Archive for July 2017
Autisme dan Bullying
Beberapa
hari lalu saya mendapatkan kiriman video yang sama dari beberapa teman melalui
instagram ataupun pesan WhatsApp yang ternyata menjadi viral hingga saat ini. Dalam
video tersebut terekam seorang mahasiswa dengan autism yang sedang dibully oleh
teman-temannya hingga membuat yang dibully marah dan melempar tong sampah
kepada pembully. Pertama kali menonton video tersebut, seketika hati saya
hancur. Sedih dan amarah melebur menjadi satu perasaan yang hanya bisa saya
ekspresikan dengan airmata.
Sebagai
ortopedagogik yang sering berinteraksi dengan individu berkebutuhan khusus, apa
yang saya rasakan tidak seberapa besar dibandingkan dengan apa yang dirasakan
orang tua dan keluarga korban dalam video tersebut. Hati mereka pasti lebih
hancur daripada saya, demikian pula yang dirasakan para orang tua anak dengan
berkebutuhan khusus lainnya.
Mengingat
kondisi emosional inilah saya berusaha menyusun tulisan ini dari sudut pandang
kependidikan dan dari beberapa sumber terpercaya yang telah saya baca, guna
menghindari tendensi kekecewaan, kekesalan, ataupun kebencian pada pihak
pembully. Semoga tulisan ini bisa
membuka pengetahuan bagi pembaca yang awam pada dunia individu berkebutuhan
khusus dan sedikit memberikan solusi atas masalah ini.
Sebelumnya,
mengingat kasus bullying kali ini melibatkan mahasiswa berkebutuhan khusus, ada
banyak hal yang perlu kita sorot secara bersamaan. Di antaranya adalah bullying
itu sendiri, kedisabilitasan yang mana dalam kasus ini adalah autism, dan keinklusian.
Bullying
Secara
bahasa, dilangsir dari kamus Cambridge, Oxford, dan Longman, saya simpulkan
bahwa bully /ˈbʊl.i/ merupakan kata kerja sekaligus kata benda yang berarti perilaku atau orang yang
menggunakan kekuatannya untuk menyakiti atau menakuti orang yang lebih kecil
dan lebih lemah daripadanya dan terkadang memaksa disakiti untuk melakukan hal
yang tidak disukai. Dalam bahasa Indonesia, bully berarti rundung,
mengganggu, atau merisak.
Secara terminology, tidak ada arti baku untuk
bullying. Beberapa sumber yang saya dapatkan mengartikan bully adalah perilaku
berulang menyakiti orang lain secara fisik dan psikis karena ras, agama,
gender, ataupun aspek lain yang tampak berbeda dari lingkungan sekitar seperti
kedisabilitasan. Bullying dapat dilakukan secara fisik (memukul, meludahi),
perkataan (mencela, memanggil dengan panggilan yang buruk), dan psikis
(mengucilkan).
Ada banyak hal yang
menyebabkan terjadinya bullying. Salah satu sebabnya adalah karena pembully
melihat orang yang dibully sebagai orang yang berbeda dari kebanyakan orang
pada umumnya, misalnya memiliki kondisi fisik yang berbeda atau kedisabilitasan.
Bullying juga bisa terjadi ketika seseorang berego tinggi merasa dirinya jauh
lebih baik daripada orang lain. Itulah sebabnya mengapa bullying kerap dilakukan
kepada orang yang lebih lemah atau lebih kecil secara fisik daripada pembully.
Beberapa sebab
bullying lainnya yang saya dapati adalah lebih kepada faktor internal pembully.
Pembully cenderung merupakan orang yang kesepian, sehingga secara sadar ataupun
tidak, tindakan membully dilakukan untuk menarik perhatian orang di sekitarnya.
Pembully juga memungkinkan adalah orang yang memiliki masalah di dalam
keluarganya. Perilaku membully yang dilakukan pelaku merupakan hasil dari
emosional yang tidak seimbang dan pikiran yang
mudah pecah (fragile mind). Faktor ini biasanya membuat pembully
umumnya menunjukan sikap seperti tidak mampu berempati kepada orang lain. Yang
mengejutkan adalah hasil penelitian yang dilakukan komunitas antibullying di
Inggris menyebutkan bahwa 14% dari pelaku bullying pernah menjadi korban
bullying. Dikatakan pula bahwa korban melakukan bullying sebagai bentuk
perlindungan diri agar tidak dibully kembali oleh lingkungannya.
Autism Spectrum
Disorder
Autism
Spectrume Disorder merukapan istilah yang digunakan untuk menyebut gangguan
perkembangan kompleks pada otak. Gangguan ini meliputi dua aspek; (1)
gangguan perkembangan interaksi dan komunikasi sosial, dan (2) ganggu
perkembangan perilaku.
Umumnya
perspektif masyarakat terhadap individu dengan autisme menyebut mereka sebagai
individu yang mempunyai dunianya sendiri. Hal ini sebenarnya dampak dari
gangguan perkembangan yang ada, sehingga individu dengan autisme seolah-olah
memiliki dunianya sendiri. Yang sebenarnya terjadi adalah otak individu dengan
autisme mengolah informasi yang datang dengan cara yang berbeda. Misalnya
ketika kita melihat sebuah mobil, informasi yang diolah umumnya adalah sebuah
kendaraan yang membantu kita menuju suatu tempat. Tetapi bagi individu dengan
autisme informasi berupa mobil dapat diolah menjadi informasi yang jauh lebih
spesifik lagi. Misalnya mereka hanya memikirkan jenis mobil tersebut, hanya ban
mobil tersebut, dan mobil secara fungsional sebagai alat transportasi seringnya
tidak diolah oleh otak individu dengan autisme.
Contoh
lainnya adalah ketika kita mendengar bunyi satu dua klakson yang berbunyi
hampir bersamaan, umumnya kita akan menerjemahkannya sebagai isyarat dari sesama
pengguna lalu lintas. Tetapi bagi individu dengan autisme informasi “bunyi satu
klakson” bisa terdengar seperti bunyi puluhan klakson di tengah kemacetan dan
diterjemahkan sebagai hal yang sangat mengganggu. Di sisi lainnya, hal ini
dikarenakan kesensitivitasan pancaindra yang tinggi pada sebagian individu
dengan autisme. Ditambah lagi adanya kesulitan komunikasi dan interaksi sosial menjadikan
individu dengan autism kurang mampu mengungakapkan ketidaknyamanan atau
perasaan lainnya kepada orang lain.
Bullying
pada Individu dengan Autisme
Apa
yang Harus Dilakukan?
Bertolak
pada pembahasan di atas, bullying pada individu dengan autisme disebabkan
karena kondisi individu dengan autism yang dianggap berbeda dengan mahasiswa
lainnya. Keautistikkan pada individu tersebut seperti kurangnya kemampuan
komunikasi dan interaksi sosial atau perilaku yang berbeda bisa menjadi pemicu adanya
bullying. Faktor lainnya yang tidak kalah penting untuk ditelaah adalah dari
sisi pembully itu sendiri. Perlu diketahui lebih lanjut lagi apa faktor internal
yang mendorong seseorang melakukan bullying. Apakah pembully berasal dari
keluarga bermasalah yang menjadikan pembully tumbuh dengan empati yang kecil
dan fragile-minded? Apakah pembully tidak memiliki self-esteem
sehingga membully untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungannya? Atau bahkan apakah
pembully merupakan korban bullying di masa lampaunya? Lebih spesifik lagi dalam
kasus bullying kepada individu dengan autisme ini perlu diketahui pula apakah
pembully memahami apa itu autisme? Apakah pembully tahu cara yang benar untuk berinterksi dengan individu
dengan autisme?
Mungkin akan
ada pertanyaan mengapa kita harus ikut fokus kepada pelaku, bukannya fokus
kepada korban? Jawabannya adalah karena melindungi diri dari bullying bukan
hanya menjaga diri agar tidak menjadi korban bullying melainkan juga bagaimana
agar seseorang tidak melakukan tindakan bullying.
Kembali
kepada bullying yang menimpa individu dengan autisme, pembully sebaiknya memperoleh tinjauan
lebih dalam dari seorang psikolog agar penyebab internal bullying dapat segera
diketahui. Terlepas dari apapun hasil tinjauannya, pembully harus tetap mendapatkan
treatment khusus dari ahli untuk mengatasinya faktor internal ini. Hal ini
memang bukanlah sebentuk hukuman kepada pelaku, melainkan langkah awal untuk menolong
pelaku. Sehingga diharapkan pelaku mengetahui bahwa permasalahannya bukan pada
tindakan bullying yang dilakukan olehnya, melainkan permasalahan ini ada
tersimpan jauh di dalam dirinya sendiri.
Setelah
mengetahui faktor internal mengapa pelaku melakukan bullying, saatnya dicari
tahu apakah pelaku memiliki pemahaman yang baik tentang individu berkebutuhan
khusus, khususnya autisme. Apabila pelaku tidak mengetahui informasi yang benar
tetang kedisabilitasan terutama autisme, di sinilah ortopedagogik dan psikolog bertugas
mengedukasi pelaku dan lingkungan tempat terjadinya bullying tentang individu
berkebutuhan khusus.
Dalam
pengedukasian ini para ahli tidak hanya menyampaikan siapa aja yang disebut
individu berkebutuhan, ciri-cirinya, dan bagaimana berinteraksi dengannya. Pada
tahap ini sebaiknya para ahli juga mengenalkan nilai-nilai keinklusian yang
semestinya tertanam pada masyarakat terumata lingkungan individu berkebutuhan
khusus. Sehingga diharapkan pelaku dan lingkungan bullying selanjutnya dapat memberikan
kesempatan yang sama kepada individu berkebutuhan khusus, contohnya kesempatan
menjalin pertemanan, mengerjakan tugas bersama, dalam sebagainya.
Pengedukasian
pelaku dan lingkungan tempat terjadinya bullying dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Beberapa cara yang pernah saya lakukan adalah dengan melakukan
diskusi ringan dan terbuka yang melibatkan pelaku, keluarga individu berkebutuhan
khusus, dan orang-orang dalam instansi terkait; penyebaran poster edukatif
tentang individu berkebutuhan khusus atau kedisabilitasan; nonton bareng
film tentang kehidupan individu berkebutuhan khusus; atau bahkan dengan
melakukan aktivitas santai seperti tamasya bersama individu berkebutuhan khusus.
Lalu
bagaimana dengan bentuk hukuman untuk pelaku bullying? Bukankah nantinya tidak
meninggalkan efek jera jika pelaku bullying mahasiswa dengan autime hanya
diedukasi tanpa dihukum?
Perlu
diketahui bahwa efek jera hanya bisa dirasakan apabila pelaku merasa bersalah.
Hal ini akan berbeda lagi jika pelaku tidak merasa bersalah. Untuk membuat
pelaku bullying merasa bersalah, secara pribadi saya berpikir bahwa kita tidak
perlu memarahi atau menghujat pelaku melalui media sosial. Karena jika kita
sebagai pihak yang mendukung antibullying melakukan hal tersebut hingga pelaku
merasa terganggu, takut, dan tertekan, maka itu artinya kita juga telah
melakukan bullying kepada pelaku bullying.
Lebih
jauh lagi jika pada kasus ini pelaku benar-benar dikeluarkan (drop out)
dari kampusnya –sebagaimana tuntutan bebarapa komunitas pendukung disabilitas,
maka hukuman seperti ini tidak akan menghilangkan masalah bullying yang terjadi.
Sebaliknya, hukuman ini bisa menjadi masalah baru yaitu kemungkinan pelaku
bullying tidak akan diterima lagi di universitas
lainnya atau lebih parahnya adalah pelaku tidak diterima kerja di manapun
karena wajah dan identitas pelaku sudah tersebar di dunia maya.
Ada
banyak cara untuk menimbulkan efek jera pada pelaku yang membully individu
dengan autisme ini. Salah satunya adalah dengan menghentikan sementara para pelaku
bullying dari aktivitas perkuliahan dan sebagai gantinya selama tidak kuliah mereka
harus menjadi pengajar pendamping anak-anak berkebutuhan khusus di SLB, sekolah
khusus, ataupun inklusi. Atau para pelaku bisa dikirim ke panti atau yayasan
pendidikan khusus berasrama dan ditugaskan untuk tinggal di dalamnya sambil membantu
aktivias panti atau yayasan tersebut selama beberapa hari. Beberapa contoh ini
niscaya akan membuat pelaku lebih memahami arti kesedihan dan kemarahan orang
tua atau orang-orang yang terbiasa berinteraksi dengan individu berkebutuhan
khusus dibandingkan dengan komentar-komentar bertendensi amarah dan hujatan yang
tersebar di media sosial.
Terakhir
dan yang paling penting adalah bagaimana menghindari individu dengan autisme
dari bullying. Selain mengenalkan individu dengan autisme pada lingkungan
sekitar dan berusaha bersama-sama mewujudkan masyarakat inklusi, orang tua juga
harus tetap waspada dengan adanya bullying yang tidak terdeteksi seperti
bullying secara psikis.
Karena individu
dengan autisme memiliki masalah persepsi, sebaiknya mereka diajarkan hal-hal
yang boleh dan tidak boleh dalam pertemanan. Misalnya boleh tertawa bersama-sama
teman, tetapi tidak boleh menertawakan teman yang terjatuh atau menangis. Atau
diberikan pemahaman bahwa sesama teman diharuskan saling membantu dan memanggil
dengan panggilan yang baik, tetapi tidak boleh memaksa, memukul, atau memanggil
dengan panggilan yang buruk. Hal ini perlu dijelaskan dengan baik kepada
individu dengan autisme, karena mengingat individu dengan autisme cenderung
kurang bisa membedakan ekspresi dan dikhawatirkan juga tidak mampu membedakan yang
mana bercanda dan yang mana bullying. Contoh-contoh perilaku bullying atau yang
tidak semestinya dilakukan seseorang kepada individu dengan autisme dapat
disampaikan orang tua melalui aktivitas bercerita atau menggunakan video
edukasi.
Setelah
memberitahu individu dengan autisme batasan-batasan dalam pertemanan, mereka
dapat diajarkan tentang apa yang harus dilakukan jika teman-temannya melakukan
hal-hal di luar batas pertemanan atau saat teman-temannya membully. Individu
dengan autisme bisa dilatih untuk mengungkapkan atau menyatakan
ketidaknyamanannya kepada orang lain yang dipercayanya. Kemudian orang tua atau
instansi pendidikan terkait bisa memberikan daftar nama orang-orang yang bisa
ditemui ketika mereka merasa tidak nyaman dengan perilaku
teman-temannya.
Berbeda
lagi ketika di rumah bersama orang tua, sebaiknya orang tua memberikan waktu
khusus kepada anak untuk menceritakan aktivitas atau kejadian penting yang
terjadi di lingkungan belajar atau selama tidak bersama keluarga. Mengingat
individu dengan autisme memiliki hambatan dalam komunikasi, maka bercerita di
sini tidak dapat diekspektasikan sebagai waktu curhat sebagaimana umumnya. Di
sini orang tua harus lebih aktif bertanya untuk menstimulus individu dengan
autisme agar menceritakan perasaan dan pengalamannya selama di tempat belajar.
Membuat
setiap orang dan berbagai lini masyarakat memahami individu dengan autisme memang
bukanlah hal yang mudah. Ini menjadi pekerjaan berat bersama mulai dari
keluarga, tenaga, pendidikan, dan tenaga ahli lainnya yang terlibat dengan
individu dengan autisme. Pekerjaan ini pun tampaknya akan memakan waktu yang
cukup lama, sehingga tidak ada cara lain untuk mewujudkannya selain terus dan
terus mengenalkan individu dengan autisme kepada masyarakat dan memberikan
mereka ruang untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan yang lainnya.
Pekerjaan ini akan semakin mudah jika setiap kita yang memahami kondisi
individu dengan autisme mampu “menginklusikan” teman-teman terdekat dan
lingkungan dengan cara yang baik.
Penulis berharap
informasi yang ada di dalam tulisan ini bisa menjadi pengetahuan awal
masyarakat awam tentang individu berkebutuhkan khusus sehingga masyarakat mau
lebih mengenal dan menerima mereka. Penulis juga berharap tulisan ini bisa
menjadi bagian solusi dari kasus yang terjadi saat ini. Lebih dari itu penulis
mengajak seluruh pihak untuk ikut berempati kepada kasus cara ikut memberikan
solusi yang nyata tanpa mengedepankan amarah dan hujatan sehingga bisa
menghindari tindakan membully pelaku bullying itu sendiri.(*)
@fatinahmunir
Bersembunyi dalam Rahasia
Bismillahirrahmanirrahim
Ada sebuah kepuasan yang berbeda setiap kali saya membaca novel anak-anak, salah satunya adalah
saya bisa masuk ke dalam labirin pikiran anak-anak yang begitu berliuk-liuk, membuat penasaran, sering kali
mengejutkan. Hal ini terjadi lagi selama saya membaca novel anak-anak karya
E.L. Konigsburg yang berjudul Dari Arsip Campur Aduk Mrs. Basil E. Frankweiler.
Buku berjudul asli From
The Mixed-up Files of Mrs. Basil E. Frankweiler ini menarik perhatian saya
karena label bertuliskan “Pemenang Newberry Award 1968” pada sampul mukanya.
Sebanyak 198 halaman buku ini saya rampungkan agak lama, tiga setengah hari, hanya karena untuk
mengulang tiap babnya demi mengagumi cara penulis menuangkan sudut pandang anak-anak
yang begitu sulit ditebak. Terkadang saya mengulang mambaca beberapa halaman demi
bisa tertawa karena dialog di dalamnya atau karena sebelumnya saya membaca
sambil mengantuk. Hahaha :D
Buku yang pertama kali
dicetak pada 1967 ini menceritakan sebuah petualangan kakak beradik Kincaid
yang kabur dari rumahnya. Bermula dari kekecewaan anak sulung yang tidak seberuntung
adik-adiknya juga teman-teman sekelasnya, Claudia Kincaid, salah satu tokoh
utama novel ini, merencanakan kepergian dirinya dari rumah. Dengan alasan untuk
mempunyai uang yang cukup selama kaburnya dirinya dari rumah, Claudia mengajak Jamie
Kincaid, adiknya, untuk ikut kabur bersama dirinya.
Hal yang paling
mengagumkan sekaligus mengawali keseruan novel ini adalah ketika penulis menuturkan
kemana Claudia dan Jamie akan kabur. Mereka tidak kabur ke kota lain atau ke
hutan, mereka justru memilih bersembunyi di salah satu museum di tengah kota
New York. Bagian inilah yang membuat saya memutuskan meneruskan membaca novel
ini, sebab di situlah saya menemukan sebuah titik di mana orang-orang dewasa
memang kadang sulit memahami jalan pikiran anak-anak yang jauh dari biasa.
Delapan dari sepuluh
bab pada novel ini menceritakan petualangan Claudia dan Jamie selama
bersembunyi di museum. Di dalamnya pembaca disuguhkan secara jujur dan nyata betapa tricky-nya
pemikiran anak-anak. Mulai dari bagaimana kakak beradik
ini berdebat untuk sejumlah ongkos menuju museum, diskusi panjang mengenai
tempat-tempat bersembunyi selama di dalam musem agar tidak ketahuan petugas
musem, sampai sebuah perdebatan tentang tata bahasa Jamie, si adik berusia sembilan
tahun, yang sering kali salah di telinga Claudia, si kakak berusia duabelas
tahun.
Kisah petualangan
mereka semakin membuat pembaca, terutama saya, penasaran setelah mereka membaca
sebuah berita dari koran yang berisi tentang misteri keaslian patung malaikat
karya Michelangelo yang berada di dalam museum tempat mereka bersembunyi. Jika
keingintahuan anak-anak mereka pun ikut terpancing untuk ikut memecahkan misteri
keaslian patung tersebut. Hingga setelah beberapa hari Claudia dan Jamie
menyadari mereka akan segera kehabisan uang dan merencanakan kepulangan
mereka ke rumah. Lalu Claudia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah sebelum dia dan
adiknya memecahkan misteri patung tersebut.
Bermula dari sinilah
persembunyian mereka menjadi penyelidikan yang mendebarkan bagi mereka –dan menggemaskan
bagi saya. Beberapa hari mereka habiskan untuk penyelidikan. Melihat berbagai
karya-karya Michelangelo dan membaca arsip-arsip terkait Michelangelo di
perpustakaan kota mereka lakukan untuk memcahkan misteri patung malaikat. Hingga pada suatu titik keputusasaan Claudia akan
penyelidikannya membuat Claudia bertekad menemui orang yang telah melelang
patung tersebut kepada museum.
Pada dua bab terakhir
buku inilah ditunjukkan sudut pandang penceritaan yang sesungguhnya dan
mengungkapkan cara berbeda kepulangan Claudia dan Jamie yang ternyata telah
direncanakan oleh sudut pandang pencerita pada buku ini dengan begitu rapi.
Membaca buku ini
mengingatkan saya pada buku Insiden Anjing di Tengan Malam yang Bikin Penasaran
(The Curious Incident of The Dog in The Night-time) karya Mark Haddon.
Kedua buku ini nyaris memiliki keunikan penceritaan yang sama. Yakni penceritaan
yang benar-benar menunjukkan kejujuran anak-anak hingga membuat saya
berkali-kali meng-o panjang sendirian karena takjub pada pemikiran anak-anak di
dalam ceritanya. Sehingga tidak heran jika kedua buku ini sama-sama memiliki
berbagai penghargaan sejak pertama kali diterbitkan hingga puluhan tahun
kemudian. Buku ini juga kadang membuat saya tersenyum pada kekonyolan anak-anak
di dalam ceritanya dan ikut tegang sebagaimana ketegangan anak-anak saat mereka
takut dimarahi atau takut rahasianya diketahui orang dewasa.
Kendati novel terjemahan
terbitan Gramedia ini bergenre novel anak-anak, tetapi tidak akan merugi jika
orang dewasa pun menikmatinya. Justru sepertinya –menurut saya pribadi,
orang-orang dewasa terutama yang menyukai anak-anak akan dibuat penasaran dengan
kelanjutan kisah kakak beradik Kincaid di setiap lebar. Dan untuk orang dewasa
yang belum pernah menikmati novel anak-anak, novel berusia limapuluh tahun ini
bisa menjadi awal untuk mencoba membaca novel anak-anak.
Terlepas dari
kelebihan dan kekurangannya, novel ini benar-benar layak dibaca oleh semua pembaca dari berbagai rentang usia. Bukan hanya sekadar menjadi bacaan ringan di sela-sela bacaan refrensi
studi ataupun pekerjaan, novel ini bisa sedikit membuka mata pembaca terhadap “kelicikan”,
kejujuran hati, dan kerahasiaan anak-anak.
@fatinahmunir
Pernahkah Kamu Jatuh Cinta?
Sudah lebih dari
sepekan Ramadan pergi hingga kini ditemani Syawwal. Bagi wanita seperti saya
terutama yang sudah memasuki usia duapuluh lima, pertanyaan tentang menikah
adalah pertanyaan yang sudah biasa diterima ketika lebaran datang atau saat
menerima banyaknya undangan pernikahan selama Syawwal.
Ada yang sedikit
menarik dari lebaran kemarin, saat ada sebuah pertanyaan yang agak berbeda yang
saya terima. Ialah sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh salah satu teman
semasa SMA, yang dari tatapannya saat bertanya menunjukkan betapa lama dirinya
menyimpan pertanyaan ini untuk saya XD
“Kamu pernah gak sih jatuh
cinta? Kamu pernah suka sama cowok?” tanya teman saya dengan keluguannya.
Saya tertawa terbahak
begitu menerima pertanyaan ini, sambil menjawab dengan cengengesan, “Ya
iyalah pernah, namanya juga manusia.”
Sebenarnya saya tidak
terlalu kaget menerima pertanyaan ini, karena memang pertanyaan ini pernah sampai
kepada saya beberapa kali dari teman-teman terdekat. Meskipun beberapa teman
bahkan tampak canggung saat menanyakannya. Mungkin karena saya hampir tidak
pernah curhat tentang cinta dibandingkan teman-teman lainnya yang sering
sharing tentang perasaannya kepada lawan jenis kepada saya. Hehehe.
Perasaan suka, sayang,
dan cinta, adalah fitrah bagi setiap makhluk, bukan hanya untuk manusia. Bahkan
hewan pun pasti memiliki fitrah ini. Mereka saling melindungi kelompoknya,
induk melindungi anak-anaknya, dan mereka memiliki ketertarikan kepada lawan
jenisnya. Pada manusia, semua perasaan itu sudah pasti ada bahkan dalam diri
seorang manusia paling jahat sekalipun. Jadi, sudah pasti saya pun memiliki
perasaan ini.
“Jatuh cinta kepada lawan jenis?”
Entahlah apakah yang
pernah saya rasakan ini bisa dibilang jatuh cinta atau tidak. Tapi saya pernah
beberapa kali mengagumi lelaki karena kemampuan dan ilmunya. Itu pun hanya
separuh hitungan jari satu tangan. Kemudian saya memilih untuk tidak ingin jatuh
cinta lagi hingga saya bertemu dengan lelaki yang kelak menjadi suami saya.
Alasannya bukan
sesepele karena perasaan atau kekaguman yang tidak berbalas. Sama sekali bukan. Saya memilih tidak ingin
lagi jatuh cinta kecuali kepada lelaki yang akan menjadi suami saya karena
perlahan saya tahu bahwa mencintai sebelum akad hanya akan menyisakan
kekecewaan.
Kekecewaan yang hadir
pada diri saya biasanya karena hal-hal yang tidak terduga, yakni ketika apa
yang saya kagumi ternyata jauh di luar ekspektasi. Atau ketika, qodarullah,
Allah tunjukkan sisi buruknya yang membuat saya kecewa. Lalu kagum itu berbalik
menjadi illfeel luar biasa. Hahaha.
Mungkin ini yang
dinamakan Allah sungguh Mahamampu Menunjukkan yang baik adalah baik dan yang
buruk adalah buruk. Kemudian saya hanya merasa lega dan bersyukur untuk tidak lagi mengagumi.
Hingga pada kebeberapa kalinya kecewa dan illfeel, saya memutuskan untuk tidak
lagi jatuh cinta.
Sebagaimana sebelumnya
saya tuliskan bahwa perasaan suka, tertarik, dan cinta adalah fitrah setiap
makhluk, maka saya pikir akan konyol jadinya jika saya sembarangan menggunakan
fitrah ini. Belum lagi setelah banyak membaca dan bertanya kepada teman-teman
yang lebih memahami ilmu agama, saya semakin tidak ingin lagi mengagumi ataupun
mempunyai kecenderungan kepada lawan jenis hingga Allah sendirilah yang membuat
saya mengagumi dan memiliki kecenderungan kepada lelaki yang akan menjadi suami
saya.
“Kenapa kamu gak mau
jatuh cinta? Kan katanya fitrah? Kalau pacaran kan memang gak boleh yaa.”
Mungkin akan ada
pertanyaan semacam itu. Iya, memang cinta adalah fitrah. Justru karena perasaan
itu adalah fitrah, maka ini adalah sikap saya memuliakan kefitrahan perasaan-perasaan
yang saya miliki kepada seseorang yang akan menggenapkan agama saya. Dan saya
berharap dapat mengibadahi perasaan tersebut sehidup sesurga bersamanya.
Cukup sudah pernah
merasakan itu satu atau dua kali hingga saya berharap kefitrahan rasa yang
dimiliki berakhir dengan kebaikan. Di samping itu ada satu alasan lain yang
paling mendasar bagi saya sebagai wanita; sebagaimana saya ingin menjadi yang dicinta
sepenuhnya, saya berharap dengan terjaganya kefitrahan rasa maka terjaga pula
lelaki yang Allah takdirkan sebagai jawaban dari doa-doa saya.
Selamat menjaga untuk
saling menjaga dari kejauhan :)
Menjadi yang Berkah
Beberapa waktu lalu, ibu meminta saya membantu seorang tetangga di kampung. Menurut penuturan ibu, beliau adalah seorang lelaki yang kesusahan secara materil dan psikisnya. Salah satu hal yang ibu tekankan dalam kisahnya adalah lelaki ini mengalami stress setelah pernikahannya, katanya karena sikap istrinya. Lelaki ini kini telah menginggalkan ajaran-ajaran Islam, jauh dari keislaman. Beliau tidak shalat ataupun mengaji dan wajah beliau katanya tampak lebih tua daripada usianya. Padahal menurut kisah ibu, di masa bujangnya lelaki ini dikenal sebagai pemuda berilmu agama, pandai membaca Qur'an ataupun kitab-kitab gundul serta menjadi panutan bagi teman-temannya.
Kemudian saya jadi teringat tentang kisah sepupu saya. Seorang lelaki yang bisa dibilang "badung" dan memilih menikahi seorang wanita mantan tunasusila. Tetapi setelah pernikahannya, sepupu saya justru menjadi dekat dengan majelis-majelis ilmu, senang berkumpul dengan ulama, dan kini beliau menjadi guru mengaji untuk remaja di masjid sekitar rumahnya. Bahkan kini, beliau menjadi tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, disegani karena ilmunya.
Demikian pula dengan istrinya yang kini berhijab, beliau menjalankan usaha kuliner di rumah, dan tidak pernah meluputkan pesantren sebagai tempat pendidikan anak-anaknya. Jika ada orang yang bertemu dengan beliau, tidak akan ada yang bisa mengira pekerjaan yang pernah beliau lakukan sebelumnya.
Dua cerita di atas setidaknya menjadi sedikit contoh dari banyak cerita serupa yang ada di kehidupan kita. Tentang kebaikan yang memudar dan menyisakan keburukan atau keburukan yang meluluh dan menjadikannya kebaikan.
Kedua kisah di atas sama-sama tentang pernikahan, hal indah yang selalu dinanti pemuda-pemudi. Tetapi keduanya memiliki perbedaan pada akhirnya; ada yang melemahkan iman, ada yang semakin menguatkan iman dan saling mengangkat derajat di hadapan-Nya.
Sebagaimana yang Allah sampaikan dalam Qur'an bahwa semestinya menikah adalah ibadah yang memampukan bagi yang miskin, yang menenteramkan bagi yang gelisah, serta yang melembutkan hati sesiapa di dalamnya. Tapi agaknya semua itu hanya bisa diraih jika setiap pasangan bisa saling mengisi kekosongan dan meluruskan kebengkokan dalam keimanan. Sehingga dapat pula dirasakan bahwa setiap pasangan semestinya menjadi keberkahan bagi satu sama lainnya.
Mengutip nasihat Syaikh Muhammad Mukhtar as-Syinqithi dalam salah satu tulisan Rania Arif Mahmud, istri dr. Gamal Albinsaid, dikatakan bahwa sebagian wanita adalah berkah. Wanita yang berkah, ketika dinikahi lelaki maka hartanya diberkahi, rizkinya diberkahi, dan pekerjaannya diberkahi.
Tampaknya demikian pula setiap orang di dunia ini yang sebagian bisa menjadi berkah bagi sebagian lainnya. Seperti teman yang menjadi keberkahan bagi teman lainnya, anak yang menjadi keberkahan bagi orang tuanya ataupun sebaliknya, dan setiap orang dengan berbagai profesinya yang menjadi keberkahan bagi lingkungannya.
Sebab sebagaimana keberadaan orang-orang yang menjadi berkah bagi orang lain, ada sebagian orang yang juga menjadi masalah bagi yang lainnya. Lalu di manakah kini dan nantinya posisi kita? Hanya Allah yang Tahu Jawabnya, menyesuaikan ikhtiar kita untuk selalu memperbaiki diri atau nyaman dalam kealpaan.
Sebaimana fitrahnya setiap manusia yang menginginkan kebaikan, semoga diri kita bisa menjadi lebih baik lagi sikap dan ilmunya, demi bisa menjadi yang berkah. Semoga kita bisa menjadi berkah bagi kedua orang tua, lingkungan, dan pasangan kelak. Agar semoga setiap kebersamaan mendekatkan pada taat.
Bertahan
"Kenapa saya harus kuliah? Memangnya saya tidak bisa kerja kalau tidak kuliah? Boleh tidak sih saya masuk LSPR regular, bukan di kelas ini?" tanya salah seorang murid saya.
Sebelum saya menjawab, seorang murid lain yang duduk di bangku paling depan mengangkat tangan dan berbicara setelah saya mengangguk, mempersilakannya.
"Saya juga gak mau kuliah. But I think it's my responsibility, Miss. Kita belajar di kelas berbeda karena punya kekurangan. Kalau telinga saya tidak terlalu sensitif, saya pasti sudah di kelas regular, Miss. But.... it's okay lah. Di sini juga seru!"
Saya diam, tidak bisa menanggapi diskusi kecil yang berlangsung sebelum kelas dimulai. Suara saya seolah tercekat di tenggorokan. Menahan haru dan air mata yang mau meleleh di mata.
"Alright, I'll answer your question after this class dismissed, Ted. Thanks for your sharing, Gee! Yuk kita mulai kelasnya!" hanya itu yang bisa saya jawab untuk mengalihkan pembicaraan.
Saya masih merenungkan jawaban Gee, bahkan sampai saat ini. Mereka tahu kapasitas intelegensi mereka menunjukkan mereka mampu mengikuti kelas regular, tetapi keterbatasan emosi, sensori, perilaku, dan komunikasi membuat mereka harus berada di lingkungan khusus. Dan mereka menyadari itu.
Seperti Gee, beberapa murid saya menyadari di mana mereka seharusnya dengan kecerdasan yang mereka miliki, tetapi sama seperti Gee, beberapa memilih untuk bergabung dengan kelas khusus dengan kespesialannya. Mereka bertahan dengan alasan dirinya sendiri.
"Saya tidak mau mengganggu mahasiswa regular dengan emosi saya yang tidak terkontrol, Miss," itu salah satu alasan Gee untuk bergabung di kelas khusus.
Mereka bertahan dengan alasannya sendiri. Demi kebaikan mereka sendiri, meskipun mungkin dari lubuk hati terdalam mereka ingin bergabung dengan mahasiswa regular. Mereka bertahan untuk kebaikan yang mereka yakini, yang kadang menjadi hal ironi bagi kami, pengajar mereka.
Di kisah lainnya, saya teringat tentang Mush'ad ibn Umair, sahabat Rasulullah yang menjadi duta dakwah Islam dalam sejarah. Beliaulah sahabat yang pertama kali diutus Rasulullah untuk mengebarkan Islam di luar Mekkah, lebih tepatnya Madinah, sebelum Rasulullah berhijrah. Beliau pula sahabat yang membuat banyak orang memeluk Islam setelah beliau mengislamkan Usayd ibn Hudhayr dan Sa'ad ibn Mu'az.
Sebelum mengimani Allah dan Rasulullah, Mush'ab adalah remaja tampan yang tidak ada remaja lain di Mekkah yang menggunakan pakaian seindah dan sehalus pakaian beliau. Beliaulah sahabat yang hidup di bawah kemanjaan harta kedua orang tuanya sebelum beliau menyatakan keislamannya.
Tetapi berbeda nasibnya sebelum bersyahadat, Mush'ab yang diusir ibunya karena berislam tinggal jauh di bawah sederhana. Pakaian beliau adalah pakaian yang paling kasar di antara sahabat yang lainnya. Pada kesyahidannya di kekalahan Islam pada Perang Uhud, Rasulullah menangisi jasadnya sebab tidak adanya kain yang layak untuk menutupi jasadnya. Hanya kain usang yang ada untuk menutupi jasad Mush'ab yang jika kain itu menutupi kepalanya, maka terlihatlah kakinya. Jika kain itu ditarik untuk menutupi kakinya, maka terlihatlah wajahnya. Kemudian Rasulullah kembali menangis, mengenang kehidupan Mush'ab yang berputar terbalik setelah keislamannya.
Di sanalah Mush'ab bertahan dengan kemiskinannya. Beliau mengganti kehidupan bermanjakan pakaian dan makanan mewah dengan kehidupan yang bahkan tidak layak disebut sederhana. Di sanalah Mush'ab bertahan dalam keislamannya dengan alasannya sendiri yang hanya Allah dan dirinyalah yang mengetahui.
***
Di situlah kadang kita perlu bercermin bahwa bertahan pada keberserahan diri mungkin bisa menjadi awal dari proses yang panjang. Bertahan, mungkin menjadi awal dari tujuan akhir yang sesungguhnya diinginkan, seperti halnya Gee bertahan demi belajar dan tidak ingin mengganggu orang lain dengan kekurangannya ataupun Mush'ab ibn Umair yang bertahan dalam ketidaknyamanan dunia demi menyamanan sejati di surga.
Terkadang bertahan juga adalah jawaban dari setiap kegelisahan. Ketika kita menjalani berbagai hal dengan keluhan, bertahan dengan ikhtiar dan prasangka terbaik mungkin akan mengendurkan kegelisahan selama menjalani semuanya.
Sama halnya ketika kebaikan yang dilakukan justru berbuah cibiran, mungkin bertahan adalah satu-satunya cara agar kebaikan yang dilakukan juga diterima sebagai kebaikan. Sebagaimana Rasulullah mengajarkan kita untuk mengutamakan kebertahanan, keistiqomahan, dalam beramal dan beribadah.
Dan untuk teman-teman pembaca yang sedang dalam kegundahan menanti pelabuhan hati, mengembangkan bisnis sesuai tuntunan sunnah, juga dalam menuntut ilmu dunia ataupun akhirat, bertahan dengan cara yang dicintai-Nya niscaya menjadikan masa-masa bertahan adalah masa terindah. Bertahan dalam berkhitmat kepada-Nya melalui senantiasa memperbaiki diri, menjalin kekerabatan untuk saling mengembangkan pada kebaikan, dan menjadikan jalan menuntut ilmu sebagai jalan berjuang demi menjadi muslim yang taat dan berilmu karena-Nya.
Untuk setiap hal yang kita pilih, untuk setiap masalah yang harus dihadapi, semoga kita bisa bertahan dengan cara yang disukai-Nya sehingga akhir dari kebertahanan kita menjadi akhir yang melegakan dan kita syukuri.
"Just keep holding on, keep istiqamah. Allah gives His hardest battle only for His best soldier." (Anonymous)
Akhir
"Baik atau buruknya orang dilihat dari saat meninggalnya. Cukup pikirkan gimana nanti kita meninggal, bukan sibuk pikirkan dunia yang akan ditinggal."
Nasihat itu sering disampaikan bapak. Terkadang saat kami sedang duduk berdua atau saat berita kematian disampaikan melalui pengeras suara masjid terdekat rumah. Hingga saya tahu bahwa nasihat yang bapak sampaikan sejatinya adalah salah satu hal yang diajarkan Rasulullah SAW kepada kami, umatnya.
Belakangan ini, nasihat itu terus terngiang di telinga saya. Bukan karena teringat-ingat pada beliau, melainkan karena berbagai kematian yang menunjukkan wajahnya beberapa hari ini di sekitar saya juga banyaknya berita kematian di media.
Misalnya saja kabar kematian Julia Perez beberapa hari lalu yang cukup memenuhi setiap media dan sosial media. Kematiannya tidak akan membuat saya iri jika saja itu tidak terjadi di bulan suci ini. Kemudian saya bertanya-tanya pada diri sendiri, akankah saya Allah Menjemput saya di tengah Ramadan atau di hari lain yang Allah Muliakan atau bahkan tidak pada keduanya?
Belum lagi kabar meninggalnya seorang lelaki dalam sujudnya di tengah kekhusukan jamaah shalat isya. Terlafazkan tasbih yang berulang selama2 saya menyaksikkan video yang ditunjukkan oleh rekan kerja saya. Lalu tanpa terasa air mata saya dan yang lainnya tumpah. Saya terus penasaran, amal baik apa yang lelaki itu lakukan di dunia hingga Allah Jemput dia saat bersujud pada-Nya di bulan mulia?
Kemudian nasihat bapak tentang akhir kembali berputar di kepala, hingga kegelisahan kembali menggema. Akankah Allah perkenan saya Menemuinya dalam kekhusukan ibadah ataukah saat saya sedang khilaf dan alpa?
Di sisi lainnya, kabar kematian lainnya datang dari kabar kecelakaan, perampokan, dan kebakaran yang merenggut nyawa. Semuanya membukakan mata bahwa betapa banyak cara bagi-Nya untuk Menjumpai setiap yang bernyawa. Tetapi entah di cara yang makakah Allah akan Menjemput kita, pada tempat dan waktu mulia ataukah sebaliknya.
"Abah mikirin terus, Lis, apakah Abah sudah berbuat baik dan dinilai baik sama Allah. Abah masih mikirin, apakah nanti Abah bisa meninggal di hari Jumat dan dishalati banyak jamaah shalat Jumat?" kalimat itu seketika teringat oleh saya. Ya, saya pun memikirkan hal sama dengan Abah. Sampai saat ini.
Nasihat itu sering disampaikan bapak. Terkadang saat kami sedang duduk berdua atau saat berita kematian disampaikan melalui pengeras suara masjid terdekat rumah. Hingga saya tahu bahwa nasihat yang bapak sampaikan sejatinya adalah salah satu hal yang diajarkan Rasulullah SAW kepada kami, umatnya.
Belakangan ini, nasihat itu terus terngiang di telinga saya. Bukan karena teringat-ingat pada beliau, melainkan karena berbagai kematian yang menunjukkan wajahnya beberapa hari ini di sekitar saya juga banyaknya berita kematian di media.
Misalnya saja kabar kematian Julia Perez beberapa hari lalu yang cukup memenuhi setiap media dan sosial media. Kematiannya tidak akan membuat saya iri jika saja itu tidak terjadi di bulan suci ini. Kemudian saya bertanya-tanya pada diri sendiri, akankah saya Allah Menjemput saya di tengah Ramadan atau di hari lain yang Allah Muliakan atau bahkan tidak pada keduanya?
Belum lagi kabar meninggalnya seorang lelaki dalam sujudnya di tengah kekhusukan jamaah shalat isya. Terlafazkan tasbih yang berulang selama2 saya menyaksikkan video yang ditunjukkan oleh rekan kerja saya. Lalu tanpa terasa air mata saya dan yang lainnya tumpah. Saya terus penasaran, amal baik apa yang lelaki itu lakukan di dunia hingga Allah Jemput dia saat bersujud pada-Nya di bulan mulia?
Kemudian nasihat bapak tentang akhir kembali berputar di kepala, hingga kegelisahan kembali menggema. Akankah Allah perkenan saya Menemuinya dalam kekhusukan ibadah ataukah saat saya sedang khilaf dan alpa?
Di sisi lainnya, kabar kematian lainnya datang dari kabar kecelakaan, perampokan, dan kebakaran yang merenggut nyawa. Semuanya membukakan mata bahwa betapa banyak cara bagi-Nya untuk Menjumpai setiap yang bernyawa. Tetapi entah di cara yang makakah Allah akan Menjemput kita, pada tempat dan waktu mulia ataukah sebaliknya.
"Abah mikirin terus, Lis, apakah Abah sudah berbuat baik dan dinilai baik sama Allah. Abah masih mikirin, apakah nanti Abah bisa meninggal di hari Jumat dan dishalati banyak jamaah shalat Jumat?" kalimat itu seketika teringat oleh saya. Ya, saya pun memikirkan hal sama dengan Abah. Sampai saat ini.
“Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.”
(HR. Bukhari, no. 6493)
Mencari Surga
Surga itu dekat.
Itulah sepatah kalimat yang beliau ucap. Malam itu, saya menutup buku yang saya baca, lalu bertanya maksudnya.
Beliau kembali ngulang, "Surga itu dekat kalau kamu menyadarinya."
Saya menyimak, menundukkan wajah ke meja, tak berani menatap selama beliau berbicara. Kemudian beliau melanjutkan kalimatnya, sederetan nasihat yang selalu dicapkan tetiba saat kami duduk berdua.
"Mencari surga itu mudah, semudah melakukan banyak kebaikan yang saking banyaknya, kita lupa bahwa sekecil apapun itu tetaplah kebaikan. Mencari surga itu mudah, karena surga itu dekat. Hanya saja kita sering lupa bahwa itu adalah surga yang terdekat dengan kita.
Apalagi kamu perempuan, surga itu begitu dekat pada perempuan. Ketika kamu berbakti kepada kedua orang tua, patuh pada suamimu kelak, dan mampu mendidik anak-anakmu menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah, maka kamu sudah mendekat ke surga.
Jadi, surga itu dekat kalau kamu menyadarinya. Itupun kalau kamu berhati-hati dalam bersikap dan ucap, juga mau menjaga kehormatanmu buat saya dan suamimu kelak."
Beliau berhenti berucap, pandangannya lurus ke depan entah melihat apa. Lalu saya bertanya, "Terus, di mana surga buat laki-laki?"
"Surga buat laki-laki adalah ketika bisa menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya, ketika bisa membantu istrinya menjadi wanita shalehah yang pandai mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah."
Saya terdiam, terus mendengarkan suara rendahnya saat berbicara. Intonasinya naik turun, mengikuti apa-apa yang diceritakan. Sesekali beliau terdiam, suaranya bergetar seolah menahan rasa yang hanya diketahui oleh Allah dan dirinya.
"Jadilah surga untuk dirimu sendiri, untuk saya dan ibumu, juga untuk orang-orang yang kamu sayangi nantinya."
Lalu seperti biasa, saya hanya mengangguk sambil berseru dengan suara tertahan, "Iya, Pak. Mudah-mudahan, aamiin!"
Pada rindu dan doa saya untuk Bapak; Semoga Allah limpahkan Rahmat-Nya buatmu di sana.
Menuli Membodoh
Ada sebuah kisah lucu yang pernah saya baca dulu dari buku yang berisi kisah-kisah jenaka Timur Tengah. Dalam kisah tersebut terdapatlah seorang ulama dari abad ketiga hijriyah yang dipanggil Hatim al Asham. Dalam bahasa Arab, al Asham berarti Si Tuli.
Terkisahlah saat Hatim al Asham memberikan ceramah di kota kecilnya, datanglah seorang wanita paruh baya ke majelisnya, hendak bertanya.
Wanita itu bertanya dengan penuh antusias. Tetapi tanpa disadari sebelumnya, wanita itu refleks membuang gas dengan suara yang keras. Wajah wanita itu memerah, menahan malu dan tidak tahu harus melakukan apa di depan Imam Hatim.
Tetapi alih-alih menegur atau menasihati wanita yang membuang gas dengan kencang di depannya, Imam Hatim hanya diam lalu bertanya dengan suara lebih tinggi, "Apa yang kamu bicarakan tadi? Ulangilah dengan keras, saya tidak mendengar!"
Wanita yang semulanya malu tersebut perlahan tenang. Dia mengira bahwa Imam Hatim tuli karena tidak mendengar suara buang gasnya yang keras.
Sejak saat itulah Imam Hatim selalu berkata, "Ulangi ucapanmu, aku tidak mendengar!" setiap kali jamaah majelis bertanya. Beliau berpura-pura tuli di depan jamaahnya hingga beliau mendapat gelar Imam Hatim yang Tuli di kotanya. Hingga 15 tahun dan saat tersebar kabar bahwa wanita yang pernah membuang gas di depannya meninggal dunia, barulah ulama tersebut berhenti berkata, "Ulangi ucapanmu, aku tidak mendengar!"
Pada kisah lain yang saya terima dari seorang guru, terdapatlah seorang kyai di Jawa Timur yang setiap kali dirinya berada dalam perbincangan yang mengandung ghibah dan dirinya dimintai pendapat tentang orang yang dibicarakan, kyai tersebut selalu berkata, "Maaf saya tidak mendengar, jadi saya tidak tahu."
Belum lagi mengingat video pendek yang tadi pagi viral di Instagram. Dalam video tersebut seorang hafiz kecil yang sedang berlomba tampak kebingungan setelah menyelesaikan hafalan surat al Insyirah. Saat pembawa acara bertanya tentang wajahnya yang tampak bingung, hafiz kecil tersebut berkata, "Kenapa tadi Syeikh Ali Jaber tidak bilang khalas?"
Seketika itu Syeikh Ali Jaber langsung berucap, "Saya minta maaf ya. Lain kali saya akan bilang khalas," wajahnya tersenyum membersamai maafnya.
Akhlak para pemilik ilmu selalu membuat kita bertanya, "Di manakah posisi kita sebenarnya?" Tanpa disadari, mungkin kita pernah merasa diri ini lebih baik dari yang lainnya, sehingga ketika ada yang bersalah maka pelurusan yang kita sampaikan dianggap paling benar. Atau ketika suatu kali diri kita bersalah, bahkan kepada seorang anak kecil, maka pelurusan dari anak kecil seolah tidak layak diberikan. Ya, karena kita terlalu merasa telah menjadi lebih baik dari yang lainnya. Karena kita terlalu meyakini bahwa diri ini adalah pribadi yang paling benar adanya.
Teringat kembali nasihat seorang teman dari negeri jauh di sana. Bahwasanya ketika kita sudah merasa menjadi lebih baik daripada orang lain, saat itulah kita menjadi pribadi yang paling buruk di antara yang lain.
Maka cukuplah diri ini menjadi yang menuli dari keburukan orang lain dan yang membodoh dari sekecil apapun nasihat yang diberi. Sehingga kita merasa cukup menjadi lebih baik dari masa lalu diri sendiri.
Biarlah diri ini menjadi yang paling bahagia dengan tidak pernah merasa menjadi yang paling benar adanya, agar setiap ilmu dan adab yang dipunya tetap menjadi kebaikan yang tak ada habisnya.
Perjalanan
Selalu ada banyak hal yang diperbincangkan jika saya dan kawan-kawan mempunyai rencana perjalanan bersama. Memilih tujuan yang semuanya bisa ikut turut, memburu transportasi terbaik, hingga berbagai kesiapan perlengkapan selama perjalanan yang kami kerap saling memudahkan, mengingatkan, dan meminjamkan. Semuanya dilakukan saling bantu demi terwujudnya perjalanan yang terbaik.
Kemudian saat perjalanan usai, rekam kenangan selalu menjadi hal yang dinanti. Menatap setiap jedanya dalam bingkai-bingkai foto, menikmati setiap peristiwa lewat rekaman-rekaman video. Tujuannya biasanya agar bisa mengenang atau diceritakan ulang kepada anak keturunan.
Proses perjalanan ini kemudian berulang pada perjalanan-perjalanan selanjutnya. Menjadi perbincangan yang selalu hangat dikenang, menjadi sebuah kebiasaan yang katanya sekali dicoba maka sulit menghentikannya.
Lalu pada sebuah titik henti, saya berpikir bahwa ada banyak yang tertinggal dari setiap perjalanan yang telah dilakukan, yang semestinya menjadi pengingat pada perjalanan yang sejatinya. Yakni pada setiap jejak perjalanan, semestinya menjadikan penikmatnya seorang yang pandai mempersiapkan diri demi tujuan akhir yang sesungguhnya dicari.
Pada titik henti itulah saya bertanya, pada diri sendiri tentunya, seberapa seringkah saya belajar kembali mempersiapkan diri menuju tujuan sejati?
Surga, itulah satu-satunya tujuan dari perjalanan kehidupan setiap Muslim yang jika bukan karena ingin dikumpulkan di dalamnya bersama orang-orang saleh, maka tidak akan ada rindu pada kematian. Di sanalah perjalanan yang sejatinya sedang kita lewati hendak bermuara.
Tapi kita, terlebih saya, masih banyak lupa untuk memberikan yang terbaik pada perjalanan ini. Seperti halnya perjalanan yang sering dilakukan bersama menuju tempat yang sama, maka pastilah tujuan kita adalah surga terbaik-Nya yang sama.
Beberapa hari setelah bapak pergi, saya sempat bertanya kepada teman yang ahli agama. Bisakah saya mengenali bapak di akhirat kelak? Bagaimana caranya agar saya bisa berkumpul kembali dengan bapak untuk selamanya di surga?
Bisa. Itulah jawab yang saya terima beserta sederet nasihat demi menjadikan perjalanan kehidupan ini sebagai waktu terbaik menuju surga. Dan adalah tetap berjalan pada apa saja yang ditinggal Rasulullah menjadi salah satu nasihatnya.
Mungkin kita sering lupa pada persiapan ini, membincang rencana-rencana jalan-jalan tanpa berbagi harap agar di perjalanan sejati ini bisa bergandengan, membantu pada kebaikan. Mungkin kita sering lupa pada perjalanan sejati ini, sehingga anggaran jalan-jalan melebihi apa yang semestinya disalurkan setiap bulannya pada yang membutuhkan.
Jika surga adalah tujuan, mungkin saatnya memilih teman perjalanan yang menyelamatkan, yang bisa saling memudahkan untuk menginjakkan kaki di taman surga kelak. Lalu menjadikan kedua orang tua sebagai tabungan kebaikan agar kelak tetap bisa mencium tangan keduanya dengan khidmat di tepian sungai-sungai surga yang tak pernah kering airnya. Kemudian memilih pasangan yang bisa diajak berkelana dalam titian pahala sehingga pernikahan yang ada dapat menjadi kendaraan terbaik menujunya, sehingga yang dibangun bukan sebatas rumah tangga melainkan istana di surga.
Semoga kita bisa saling mengingatkan dalam kebaikan hingga kita kelak akan saling mencari jika tidak berjumpa di tujuan; surga. Aamiin.
Mencintai Diri Sendiri
Kecewa dan kesal, semua orang pasti pernah merasakannya termasuk anak-anak didik saya yang autisme. Hanya saja, berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya, anak didik saya lebih sering kurang mampu mengekspresikan kekecewaan dan kekesalannya kepada dirinya sendiri atau orang lain. Dampaknya anak didik saya biasanya akan menyakiti orang lain ataupun dirinya sendiri dengan mencakar, memukul, bahkan mengigit.
"Kenapa kamu memukul kepalamu sendiri?" pernah saya bertanya pada anak didik saya.
"Saya kesal, karena saya tidak bisa fokus. Jadi saya buruk," jawabnya.
"Apakah kita boleh memukul saat kita kesal?" saya kembali bertanya.
"Tidak. Saya salah. Saya tidak fokus," jawabnya.
Kemudian saya mengulang tanya, "It's okay jika kamu tidak fokus. Tapi, apakah boleh memukul saat kesal?"
"Tidak. Saya salah. Saya harus mengontrol emosi dan menyayangi diri sendiri. Saya tidak boleh pukul-pukul kepala," begitu katanya sambil mengatur napasnya hingga hitungan sepuluh.
Saya tersenyum mendengar jawabnya. Mengingat sejenak pada apa-apa yang terjadi pada diri.
Mencintai diri sendiri adalah hal yang sebenarnya pernah saya ucapkan beberapa bulan lalu kepada mereka. Saat itu saya berbicara kepada anak didik saya yang taat beragama -meskipun berbeda agama dengan saya, tentang mencintai Tuhan dengan cara mencintai diri sendiri. Tidak menyakiti diri sendiri adalah salah satu hal yang saya contohkan sebagai bentuk kecintaan yang bermuara pada Sang Pencipta.
Tentu saja apa yang saya sampaikan kepada anak didik saya ini berkonteks pada kehidupan mereka. Ucapan saya bertujuan agar mereka berhenti memukul atau mengigit diri mereka sendiri.
Tetapi semakin lama, semakin sering mereka mengulang apa yang mereka dengar dari saya, justru saya semakin berpikir tentang diri saya yang sebenarnya. Sudahkah saya mencintai diri sendiri sebagai wujud kecintaan saya pada Allah azza wajallah?
Bagi anak didik saya, menyakiti diri sendiri hanya sebatas melukai fisik. Tetapi agaknya berbeda dengan kita, orang-orang yang normal katanya, yang masih sering menyimpan luka, memendam benci, berkutat pada iri dengki, dan tanpa sadar tenggelam dalam kesombongan. Lalu sudahkah kita mencintai diri sendiri atas kecintaan pada Ilahi?
Saya tetiba teringat beberapa kalimat penulis terkenal. Dikatakanlah oleh beliau bahwa luka yang disimpan, benci yang dipendam, dan harap yang menjadi gundah tak berkesudahan sejatinya bukan untuk orang-orang yang pernah meluka, yang dibenci, atau yang pernah diharapkan. Bahwasanya semua sakit itu hanya untuk diri kita sendiri.
Kendati pernah ada yang berkata biarlah sakit hati menjadi pemicu diri untuk lebih baik lagi, tapi sejatinya perjuangan untuk melakukan yang terbaik itu tidak akan seringan hati dan kaki yang melepaskan rasa sakit hati. Bahwasanya kebencian hanya akan memperberat perjuangan.
Jadi mungkin terlalu banyak di antara kita yang tanpa disadari menyakiti diri sendiri, menzolimi hati yang semestinya tenang justru malah menjadi gelisah karena rasa-rasa yang seharusnya dibuang. Mungkin juga banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa sakit hati itu telah berubah menjadi penyakit hati. Yangmana semakin lama, semakin direnggutnya kebahagiaan diri sendiri.
Jadi mungkin sebenarnya diri kitalah yang bertanggung jawab atas apa yang kita rasakan. Karena setiap sakit pada hati dan pikiran biasanya datang dari harap-harap yang berlebihan pada makhluk yang juga masih mengharapkan.
Jadi, sudahkah kita mencintai diri sendiri? Melepas pergi semua sakit yang sejatinya menyakitkan diri sendiri?
Jadi, sudahkah kita mencintai diri sendiri? Meletakkan harap pada satu-satunya Pemberi Harap, sehingga jika kelak apa yang kita pinta ternyata tak berbalas justru itu membuat kita mensyukuri cara-Nya mengganti?