Archive for 2016

Get Lost, Get The New Me




Bismillaahirrahmaanirrahiim


It is good to have an end to journey toward, but it is the journey that matters, in the end.
Memiliki tujuan di akhir perjalanan adalah sesuatu yang bagus, tapi pada akhirnya yang terpenting adalah perjalanan itu sendiri.
(Ernest Hemingway)

Melakukan perjalanan buta. Mungkin ini adalah jawaban yang cocok untuk saya gunakan setiap kali ada teman yang bertanya-tanya tentang “Hilangnya Fatinah” selama lebih dari satu setengah tahun belakangan, sejak saya lulus kuliah S1.

Awal April 2015 lalu, tepat dua pekan setelah wisuda S1, saya meninggalkan Jakarta menuju tempat yang tidak pernah saya kunjungi dan tidak sekalipun ada dalam pikiran saya. Berbeda dari kebiasaan obervasi kecil-kecilan melalui internet tentang tempat baru yang akan saya kunjungi, kali ini saya pergi tanpa satupun informasi yang saya tahu sebelumnya. Saya melakukan perjalanan ini sendirian ke Selatan Jawa Timur seperti seorang yang tersesat. Tapi pada akhirnya saya mendapati bahwa selama ketersesatan saya sendirian inilah saya telah mendapatkan banyak ilmu baru, teman dan keluarga baru dari berbagai daerah bahkan negara, kehidupan baru, juga diri yang baru.

Salah Membawa Berkah

Dua bulan sebelum wisuda, saya mengalami masa abu-abu sebagaimana yang dialami banyak calon sarjana lainnya. Masa bekerja saya di Home Schooling Kak Seto baru akan dimulai Juli 2015 dan aktivitas saya saat itu hanya membantu menyiapkan pemilihan mahasiswa berprestasi UNJ bersama teman-teman Forum Mahasiswa Berprestasi UNJ dan membimbing salah satu adik tingkat yang akan maju pemilihan mahasiswa berprestasi.

Sayangnya, usaha saya membimbing adik kelas saya kurang berhasil karena dia gagal di beberapa tahap pertama. Saya pun mendapatkan teguran keras dari dosen pembimbing mawapres sekaligus pembimbing skripsi saya. Hingga akhirnya beliau meminta saya untuk kembali belajar dengan alasan, sukseskan dulu diri saya sebelum saya menyukseskan adik kelas saya. Alasan ini menjadi tamparan besar bagi saya dan membuat saya menuruti saran beliau untuk langsung melanjutkan kuliah di Universitas Kebangsaan Malaysia dan melepas pekerjaan di Home Schooling Kak Seto setelah saya meminta restu Emak Bapak. Maka sejak itu saya mulai mempersiapkan beasiswa dan lagi-lagi mengikuti arahan beliau untuk belajar Bahasa Inggris guna mengatrol nilai IELTS saya.

Blind Travel; Visiting The Unknown Place

There are two kinds of people who are in Pare; those are running away from problems, those are trying to find problems.
Hanya ada dua kategori orang yang ada di Pare, Kampung Inggris; orang yang lari dari masalah atau orang yang mencoba menemukan masalah.
(The Big B)

Ini seperti perjalanan buta, perjalanan sendirian yang saya lakukan ala-ala naik gunung dengan sepatu hiking, carier besar, dan tanpa satupun buku di dalam tas untuk belajar. Saat itu yang terbersit di pikiran saya justru bukanlah apa yang akan saya pelajari di sana, melainkan nama-nama gunung yang akan saya daki selama rencana tiga bulan menetap di Jawa Timur.

Pertama kali saya mengetahui nama tempat ini hanya dari sebuah poster liburan plus belajar bahasa Inggris berbiaya jutaan rupiah untuk perjalanan 2 pekan yang tertempel di mading kampus. Kedua kalinya saya mengetahui nama tempat ini dari dosen pembimbing skripsi saya.

Pare adalah tempat yang menjadi tujuan saya, sebuah kota kecil yang mungkin hanya seluas setengah Kotamadya Jakarta Barat. Kota ini dikenal dengan sebutan Kampung Inggris karena terdapat ratusan tempat kursus bahasa Inggris di sana. Tapi lebih tepatnya, ratusan kursusan bahasa Inggris ini terletak di Desa Tulung Rejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Pertama kali tiba di stasiun Kediri, yang saya lakukan adalah diam sesaat di mushalah sambil meyakinkan diri bahwa saya benar-benar telah melangkah jauh sendirian di tempat asing yang tidak pernah saya kunjungi. Lalu saya keluar stasiun disambut berbagai macam tawaran menuju Pare. Saya memilih menggunakan becak menuju pangkalan angkot Kediri Kota ke Pare yang terletak di depan Kantor Polsek Kediri yang hanya ditempuh 7-10 menit, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pare menggunakan angkot selama kurang lebih 90-120 menit.  (Silakan baca review kendaraan menuju Pare disini)

Speak English, Please!

Tidak seperti saya yang tidak memiliki sedikitpun espektasi tentang Pare, ternyata banyak yang menganggap Pare adalah tempat di mana semua orang tidak berbicara bahasa Inggris. Mulai dari supir angkot, penjual pentol (sejenis bakso tusuk), sampai penjual pecel, berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tapi realitanya berbeda. Semua orang di Pare berbicara dengan bahasanya masing-masing. Penduduk asli berbicara dengan bahasa Jawa ketimuran, pelajar Sumatera akan berbicara dengan bahasa Minang-nya, teman-teman dari Sulawesi akan berbahasa Makassar dan Bugis-nya (FYI: banyak sekali pendatang dari Sulawesi di Pare), pendatang dari Jakarta seperti saya akan menggunakan bahasa Indonesia informal, teman-teman dari negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Timur Tengah, Portugal, dan sebagainya pun akan berbicara dengan bahasa mereka masing-masing. Atau setidaknya kami mencampur bahasa kami masing-masing dengan bahasa Inggris.

Yang pernah saya dengar dari penduduk asli setempat, dulu di masa-masa awal berdirinya Kampung Inggris, semua penduduk lokal dan pelajar pendatang melek akan bahasa Inggris. Tapi sekarang hanya pelajar, guru, beberapa penjual donat atau pentol, serta beberapa kafe yang menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Bahkan di beberapa kafe (dengan definisi kafe ala kota besar sebenarnya, bukan kafe ala kota kecil) mewajibkan penunjungnya menggunakan bahasa Inggris jika ingin mendapatkan pelayanan.

My little advice, jangan pernah berespektasi terlalu besar akan betapa Inggris-nya Kampung Inggris ini. Karena sebagian besar yang datang ke Kampung Inggris adalah orang yang baru mengenal Bahasa Inggris, maka tidak setiap yang berbahasa Inggris menggunakan bahasa Inggris yang benar. Sebagian dari orang-orang di Pare menggunakan bahasa Inggris ala Indonesia (accent, intonasi, dan grammar atau susunan kalimat yang masih meng-Indonesia), sebagian lagi adalah orang-orang yang berbahasa Inggris cukup mirip dengan native speaker.  Do not worry, though! Yang perlu diperhatikan di sini adalah tidak akan ada orang yang akan menertawakan teman-teman jika teman-teman berbicara bahasa Inggris dengan grammar atau pronunciation (pelafazan) yang kurang tepat, karena Pare adalah tempat belajar dan semua orang di Pare akan memaklumi kesalahan-kesalahan berbahasa Inggris selama itu dalam proses belajar. So just feel free speaking English there, Mates! :)

Carrying on my story….
Then Let The Water Flows

Lebih dari separuh perjalanan saya tertidur di dalam angkot. Ketika saya terbangun, angkot yang saya tumpangi baru saja menurunkan penumpangnya dan menyisakan saya, satu-satunya penumpang yang belum tahu hendak kemana. Karena bingung, saya memutuskan untuk turun di tempat itu juga.

Elfast English Course adalah tempat di mana saya berhenti untuk pertama kalinya. Saya masuk ke dalam gerbang kursusan yang cukup besar dengan kekuatan pasrah. Dari bangunan yang tampak, Elfast merupakan lembaga kursus yang cukup bagus dengan halaman untuk parkir sepeda yang sangat luas dan registration office yang nyaman.

Saat saya mendapatkan giliran untuk menemui officer, kalimat yang saya keluarkan persis seperti ini, “Pak, Dosen saya saranin saya lanjut S2, tapi persyaratannya saya harus lulus tes IELTS. Kira-kira apa ya, Pak, kelas yang cocok untuk saya?”

Pertanyaan “polos” itu pun menjadi bagian dari kepasrahan saya yang lainnya dalam perjalanan ini. Well, selama sebulan saya belajar di Elfast dan tinggal di asrama Elfast selama tiga bulan plus satu tahun lebih selanjutnya.

Keep Studying dan Smiling Whole Day!

Selama tingga di Pare, saya memiliki jadwal baru. Bangun pukul 03.00, memulai kelas pukul 5.00, istirahat pukul 14.30, masuk kelas lagi pukul 16.00 hingga 17.30 dan melanjutkan kelas kembali pukul 19.00 hingga kelas terakhir pukul 20.00, bahkan beberapa kali setelah itu saya mengambil kelas bahasa Jepang hingga pukul 22.00. Lalu setibanya di kamar, saya harus membuat tulisan pendek berbahasa Inggris untuk disetorkan kepada tutor kelas pukul 5.00 pada esok paginya. Kendati jadwal kelas yang sangat padat, Alhamdulillah, saya melakukan semua itu dengan senang,

Semua penat yang sudah terbayang saat pertama kali melihat jadwal kelas sungguh tidak saya temukan dalam keseharian, karena suasana belajar yang teramat nyaman dan teman-teman yang sangat mensupport untuk mengimprove kemampuan dan mencapai impian bersama-sama dari Pare.

Selain itu, suasana perkampungan yang asri dan jauh dari kebisingan juga menjadi salah satu faktor utamanya. Selama di Pare, kamar saya di asrama selalu berada di paling ujung, dekat teras atas dengan suhu kamar paling dingin saat malam hari dan pemandangan jendela yang langsung menghadap ke sawah. Ditambah lagi keseharian kami beraktivitas selalu berlalu-lalang melewati pepohonan, sawah, dan pemandangan hijau lainnya yang sungguh menjadi sarana releksasi tersendiri bagi murid-murid di sana.

Hal mendukung belajar lainnya di Pare adalah makanannya yang murah. Makanan murah di Pare bagi saya adalah hadiah atas stress yang telah di terima di kelas. (Baca info makanan dan tempat makan di Pare di postingan ini ^^ )

Selama di Pare teman-teman akan kehilangan angkot, kopaja, ojeg, apalagi kendaraan online. Semuanya digantikan dengan pematang sawah, kebiasaan berjalan kaki, dan bersepeda setiap pagi sore. Sejujurnya sebelum tinggal di Pare, saya sama sekali tidak bisa mengendarai kendaraan, sekalipun itu sepeda. Lebih tepatnya, Emak dan Bapak melarang saya mengendarai kendaraan meksipun itu hanya sepeda. Ketidakbiasaan saya mengendarai sepeda ini menjadi permasalahan bagi saya selama beberapa minggu pertama tinggal di Pare dan konsekuensinya saya harus berjalan kaki ke manapun saya pergi.

Hal ini menjadi agak rumit saat saya berencana masuk ke beberapa lembaga kursus lain yang jaraknya cukup jauh dari asrama. Pernah saya mencoba berjalan kaki menuju kursusan tersebut dan waktu yang saya butuhkan sekitar duapuluh hingga tigapuluh menit berjalan kaki dari asrama. Satu-satunya alasan saya ingin belajar di tempat kursus tersebut adalah karena lembaga kursus tersebut terkenal lembaga paling bagus untuk mempelajari speaking.  Karena hasrat untuk belajar di tempat tersebut begitu tinggi, saya mencoba berbicara dengan Emak dan Bapak. Dengan alasan untuk belajar inilah saya meminta izin Emak Bapak agar saya diperbolehkan belajar mengendarai sepeda. Syukurnya, Emak dan Bapak memahami kondisi saya dan membolehkan saya mengendarai sepeda. Yeach! ^^

Finally, selama dua setengah hari saya belajar keras mengendarai sepeda dengan teman sekamar hingga tangan saya penuh lecet dan badan saya biru lebam karena berkali-kali jatuh. Tapi akhirnya alhamdulillah saya bisa mengendarai sepeda. Kini, kemana pun beraktivitas di Pare akan semakin menyenangkan menggunakan sepeda. Terlebih lagi cuaca Pare yang sejuk dan nyaman untuk bersepeda keliling kota kecil ini. Sayangnya, di Jakarta saya betul-betul merasa kehilangan aktivitas ini dan saya sungguh merindukan bersepeda selama kembali menetap ke Jakarta :(


Keep Cycling Keep Smiling ^^


We are enroute to the core of my story…
Kota Mimpi dan Semangat

Bagaimana rasanya tinggal di Pare? Lalu apa yang paling berkesan selama tinggal di Pare? Mungkin itu adalah pertanyaan selanjutnya dari siapapun yang sudah mengetahui kemana saya menghilang selama ini.

Seluruh pengalaman tinggal di Pare adalah hal yang paling berkesan bagi saya. Karena meskipun Pare adalah kota pelarian bagi setiap penghuninya –as I said in the introduction of this written, Pare nyatanya adalah tempat singgah bagi orang-orang besar dan calon orang-orang besar.

Seperti yang saya cerita di atas, keberangkatan saya ke Pare beriringan dengan persiapan diri untuk melanjutkan pendidikan saya di Pendidikan Khusus di Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia. Tapi setelah beberapa pekan di Pare, berkenalan dengan banyak orang, dan saling berbagi cerita tentang siapa kami di tempat asal kami masing-masing, dan mimpi-mimpi apa yang akan kami lakukan selepas meninggalkan Pare, saya justru semakin gamang dengan apa yang akan saya lakukan satu hingga lima tahun ke depan. Setiap kali berkenalan dengan teman baru di kelas, hampir semuanya memiliki tujuan yang sama; melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi yang membuat saya terpukau adalah kemana mereka berencana pergi.

Jerman, Belanda, Inggris, Amerika, Australia, adalah negara-negara yang akan menjadi  tujuan kebanyakan dari teman-teman saya di Pare. Di sini saya melihat ribuan semangat ada dalam diri orang-orang yang singgah di Pare. Entah itu semangat untuk mengubah desa masing-masing menjadi desa yang produktif seperti Pare, semangat belajar ke luar negeri demi kembali ke Tanah Air, semangat mengenalkan Indonesia ke seluruh dunia, dan banyak semangat positif lainnya yang saya malu mendengarnya, karena saya hanya seorang lulusan guru yang mempunyai mimpi yang terlalu sempit. Sejak saat itu, saya mencoca terus mengintrospeksi diri, menyeimbangkan frekuensi semangat yang saya miliki dengan semangat mereka.

Selama satu bulan, saya melakukan observasi kecil-kecilan melalui Google tentang kualitas pendidikan khusus di beberapa negara di Eropa. Negara yang paling sering saya baca ulasannya adalah Jerman dan Inggris.  Hati saya pun jatuh kepada sebuah universitas yang terletak di kota metropolitan di West Midlands, Inggris.

University of Birmingham, Birmingham, adalah tempat yang saya pilih untuk melanjutkan S2, insya Allah. Selain karena Magister Pendidikan Khusus di Indonesia hanya ada di UPI, Bandung, keinginan saya untuk belajar di University of Birmingham adalah karena di sanalah satu-satunya kampus di dunia yang menyedikan course Pendidikan Khusus spesifikasi Anak dengan Autism dan membuat saya juga berniat melanjutkan doctoral ke University of Hongkong yang menjadi satu-satunya kampus di dunia yang menyediakan course Doktoral Pendidikan Khusus spesifikasi Anak dengan Autism.

Belajar Menjadi Duta Islam dan Indonesia

Dari teman-teman selama di Pare, saya belajar mencoba memperbaiki diri dan perencanaan hidup saya. Semua perencanaan hidup tidak bisa lagi hanya sekadar karena “saya mau” tapi lebih karena “saya punya misi di dalamnya”.

Jika dulu saya sangat berharap bisa jalan-jalan keliling Indonesia dan keliling dunia, sekarang justru saya merasa sangat malu jika tujuan saya hanya sekadar jalan-jalan. Hal ini karena saya tidak memiliki bekal yang layak untuk melakukan kebaikan lain di luar zona aman saya. Di samping itu, saya pun masih miskin ilmu; ilmu agama ataupun tentang tanah air saya. Saya belum banyak mengenal Islam dan Indonesia dengan baik. Saya kurang tahu banyak sejarah Islam dan negeri ini, hingga saya tak punya ide apa yang akan saya katakan pada orang-orang asing jika mereka bertanya tetang kemuslimahan dan keindonesiann saya. Qodarullah, semangat memperbaiki diri ini semakin muncul saat saya bertemu dengan teman-teman Muslim dari berbagai negara, terutama dari negara-negara minoritas Muslim seperti Thailand, Vietnam, Jepang, dan Eropa.

Di Pare saya juga menemukan keanekaragaman yang semakin beragam. Sebab tak hanya mahasiswa atau pekerja dari Sabang sampai Marauke, di Pare juga banyak mahasiswa dari berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, Timur Tengah, Jepang, dan sebagainya. Dari mereka, terutama dari Muslim yang tinggal di negara minoritas Muslim, biasanya saya selalu minta diceritakan tentang Islam di negara mereka. Salah satu contohnya adalah dari Aini dan Shafara, dua muslimah cantik dari Thailand yang memiliki semangat dakwah tinggi. Aini dengan semangat menyebarkan Thibbun Nabawy (Pengobatan Nabi) dan Shafarah yang ingin membuka sekolah islam di Thailand. Saat kejadian bom di Bangkok tahun lalu, keduanya berkata kepada saya bahwa hampir setiap hari ada bom di Thailan Selatan (tempat kebanyakan muslim Thailand tinggal), tapi tidak ada satupun media yang meliput. Air wajah mereka sedih saat menceritakan betapa muslim Thailand didiskriminasikan di sana.

Tak jarang saya merasakan diri saya jauh dari syukur sebagai muslimah Indonesia, karena mereka begitu bersemangat menjalankan ajaran Islam di tengah larangan-larangan dan beberapa tekanan lingkungan yang menganggap buruk Islam. Bahkan lebih jauh lagi saya perhatikan, kekhidmatan mereka dalam beribadah jauh lebih dalam daripada kami kebanyakan orang Indonesia yang lahir dan besar di lingkungan mayoritas muslim.

Kadang saya juga iseng belajar bahasa lain seperti bahasa Rusia, Jepang, Arab, dan Thailand langsung dari teman-teman penutur asli bahasa tersebut. Hingga minimal saya bisa membaca tulisan mereka meskipun saya hanya tahu beberapa kata dan kalimat-kalimat yang umum di gunakan. Dan saya bersyukur pernah bertemu mereka yang berasal dari berbagai negara, setidaknya saya tahu although book is window to see the world, yet language is a door to get its paths.  Meskipun buku adalah jendela dunia tapi bahasa adalah pintu untuk menelusuri dunia.

Then, pada akhirnya dari perjalanan jauh dan lama ini saya menemukan siapa dan harus seperti apa saya sebenarnya. Bahwa saya atau kita di manapun berada adalah duta bagi tempat asal dan agama kita. Saat ini saya adalah seorang muslimah dari Indonesia, maka saya adalah duta bagi setiap muslimah sekaligus bagi Indonesia.

Selama di Pare, saya mencoba meyakinkan kerabat di kelas dan asrama bahwa saya orang Jakarta, tapi saya kurang suka dengan hal-hal kasar dan hirup pikuk keramaian –meskipun mereka menganggap kebanyakan orang Jakarta adalah orang yang kasar dan semena-mena. Selama di Pare, saya mencoba meyakinkan berbagai rekan dari daerah ataupun negara lain yang tidak seagama dengan saya bahwa saya seorang muslimah yang tidak hanya mengejar kehidmatan ibadah kepada-Nya, tapi juga merepresentasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dengan menjadi murid yang berusaha terlibat aktif di kelas, menjadi guru yang professional, bertanggung jawab dengan kemampuan seluruh murid, dan saya mencintai kelemahlembutan seperti sifat Rasulullah dan sabahat-sahabat beliau.

Kini, selepas tinggal di Pare, saya merasa betapa banyak hal yang perlu saya persiapkan sebelum kaki ini melangkah terlalu jauh meninggalkan Indonesia. Saya harus menjadi sebaik-baiknya duta bagi negara saya dan agama saya di luar sana. Jika selama ini banyak memandang sebelah mata Indonesia dan Islam, maka ini adalah tugas saya menjadikan diri saya sebagai cerminan dari keindahan Indonesia dan Islam, memegang kenasionalismean dan ketauhidan dalam satu hati yang diselubungi kecintaan saya pada keduanya.





Lalu bagaimana nasib beasiswa saya?

Banyak dari kita, terlebih saya, pasti pernah memiliki rencana yang begitu sempurna untuk beberapa waktu ke depan. Ikhtiar dan doa pun dilakukan guna mencapai rencana tersebut. Tapi kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya akan terjadi nanti di balik usaha dan doa yang telah lakukan dengan beragam kesungguhan. Kita sungguh tidak punya daya atas apa yang akan terjadi pada diri kita sendiri, bahkan pada satu detik ke depan.

Ketika kehendak Allah berbeda dengan mau kita, hanya ada dua hal yang mungkin terjadi; berserah diri dan percayakan semua kepada keputusan-Nya, atau bersedih dan merasa bahwa Allah tidak berada di jalan kita. 

Sejujurnya, saya sempat merasakan yang kedua. Menjelang kembali ke Jakarta, saya merasa Allah SWT tidak cukup Menyertai jalan saya. Saya juga merasa bahwa apa yang telah saya lakukan sejauh ini tidak bernilai apa-apa di hadapannya, entah itu ikhtiar dan doa-doa yang saya munajatkan sepanjang malam. Tapi sebenarnya tidak. Sama sekai tidak. Allah SWT tidak hilang dari jalan saya. Allah SWT tidak sedikitpun mengabaikan saya. Hanya saja, saya kurang sedikit bersabar dalam apa yang sedang saya usahakan. Saya hanya kurang sedikit berserah diri atas apa yang saya usahakan. Saya, mungkin juga kebanyakan dari kita, sering lupa bahwa setelah menanamkan hajat, berusaha, dan berdoa, masih ada tawakkal atau keberserahdirian kepada Allah SWT yang Maha Mengendalikan segala hal.

Menjelang akhir 2015, saya menyatakan kepada Emak dan Bapak bahwa saya mengubah tujuan tempat belajar saya ke Eropa. Sayangnya, respon keduanya kurang baik. Emak terlalu mengkhawatirnya anak bungsunya yang akan tinggal jauh. Meskipun sebenarnya Emak merestui apapun yang menjadi pilihan saya selama itu untuk proses menuntut ilmu, tapi Bapak selalu menjadi tolak ukur keputusan di rumah. Beliau menolak saya keluar Indonesia tanpa mahram. Bahkan beliau berkata, “Selama harus tinggal sendirian, Bapak hanya ridho jika kamu tinggal di Indonesia. Kamu boleh tinggal atau belajar di mana saja, selama itu tidak keluar dari Indonesia.”

Well, selama beberapa bulan membujuk keduanya, hasilnya tetap sama. Eropa belum direstui dan Malaysia pun tidak masuk dalam list keridhoan Bapak. Saya pun berkali-kali menangis kepada Emak dan merasa bahwa apa yang saya lewati selama hampir satu setengah tahun di Pare untuk memperoleh sertifikat bahasa Inggris sesuai syarat kampus adalah sia-sia. Tapi Emak selalu menenangkan hati saya dengan berkata bahwa tidak ada ilmu yang sia-sia. Qodarullah, alhamdulillah ucapan Emak benar. Semua ilmu di perkuliahan, di Pare, dan keinginan besar saya untuk menangani remaja dan dewasa dengan autism tercapai dengan cukup mudah ketika saya kembali menetap di Jakarta. Kini saya bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang saya anggap sia-sia tersebut. Lebih bersyukurnya saya adalah saya merasakan apa yang kini menjadi pekerjaan saya adalah senyatanya tempat belajar baru bagi saya untuk kembali belajar tentang autism dan kembali belajar beradaptasi (karena saya termasuk orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru) dengan lingkungan minoritas muslim dan beberapa rekan kerja dari Eropa.

Apa yang telah saya jalanin di Pare mungkin adalah bagian dari pembelajaran saya sebelum meraih apa yang Allah ridhoi dan sebelum membuka keridhoan Emak dan Bapak. Terlepas dari semua itu dan belum adanya restu Emak Bapak bagi saya untuk melanjutkan kuliah ke Eropa, saya tetap merasakan ribuan lapisan syukur yang begitu nikmat. Saya berterima kasih sekali kepada Allah SWT yang “Menyesatkan” saya ke Pare. Saya menganggap masa-masa saya di Pare hingga sekarang adalah masa saya dikarantina langsung oleh Allah SWT hingga saya bisa benar-benar menjadi duta Islam dan Indonesia, juga sebelum Allah SWT percayakan hal yang saya minta benar-benar menjadi milik saya; melanjutkan kuliah di Birmingham dan Hongkong, insya Allah.

Ada lagi hal lain yang mungkin perlu saya perbaiki sebelum saya mencoba mengetuk pintu keridhoan Emak, Bapak, dan Allah, selain kemampuan menulis jurnal dan grammatical bahasa Inggris saya, yaitu meluruskan niat menuntut ilmu karena-Nya. Mungkin hal ini yang perlu saya persiapkan dengan sebenar-benarnya sebagaimana kita juga harus persiapkan dalam setiap hajat yang kita punya.


Jakarta, 8 Desember 2016, 23:10 WIB
dalam rindu Pare
dan kembali membincangkan Eropa bersama Emak Bapak
09 December 2016
Posted by Lisfatul Fatinah

Info: Makanan di Pare, Kampung Inggris, Kediri

A Heaven for The Food Fighters \( ^_^)/

Are you a heavy eater? Apakah teman-teman termasuk orang yang banyak makan dan suka wisata kuliner? Jika iya, maka Pare adalah tempat yang tepat untuk kalian tinggal.

Meskipun Pare adalah kota kecil, tapi orang-orang terus mengambil keuntungan dari apa yang terjadi di dalamnya. Maka jangan heran jika di Pare akan ada banyak tempat makan dengan beraneka ragam konsep. Mulai dari warteg, prasmanan, lesehan, nuansa alam, sampai tempat makan ala kafe modern lengkap dengan pertunjukkan musiknya.

Bagaimana dengan  harganya? Harga makanan di Pare amat sangat murah, kecuali untuk kafe-kafe ala Jakarta. Untuk makan di warung prasmanan, teman-teman cukup membayar 4.000 IDR untuk mendapatkan menu nasi + sayuran + gorengan dua buah. Jika ingin menambah menu dengan telur, harganya cukup 5.000 IDR per porsi. Jika ingin makan dengan nasi + sayuran + gorengan + ayam atau ikan, teman-teman cukup membayar sekitar 7.000-8.000 IDR. Untuk minumnya sendiri free alias tidak dipungut biaya, karena kebanyakan warung makan menyediakan gallon  air mineral untuk pelanggan. Jika ingin minum es teh manis, harganya hanya berkisar 1.000-2.000 IDR. Minum jus buah di Pare pun bisa dengan puas, karena harga jus buah hanya 5.000-6.000 IDR. It’s the real life for you who always stay in a big city. So the food fighters, let’s come in! :D

Sebenarnya saya ingin memasukkan beberapa list tempat makan favorite saya di sini, tapi saya khawatir tempat yang saya masukkan ke dalam list bisa hilang kapan saja. Hal ini karena Pare adalah kota kecil yang hidup dengan perubahan yang sangat cepat.

Mungkin saya akan memasukkan beberapa tempat makan yang recommended enough dan kemungkinan besar akan tetap ada meski sudah beberapa tahun –sehingga tulisan ini bisa tetap relevan bagi pembaca dua hingga lima tahun lagi.


Dapur Jawa (Lesehan ala Melayu)

Saya tidak butuh banyak waktu untuk berpikir memasukkan Dapur Jawa di list pertama saya. Selain karena lokasinya yang dekat dengan asrama saya, Dapur Jawa adalah tempat unik di mana saya menemukan makanan khas Indonesia yang dibuat ala Malaysia atau Thailand. Hal ini dikarenakan ibu pemilik warung pernah bekerja lama di Malaysia. Saya rekomendasikan untuk mencoba semua menu yang ada di Dapur Jawa, seperti Kare Ayam, Ayam Masak Merah, Pecel Lele, Gurame Goreng, Kepiting Masak Merah, Daging Masak Kuning (mengandung banyak sayur), Tom Yam, dan banyak lagi. Jangan khawatir, harga makanan di sini hanya 10.000-12.000 IDR per porsinya dengan jumlah ayam dua potong untuk menu Kare ayam dan Ayam Masak Merah. Sedangkan khusus menu Gurame dan Kepiting, harganya berdasarkan ukurannya dan bisa berbeda-beda setiap kali teman-teman membelinya.

Minuman favorite saya di Dapur Jawa adalah es jeruk nipis dengan potongan jeruk nipis di dalamnya yang menambah estetika sekaligus merangsang untuk langsung menghabiskannya. Selain itu, ada Teh Tarik (Thai Tea) yang dibuat persis seperti di Thailand dan ada Es Milo yang rasanya jauh lebih nyaman dibandingkan kita membuatnya sendiri. Hal ini dikarenakan bahan Teh Tarik dan Es Milo dikirim langsung dari Malaysia. Tidak usah risau untuk hal harga, karena teman-teman cukup merogoh kocek 2.000 IDR untuk Es Jeruk Nipis dan 3.000 IDR untuk Teh Tarik dan Es Milo.

Sribu Asri; Lesehan Pemancingan

Selain Dapur Jawa, Sribu Asri adalah tempat paling favourite saya bersama teman-teman belajar seperjuangan ataupun students. Sayangnya, lokasi Sribu Asri cukup jauh terletak di desa berbeda dan harus menempuh waku kurang lebih setengah jam bersepeda. Jadi, biasanya saya pergi ke Sribu Asri satu atau dua bulan sekali dalam rangka perpisahan kelas dengan students.

Meksipun Sribu Asri cukup jauh dari Desa Tulungrejo (tempat Kampung Inggris), tapi perjalanannya akan menyenangkan karena teman-teman akan bersepeda melewati lading-ladang jagung, hutan kecil, dan perumahan desa warga.

Sribu Asri menjadi tempat favorite saya karena suasananya yang menenangkan dan menu utama tempat makan ini adalah ikan dan sayur-sayuran segar. I do like fish because of my Mom but honestly I am a heavy eater though! Saya suka ikan sejak kecil karena sering dicekoki ikan oleh Emak dan kenyataannya saya orang yang pemakan apa saja selama itu halal dan baik :D

Hampir semua menu yang ada di restoran seefood pada umumnya juga bisa kita temui di Sribu Asri ini. Di Sribu Asri, selain makanannya yang enak dan murah, suasananya juga sangat mendukung, Teman-teman bisa memancing ikan sendiri untuk diolah dan dimakan di tempat. Jika kurang tertarik memancing, teman-teman bisa berkeliling lihat beraneka hewan seperti iguana, musang, burung kakak tua, ular, dan beberapa hewan lain yang kurang saya ingat.

Sejujurnya, saya kurang ingat harga per porsi dari menu yang ada di Sribu Asri, karena biasanya saya dan teman-teman men-share bill kami untuk makan di sini. Tapi walaupun kami memesan banyak menu seefood untuk kelompok, biasanya biaya yang kami keluarkan hanya sekita 20.000-25.000 IDR belum termasuk harga minuman yang cukup sekitar 3.000-6.000 IDR. Murah kan?

Sedikit view di Sribu Asri

Tansu (Ketan Susu)

Jika teman-teman mencari tempat makan murah meriah dengan menu ala warung kopi, maka Tansu adalah pilihan yang tepat. Di Tansu, tidak ada menu makanan istimewa seperti Dapur Jawa ataupun Sribu Asri, karena Tansu berkonsep warung kopi yang hanya menyediakan aneka gorengan seharga 500 IDR, mie instan plus telur, kopi, minuman hangat atau dingin lainnya, dan ketan susu seharga 3000-4000 IDR per piringnya sebagai menu primadona yang menjadikan warung ini terkenal dengan sebutan Tansu, singkatan dari Ketan Susu.

Warung ini terletak di dekat lembaga Daffodils. Kurang lebih 100 m dari Daffodils dengan view pematang sawah dan sepoi angin yang membuat pengunjungnya betah berlama-lama di Tansu. Meskipun Tansu kecil dan tidak cukup menggambarkan ketenarannya di Pare, tapi Tansu menyediakan banyak tempat duduk dan lesehan di sekitaran sawah. Maka tidak heran jika meskipun warung ini kecil, warung ini menjadi tempat yang most wanted alias paling di cari oleh pendatang di Pare.

Saya biasa mengunjungi Tansu bersama dengan teman-teman kelas saya atau dengan murid-murid saya sambil belajar speaking di sini. Suasana yang tenang dan sajian cemilan yang murah meriah menjadikan proses belajar mengajar di Tansu sangat fun learning dan tidak terasa. Oleh sebab itu, bagi teman-teman yang ingin merasakan sebenar-benarnya berkunjung ke Pare, datanglah ke Tansu, pesan sepiring ketan susu original dengan minuman kesukaan kalian sambil mengulang matere bahasa Inggris teman-teman di sini bersama teman sekamar ataupun seasrama :)

Kurang lebih itulah tiga tempat favorite yang bisa menjadi tempat makan dan berkumpul selama belajar di Pare. Untuk tempat makan lainnya, sifatnya standart seperti di kota-kota lain dengan kisaran harga yang telah saya paparkan di awal tulisan.

Dan sekali lagi, ulasan ini adalah berdasarkan pengalaman saya tinggal di Pare selama tahun 2015 dan 2016. Jika teman-teman pembaca menemukan hal baru yang layak dibagikan, silakan sampaikan di kolom komentar. Thanks a bunch! :)

Have a nice study! Let's get the fist, then! :D

PS: Mohon maaf tidak ada dokumentasi di Dapur Jawa dan Tansu, karena saya kurang narsis jadi hanya sedikit foto selama di Pare :D
08 December 2016
Posted by Fatinah Munir

Seluk Beluk Kuliah Pendidikan Luar Biasa


“Pendidikan adalah hak semua manusia.”

Kalimat di atas saya pikir adalah dasar dari munculnya jurusan kuliah yang satu ini. Sebuah jurusan kuliah yang saya ambil pada 2011 silam di Universitas Negeri Jakarta. Saat memutuskan memilih jurusan kuliah yang satu ini, mungkin kalian akan mendapatkan respon yang serupa dengan yang saya alami. Contohnya adalah pertanyaan-pertanyaan lain seperti ini. Yakin mau ngajar anak-anak begitu? Oh yang ngajar anak idiot itu ya? Kamu ngajar anak-anak yang ileran gitu? Dan banyak lagi respon serupa dari banyak orang.

Sebelum bercerita tentang apa itu jurusan kuliah Pendidikan Luar Biasa, saya ingin sedikit bercerita mengapa saya bisa masuk ke jurusan kuliah ini:

Tahun 2010 saya tertulis sebagai mahasiswa Farmasi UIN Jakarta. Saya memilih menjadi mahasiswa Farmasi UIN Jakarta atas dasar rekomendasi guru-guru yang melihat bahwa nilai pelajaran eksakta saya selalu tinggi dan pernah mendapat predikat siswa teladan di SMA.

Setelah dua semester saya jalani, meskipun nilai-nilai kuliah saya tinggi bahkan di semester awal saya mendapatkan IP (Indeks Prestasi) 3,7 atau setara dengan nilai A, saya merasakan ada yang hilang dalam kehidupan saya. Meskipun saya sudah mulai menyukai Farmasi, tapi semua tetap terasa berjalan tidak natural. Saya seperti terkurung dalam aktivitas laboratorium, sedangkan saya adalah orang paling tidak bisa beraktivitas dengan monoton dan selalu ingin mencoba hal baru dan yang menantang.

Alhasil memasuki semester dua mulai mencoba mencari jurusan kuliah yang sesuai dengan karakter saya. Lalu tanpa sengaja saya mampir di salah satu blog yang menceritakan tentang pendidikan anak tunalaras, anak yang secara simpel diartikan sebagai anak yang sangat nakal bahkan kenalannya bisa mencelakakan orang lain dan kenakalannya bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum negara seperti mengonsumsi narkoba, mencuri, bahkan membunuh. Ingat, ini tulisan yang saya baca adalah tentang PENDIDIKAN ANAK! Makhluk Tuhan dengan usia 6-12 tahun yang lugu dan polos tapi punya masalah yang cukup mengerikan.

Sebab hal di atas, saya menjadi semakin penasaran dengan berbagai tipe anak termasuk bagaimana cara mendidik atau mengajar anak seperti itu. Kurang lebih selama sebulan saya observasi dan banyak membaca di internet tentang anak-anak seperti ini hingga saya merasa tertantang untuk bertemu dan mengajar anak seperti ini. Oke, akhirnya saya memutuskan untuk banting setir bangku kuliah, dari seorang laboran menjadi guru anak-anak istimewa.



Anak Luar Biasa?

Sebelum tahu apa itu Pendidikan Luar Biasa, saya pikir teman-teman harus tahu dulu apa itu anak luar biasa, sebagai objek utama dari jurusan kuliah ini.

Anak Luar Biasa (ALB) atau yang sekarang disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang memiliki tiga ketentuan berikut: (1) anak memiliki penyimpangan berarti dari anak pada umumnya (kurang atau melebihi anak pada umumnya), (2) penyimpangan tersebut membuat anak mengalami hambatan dalam kesehariannya termasuk dalam aspek akademik (pendidikan), dan (3) karena hambatan tersebut seorang anak membutuhkan pelayanan khusus.

Jika ketiga ketentuan di atas ada pada diri anak, maka anak dikategorikan sebagai ABK. Jadi, ketika ada anak yang memiliki hambatan fisik maupun intelejensi tetapi tidak memiliki hambatan dalam kesehariannya, otomatis anak ini tidak membutuhkan pelayanan dan pendidikan khusus dan tidak dikategorikan sebagai ABK.

Anak Berkebutuhan Khusus memiliki banyak kategori, kurang kebih ada sembilan macam ABK seperti yang tertulis di bawah ini.

1.    Anak Disabilitas Intelektual (Retardasi Mental), dulu disebut tunagrahita. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki intelejensi kurang dari rata-rata atau dengan IQ di bawah 70.
2.    Anak Disabilitas Pengelihatan, dulu disebut tunanetra. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki hambatan dalam pengelihatannya, baik itu secara keseluruhan (totally blind) maupun sebagian (low vision).
3.    Anak Disabilitas Pendengaran, dulu disebut tunarungu. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki hambatan pendengaran baik ringan maupun berat.
4.    Anak Disabilitas Tubuh, dulu disebut tunadaksa. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki kondisi fisik yang menyimpang dari anak pada umumnya. Kondisi fisik ini dapat terjadi dalam berbagai macam dan dapat menghambat aktivitas anak.
5.    Anak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku, dulu disebut tunalaras. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki gangguan emosi dan penyimpangan tingkah laku berdasarkan sosial, adat, dan hukum.
6.    Anak Autis. Anak dalam kategori ini adalah anak autis adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan otak yang kompleks dan signifikan (akan tetap seperti itu jika tidak ditangani) yang mempengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku, semua gelaja autis ini terjadi. Anak autis memiliki ciri yang berbeda dari setiap individu, sehingga tidak ada ciri-ciri spesifik dalam anak autis.
7.    Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif (GPPH) atau Attantion Deficit and Hiperactivity Disorder (ADHD). Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki gangguan pemusatan perhatian dan memiliki tingkat keaktifan jauh melebihi anak pada umumnya.
8.    Anak Kesulitan Belajar. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki hambatan dalam belajar karena disfungsi minimum otak.
9.    Anak Berbakat. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki kemampuan akademis atau nonakademis melebihi anak pada umumnya, biasanya anak-anak ini memiliki IQ di atas 130.

Kesembilan kategori ABK di atas memiliki perbedaan dalam kekhususannya. Antar ketegori ABK memerlukan pelayanan yang berbeda-beda sesuai dengan kekhususannya masing-masing dalam hal pendidikan. Oleh sebab itu dibutuhkan Guru Pendidikan Khusus yang sebelumnya berkuliah di Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus.

Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus

Dari penjelasan panjang di atas tentang anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah terbayangkah apa itu Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh)?
Yup. PLB atau PKh adalah jurusan kuliah yang di dalamnya teman-teman bisa belajar untuk mengajar kesembilan ABK di atas. di jurusan kuliah ini teman-teman akan mengenal Sembilan macam ABK dan belajar bagaimana mengajar mereka dengan kekhususan yang mereka punya.

Apa yang Akan Dipelajari?

Saat kuliah, teman-teman anak belajar terlebih dahulu kriteria dari kesembilan anak tersebut. Jadi, sebagai gambaran awal apa yang akan dipelajari di jurusan ini setidaknya teman-teman akan mempunyai Sembilan matakuliah perspektif atau pengantar yang masing-masing matakuliah ini akan membahas tentang macam-macam ABK secara detail.

Selain mempelajari kriteria ABK, teman-teman akan mendapatkan matakuliah lanjutan dari kesembilan macam ABK berupa matakuliah pembelajaran ABK dan matakuliah kompensatoris, tapi tidak semua macam ABK mempunyai kompensatoris. Contohnya untuk ABK Disabilitas Pengelihatan teman-teman akan belajar Perspektif Anak Disabilitas Pendengaran, Pembelajaran Anak Disabilitas Pendengaran, dan matakuliah kompensatorisnya seperti matakuliah Bahasa Isyarat (Sistem Komunikasi).

Setelah mempelajari seluruh macam ABK ini, teman-teman harus memilih kekhususan yang akan teman-teman geluti. Misalnya teman-teman ingin konsen dan mendalami pendidikan untuk anak kesulitan belajar, maka di semester IV atau semester VI (tergantung dari kampusnya) teman-teman akan memilih kekhususan ini dan konsen memperlajari tentang anak kesulitan belajar. Di kampus saya, kekhususan ini diambil di semester VI dan saya memilih konsen di kekhususan anak dengan autisme dan ADHD.

Prospeknya yang Tak Usah Ditanya!

Kuliah di PLB atau PKh tidak perlu khawatir tidak akan mendapatkan pekerjaan. Bukan bermaksud mendahulukan kehendak Tuhan. Sama sekali bukan. Karena memang sejak 2010 dicanangkan Sekolah Inklusif, lulusan PLB/PKh sangat dibutuhkan. Entah itu di SLB (Sekolah Luar Biasa) ataupun di sekolah umum yang menerima ABK.

Tahukah teman-teman, jika teman-teman kuliah di jurusan PLB/PKh, sebelum teman-teman lulus kuliah pun, teman-teman akan mendapatkan banyak tawaran kerja untuk mengajar. Mengapa bisa begitu? Sebab dalam Sekolah Inklusif setiap ABK membutuhkan satu guru pendamping untuk dirinya. Jadi jika dalam sebuah SD tiap kelasnya ada minimal 2 ABK, itu artinya dibutuhkan dua guru pendamping dalam satu kelas, total 12 guru pendamping. Dan saat ini ada cukup banyak Sekolah Inklusif di Jabodetabek. Belum lagi tawaran mengajar les untuk ABK yang tak kalah banyaknya. 

Jika teman-teman sudah lulus, teman-teman bisa mengambil ‘tantangan’ yang lebih besar lagi seperti menjadi Guru Pendidikan Khusus atau Konselor Pendidikan Khusus di Sekolah Inklusif, Sekolah Alam, atau Homeschooling yang mana teman-teman akan dihadapkan tidak hanya pada satu anak, melainkan mengatasi anak yang ada di satu sekolah dan menjadi konsultan bagi guru-guru umum!

Jadi, sudah terbayang kan bagaimana besarnya peluang kerja untuk lulusan PLB/PKh?

Bisakah Jadi Terapis?

Apakah lulusan PLB/PKh hanya bisa menjadi guru? Bukan ‘hanya bisa’, melainkan memang dicetak untuk menjadi guru. Ingat, guru yang mendidik anak ini tidak hanya dari segi akademik tetapi juga behavior atau keseharian mereka. Mengajarkan anak-anak tentang apa saja yang ada di depannya dan yang terpenting adalah menjadikan anak-anak ini mandiri, tidak tergantung pada orangtua atau orang lain di sekitarnya.

Menjadi terapis, bukanlah prospek dari lulusan PLB/PKh, karena seperti nama jurusan kuliah ini: PENDIDIKAN. Maka di sini teman-teman akan menjadi pendidik, guru yang lebih dari sekadar guru biasa. Di sini teman-teman akan belajar menjadi guru yang harus memiliki kasih sayang dan sabar berlipat ganda dibandingkan guru biasa.

Terakhir, untuk kalian yang masih galau memilih jurusan kuliah, untuk kalian yang memiliki keinginan menjadi guru dan menyukai tantangan, percayalah Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus adalah pilihan yang tepat untuk jurusan kuliah kalian. Karena di sini, setiap hari kalian akan memiliki cerita petualangan menghadapi tantangan di kelas!


Karena begitu banyak tantangan menyenangkan di kelas saat mengajar, saya menyebut seluruh pengalaman saya mengajar sejak semester V dengan nama Teachventure (Teach Adventure)!

Untuk teman-teman yang galau memilih jurusan kuliah, teman-teman bisa berkunjung di jurusankuliah.tumblr.com untuk membaca berbagai ulasan tentang berbagai jurusan kuliah. Happy reading! :)

@fatinahmunir | 12 Juni 2016
07 December 2016
Posted by Fatinah Munir

WANITA; Di Rumah atau Bekerja?





Bismillaahirrahmaanirrahiim

Ahad, 20 November 2016 lalu alhamdulillah saya mendatangi kajian di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, yang bertema tentang Ibu Rumah Tangga dan Ibu Pekerja yang di fasilitatori Ustadz Bendri Jaisyurrahman. Meskipun saya belum menjadi seorang ibu ataupun istri, saya pikir bahasannya cukup menarik dan bermanfaat bagi saya suatu hari nanti. Lebih lagi, nantinya notulensi ini pasti akan bermanfaat untuk teman-teman yang sudah menjadi istri ataupun ibu, mengingat di masa sekarang banyak sekali ibu pekerja ataupun perempuan pekerja seperti saya. berikut ini adalah pembahasannya.

***

Jika dilihat dalam rujukan fatwa para ulama mengenai hukum dasar ibu bekerja semua menyimpulkan boleh dengan syarat. Syarat tersebut yang berkaitan dengan hal-hal yang menjaga kemuliaan para wanita agar jangan sampai wanita bekerja justru menghilangkan status kemuslimahannya. Intinya boleh, apalagi bagi wanita yang pekerjaannya dibutuhkan oleh umat, seperti guru, dokter kandungan atau perawat dan pekerjaan lain yang memang membutuhkan wanita. 

"Mana yang lebih utama?" Jika membahas tentang keutamaan maka bukan berarti pilihan yang lainnya merupakan kehinaan. Keutamaan hanya menunjukkan lebih tinggi dengan yang lain, itupun dengan syarat. Sebab banyak hadits yang membahas tentang keutamaan-keutamaan. 

Misal hadits "muslim yang kuat lebih dicintai daripada muslim yang lemah". Apakah muslim yang lemah itu hina? TIDAK. Hanya memang lebih utama muslim yang kuat. Begitupun perihal ibu bekerja dan ibu rumah tangga.

Maka jawabannya berdasarkan Al-qur'an dalam surat Al Ahzab: 33 "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, ...."

Ibu lebih utama di rumah. Apakah keutamaan ini terikat satu poin saja, tidak, sebab bersyarat. Ibu di rumah lebih utama jika menjalankan fungsi keibuan. Ibu rumah tangga akan mendapatkan sisi yang positif, mendapatkan derajat yang baik jika menjalankan fungsi keibuan.

Apa yang harus dimiliki seorang ibu terkait fungsi keibuan?

Dalam sebuah H.R. Muslim, Rasul menyebutkan,"Nikahilah olehmu seorang wanita yang
a. Al Walud. Perempuan yang subur, untuk perbaikan keturunan agar bisa dibanggakan Rosulullah di hari akhir; dan
b. Al Waduud, Kata berasal dari akar katanya Al Wudd dan Al Mawaddah yang artinya sama-sama memiliki daya tarik kenyamanan dan kasih sayang. Dalam Q.S Maryam 96 disebutkan "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." Memiliki makna yang sama dengan al mawaddah dalam Q.S ArRum 21 yang berbunyi "...Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang...".

Jika Al Mawaddah bermakna kasih dan sayang untuk pasangan, maka Al Waduud bermakna kasih dan sayang untuk anak yang menyebabkan seorang anak ingin selalu mendekat kepada ibu.

Indikator saat kita menjalankan fungsi keibuan adalah ketika anak selalu ingin menempel pada ibunya. Inilah yang akan kita bahas dan kita evaluasi apakah ibu rumah tangga dan ibu bekerja memiliki Al Waduud ini.

Jika fungsi keibuan yaitu Al Waduud dijalankan, ciri keberhasilannya adalah apakah ibu dirindukan atau tidak? Sebab petaka pertama pengasuhan adalah ketika ibu tak lagi dirindukan. Ibu bekerja dan ibu rumah tangga sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk menjadi ibu yang dirindukan. Bukan lagi membahas mana yang lebih utama, karena saat ini banyak ibu rumah tangga namun tak dirindukan sebab hilangnya sifat Al Waduud dalam dirinya.

Bagaimana agar Al Waduud terjaga? 

Agar ibu tetap menjadi yang dirindukan, anak selalu ingin bersama ibunya, maka lihat ciri-cirinya. Indikasi hilangkan Al Waduud pada diri seorang ibu adalah saat anak menolak untuk dipeluk atau didekati. Indikasi kedua adalah ketika anak tak lagi bercerita dan memiliki wilayah privasi yang orang tua tidak boleh mengetahuinya. Oleh sebab itu, misi pertama ibu adalah mengikat hati anak agar anak takluk hatinya.

"Sesungguhnya hati adalah raja, sedangkan anggota tubuh ibarat anggotanya" 
(Majmu al Fatawa)


Tips Mengikat Hati Anak

1. Senantiasa berpikir dan berperasaan positif

Terlepas ibu adalah seorang pekerja atau yang di rumah, ibu harus memiliki emosi dan perasaan yang positif. Emosi ibu seperti bau badan yang mudah dicium oleh anak. Jika emosi ibu negatif seperti bau busuk, hal ini akan membuat anak tak mau mendekat. Demikian sebaliknya jika emosi ibu positif seperti badan yang harus, maka anak akan senantiasa mendekat. 

Anak membaca bahasa tubuh ibu. Maka tugas ibu adalah senantiasa berpikir dan berperasaan positif. Ketika ibu mulai memiliki perasaan negatif, maka menghindar sejenak dari anak adalah lebih baik. Sekaligus ibu mencari cara bagaimana agar ibu bisa berpikir dan berperasaan positif. Ibu harus memiliki beberapa skill salah satunya menulis, terutama bagi ibu-ibu yang memiliki kecenderungan berpikir dan berperasaan negatif. Ibu yang sering menulis, biasanya emosinya lebih stabil. Sebab jika ibu tidak menulis kecenderungan untuk melakukan hal buruk pada anak sangat besar.

"Menulis itu mencerahkan pikiran dan mencerahkan batin"
(Iman An-Nawawi )

2. Belajar menjadikan anak prioritas

Dalam Al-'Isrā':26 dikatakan "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,...." dan Ar-Rūm:38 "Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya,...."

Seorang ibu hendaknya menjadikan keluarga dan anak sebagai prioritasnya di atas pekerjaan rumah ataupun kantor. Ada baiknya pasangan suami istri mendiskusikan skala prioritas dalam keseharian, sehingga tidak terjadi percekcokkan. Misalnya suami-istri harus memiliki skala mana yang lebih utama, kerapihan rumah atau anak-anak terjaga makanan dan pendidikannya. Misalnya makanan dan pendidikan anak menjadi yang utama, maka tidak akan ada selisih pendapat ketika suami datang tetapi rumah belum dipel.

Jika ibu bekerja bisa bersabar menghadapi klien maka seharusnya bisa lebih sabar dalam menghadapi anak. Jika ibu bekerja sebagai guru TK dan sangat sabar menghadapi murid-murid, maka semestinya anak ibu lebih berhak mendapatkan kesabaran ibu.

Cara melatih agar anak selalu menjadi prioritas adalah sering melihat wajah anak ketika bayi. Jika sudah muncul amarah pada anak, mengingat wajah bayinya membuat kita akan menjadi lebih sabar.

3. Manajemen waktu

Seorang ibu harus memiliki kecerdasan dalam mengatur waktu untuk suami, anak, dan dirinya sendiri. Berikut ini adalah beberapa contoh pembagian waktu yang harus dimiliki seorang ibu.

a. Me time, adalah hak waktu untuk diri sendiri. Istri Rasulullah memiliki 'me time' untuk solat, berdoa, berpuasa dan ibadah lain saat ia tidak mendapat giliran. Ibu berhak solat, membaca alqur'an tanpa harus diburu oleh tangisan anak, dan ibu berhak melakukan kesenangan yang dibolehkan oleh agama ini. Suami ambil alih sementara untuk menjaga anak.

b. Couple time, untuk memberikan kekuatan energi pada ibu. Penting bagi ibu untuk punya waktu berdua dengan suami untuk berdiskusi, bercengkerama, bercanda tanpa menyertakan anak. Saat ibu mulai kehilangan al wadudnya, yang pertama kali harus dievaluasi adalah suami, sebab artinya itu mewakili perasaan bahwa ia sedang tidak bahagia dengan suaminya. Penting bagi suami membuat ibu bahagia agar al wadud tak hilang dari ibu.

c. Family time, berkumpul dengan keluarga.

d. Social time, ibu berhak untuk berkumpul bersama teman-temannya. Waktu ini bisa digunakan untuk pergi ke kajian, ke tempat amal, dan agenda positif lainnya bersama teman atau sahabat.

4. Skill dasar seorang ibu

Menulis, seorang ibu sebaiknya bisa menulis atau memiliki kebiasaan menulis. Hal ini seperti yang telah dibahas sebelumnya, menulis adalah kemampuan positif yang bisa membantu membangun pikiran dan perasaan positif pada seorang ibu. Sehingga dengan ini ibu bisa menjadi pribadi yang cukup stabil.

Memasak, kemampuan memasak memang bukan kemampuan yang harus dimiliki seorang ibu ataupun istri. Tetapi yang perlu diingat adalah hal yang membuat anak selalu rindu kepada ibu adalah masakan ibunya sendiri.

Memijat, agar anak selalu merasa dekat pada ibu. Sebab ketika anak nyaman dipijat oleh ibu di daerah tertentu, seperti perut, punggung dan telapak tangan, maka anak akan lancar bercerita dan cenderung terbuka. 

Mendengar, seorang ibu sebaiknya menjadi pendengar setia dengan respon terbaik, bukan sekadar menasehati ketika anak bercerita.


5. Merebut golden moment

Ada 3 waktu yang ibu tidak boleh absen, terutama bagi ibu yang bekerja.
Hadirlah saat anak sedih, sebab ketika anak sedih ia memerlukan sandaran jiwa, siapapun yang hadir saat itu akan dianggap sebagai pahlawannya, maka ibu wajib menjadi pahlawan yang mendengar kesedihannya apapun dan bagaimanapun kondisi ibu saat itu. Jika tidak mendapati ibunya, maka ia akan mencari 'orang lain' yang bisa jadi berbahaya bagi dirinya. Dicontohkan oleh Rosulullah yang hadir saat ada seorang anak yang sedih karena kehilangan burung pipitnya.

Hadirlah saat anak sakit, saat anak sakit yang sakit bukan sekadar fisiknya tapi juga jiwanya.

Hadirlah saat anak unjuk prestasi, anak akan tidak percaya pada ibunya jika ibu tidak datang saat anak unjuk prestasi. Maka bagi ibu yang bekerja, serepot apapun agendakan dengan sekolah sang anak kapan jadwal unjuk prestasi. Hal ini dicontohkan oleh Rosulullah yang selalu hadir saat anak sedang mementaskan prestasinya, Rosulullah hadir saat anak-anak dari bani Aslam sedang melakukan lomba memanah.

Maka ibu wajib menjadikan 5 poin ini sebagai pegangan sebagai indikasi sudahkah ibu dirindukan dan dekat dengan anak.

Membahas kesadaran bersama bagi para ibu yaitu bahwa anak adalah prioritas. Profesi ibu adalah yang utama, sisanya SAMBILAN saja.

Ada 7 indikasi yang ditunjukkan anak sebagai syarat bahwa mau tidak mau ibu harus kembali ke rumah, ibu tidak bisa memaksakan bekerja saat sudah tampak bahwa anak memiliki 7 indikasi kerusakan;

1. Anak selalu membangkang. Ibu yang gagal mengikat hati anak karena sibuk bekerja, indikasinya adalah anak selalu membangkang.
Sebab anak yang dekat dengan ibunya akan taat meskipun dalam keadaan terpaksa.

2. Anak tidak hormat pada ibunya terutama ketika ibu dalam keadaan marah. Jika ibu marah dan anak tambah melawan dan membantah, maka sangat disarankan lebih baik off bekerja daripada kehilangan momen

3. Anak punya privasi, saat anak memiliki banyak rahasia maka ini menunjukkan indikator bahaya. jika anak memiliki banyak rahasia dari ibunya, hak tersebut adalah tanda bahwa anak tidak nyaman dengan ibunya.

4. Ketika anak tidak pernah mendengar nasehat ibunya sebagau rujukan. Indikator anak yang dekat dengan ibunya adalag ketika anak selalu menjadikan ibu sebagai rujukan.

5. Saat anak tidak betah ada di rumah. Sebab rumah memiliki ratu bernama ibu, jika ibu tak lagi dirindukan maka anak tidak akan betah di rumah.

6. Anak sudah berani mengatakan kriteria jodoh "asal bukan seperti ibu".

7. Ketika anak tak memahami bahasa tubuh orang tua, bahkan cenderung membiarkan kita tersakiti.

Indikator-indikator ini mohon jadikan sebagai bahan evaluasi. Jangan menunggu 7 hal ini terjadi,  tetapi selalu perbaiki kedekatan bersama anak agar menjadi ibu yang dirindukan.

Kenapa banyak ibu yang dimusuhi anaknya "sebab ada peran yang tertukar" antara ibu dengan ayah.  Peran ibu adalah sebagai pemberi rasa aman, sedangkan peran ayah sebagai penegak aturan, sebagaimana Q.S An Nisa: 34 "laki-laki adalah pemimpin bagi wanita..." Makna pemimpin dari ayat ini adalah sebagai penegak aturan. Ibu jangan mengambil alih peran ini.

Para ayah wajib bantu istri agar tidak kehilangan Al Waduudnya. Istri jangan mengambil wilayah aturan. Suami wajib mengingatkan istri bahwa yang menegakkan aturan adalah suami, maka jika ibu ingin memiliki aturan untuk anak, sampaikan pada suami. Istri hanya memberikan usulan. Anak rusak, itu tanggung jawab suami.

Semoga hal ini bisa menjadikan perbaikan bagi rumah tangga, ketika ibu dan ayah menjalankan fungsinya. Ibu dengan kasih sayang, ayah dengan ketegasannya.

Lakukan diskusi bersama. Penting agar ibu dan ayah selalu melakukan harmonisasi. Sebab biasanya permasalahan anak hanya 20% sisanya karena komunikasi ibu dan bapak yang tak selesai dan berdampak pada pengasuhan anak. Banyak anak yang tidak patuh pada orang tuanya karena sering melihat pemandangan konflik antara ibu dan ayahnya. Ayah wajib bantu ibu menjadi yang dirindukan terlepas ibu bekerja atau di rumah dengan memfasilitasi agar ibu memiliki pikiran dan perasaan yang positif.

Sesi Diskusi 

Penanya 1
Bagaimana meyakinkan istri untuk di rumah?karena istri punya karir yg cemerlang di pekerjaannya.

Tanggapan dari peserta
- Dari pengalaman mengapa saya (seorang ibu) memilih resign, diawali oleh suami yang mengajak musyawara bukan hanya terkait finansial tapi lebih kepada hal pengasuhan anak. "jika kamu bekerja siapa yang mendidik anak". Hati seorang istri akan tersentuh.
- Temukan kekhawatiran istri mengapa ia masih bekerja. Misal jika finansial, suami pastikan dan meyakinkan bahwa tak akan kekurangan meski ibu tak bekerja. 
- Sering diajak kajian tentang keutamaan istri di rumah.
- Suami wajib menunjukkan perhatiannya dengan memuji kelebihan istri.

Tanggapan dari Ustadz Bendri

Bagaimana agar istri mau mendengar suami?

Dalam pepatah Arab "kebaikan itumenaklukkan manusia". Maka nasihat yang tidak masuk kepada pasangan karena dirasa mungkin belum baik. Bagaimana kebaikan yang menaklukkan manusia?

Kebaikan yang sering. Lakukanlah banyak kebaikan kepada istri agar hati istri takluk kepada suami.
Kebaikan yang ekstrim. Tidak sering tapi sekalinya berbuat dengan kebaikan-kebaikan yang besar.
Inilah tradisi yang diajarkan Rasulullah "aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada perempuan".

Penanya 2
Apakah wajar ketika anak lelaki saya yang berusia 4,5 tahun sangat nempel kepada saya?? Sampai usia berapa anak bounding kepada ibunya? Saat suntuk dengan pekerjaan, saya membutuhkan me time, namun dzolimkah terhadap anak karena waktu bersama anak semakin berkurang untuk kerjaan ibu dan untuk me time ibu?

Tanggapan dari MC
Berikan kesempatan kepada suami agar lebih dekat pada abinya.

Tanggapan dari Ustadz Bendri

Kedekatan kepada anak indikasinya bukan sekadar dekat atau tidak dekat. Indikasi yang lain apakah mampu mengerjakan urusannya sendiri? karena jika umur 4 tahun masih ingin 'dilayani' oleh ibunya terkait urusan pribadi, maka harus diantisipasi. Sebab usia 4 tahun sudah masuk ke fase independent, fase ketika anak sudah mulai mandiri. Orang tua hanya sebagai partner. Jika terlalu nempel pada ibu bukan berarti ia sangat tergantung pada ibu, bisa jadi karena anak tak memiliki alternatif yang dilihat dari sosok ayah.

Tentang me time yang kebablasan, anak memang tidak bisa menunggu maka anak harus dipahamkan bukan dengan dibuat jarak antara ibu dan anak. Ibu bisa jujur kepada anak. Sebab menghindar dari anak justru memberikan persepsi yang buruk kecuali kita tidak bisa mengelola emosi yang negatif. Anak tidak bisa mentolerir pekerjaan, jika tidak bisa berdekatan dengan anak untuk sementara waktu maka lebih baik jujur pada anak. Cara yang berikutnya lakukanlah sandiwara pada anak, kalau sengan klien ibu bisa bersandiwara untuk bisa tersenyum, maka kepada anak harus juga ibu lakukan, jadilah ibu yang profesional sebagaimana ibu ingin menjadi pekerja yang profesional.


Kesimpulan

Jika seorang wanita bimbang memutuskan untuk bekerja atau tetap di rumah, maka yang utama adalah wanita di rumah. Kalaupun kondisi rumah tangga menjadikan wanita bekerja, maka itu bukan berarti hina. Yang terpenting dalam hal ini adalah fungsi kewanitaan dan keibuaan sebagai Al Waduud, yang penuh kasih sayang dan dirindukan oleh pasangan dan anak-anaknya.


Allahu ta'allam



26 November 2016
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -