Archive for July 2016
Mata Pelajaran Samali Sandwith
Bismillahirrahmanirrahim
Sepiring makanan yang ditata cantik bersama
dengan pisau dan garpu di bagian tepinya adalah wujud penghilang lapar kami. Kami
tak tahu kalau semua itu bukan sekadar makanan yang akan habis kami lahap. Lebih
dalam lagi, ini adalah cara kami belajar hal baru.
Sepotong Samali Sandwich adalah mata pelajaran
sabtu sore kemarin.
Pelayan
datang memberitahukan kalau Salami yang kami pesan sudah tiba di dapur mereka. Gesturenya sedikit tergesa, sebab kami sudah menunggu lebih dari setengah jam untuk memesannya. Wajah
pelayan lelaki itu memberi senyuman kepada kami –saya, Erny, dan Senna seorang
adik yang tunanetra, padahal kami baru saya dikejutkan oleh suaranya yang
tiba-tiba datang saat kami sedang tenggelam dalam diskusi projek yang akan kami
jalani.
Saya
berjalan ke arah kasir, memesan tiga potong Samali Sandwich dan kembali meneruskan
diskusi hangat kami hingga sepuluh menit kemudian pelayan wanita dengan ramah
mengantarkan tiga sandwich yang kami pesan. Di atas piring putih bersih,
ditemani sebungkus saus sambal sachet dan garpu pisau yang digulung oleh tisu
di tepi piring. Kenapa sandwich disajikan menggunakan pisau? Pikir saya,
karena memakan sandwich dengan tangan sepertinya jauh lebih nikmat.
Erny
merapihkan meja sambil terus berbicara tentang projek yang sedang kami rancang
dan saya tetap menulis kesimpulan dari apa yang kami bertiga bicarakan.
Ini
makannya pakai pisau sama garpu loh, Sen. Itu yang pertama kali saya ucapkan
saat tangan Senna menyentuh tepian piring. Ini baru pertama kalinya Senna makan
menggunakan pisau dan garpu. Akan sulit pastinya bagi seorang yang awas melihat
untuk pertama kalinya makan menggunakan pisau dan garpu, terlebih untuk Senna
yang kurang awas dalam melihat. Tapi bukan Senna namanya jika dia tidak ingin
mencoba, meskipun saya menawarkan opsi untuk memotongkan rotinya atau
memintanya memakan sandwitch itu menggunakan tangan, memakan roti seperti
biasanya.
Tawa. Itulah
yang saya dan Erny lakukan pertama kali saat melihat Senna makan. Garpu yang
tertusuk ke roti, sisi tajam pisau menghadap ke atas dan bagian tumpul yang
terus digesekkan ke piring.
Saya
mengetuk pisau Senna dengan pisau yang ada di tangan kanan saya, mengarahkan
pisaunya untuk menyentuh salah satu ujung roti dan mengetuk garpunya untuk
mendekati pisau yang ada di ujung roti. Gerakkan garpunya ke kiri sejauh
yang kamu mau, ukuran itu adalah ukuran potongan roti yang akan kamu makan dan
kamu bisa memotongnya menggunakan pisaumu tepat bersebelahan dengan garpu yang
kamu tusukkan ke roti. Cuma itu yang bisa saya bantu untuk Senna. Kelihatannya
mudah dilakukan, tapi tidak begitu kenyataanya. Butuh beberapa kali percobaan
untuk meletakkan pisau di ujung sisi makanan dan mengukurnya menjadi potongan
roti dengan garpu sebelum Senna memotongnya. Erny yang sedari tadi tidak bisa
menahan tawa kini malah asik memotret –entah atau merekam– kejadian di
depannya.
Setelah
sekian kali mencoba, Senna berhasil memindahkan garpunya ke tangan kanan untuk
menusuk potongan roti yang terpisah dan kini siap disantap dengan tangan
kanannya. Kata mama gak boleh ah makan pakai tangan kiri. Begitulah Senna
bergurau, menambah tawa yang sedari tadi pecah.
Kami
kembali pada diskusi meski tetap diselingi tawa tentang sepotong roti. Dan
Senna tampak menikmati pengalaman pertamanya makan dengan garpu dan pisau.
Sesekali saya dan Erny melihat ke arah roti Senna yang sudah terbagi menjadi
tiga potongan besar dan Senna menyantapnya dengan garpu yang digunakannya
dengan tangan kiri.
“Gue aja
ngerasa susah makan pake garpu sama piso, apalagi Senna,” celetuk Erny saat
melihat Senna melahap potongan terakhir rotinya.
“Hahaha,
susah juga ya ternyata. Gimana kalau gue makan pakai sumpit coba?” Senna terkekeh,
Erny dan saya kembali dibuat tertawa oleh celotehnya.
***
Lucu? Iya
pasti. Inilah mata pelajar saya dan Erny sabtu sore kemarin yang mungkin juga
bisa menjadi mata pelajaran untuk siapa saja yang membaca tulisan ini.
Dari
sepotong Samali Sandwich ada mata pelajaran tentang sudut pandang dan
ketekunan. Terkadang kita merasa bahwa apa yang ada di depan kita adalah sebuah
keindahan yang dapat dinikmati dengan cara kita sendiri, atau mengikuti cara
umumnya orang menikmati. Ya…, misalnya makan menggunakan garpu dan pisau. Tapi ada
sisi lain, di sudut pandang lain bahwa apa yang kita nikmati tidaklah atau
belumlah kenikmatan untuk orang lain seperti yang Senna alami sabtu sore
kemarin.
Ada nikmat
yang harus dia rasakan dengan cara berbeda. Ada nikmat yang harus kita bagi
dengan cara berbeda, dari sudut pandang yang berbeda. Kadang tidak mudah
mengubah sudut pandangnya, tapi butuh ketekunan di sana, ketekunan yang
bertahan hingga usaha kita di sudut pandang berbeda itu bisa menghasilkan
nikmat di sisi yang berbeda.
Mengukur nikmat
dari sudut pandang berbeda ini tanpa saya sadari juga luput dari kehidupan
keseharian saya. Sering saya membelikan benda atau makanan untuk emak bapak,
kakak kakak, dan Naufal di rumah. Tapi responnya tidak selalu seperti yang saya
harapkan; wajah senang mereka saat mencoba benda yang belikan atau mencicipi
makanan yang saya bawa.
“Rasanya
aneh,” begitu keseringan respon emak atau bapak saat makan spaghetti, pizza,
dimsum, atau makanan-makanan yang saya beli di café selepas bepergian. Lalu mereka
akan memakan beberapa potong dan memberikannya kepada Naufal yang memang suka
memakan segala jenis makanan.
“Terlalu
mewah. Mau dipakai kemana yang kayak gini?” adalah respon berbeda yang
dikeluarkan emak bapak dan kakak saya jika saya membelikan mereka benda yang
saya pikir bagus.
Tapi ternyata
selama ini saya tidak sepenuhnya benar. Apa yang saya pikir bagus, enak, dan
nyaman justru terlihat aneh bagi emak bapak dan kakak. Saya yang justru harus
menyesuaikan apa yang ingin saya berikan dengan kebiasaan mereka, meskipun
tujuannya adalah ingin mereka menggunakan apa yang saya pakai dan memakan apa
yang juga saya makan.
Di sinilah
sudut pandang nikmat harus diubah. Sepotong Samali Sandwich yang ditata cantik
di atas piring belum tentu menyenangkan bagi Senna dan kawan-kawannya. Memakan hidangan
tertentu menggunakan garpu pisau belum tentu mewah dan menyenangkan untuk Senna
dan kawan-kawannya. Maka harus ada sedikit penggeseran sudut pandang agar satu
hal kita nikmati bersama di atas satu meja menjadi sama-sama nikmat dari sudut
pandang berbeda. Ya, hanya sedikit diubah.
Hal ini
tidak hanya tentang yang awas melihat ataupun yang memiliki disabilitas
pengelihatan. Ini tentang semua hal di dunia. Tentang semua orang yang ada di
sekeliling kita. Karena jika kita bisa melihat satu hal dari banyak sudut –mentrasformasi
nikmat yang kita nikmati menjadi nikmat dari berbagai sudut, maka kita tidak akan pernah merasa menjadi
yang paling baik di antara yang lainnya.
Senna Rusli
telah menjadi guru saya sabtu sore kemarin dan sepotong Samali Sandwich yang
menjadi mata pelajaran yang menyenangkan, telah sedikit menggeser sudut pandang
saya tentang arti nikmat.
Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? :)
Kembali, Menghilang, Kembali
Kembali,
Menghilang, Kembali
“Apa kabar?
Kemana aja?” itu yang selalu teman-teman saya tanyakan setiap kali ada
postingan yang saya posted di akun social media. Entah karena saya memang
jarang menggunakan social media atau tidak pernah berhubungan dengan orang lain
selama lebih dari satu tahun ini. Tapi dari rentetan pertanyaan itu memberikan
satu kesimpulan pada diri saya bahwa saya adalah Si Jago Ngilang.
Iya,
setelah saya pikir-pikir menghilang adalah salah satu bakat terpendam saya. Ini
bukanlah pertama kalinya saya putuh kontak dengan orang-orang terdekat saya
meskipun kenyataannya saya masih sering memantau kabar mereka melalui social
media.
Menghilang
yang pertama kali saya lakukan adalah tigabelas tahun lalu saat saya baru lulus
SD. Saya menghilang selama setahun, untuk pergi suatu tempat dan mengejar
impian yang tidak sesuai dengan ridho emak bapak. Itu adalah tempat terpencil
yang saat itu sangat ingin saya tempati meskipun emak dan bapak kurang
mengizinkan. Tapi kata emak demi kasih sayangnya kepada anak bungsu dan melihat
saya cukup yakin dengan kemauan saya, maka emak disusul bapak mengizinkan saya
pergi.
Setahun
berselang, oh tidak lebih tepatnya sembilan bulan, saya kembali ke pelukan emak
bapak. Menjalankan kehidupan seperti yang emak bapak ridhoi.
Kedua, saya
menghilang enam tahun kemudian, setelah saya lulus SMA. Lagi-lagi saya
menghilang ke suatu tempat. Saya menghilang untuk mencari hal yang saya
inginkan. Sebenarnya untuk melakukan hal yang orang-orang di sekitar saya
inginkan. Saya terlalu mendengarkan apa yang orang katakan kepada saya, jadi
saya menuruti mereka karena berharap apa yang saya lakukan ini membawa kebaikan
kepada saya dan orang-orang yang menyarankannya –atau memaksanya.
Tapi untuk
kedua kalinya saya mengulum ego dan menuruti apa yang kehendaki emak bapak.
Saya pulang. Ya bisa dikatakan kalau saya kembali mengulang hidup saya as my
parents said.
Menghilang
ketiga, terjadi setelah tiga setengah tahun selanjutnya atau lebih dari satu
tahun lalu hingga tulisan ini saya posting di blog saya. Kata teman-teman, saya
menghilang untuk menghilangkan sakit hati. Awalnya saya pikir begitu, tapi
ternyata saya salah. Saya mgnhilang untuk membalas dendam saya dengan cara
seksi. Hehehe.
Saya
menghilang untuk membuktikan kemampuan saya, untuk mengejar ketertinggalan
saya, dan untuk meraih yang masih jauh dari realita saya saat itu. Di saat
teman-teman seperjuangan saya bekerja, mendapatkan promosi untuk naik jabatan
di sekolah, mendapatkan peluang untuk jadi PNS, atau menikah, saya malah
memilih menghindar dari Jakarta dan menetap di tempat kecil terpencil.
Salah
seorang guru pernah berkata kepada saya kalau kita harus berani mengambil
langkah kuda, mundur selangkah untuk berlari ribuan langkah ke depan. Ingat,
untuk berlari ribuan langkah ke depan, bukan hanya sekadar berjalan. Atau bahasa
kerennya adalah steping stone, batu loncatan. Maka dari itu saya berani
mengambil langkah menghilang untuk meraih apa yang sempat saya remehkan dan
untuk bisa membalas dendam ketertinggalan –berserta segala macam penghinaan
yang pernah saya terima.
Dan untuk
kesekian kalinya, saya kembali kepada emak bapak. Tapi kali ini bukan karena
emak bapak tidak meridhoi hilangnya saya selama lebih dari satu tahun ini,
melainkan ini adalah langkah lain untuk bisa berlari lebih cepat.
Saya memang
bisa menghilang seperti apa yang saya mau, tanpa jejak dan seperti bersembunyi
di pidasar lautan terdalam. Meskipun harus saya akui, saya selalu mempunyai
orang-orang yang saya percayai untuk menjaga kerahasiaan di mana saya sebenarnya.
Dan pada dasarnya saya selalu merasa bahagia dengan menghilangnya saya karena
masih banyak orang mengkhawairkan, penasaran, dan (belakangan ini saya tahu)
diam-diam melakacak keberadaan saya. Hihihihi, saya jadi kegeeran :D
Dan… kalau
saya pikir-pikir lagi, semua proses menghilang yang saya lakukan bukan sekadar
menghilang, foya-foya ke luar negeri terus pulang dengan gaya orang luar atau
kembali dengan muka seperti orang Korea Selatan karena baru saja operasi plastik.
Bukan, bukan seperti itu. Bisa dibilang seluruh proses menghilang ini merupakan
proses mendapatkan ilmu baru dengan cara yang unpredictable.
Selepas
menghilang, saya selalu merasa bersyukur karena menemukan saya yang baru dengan
banyak hal baru yang ada dalam diri saya. Ini lebih dari sekadar mencari ilmu
di bangku kuliah atau tempat kerja. Ini juga lebih seru dari petualangan.
Jika kalian
tidak percaya, cobalah sesekali pergi ke suatu tempat, menghilang dari teman
atau orang-orang terdekat, tapi bukan dari keluarga. Lalu lalukan kehidupan
baru di sana. Nikmati. Lalu tidak ada hal yang akan kamu terima selain ilmu
kehidupan dan syukur kepada Tuhan.
Setelah
menghilang, jangan lupa kembali dan berlari ribuan langkah ke depan :)