakan bahwa ada seseorang yang diangkat derajatnya  di akhirat meskipun tidak ada yang istimewa dari ibadahnya. Dan ternyata diangkat derajatnya di akhirat dikarenakan doa-doa kebaikan, kemuliaan, dan ampunan anaknya untuk dirinya.

Terakhir, sebuah nasihat indah dari Ustaz Bendri apabila hidup kita begitu sulit berkembang dan mengalami banyak masalah sementara kita  sudah berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka coba periksalah hubungan kita dengan kedua orang tua kita. Karena mungkin ada kesalahan yang terselip dalam interaksi kita dengan keduanya yang menghilangkan keridhaan Allah SWT.

Inilah sedikit catatan yang bisa saya tuliskan dalam blog ini sebagai pengingat untuk saya terutama dan untuk kita semua agar tetap berbakti kepada kedua orang tua kita semasa hidupnya dan setelah wafatnya hingga sisa usia kita  sebagai anak-anaknya.



Semoga kedua orang tua kita senantiasa dilindungi-Nya, senantiasa dilindungi dari fitnah dunia dan akhirat, selalu dilimpahkan keberkahan atas setiap hal yang diberikan-Nya, dan diluaskan rahmat-Nya hingga Dia mudahkan menginjakkan kaki keduanya di surga. Teruntuk orang tua kita yang sudah meninggalkan dunia ini, semoga Allah luaskan kuburnya seluas taman-taman surga, semoga Allah teduhkan kuburnya seperti waktu dhuha dengan semilir angina yang dikirimkan dari surga, semoga Allah muliakan tempatnya di surga terbaik Allah SWT. Aamiin.

Teruntuk kita semua, semoga kita bisa menjadi anak yang memuliakan kedua orang tua di  akhirat kelak, yang dapat memudahkan keduanya untuk menginjakkan kaki di surga hingga kita bisa berkumpul kembali di tempat sebaik-baiknya tempat berkumpul kita, surga tertinggi Allah SWT. Aamiin ya Allah, taqobbal du’a.

Jakarta, 8 Agustus 2017
@fatinahmunir
08 August 2017
Posted by Fatinah Munir

Bahasa Rindu



Bagaimanakah bahasa rindu?
Adakah ia dalam sepucuk surat berisi puisi-puisi ingin bertemu?
Bagaimanakah bahasa rindu?
Adalah ia terlantun dalam ayat-ayat-Nya bersama untaian doa ampunan

Bagaimanakah sebaik-baiknya membahasakan rindu? Itulah pertanyaan yang menyelimuti pikiran saya di hari-hari pertama bapak berpulang. Saya hanya berharap ada cara terbaik yang dapat saya lakukan agar rindu ini bisa sampai dengan bahasa yang indah dan menenangkan. Kemudian ingatan saya melayang pada potongan kebersamaan dengan bapak, ketika bapak pernah berpesan tentang bahasa rindu yang paling indah untuk yang merindu dan dirindukan.

***

Dulu setiap selepas subuh atau di antara maghrib dan isya, sering sekali bapak memastikan apakah saya sudah membaca al-Qur’an atau belum. Jika saya menjawab belum, bapak akan meminta saya membaca al-Qur’an sesegera mungkin. Jika saya menjawab sudah, bapak akan meminta saya berdoa untuk keluarga kami yang masih hidup ataupun sudah tiada. Biasanya bapak akan secara khusus menyebut nama salah satu abangnya yang meninggal beberapa tahun lalu. Abah Nasir namanya, seorang abang yang sangat dekat dan begitu disayangi bapak.

“Doakan emak bapak supaya sehat sejahtera. Doakan kakek nenek juga juga Abah Nasir-mu, supaya lapang dan terang kuburnya,” begitulah kurang lebih cara bapak menyuruh.

Pernah sesudah shalat ashar saya melihat bapak mengaji di dalam kamar. Beliau menghadap kiblat, memunggungi pintu kamar yang terbuka lebar. Saat itu tidak ada siapa-siapa di rumah kecuali saya dan bapak saja. Dari luar kamar, sekilas saya melihat bapak mengaji dengan kepala sangat menunduk. Suara bapak terdengar serak.

Selepas menyelesaikan bacaan al-Qur’annya, bapak keluar kamar dan duduk-duduk santai di teras rumah. Saya menghampiri bapak, menemani bapak duduk sambil memastikan bahwa beliau baik-baik saja. Saat itu, seperti biasa bapak selalu mengawali pembicaraan dengan topik yang tidak bisa diduga, “Begini rasanya kangen, Nak. Kangen banget ke orang yang sudah tidak bisa dilihat wajahnya,” suara bapak sedikit bergetar.

Saya bertanya, “Kenapa, Pak?”

“Bapak kangen sama saudara bapak. Kangen sama Abah Nasir-mu yang dari kecil selalu nemenin bapak,” tampak mata bapak berkaca-kaca.

Cepat-cepat bapak mengusap matanya sebelum air matanya jatuh, “Kalau kamu kangen sama seseorang, baca al-Qur’an saja. Kalau nanti bapak atau emakmu sudah tidak ada terus kamu kangen emak bapak, baca al-Qur’an saja. Berdoa supaya kebaikan al-Qu’an itu juga mengalir ke orang-orang yang kamu kangenin ya!”

“Hu’uh!” jawab saya dengan sekali anggukan meskipun saat itu saya tidak begitu paham dan kurang bisa merasakan apa yang sedang bapak rasakan kepada almarhum abangnya, Abah Nasir.

***

Sekarang. Setelah bapak pergi, saya tahu apa yang bapak rasakan saat itu. Saya mengerti bagaimana sesaknya dada bapak saat beliau merindu Abah Nasir. Saya paham bagaimana rindu itu menjadi-jadi saat diri ini ingin bertemu, mendengar suaranya, bahkan ingin sekali memeluknya namun semua itu mustahil dilakukan sudah. Sekarang saya memahami rasa itu dengan sebenar-benarnya.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain menumpahkan seluruh rindu itu pada air mata, begitulah mulanya buat saya. Itulah yang saya lakukan setiap kali melihat foto bapak dan berharap bisa melihat wajah bapak saat saya sudah di rumah.  Tetapi bersamaan dengan datangnya kerinduan itu, pesan bapak tentang membahasakan kerinduan itupun datang. Seolah-olah saat itu saya mendengar bapak berbisik kepada saya, “Bapak juga kangen,” lalu bapak mengulang pesan yang pernah beliau sampaikan. “Bacalah al-Qur’an setiap kamu kangen bapak! Doakan bapak setiap kamu kangen bapak!”

Begitu saja berulang-ulang pesan itu terngiang dalam ingatan, setiap kali rindu itu datang. Kadang rindu ini kerap datang di sembarang tempat, bahkan rindu ini bisa datang saat saya melintasi sebuah warung mie ayam tempat saya dan bapak biasa makan berdua hampir di setiap Sabtu siang. Air mata kerinduan ini akan begitu saja meleleh dari ujung mata meski saya sudah berusaha keras menahannya.

Jika rindu itu datang lagi, sementara waktu saya akan memilih menyendiri dalam kamar yang dikunci. Saya hanya ingin menikmati kerinduan yang saya rasakan sendiri dan berusaha membahasakan rindu ini dengan cara yang pernah bapak ajarkan; membaca al-Qur’an. Meskipun setiap ayat al-Quran yang dibaca membuat rindu ini semakin memuncak karena semakin mengingatkan saya pada bacaan al-Qur’an bapak, tetapi sungguh setelahnya saya bisa merasakan ketenangan di antara rindu yang menjejal.

Bagaimanakah bahasa rindu? Adalah bahasa Tuhan dalam ayat-ayat-Nya. Yang meski tangis membersamai bacaan al-Qur’an kita, tetapi itulah sebaik-baiknya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan kerinduan. Seperti pesan bapak pada rindu yang kini saya rasakan, maka mendoakan beliau dan memanjangkan bacaan al-Qur’an adalah sebaik-baiknya bahasa untuk menyampaikan kerinduan.

Semoga Allah alirkan setiap kebaikan dari bacaan al-Qur’an untuk bapak di sana.
Semoga Allah luaskan rahmat-Nya untuk bapak di surga terbaik-Nya. Semoga lapang dan terang benderang tempat bapak di sana. Aamiin.

Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa fu’anhu.

Jakara, Agustus 2017
Yang selalu merindumu, Pak
@fatinahmunir
03 August 2017
Posted by Fatinah Munir

Passionpreneur; Memulai Membisniskan Passion



Beberapa hari lalu  saya menghadiri sebuah seminar entrepreneurship yang diadakan oleh mahasiswa S1 Branding Prasetya Mulia di Jakarta Creative Hub, Thamrin, Jakarta Pusat. Sebagai orang yang baru ingin menseriusi bisnis, banyak ilmu baru tentang entrepreneurship yang saya terima disini. Dan saya pikir sayang jika hanya dinikmati sendiri. Oleh sebab itu, melalui postingan ini saya akan menyampaikan sedikit ilmu yang saya pahami dari pertemuan ini. Tapi sebelumnya saya mohon maaf jika ada info yang kurang tepat dan mohon bantu meluruskan melalui kolom komentar di postingan ini.

Well, acara ini diisi oleh tiga orang keren yang bergelut di bidang entrepreneur. Setiap pembicara membagi ilmu berdasarkan keahliannya masing-masing yang mana setiap ilmu mereka adalah hal-hal penting yang kadang luput dari entrepreneur pemula, terutama yang masih buta pada entrepreneurship seperti saya.

Ketiga pembicara tersebut adalah Muhammad Assad (@muh_assad), CEO Rayyan Capital dan penulis buku best seller Notes from Qattar yang baru saja membuka perusahaan baru bernama Tamasia. Ada juga Pak Rene De Paus, seorang Business and Strategy Director dari Brand Union, sebuah lembaga konsultasi bisnis yang sudah menangani branding bisnis perusahaan ternama seperti Gojek, Re Juve, dan banyak lain. Terakhir adalah Adanu Prasetyo (@AdanuPrasetyo) seorang entrepreneur muda pemilik Kopi Tuku yang sedang hits di kalangan anak muda sekarang.

Success with Value

Secara terang-terangan Mas Assad berpendapat bahwa hampir semua pemuda saat ini ingin menjadi orang yang sukses muda, punya tempat tinggal pribadi, punya kendaraan pribadi, dan lain sebagainya. Tetapi, menurut Mas Assad, mental pemuda saat ini belum cukup kuat untuk mencapai semua keinginannya. Kalau pun ada pemuda yang berusaha, biasanya akan banyak yang ingin jalan cepat menuju kesuksesan dan tidak sabar dengan prosesnya.

Ketika mendengarkan pendapat ini, saya memang langsung mengangguk-angguk, mengiyakan semua itu terutama untuk diri saya sendiri. Hiks.

Berangkat dari fenomena inilah Mas Assad mencerahkan para peserta acara dengan prinsip Success with Value. Yaitu sebuah prinsip menuju kesuksesan yang tidak sembarang sukses, tetapi juga berdampak positif bagi diri kita dan  orang lain.

Success with value digambarkan berupa segitiga kesuksesan yang terdiri dari positive, persistence, dan pray. Tiga komponen sukses ini harus berjalan secara bersamaan, tidak boleh berkurang satu  apalagi dua dalam prosesnya.

Menjadi sukses, menurut Mas Assad harus menjadi orang yang positif. Tidak hanya positif kepada konsep diri sendiri tetapi juga kita harus positif kepada orang lain dan lingkungan kita. Berpositif dalam hal ini adalah meyakinkan diri sendiri bahwa kita bisa mencapai imipian-impian kita dan melihat sisi positif dari orang lain, sebuah kejadian, dan lingkungan agar kita bisa mendapatkan peluang untuk kesuksesan kita. Perlu diingat, bahwa kesuksesan itu lebih sering terwujud karena ada peluang yang dimanfaat dengan sangat baik.

Selain menjadi positif, kita juga harus persistence atau tahan banting. Poin ini benar-benar ditekankan mengingat belakangan ini banyak fenomena cara serba instan. Selalu diingat bahwa setiap kesuksesan membutuhkan proses dan kesempatan, jadi tidak pernah ada kesuksesan yang instan (yaa walaupun mie instan merek sukses ada sih, enak dan isinya banyak. Hahaha –abaikan xD).

Last but the strongest element of success is pray. Berdoalah, mintalah kepada Tuhan tentang kesuksean-kesuksesan yang kita inginkan. Kita juga bisa meminta orang tua  atau kerabat dekat untuk ikut mendoakan impian-impian kita. Jangan lupa untuk berdoa dengan spesifik dan bersedekahlah. Pray makes you strong! Sedekah makes you rich!

Dalam hal bisnis sendiri, Mas Assad yang sudah memiliki beberapa perusahaan menyarankan para pemula untuk memilih satu dari tiga kondisi yang harus diciptakan sendiri. Ketiga kondisi tersebut adalah; be the first atau be different atau be the best. Saya sisipkan kata atau pada ketiga kondisi ini karena kita sama-sama tahu membangun bisnin itu tidaklah mudah. Maka untuk sebuah bisnis, kita bisa cukup memilih satu di antara ketiga pilihan tersebut. Bersyukur jika bisnis kita bisa memilki dua kondisi, misalnya menjadinya yang pertama sekaligus yang terbaik.

Personal Branding

Berbicara tentang bisnis, brand adalah salah satu hal yang sangat krusial. Dalam penjelasannya, Pak Rene yang berkerja sebagai business consultant mengatakan bahwa brand adalah hal yang akan menghubungkan produk kita dengan emosial konsumen. Maksudnya adalah brand inilah yang akan menjadi pengalaman konsumen saat berinteraksi dengan produk kita, yang mana interaksi tersebut bisa berupa apa saja mulai dari logo,penggunaan produk, konsep produk, hingga hal principal yang tersirat dalam produk yang kita miliki. So, brand bukan hanya berarti merek atau nama produk.

Setelah kita tahu bahwa branding atau costumer experience sangat penting untuk sebuah bisnis, kini saatnya kita membuat sebuah framework untuk menciptakan pengalaman konsumen. Pak Rene sendiri memberikan empat rancangan costumer experience framework, yaitu impression, interaction, responsiveness, yang terakhir saya lupa dan belum ingat meskipun sudah berkali-kali mengingatnya. (Maafkan saya para pembaca yang budiman >_<)

Tentang impression, produsen sangat perlu menciptakan good first impression kepada konsumen. First impression bisa diciptakan sesuai dengan  kekreativan produsen, misalnya dari produk itu sendiri, logo produk, kekhasan produk, atau kemasan produk. Impression menjadi sangat penting karena hal inilah yang menjadi ujung tombak pengalaman konsumen berinteraksi dengan produk kita. Ketika berinteraksi dengan produk kita, jangan lupa bahwa kita sedang melibatkan emosi konsumen (baca lagi pengertian branding). Sehingga ketika emosi konsumen sudah terikat dengan  produk kita, dengan sendirinya konsumen akan terus memakai produk kita bahkan ikut mempromosikannya.

Terakhir dari yang saya ingat tentang costumer experience adalah responsiveness atau ketanggapan. Sebagai produsen, kita perlu tanggap atau reaktif dengan pengalaman konsumen menggunakan produk kita. Hal ini bisa membuat kita terus berevaluasi diri dan memperbaiki bisnis kita. Di sisi lain ketanggapan bisa diartikan sebagai melihat peluang yang ada. Maksudnya adalah kita harus peka terhadap perkembangan social sekecil apapun sehingga produk kita bisa terus diinovasi mengikuti tren.

Setelah mengetahui costumer experience framework ini saya sempat membaca beberapa artikel bisnis dengan tema yang sama untuk memperdalam lagi pemahaman saya. Tapi yang saya temukan pada artikel-artikel yang bertebaran di google tidak ada satu pun komponen costumer experience framework yang baku. Sehingga jika teman-teman membaca artikel-artikel serupa, akan ada banyak sekali pola costumer experience framework ini meskipun pada dasarnya sama-sama untuk mengatur terciptanya branding yang baik. Berikut ini adalah link artikel costumer experience framework dalam versi yang berbeda dengan Pak Rene tetapi insya Allah ilmunya kurang lebih sama. Klik di sini ya! :) 

Jika sudah memahami experience framework, sekarang saatnya kita megangkar brand yang kita miliki! Agar lebih mudah mengusung brand, Pak Rene menyarankan bahwa brand yang kita miliki haruslah sesuai passion kita. Passion apakah yang dimaksud? Bukankah kebanyakan orang berbisnis pada bidang yang diminatinya?

Memang sebaiknya kita berbisnis sesuai dengan bidang atasu  passion kita, tetapi passion yang dimaksud oleh Pak Rene sedikit berbeda. Passion yang dimaksud dalam branding ini adalah karakteristik yang kuat pada diri pembisnis yang akan diusung menjadi brand produknya atau karakteristik produk yang akan memperngaruhi arah kemana produk kita akan berkembang. Secara sederhana kita sebut hal ini sebagai brand personality atau kepribadian suatu produk.

Uniknya, ternyata kepribadian produk ini tidak sesimpel yang kita pikirkan seperti tinggal membuat logo dengan desain dan warna kesukaan lalu diberi tagline yang mewakili produk kita. No, it’s that really simple!

Brand personality atau tipe kepribadian produk berhubungan erat dengan psikologi produsen dan konsumen yang akan saling mempengaruhi dan membuat ikatan yang kuat nantinya. Karakter sebuah produk direpresentasikan melalui duabelah kepribadian produk yang disebut 12 Archetypes. (Keren ya namanya, baru tahu saya!:D)

Ternyata, 12 archetypes ini benar-benar mempengaruhi bagaimana konsumen berinterkasi dengan produk kita. Sehingga archetypes yang kita pilih akan menentukan kemana arah bisnis kita di masa depan. Sehingga sebelum kita membuat sebuah logo atau desain bisnis kita, ada baiknya kita menentukan satu karakteristik produk atau bisnis yang ingin kita jalani dari 12 archetypes yang ada.

Teman-teman yang ingin mempelajari brand personality pada 12 archetypes bisa membacanya disini  atau di sini. Jangan lupa baca juga contoh-contoh produk yang menggunakan prinsip 12 archetypes di slide ini, slidenya keren loh! Ada artikel bagus juga tentang hubungan 12 archetypes dan pemasaran di  artikel ini. Insya Allah artikel-artikel pada link tersebut bisa menambah wawasan tentang 12 archetypes atau kepribadian produk sehingga dapat memperkuat passion yang kita bisniskan.


Ini adalah contoh produk-produk besar di dunia berdasarkan kepribadiannya dalam 12 archetypes




Produsen yang Baik

Sesi belajar bisnis kali ini ditutup oleh Mas Adanu, alumnus Prasetya Mulya yang kini membuka bisnis minuman kopi yang sedang hits di gofood, Kopi Tuku. Saat sesi Mas Adanu berlangsung, peserta acara dibagikan original cream coffee ice secara gratis. Honestly, it was my first time drink his coffee and it was great! The real rich soft coffee, not really bold and I loved it! :P

Kopi Tuku

Pada sesi ini Mas Adanu lebih banyak sharing tentang bisnisnya yang dari isi sharingnya ternyata benar semua yang dikatakan oleh Mas Assad dan Pak Rene dalam materi mereka. Well saya tidak akan menuliskan tentang proses Mas Adanu membangun bisnisnya, karena dan teman-teman bisa membacanya di media-media online yang pernah mengangkat profile beliau. Sekarang saya ingin membagikan ilmu yang Mas Adanu berikan yang belum disampaikan oleh dua pembicara sebelumnya.

Mas Adanu berpendapat bahwa untuk menjadi pembisnis yang baik, strategi pasar bukanlah hal paling pertama yang harus dipikirkan. Lalu apa yang harus dipikirkan pertama kali? Guess what? Jawabannya adalah hal yang harus dipikirkan pertama kali untuk memulai bisnis adalah brand yang mana brand yang dimaksud adalah seperti yang saya tuliskan di muka berdasarkan penjelasan Pak Rene. (bisa dibaca ulang kalau lupa ya ^^)

Setelah menentukan brand dan memahami betul karakteristik bisnis yang akan dijalani, saat itulah kita bis amemulai dengan menyiapkan product service attitude, yaitu konsep atau sikap-sikap pelayanan. Hal ini sepele tapi harus menjadi pegangan untuk para pebisnis dengan tujuan agar harapan brand yang kita miliki bisa seimbang dengan harapan konsumen.

Karena Mas Adanu berbisnis minuman kopi, beliau pasti memiliki pengetahuan yang banyak tentang kopi. Tetapi harus diingat bahwa tidak setiap penikmati kopi paham betul tentang kopi. Saya mengamini hal ini karena saya termasuk dalam golongan ini; penikmat kopi yang tidak paham betul tentang perbedaan kopi, teknik pembuatan kopi, teknik mixing kopi, dalam lain sebagainya.

Ketika produsen memahami kondisi di atas, maka produsen harus menyeimbangkan pengetahuannya dengan ekspektasi konsumen. Tujuannya adalah agar penimat kopi yang tidak paham tentang kopi misalnya bisa tetap menikmati kopi dengan kultur, pengetahuan, dan kondisi social yang ada. Bingung ya? Hehehe jadi biarlah penikmati kopi menikmati kopinya tanpa harus  kita memajang menu-menu kopi dengan nama yang ngejelimet, ribet, dan membingungkan pembelinya. Biarkan penikmat kopi yang tidak punya ilmu kopi menikmati inovasi kopi yang dimiliki, termasuk dengan menghilangkan prinsip “gula menghilangkan nilai kopi” pada pecinta kopi yang kadang malah menjadi “gula menambah kenikmatan kopi” pada penikmat kopi.

Terakhir sekaligus menjadi nasihat Mas Adanu yang paling simple dan paling berpengaruh dalam bisnis adalah jika ingin menjadi produsen yang baik maka jadilah konsumen yang baik yang mampu menganalisa setiap produk yang kita gunakan.

Well, that’s all yang bisa saya tuliskan dari acara Passionpreneur 2017 yang saya hadiri. Semoga bermanfaat untuk para pembaca. Semangat memulai bisnis sesuai passion yang kita miliki! ^^

Jakarta, Agustus 2017
@fatinahmunir
Posted by Fatinah Munir

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -